BAB II LANDASAN TEORI
A. Prasangka 1. Definisi prasangka Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002). Chambers English Dictionary (dalam Brown, 2005) mengartikan prasangka sebagai penilaian atau pendapat yang diberikan oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal senada juga diberikan oleh Hogg (2002), yang menyatakan bahwa prasangka merupakan sikap sosial atau keyakinan kognitif yang merendahkan, ekspresi dari perasaan yang negatif, rasa bermusuhan atau perilaku diskriminatif kepada anggota dari suatu kelompok sosial tertentu sebagai akibat dari
keanggotaannya dalam kelompok tertentu.
Karakteristik dan perilaku aktual dari individu hanya sedikit berperan. Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, Baron dan Graziano (1991) menyatakan bahwa prasangka merupakan aspek yang penting dari hubungan antar kelompok. Burchell dan Fraser (2001) juga mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau sikap tidak suka terhadap suatu kelompok dan anggotanya. Senada dengan Baron dan Grazino (1991), Burchell dan Fraser (2001) juga menyatakan bahwa prasangka merupakan studi tentang relasi antar
13
Universitas Sumatera Utara
kelompok. Definisi yang dikemukakan oleh Baron dan Graziano (1991) serta Burchell dan Fraser (2001) telah mengkhususkan prasangka sebagai bagian dari kajian ilmu-ilmu sosial yang membahas tentang dinamika kelompok, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek prasangka adalah kelompok sosial tertentu. Berdasarkan definisi prasangka menurut beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa prasangka adalah suatu bentuk sikap negatif terhadap anggota suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan perilaku diskriminasi hingga kekerasan. Penilaian ini didasarkan hanya pada keanggotaan seseorang (individu) dalam suatu kelompok bukan karena karakteristik individu maupun perilaku aktualnya.
2. Komponen-komponen prasangka Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Sebagai suatu sikap, prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003) a. Komponen kognitif Komponen ini melibatkan apa yang dipikirkan dan diyakini oleh subjek mengenai objek prasangka. Stereotip adalah salah satu contoh bentuk dari komponen kognitif. b. Komponen afektif Komponen ini melibatkan perasaan atau emosi (negatif) individu yang berprasangka ketika berhadapan atau berpikir tentang anggota kelompok 14
Universitas Sumatera Utara
yang tidak mereka sukai. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam dan bertahan sebagai komponen sikap. Komponen ini sering disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, perasaan pribadi seringkali dapat berbeda perwujudannya dengan perilaku aktual individu. Azwar (2003) menambahkan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan (apa yang dipercayai) sebagai sesuatu yang benar dan berlaku bagi objek tertentu. c. Komponen konatif Komponen ini melibatkan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu (negatif) atau bermaksud untuk melakukan tindakan (negatif) tersebut terhadap kelompok yang menjadi target prasangka.
3. Sumber prasangka Baron dan Byrne (2000) mengemukakan beberapa pandangan yang menjadi sumber dari prasangka, diantaranya yaitu : a. Efek “kita” versus “mereka” (kategori sosial sebagai dasar dari prasangka) Prasangka dapat timbul karena adanya pemisahan dunia sosial di sekitar individu menjadi “kita” (individu dalam kelompok yang sama) dan ”mereka” (individu dalam kelompok yang berbeda). Pandangan ini terbatas apakah individu merupakan anggota kelompok lain (diistilahkan dengan outgroup) atau anggota di dalam kelompok yang sama dengan diri individu (diistilahkan dengan ingroup). Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa dimensi yang mencakup ras, agama, jenis kelamin, usia, suku bangsa dan bahkan pekerjaan (Baron dan Byrne, 2000). 15
Universitas Sumatera Utara
Linville dkk (dalam Baron dan Byrne, 2000) menambahkan bahwa individu dalam kategori kita (us) dipandang sebagai seseorang yang disukai, sedangkan individu dalam kategori mereka (them) akan dipandang secara negatif. Orang-orang dalam kategori mereka (them) akan diasumsikan memiliki sifat-sifat yang negatif, dan dipandang lebih sama (lebih homogen) daripada anggota ingroup.
