Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF EKOFEMINISME (ANALISIS KRITIS PARADIGMA TEORI PEMBANGUNAN DAN URGENSI PEMBANGUNAN PERSPEKTIF DEMOKRATIS KULTURIS DALAM UPAYA MENINGKATKAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Ema Khotimah* Abstrak Pembangunan yang dilaksanakan oleh negera-negara Dunia Ketiga secara paradigmatik telah banyak dikecam dan dikritisi oleh para peneliti di Negara-negara Selatan dan sejumlah Negara Timur. Mengapa? Pertama, karena pembangunan telah banyak menimbulkan dampak sosial, budaya, politik dan ekologis yang harus ditanggung oleh masyarakat yang dikenai pembangunan tersebut. Selain semua kebijakan pembangunan bersifat topdown juga atas nama pertumbuhan ekonomi telah mengabaikan aspek-aspek lainnya selain ekonomi dalam kehidupan masyarakat tersebut. Kedua, pembangunan menempatkan masyarakat terutama kaum perempuan sebagai objek pembangunan, misalnya jelas terlihat dalam kebijakan program Keluarga Berencana. Oleh karena secara paradigmatik teori pembangunan diadopsi sepenuhnya dari konsep pembangunan di negara-negara maju, dengan sendirinya indikator-indikator pembangunan pun menggunakan parameter negera-negara maju tersebut. Bahkan, saat pertumbuhan ekonomi dijadikan tulang punggung keberhasilan pembangunan, parktik pembangunan ini telah menggunakan kepercayaan pada ilmu ekonomi yang “bebas budaya” dengan sendirinya netral. Resiko yang ditanggung pembangunan dengan titik pandang ini sejak pembangunan dicanangkan hingga saat ini masih menyisakan persoalan yang rumit secara sosial, ekonomi, politik, budaya, dan ekologis. Perempuan di Indonesia misalnya, dengan populasi 49,9% (102.847.415) berdasarkan Sensus Penduduk 2000 dari total 206.264.595 *
Ema Khotimah, Dra, M.Si., adalah Dosen Tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba
Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
333
penduduk Indonesia masih menangggung marjinalisasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan akses secara politis. Padahal, salah satu tolok ukur Indeks Pembangunan Manusia yang ditetapkan oleh UNDP adalah indeks kesehatan dan pendidikan. Sehingga tidak mengherankan bila Indonesia dari 117 negara yang disurvey untuk Indeks Pembangunan Manusia ini menempati urutan ke 111. Kaum Ekofeminisme menuduh mengejar kemajuan pembangunan hanya menempatkan perempuan sebagai “korban” (objek) pembangunan ketimbang subjek yang ikut serta aktif berpartisipasi dalam proses pembangunan. Berangkat dari fakta tersebut, tulisan ini berusaha melakukan analisis kritis secara paradigmatis atas teori-teori pembangunan dan kedudukan perempuan dalam pembangunan dalam perspektif Ekofeminisme. Juga, menawarkan alternatif kerangka paradigmatik teori pembangunan yang sensitif gender dan berbasis budaya yang selama ini diabaikan dalam paradigma pembangunan lama. Karena rendahnya kualitas perempuan dalam akses pendidikan , kesehatan dan politik di Indonesia juga menjadi penyebab rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Kata Kunci: Pembangunan, ekofeminisme, Indeks Prestasi Manusia (IPM). 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indonesia kerapkali dikejutkan oleh laporan badan dunia UNDP (United Nations Development Programs) yang mengumumkan urutan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) sejumlah Negara di dunia. Persoalannya setiap kali laporan badan dunia tersebut dikeluarkan posisi SDM Indonesia semakin menurun. Lembaga ini bukan hanya telah meyakinkan strata kualitas suatu bangsa tetapi juga telah melahirkan penghampiran baru dalam mengukur keberhasilan pembangunan suatu bangsa dengan sebutan human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM). Sebelum tahun 2000, laporan-laporan UNDP mengenai kesejahteraan (pembangunan manusia) diuntai dalam perspektif “tingkat pengurangan kemiskinan” atau tingkat keberhasilan pembangunan manusia. Namun pada tahun-tahun 2000-an, sekurangnya pada laporan tahun 2001 dan 2004 laporan UNDP mengenai pembangunan manusia juga memasuki, indikator
334
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
