2006 : Sebastian Finn and Edgar Hogg (Prologue)
“Kau hanya membuang waktu”, sindir Hogg, dia menggertakkan gigi-giginya yang sudah jarang untuk mempertegas sindirannya. Finn hanya berbalas dengan teguran ala kadarnya, “Hogg ?” Lalu berpaling ke dapur dan menarik sebuah teko kecil dari coffee maker. Sekumpulan uap hangat mengepul dari corong teko itu yang kemudian bertransformasi menjadi buih-buih air yang membercaki kemeja biru Finn. “Kau tidak ingin membuang masa mudamu di sini saja kan ?” Hogg mulai ketus karena merasa tidak dihiraukan.
“Apa
pedulimu
?”
Finn
balas
mengetus, duduk di meja makan yang penuh dengan kantong
“Potato
Chips”
berserakan.
Remah-
remahnya ia kumpulkan dan dibentuk dalam satu pola berbentuk hati. “Ini hanya sebuah pulau, Finn, dunia sebenarnya ada di luar sana”, Hogg duduk di depan Finn, rupanya ia bukan sekedar memberi sugesti pagi yang
positif
pada
mengungkapkan
Finn,
ia
penilaiannya
lebih pada
seperti bujang
penyendiri itu. “Aku hanya sedang berfikir, janganlah terlalu dibesar-besarkan”, balas Finn.
2
“Kau tidak berfikir, kau cemas, aku tahu itu”, Hogg mencermati. “Khawatirkan saja dirimu, Hogg” “Aku sudah lama tidak khawatir padanya”, balas Hogg, sarkasme dengan nya yang ia katakan. “Aku tidak peduli, titik”, ucap Finn sembari bangkit dari duduknya dan meninggalkan Hogg begitu saja. Ia pergi ke arah sebuah VCD Player lalu memasukkan pringan CD ke dalamnya hingga
lantas
membiarkan
lagu
Bridge
Over
Troubled Water berkumandang, bahkan hingga ke telinga Hogg yang berjarak dua ruangan dari Finn.
3
“Aku memang penakut, namun aku punya alasan”, gumam Finn, pelan.
***
4
I
1998 : Sebastian Finn
Beginilah Desember ini datang, kelam dipenuhi kemelut antar tetangga yang tak kunjung berdamai. Aku hanya mengintip, dari balik selasar yang rapat oleh paviliun, melihat mereka semua bersitegang akan hal yang hampir memang kerap terjadi tiap tahunnya. Jean, terutama, dia yang paling keras kepala dalam menanggapi masalah pembagian kiriman yang datang setiap tepat menjelang akhir tahun.
5
Beginilah nasib tinggal di ujung lintas alam, Pentview, yang terpojok, sudah dekat dengan Port Moresby. Semua warga, termasuk aku juga tak luputnya, hanya
dapat mengandalkan bantuan
pejabat perusahaan induk yang datang selalu di penghujung Desember. Biasanya berupa bibit-bibit tanaman pra-musim, beberapa bumbu dapur, dan lima karung sagu, semua itu adalah jatah untuk satu orang.
Itulah
mengapa
hal
itu
acap
kali
dipermasalahkan oleh orang-orang di pulau ini.
Sebenarnya
Pulau
Lolomahuwe
namanya. Awalnya, Suku Asmat-lah yang merupakan tuan rumah dari pulau yang penuh dengan minyak bumi
itu.
Namun
setelah
lima
belas
tahun
kemerdekaan Indonesia berlangsung, tepatnya di 6
masa jabat Pak Suharto sebagai presiden, Pulau Lolomahuwe diserahkan atas izin konsesi kepada seorang pengusaha besar yang masih keturunan Tiong Hoa. Namanya Lee Juk Guk, komisaris utama dari Group Juk Guk, yang berinduk di New York. Namun,
Tuan
Lee
masih
berkewarganegaraan
Indonesia. Jadi, bukan itu yang menjadi bulir kontroversi masyarakat pribumi. Melainkan adalah, letak perusahaan induk yang jauh di luar negeri. Dan tentu saja hal itu mempengaruhi jangka waktu pengiriman bantuan bagi para pekerja di Pentview, termasuk aku salah satunya.
Penduduk Pentview dipadati oleh mayoritas kaum pribumi Indonesia. Di urutan kedua ada aku, Ed Hogg, dan orang-orang seperti kami 7
berdua
yang
termasuk
pengawas
atau
istilah
pribuminya “mandor”. Ada juga beberapa kumpulan minoritas dari Suku Anak Dalam yang terpecah menjadi beberapa distrik di luar kawasan suaka perusahaan. Maksudnya, di dalam kawasan suaka, adalah lingkupan lahan yang sengaja diberikan untuk tempat tinggal kami hingga berkembang menjadi beberapa distrik seperti sekarang. Pentview sudah seperti sebuah Provinsi, dengan tujuh kecamatan di dalamnya. Aku, Hogg, Jean, serta beberapa kaum pribumi yang merupakan pekerja, tentu tinggal di dalam
kawasan
suaka
berikut
fasilitas
yang
dijatahkan untuk satu kepala.
Rumahku di distrik Glassgow, hanya saja tidak terlalu mirip dengan yang di Skotlandia. 8
Distrik Glassgow paling dekat dengan pelabuhan, di sebuah jalan bernama Delightville Street yang betulbetul melambangkan keadaan lingkungannya. Jalan itu juga menjadi lokasi pengeboran minyak bumi pertama,
ditandai
dengan
monument
bernama
Pentview’s Gate.
Di pelabuhan itu ada sebuah pasar, yang diisi oleh pedagang-pedagang dari luar pulau. Setiap pagi, kala angin berhembus dari lautan biru, aroma mackarell yang tergantung selama beberapa hari akan tercium hingga ke kamar tidurku. Namun bau-bau keramaian itu akan lenyap begitu sore menjelang. Yaitu ketika para pedagang kembali berlayar ke lautan, pulang ke rumah masing-masing.
9
Maklum,
para
‘petinggi’
belum
membolehkan
mereka untuk bertempat tinggal di Pentview.
Berbeda dari distrik yang lain, warga Glassgow cenderung menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Selain itu, ada beberapa warga yang sebagian besar pekerja tambang Group Juk Guk, membuka usaha harian di rumahnya ataupun di ruko-ruko yang sengaja didirikan pemimpin distrik untuk disewakan. Tidak ada walikota atau camat di sini. Yang ada hanyalah “Kepala Bagian”.
Guetaluppe, imigran Spanyol yang juga pekerja tambang, membuka “Luppe’s Barber Shop” di sebuah ruko yang disewanya sejak lima tahun lalu. Ia buka setiap fajar mulai menyingsing, 10
dan berebutlah pria-pria berpenampilan buruk masuk ke sana untuk dibenahi rambut atau janggutnya. Dua blok dari situ, Rose membuka sebuah toko roti “Just Bread”, yang diproduksi di halaman belakang rumahnya yang masih tradisional. Ada juga bar-bar klasik
di
sepanjang
jalan
Delightville
yang
menambahkan harum fermentasi di udara Glassgow. Dan semua itu membuat Glassgow menjadi distrik yang paling ‘hidup’ di antara yang lain.
11
12
13
14