b. Pengalaman masa lalu (peran dari belajar sosial) Menurut pandangan Social Learning, anak mempunyai sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar dan meniru pandangan yang di ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan significant other lainnya. Anak-anak tersebut akan diberi reward (dengan pujian dan persetujuan) oleh orang tua, guru, dan significant other lainnya (oleh lingkungan) karena meniru pandangan tersebut (Baron dan Byrne 2000). Theory Social Learning menyatakan bahwa berbagai tindakan adalah dipelajari dan merupakan proses dari belajar. Fazio
dan
Towles-Schwen
(dalam
Baron
dan
Byrne,
2004)
menambahkan bahwa pengalaman berinteraksi secara langsung dengan orang yang termasuk dalam kelompok lain juga membentuk sikap rasial. Terdapat dua aspek dari prasangka yaitu mempertahankan perilaku berdasarkan prasangka dan menahan diri ketika berinteraksi dengan orang yang berasal dari luar kelompok kita (terutama untuk menghindari pertengkaran dan kejadian yang tidak menyenangkan dengan mereka).
16
Universitas Sumatera Utara
Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2004) juga menyatakan bahwa norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas juga berperan dalam pembentukan prasangka. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma dalam kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan untuk konform dengan norma. c. Sumber kognitif dari prasangka (stereotip dan illusory correlation) Baron dan Byrne (1991) mengatakan bahwa stereotip dan illusory correlation adalah sumber dari prasangka. Menurut Baron dan Byrne (1991), stereotip adalah kepercayaan bahwa anggota kelompok tertentu memiliki karakteristik atau sifat tertentu, sedangkan Illusory correlation adalah kecenderungan individu untuk menghubungkan (korelasi) beberapa variabel yang sebenarnya tidak ada (Hamillton dan Gillford dalam Baron dan Byrne, 1991). Illusory correlation diartikan Baron dan Byrne (2000) sebagai penerimaan hubungan antara variabel yang dikuatkan (yang sebenarnya tidak berhubungan) daripada yang terjadi sebenarnya. Hal tersebut terjadi ketika masing-masing variabel berbeda, terjadi dalam waktu yang bersamaan. Khususnya hubungan akan terjadi dari kombinasi yang tidak biasa sehingga lebih mudah untuk dipanggil daripada kejadian-kejadian lain. Seperti kerangka kognitif lainnya stereotip memiliki pengaruh yang kuat terhadap proses penerimaan informasi. Illusory correlation berkontribusi terhadap terjadinya stereotip negatif. Sedangkan stereotip dan prasangka menurut Baron dan Byrne (1997) mempunyai hubungan yang sangat kuat. Prasangka dapat 17
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan stereotip, sebaliknya stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka Menurut Brigham (1986) prasangka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berbeda. Pola interaksi antar kelompok dapat membuat anggota
kelompok berprasangka. Pada level kognitif, membuat perbandingan antara ingroup dan outgroup dapat meningkatkan prasangka. Perbedaan juga dapat menimbulkan prasangka. Tajfel dan Turner (dalam Brigham, 1986) menyatakan bahwa perbedaan status dapat menimbulkan etnosentrisme dan dan hal ini dapat memicu timbulnya prasangka. Rokeach (dalam Brigham 1986) juga menambahkan bahwa orang cenderung tidak suka terhadap orang lain yang tidak memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai dengan mereka. Faktor sosial dan perbedaan norma sosial juga berperan. Pettigrew (dalam Brigham, 1986) mengatakan bahwa tekanan konformitas dan norma dapat berhubungan dengan prasangka. Menurut Pettigrew, Peran norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas merupakan hal yang penting. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma sosial kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan ini (dalam Baron dan Byrne, 2000).
18
Universitas Sumatera Utara
Prasangka bisa berhubungan dengan karakteristik kepribadian individu seperti authoritarianism dan dogmatism (Brigham, 1986). Namun, ada penelitian yang menemukan bahwa faktor demografik seperti usia, tingkat pendidikan dan wilayah di mana seseorang tinggal merupakan predikator yang sangat kuat dari prasangka daripada faktor-faktor kepribadian (Maykovich dalam Brigham, 1986). Faktor keluarga dan pengalaman masa lalu juga dapat menimbulkan adanya prasangka. Abu Ahmadi (1999), bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Lebih lanjut Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa prasangka dapat dipelajari anak dari orangtua mereka.