lain, yaitu perspektif demokrasi. Terlepas dari ukuran-ukuran yang serba kuantitatif dalam IPM tersebut, Indonesia tahun 2004 hanya mampu menempati urutan ke 111 dari 177 negara yang diperingkat oleh lembaga yang bernaung pada PBB tersebut. Pada tahun 2002, Indonesia berada pada rangking ke-110 setelah Vietnam (109)dari sebanyak 173 negara yang dinilai. Sedangkan tahun 2003, Indonesia menempati peringkat 112, karena merosotnya kualitas hidup warga Negara Indonesia pada angka 0,002 berdasarkan skala yang ditentukan UNDP. Indeks pembangunan manusia (IPM) terdiri atas tiga komposit, yakni indeks harapan hidup (life expectancy index) atau indeks kesehatan, indeks pendidikan (education index), dan indeks daya beli (GDP index). Komposit indeks pendidikan terdiri atas indeks rata-rata lama sekolah (RLS) dan melek huruf (adult literacy rate). Rata-rata lama sekolah dihitung melalui komponen partisipasi sekolah tingkat (kelas) yang sedang (pernah) dijalani, dan jenjang pendidikan, yang ditamatkan. Prestasi dunia pendidikan di Indonesia memprihatinkan karena tertinggal jauh dibawah Negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang dan Malaysia. Bahkan jika dilihat dari indeks sumber daya manusia dari tahun ke tahun peringkat dunia pendidikan di Indonesia semakin menurun. Indikator rendahnya mutu pendidikan di Indonesia mengacu pada skala Internasional menurut laporan Bank Dunia adalah prestasi siswa sebagaimana dirilis RIAU POS Studi IEA (International Association for Evaluation A chievement) menyatkan bahwa keterampilan membaca kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30 persen dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. (Muslim, 2006:1) Belum lagi, berbicara tentang indeks harapan hidup (life expectancy index) atau indeks kesehatan, kasus kelaparan di Papua, dan maraknya kasus balita yang menderita gizi buruk. Di Provinsi Jawa Barat saja masih menjadi masalah sosial dan kesehatan. Tahun 2005, hampir satu persen balita dinyatakan mengidap gizi buruk. Relative tingginya kasus gizi buruk di provinsi ini berkorelasi dengan tingkat kemiskinan (KOMPAS, 19 Agustus 2006;F)
Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
335
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, saat ini di Jabar terdapat 2,9 juta rumah tangga miskin. Sementara itu, angka kemiskinan di Indonesia sendiri masih berkisar antara 16% sanpai 23,4%. Meski Tim Indonesia Bangkit memperkirakan angka tersebut mengalami kenaikan pasca kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 lalu. Bagi kaum perempuan, menurut menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, kemiskinan menjadi beban tambahan, karena ia tidak saja harus menjaga dirinya tetapi juga harus menjaga kelanjutan hidup anak dan keluarganya (2006:1). Penyebab kemiskinan terutama di kalangan perempuan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, sosial dan Budaya. “Secara kultural sebagian masyarakat masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya patriarki yang menimbulkan ketimpangan struktur sehingga perempuan menjadi terbatas untuk memperoleh pendidikan, akses ekonomi dan berorganinasi”. (Hatta, 2006:1) Ditambahkan oleh Hatta, bahwa hasil data BPS tahun 2004 memperlihatkan bahwa jumlah perempuan usia sekolah yang memperoleh pendidikan lanjutan tingkat atas lebih kecil dibandingkan rekan laki-laki sebayanya. Dalam banyak kasus, anak perempuan terpaksa tidak bersekolah untuk mengurangi biaya pendidikan. Sebenarnya, estimasi rendahnya posisi pendidikan kaum perempuan sejak tahun 1985 sudah banyak ditulis para ahli dalam bidang pendidikan. Salah satunya yang ditulis oleh Santoso S. Hamijoyo, Data SUPAS 1985 antara lain menunjukkan bahwa lebih banyak wanita yang berpendidikan di bawah SD 6 tahun (62,7% dari populasi wanita) di bandingkan dengan kaum lelaki (50,6% dari populasi lelaki). Wanita yang berpendidikan di atas SMTA (Diploma, Akademi, P.T.) hanya 0,45%, sedangkan lelaki 1,11%. Penduduk yang masih buta huruf ada sekitar 22 juta orang tua 19,07%. Namun diantara penduduk wanita tercatat ada 25,72% yang buta huruf dibandingkan lelaki 12,22% (dihitung dari masing-masing populasi) antara 1985 dan 1990 tentang akan terjadi perubahan atau perbaikan, tetapi usaha lima tahun tidak akan merubah situasi taraf pendidikan tersebut secara radikal (1990:33). Ternyata perubahan yang radikal dalam belum juga dilakukan, sebab data terbaru BPS 2004 masih menggambarkan perempuan masih menempati posisi rendah dalam memperoleh akses pendidikan. Padahal, menurut analisa