5. Tipe-tipe prasangka Geartner, Jones, kovel (dalam Soeboer, 1990) mengemukakan tiga tipe prasangka yaitu dominative, ambivalent, dan aversive. a.
Tipe Dominative Individu dalam tipe ini mengekspresikan sikap negatifnya (prasangka) secara terbuka terhadap target prasangka. Individu dapat melakukan tindakan berupa penyerangan atau perilaku-perilaku agresif pada target prasangka. Individu dalam tipe ini berusaha untuk memelihara posisi superior/ eksklusivitas kelompoknya.
b. Tipe Ambivalent Individu dalam tipe ini merasa bersimpati pada target prasangka dan di waktu bersamaan juga merasa khawatir target prasangka dapat merugikan
19
Universitas Sumatera Utara
mereka. Pada tipe ini, individu dapat mengekspresikan perasaan negatif mereka pada target prasangka. c.
Tipe aversive Individu dalam tipe ini dapat berinteraksi dan mengadakan kontak dengan ramah dan sopan terhadap objek prasangka. Individu tipe ini akan menunjukkan sikap positif dan bersedia membantu anggota kelompok target prasangka. Namun, sesungguhnya Individu dalam tipe ini berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan interaksi dengan target prasangka.
B. Etnis Tionghoa 1. Definisi etnis Tionghoa Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1950an (Liem, 2000). Etnis Tionghoa menurut Purcell (dalam Liem, 2000) adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok.
20
Universitas Sumatera Utara
Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia. Sedangkan menurut Suryadinata (1981) istilah Tionghoa Indonesia digunakan merujuk pada etnis Tionghoa yang tinggal di negara Indonesia yang memiliki nama keluarga (marga), tanpa memandang kewarganegaraannya.
2. Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia Menurut Suryadinata dan Sanjatmiko (dalam Meinarno, 2007) etnis Tionghoa bukanlah etnis Pribumi. Rekaman sejarah juga memperlihatkan bahwa para imigran etnis Tionghoa tiba dalam gelombang-gelombang yang berbeda, dan dalam jangka waktu yang juga bervariasi. Mereka memakai bahasa mereka sendiri, dan membawa teman-teman sedarah mereka, baik yang semarga maupun yang bukan ke bumi Indonesia. Gelombang pertama datang ke bumi Nusantara diperkirakan dimulai pada abad ke 16. Pada saat itu di Nusantara telah berdiri kerajaaan-kerajaan yang telah melakukan kegiatan ekonomi antar wilayah kekuasaannya. Sejarahwan MaHua (dalam Liem, 2000) menyebutkan bahwa mayoritas awak kapal Cheng-Ho yang berlayar ke Mekkah adalah muslim Hanafi. Hal ini diperkuat oleh Profesor Slamet Muljana (dalam Liem, 2000) yang menyatakan bahwa mayoritas kerajaan Jawa Utara pada abad ke 15 adalah pengikut Hanafi yang diperkenalkan oleh muslim Tionghoa melalui kegiatan misi (damai) pada dinasti Ming.
21
Universitas Sumatera Utara
Pada saat itu, perpindahan penduduk bukan berarti perpindahan keluarga. Biasanya hanya kaum pria yang pindah ke rantau (tidak membawa istri/wanita). Dalam perkembangan kemasyarakatan Indonesia, para perantau inilah yang disebut Tionghoa Peranakan. Hal ini dikarenakan setelah mereka menetap selama beberapa waktu, mereka akhirnya menikah dengan perempuan dari etnis Pribumi. Gelombang pendatang kedua dan yang paling padat tiba pada abad ke-19. Ketika itu, banyak etnis Tionghoa terpaksa meninggalkan tanah airnya akibat kebutuhan ekonomi di bawah tekanan kolonialisme modern. Ribuan etnik Tionghoa yang merantau ini diantaranya direkrut sebagai “kuli kontrak” (Liem, 2000). Etnik Tionghoa yang datang pada gelombang ini datang membawa serta keluarganya. Berbeda dengan Etnik Tionghoa yang datang pada gelombang pertama, ketika sampai di nusantara mereka secara fisik tidak mengadakan proses asimilasi. Mereka tetap mempertahankan gaya hidupnya, dan karena itulah mereka disebut sebagai Tionghoa totok.