336
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
Bank Dunia pada Negara-negara berpendapatan menengah sebesar satu persen saja, telah dapat meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 0,3 persen, ini berarti investasi pada sumber daya. Manusia itu demikian penting dalam menunjang terciptanya indikator-indikator peningkatan hasil-hasil pembangunan. Kenyataan ini, meunjukkan betapa perempuan dalam kancah “pembangunan” masih termarjinalkan, perempuan bahkan telah banyak menjadi korban bagi sebuah arena yang dinamai “pembangunan”. 1.2 Perumusan Masalah 1. Bagaimana posisi perempuan dalam konteks paradigma Pembangunan Klasik ? 2. Bagaimana posisi perempuan dalam pembangunan perspektif demokratis dan kulturis. 1.3 Tujuan dan Manfaat Tulisan Tulisan ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis kritis posisi perempuan dan pembangunan dalam perspektif paradigma klasik yang telah dilaksanakan Negara-negara Dunia ketiga termasuk Indonesia. 2. Menganalisis kritis urgensi peluang pemberdayaan perempuan dalam kerangka pembangunan berperspektif demokratis dan kulturis dengan harapan dapat menunjang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak berikut ini : 1. Menumbuhkan riset-riset dalam memotret perempuan dalam perspektif pembangunan yang telah dilaksanakan di Indonesia 2. Memberi input bagi pemerintah daerah maupun pusat dalam menetapkan kebijakan pembangunan yang sensitif gender. Juga menstimulasi Perguruan Tinggi agar mengembangkan aspek paradigmatic baru dalam menelaah pembangunan melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
337
2 Tinjauan Pustaka 2.1 Persoalan Paradigmatik teori-teori Pembangunan Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma pertama menganut dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsinya masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalisme demokrasi Barat.(dalam Susanto, 2003 : 1) Sedangkan Habermas membagi paradigma ilmu-ilmu sosial ke dalam tiga bagian yang tergolong kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial. Kedua, paradigma interpretif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetap bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritis. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau
338
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt. (Susanto, 2003 : 1-2) Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritis, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial. Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma interpretif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inheren dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
339
“realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial. Di dalam khazanah ilmu-ilmu sosial di Indonesia sendiri, sampai 1980-an, dikuasai oleh teori modernisasi. Selama lebih dari tiga dekade itu, teori modernisasi – yakni teori yang mengatakan bahwa kemiskinan suatu negara berpangkal pada persoalan internal negara bersangkutan, sehingga solusinya adalah memodernkan negara tersebut – menjadi pilihan utama untuk menjelaskan dan menyelenggarakan pembangunan negara. Sebagian besar kaum terdidik yang berperan dalam wacana pembangunan di Indonesia adalah para lulusan Barat yang berkiblat pada paradigma modernisasi. Dunia ilmu sosial Indonesia tiba-tiba tersentak oleh uraian Arief Budiman tentang “teori struktural,” sebagai alternatif terhadap paradigma modernisasi. Menurutnya, asumsi dasar teori modernisasi bahwa kemiskinan bersumber pada faktor-faktor internal suatu negara itu keliru. Sesungguhnya, kekuatan-kekuatan luar telah menyebabkan suatu negara gagal menjalankan pembangunannya. Dalam sebuah wawancara di jurnal Prisma (Juni 1983), Arief mengatakan bahwa ilmu sosial di Indonesia