3. Etnis Tionghoa di kota Medan a. Sejarah etnis Tionghoa di kota Medan Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini berlangsung
22
Universitas Sumatera Utara
dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur (Lubis 1995). Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1863. Pada saat itu, Belanda mulai bergerak di bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang, tenaga kerja yang cukup banyak juga semakin dibutuhkan. Pihak Belanda merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu, pengusaha perkebunan mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok (Lubis, 1995). Pada abad ke 19, dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli, orang Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan tanah Deli. Banyak pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang Tionghoa untuk menjadi penyalur bahan makanan dan bekerja sebagai kontraktor di perkebunan (Lubis, 1995). Pada akhirnya, Kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi. Kemudian, etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang meningkat ini mendatangkan isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara Tiongkok dengan kapal (pada saat itu transportasi kapal sudah ada). Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul di antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa sendiri. Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa (Lubis, 1999). Sikap eksklusif ini tidak lepas dari pengaruh yang juga diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejalan dengan dibukanya usaha perkebunan karet sepanjang jalur Medan-Labuhan Batu pada tahun 1870, pemerintah kolonial
23
Universitas Sumatera Utara
membuat blok-blok pemukiman terpisah menurut etnik. Sehingga terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, kampung Keling, serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa, sedangkan kaum Pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan (Tan, 2004 ). Pada perkembangannya, kota Medan dengan masyarakat heterogen menjadi
kota
yang
memiliki
pola
pemukiman
segretif.
Kota
Medan
memperlihatkan proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas baru. Setiap kelompok etnik mempergunakan norma, aturan serta ideologi tradisional daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnik. Setiap etnis mulai membentuk gaya hidup masing-masing dan bersikap eksklusif antara satu dengan yang lain (Lubis, 1999).
b. Sosial-ekonomi etnis Tionghoa di kota Medan Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data dari penelitian Lubis (1995), Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku, namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa (Lubis, 1999). Sebagian besar etnis Tionghoa yang berada di kota Medan berprofesi sebagai pedagang (Lubis, 1995). Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, maka untuk mereka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh penghasilan
24
Universitas Sumatera Utara
yang besar. Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan rata-rata berada di atas level menengah ke atas (Lubis, 1995). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suwardi Lubis (1999), bahwa etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan dan perdagangan umum serta distribusi. Etnis Tionghoa dianggap kelompok masyarakat lain sebagai kelompok yang memiliki banyak uang. Etnis Tionghoa di kota Medan tidak jarang dijadikan sasaran pemerasan oleh para preman setempat tempat mereka tinggal dan membuka usaha (Lubis, 1999). Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat tinggal di pusat kota atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di tempat usahanya yang cukup ramai dan dekat dengan keluarganya (Lubis, 1999). Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif kelompokkelompok etnik di kota berfungsi sebagai “kepompong” atau yang dimanfaatkan oleh mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman Cina (Chinese Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan sosial mereka. Dengan demikian suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di perkampungan etnik tersebut menguatkan kecendrungan segresi atau pemisah diri dari kelompok lain (Pelly dalam Lubis 1999). Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi (Lubis, 1999).
25
Universitas Sumatera Utara
Etnis Tionghoa di kota Medan masih dominan menganut agama Budha (sekitar 80%). Sedikit sekali dari mereka yang menganut agama Kristen, Hindu, maupun Islam. Namun, persoalan agama pada etnis Tionghoa di kota Medan perlu diberi catatan kritis. Umumnya masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan (ibukota Sumatera Utara) mencantumkan agama Budha di KTPnya, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka adalah penganut ajaran Kong Hu Cu. Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga (Manurung dan Lina, 2005). Hal ini juga diperkuat dengan data yang diperoleh dalam penelitian Lubis (1995) yang menyebutkan bahwa Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa. Dalam masyarakat etnik Tionghoa di kota Medan, ada peraturan tak tertulis bahwa mereka diharapkan untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Hal ini diperoleh dari wawancara yang dilakukan oleh Suwardi Lubis (1995), terhadap beberapa wanita etnis Tionghoa Hokkian di kota Medan. Dalam wawancara tersebut, tersirat jelas bahwa wanita etnis Tionghoa tidak mempunyai keinginan untuk menikah dengan etnis lain. Hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa suami dari etnis lain tidak akan memberikan kepuasan material (miskin). Apabila terjadi perkawinan antar etnis di luar etnis Tionghoa, maka wanita atau pria Tionghoa tersebut akan diasingkan dari pergaulan kehidupan keluarga mereka (Lubis, 1995).
26
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995) menyebutkan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan
hanya dominan pada motif
berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri. Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian (Lubis, 1995).
C. Etnis Pribumi Etnis Pribumi adalah kelompok etnis yang mempunyai daerah mereka sendiri (Suryadinata, 2003). Sanjatmiko (1999) membagi masyarakat Indonesia dalam dua golongan besar yaitu golongan etnis Pribumi dan etnis pendatang (Eropa, India, Cina). Menurut (Arief 1997) golongan Pribumi adalah golongan mayarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Hal senada diberikan oleh Issamudin (2002), yang menyatakan etnis Pribumi adalah warga negara Indonesia yang tidak berkulit putih, dan bukan merupakan golongan Timur asing atau golongan Eropa. Dari pengertian etnis Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan
27
Universitas Sumatera Utara
kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan. Dari pengertian etnis Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Propinsi Sumatera Utara tahun 2000, penduduk kota Medan terdiri dari : Tabel 1 Persentase Penduduk Kota Medan Tahun 2000
Catatan : -
Suku Persentase Melayu 6,59 Karo 4,10 Simalungun 0,69 Tapanuli/Toba 19,21 Mandailing 9,36 Pak-pak 0,34 Nias 0,69 Jawa 33,03 Minang 8,60 Cina 10,65 Aceh 2,78 Lainnya 3,95 Melayu mencakup semua suku Melayu di pulau Sumatera (Melayu Deli, Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Riau dll) Mandailing mencakup suku Mandailling dan Angkola Termasuk dalam suku Jawa adalah suku lain yang ada di pulau Jawa (Betawi, Banten, Sunda, Jawa dan Madura) Warga negara asing tercakup dalam lainnya
Berdasarkan tabel 1, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud etnis Pribumi di kota Medan adalah suku Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli, Mandailing, Jawa, Minang, dan Aceh. 28
Universitas Sumatera Utara
D Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan Dalam sejarah sosial Indonesia, etnis Tionghoa adalah etnik yang selalu menjadi sasaran olok-olok, prasangka, diskriminasi, dan kambing hitam atas berbagai kegagalan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Sismanto, 2007). Peristiwa-peristiwa ini tentunya akan menjadi pupuk subur dari generasi ke generasi etnis Tionghoa bahwa mereka adalah kaum minoritas yang terancam dan rapuh. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini akan berpotensi melahirkan prasangka. Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Brehm dan Kassim (1993) menambahkan bahwa Ancaman-ancaman yang datang terhadap kelompok etnik minoritas menyebabkan mereka memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan mereka juga lebih tertutup dalam pergaulan sosial. Budi Susetyo (1999) mengamati bahwa sebenarnya hubungan antara etnik Cina dan Pribumi sejak lama memang sudah tidak baik. Generasi-generasi berikutnya dari kedua kelompok ini kemudian mewarisi perasaan tidak sukanya melalui proses sosialisasi dalam kelompok dan mengalami penguatan lewat beberapa peristiwa yang dilihat ataupun dialaminya sendiri. Hal ini diperkuat oleh Baron dan Byrne (2000) yang menyatakan bahwa pengalaman masa lalu dan proses belajar merupakan salah satu sumber dari timbulnya prasangka. Menurut pandangan Social Learning, anak mendapat sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena belajar dari pandangan yang di
29
Universitas Sumatera Utara
ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan lainnya. Kemudian hal ini diperkuat dengan pemberian reward secara langsung (dengan pujian dan persetujuan) kepada anak karena meniru pandangan mereka (Baron dan Byrne 2000). Pengalaman etnis Tionghoa dalam berinteraksi dengan sebagian etnis Pribumi dan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia (terutama kejadian 1998), memperkuat prasangka yang ada. Prasangka yang ada pada etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi tampak dari stereotip-stereotip negatif tentang etnis Pribumi yang berkembang pada etnis Tionghoa. Orang Pribumi dikatakan sebagai pemalas, hidup hanya untuk mencari kesenangan, mau cari untung tanpa keluar keringat, bodoh, pemeras, dan seterusnya (Dahana dalam Susetyo, 1999). Begitu juga halnya yang terjadi pada etnis Tionghoa di kota Medan, seperti yang dikatakan oleh Jo (20) salah satu etnis Tionghoa totok di kota Medan, bahwa larangan untuk bergaul rapat dengan etnis Pribumi didapatkan banyak etnis Tionghoa di kota Medan dari orang tua mereka. Stereotip tentang etnis Pribumi yang didapat dari orangtua mereka mendapat pembenaran dari kejadian-kejadian tak menyenangkan yang mereka alami dengan beberapa etnis Pribumi (Komunikasi personal, Agustus 2007 ). Baron dan Byrne (1991) mengartikan stereotip sebagai suatu kepercayaan tentang anggota kelompok sosial tertentu berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu. Lebih lanjut, Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara prasangka dan stereotype. Prasangka dapat menimbulkan stereotip dan stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu.
30
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Hal ini menyebabkan terjadinya proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas. Setiap kelompok etnik membuat kampung baru dan mempergunakan norma, aturan, serta ideologi tradisional daerah asal masing-masing. Gaya hidup dan sikap eksklusif antara satu etnis dengan yang lain berkembang subur. Pola pemukiman kota Medan yang segretif menimbulkan hambatan psikologis bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi dengan etnis lainnya dan membuat prasangka yang dipupuk dari generasi ke generasi semakin subur (Lubis, 1999). Hal ini senada dengan pernyataan Brigham (1986) bahwa pada level kognitif membuat perbandingan ingroup (mereka) dan outgroup (kita) dapat meningkatkan prasangka. Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dapat timbul karena adanya rasa perbedaan antar kelompok Kategori ingroup (etnis Tionghoa) dan outgroup (etnis Pribumi) dan juga sebaliknya dapat dengan mudah terbentuk dalam kondisi masyarakat tersegresi seperti di kota Medan. Dampak yang terlihat dari penguatan rasa kesatuan etnis ini adalah kurangnya interaksi etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi. Etnis Tionghoa di kota Medan sebagian besar hidup, dan tumbuh dalam perkampungan Cina yang tersegresi. Mereka bersekolah dan hidup di lingkungan etnis Cina. Etnis Tionghoa di Medan lebih senang untuk menggunakan bahasa Cina dalam berkomunikasi (Manurung dan Lina, 2005). Interaksi etnik Tionghoa di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik
31
Universitas Sumatera Utara
Tionghoa. Etnis Tionghoa dikota Medan pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa (Lubis, 1995). Keengganan untuk berinteraksi rapat dengan etnis Pribumi pada sebagian etnis Tionghoa di kota Medan tampak dalam keseharian mereka. Interaksi etnik Cina di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik Cina. Mereka pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu, tetap saja dengan teman-teman sesama etnik Cina (Lubis, 1995). Penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995), juga mengatakan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri. Peranan norma dan lingkungan sangat mempengaruhi prasangka yang ada dan berkembang di kota Medan. Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2000) menyatakan bahwa norma sosial merupakan hal yang penting dalam pengekspresian prasangka. Di kota Medan, ada norma tak tertulis bahwa keluarga etnis Tionghoa mengharapkan anak mereka untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa yang menikahi etnis selain etnis Tionghoa akan diasingkan dari komunitas mereka (Lubis, 1999). Prasangka yang ada pada etnis Tionghoa di kota Medan tercermin dari penghindaran mereka untuk bergaul rapat dengan etnis Pribumi. Hal ini juga diperkuat dengan stereotip-stereotip yang mereka dapatkan dari orang tua dan
32
Universitas Sumatera Utara
lingkungan mereka tentang etnik Pribumi. Pemukiman etnis Tionghoa yang tersegresi dan eksklusif adalah salah satu faktor yang membuat prasangka yang ada berkembang subur.
33
Universitas Sumatera Utara