bersifat ahistoris, karena ia mengabaikan konteks kesejarahan. Para ilmuwan sosial kita cenderung mengimpor begitu saja teori-teori sosial dari Barat tanpa mempertanyakan keabsahannya, terutama ketika diterapkan dalam konteks lokal. Padahal, kata Arief Budiman, “ilmu-ilmu sosial tidak bebas nilai” dan “ilmu sosial itu sebenarnya merupakan satu ideologi imperialisme ekonomi.” (Budiman, 2006 : 1) Arief beranggapan bahwa upaya pemberantasan kemiskinan dan pembangunan negara di Dunia Ketiga tidak akan berhasil jika struktur hubungan antara negara-negara maju (Barat) dan negara-negara miskin tidak diubah. Sebab, struktur hubungan itu tidaklah sejajar, karena negara-negara maju cenderung bersifat hegemonik dan eksploitatif terhadap mitra-mitranya yang lebih lemah. Dalam berbagai tulisannya di beberapa harian nasional maupun jurnal Prisma, Arief menggunakan teori struktural untuk menjelaskan berbagai kegagagalan pembangunan yang dijalankan pemerintahan Soeharto. Bersamaan dengan itu, ia gigih mengampanyekan perlunya bersikap kritis akan peran ilmu-ilmu sosial. Kampanye ini mendapat tanggapan dari para sarjana dan intelektual terkemuka. Jika wacana ilmu sosial Indonesia kemudian terasa amat “kiri” (dalam arti bersikap tajam terhadap teori
340
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
modernisasi yang biasanya dianggap berada di “kanan”), maka orang yang paling bertanggung jawab adalah Arief Budiman. Untuk mengokohkan pandangannya, Arief menerbitkan beberapa buku, yang mempermudah pembaca Indonesia memahami perdebatan seputar pembangunan negara. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi (1997) merupakan bukunya yang jernih berbicara tentang teori negara. Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995) dan Negara dan Pembangunan (1991) adalah karya-karya lain yang mendiskusikan isu-isu fundamental tentang negara dan pembangunan. Ia ingin menekankan bahwa teori alternatif sudah saatnya mendapat perhatian lebih besar dalam khazanah ilmu sosial di Indonesia. Salah satu penjelasan favorit Arief adalah teori ketergantungan, yang merupakan varian dari teori struktural. Kendati berinduk pada teori struktural yang sangat Marxis, teori ketergantungan sebetulnya merupakan gabungan antara pandangan liberal dan sosialis. Inti teori ketergantungan adalah bahwa sebab utama kemiskinan dan kegagalan pembangunan di Dunia Ketiga bukanlah keterlambatan dalam melakukan modernisasi, tapi campur tangan negara-negara kapitalis yang menghalangi perkembangan negara-negara itu. Pada dasarnya negara-negara Dunia Ketiga (yang biasa disebut “negara-negara pinggiran” dalam kapitalisme internasional) memiliki dinamika yang berbeda dari negara-negara Barat. Karena keunikan ini, maka pendekatan yang dipakai juga harus berbeda. Ketergantungan yang berlebihan terhadap negara-negara maju adalah faktor utama mengapa negara-negara pinggiran sulit berkembang. Pola hubungan yang tidak setara menciptakan kesenjangan yang terus melebar antara negara-negera kapitalis dan negara-negara miskin. Solusinya adalah memberikan kebebasan bagi negara-negara pinggiran itu untuk mengembangkan dirinya dengan melihat konteks budaya dan kesejarahannya sendiri. Menurut Johan Galtung “Disiplin teoritis yang disebut ‘studi pembangunan’, dan bidang kebijakan yang disebut ‘praktik pembangunan’ adalah sebuah bidang yang selalu diperdebatkan dengan sengit” (2003:281). Mengapa demikian? Bidang teoritis ini lanjut Galtung dipenuhi bom-bom intelektual, bidang praktis yang didalamnya memuat terorisme anti-negara dan alat-alat penyiksa dari penyiksaan Negara. Hal ini disebabkan pembangunan telah menciptakan Negara-negara yang kaya dan kuat, menciptakan elite-elite yang kaya dan kuat, dan menciptakan umat manusia, Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
341
rakyat yang kuat atau setidaknya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Jika pembangunan cenderung menumbuhkan kekerasan struktural dan kultural, maka dalam studinya tentang perdamaian, Galtung mengemukakan tesis yang memfokuskan diri pada pengurangan kekerasan strukturan dan kultural. Oleh karena itu berkenaan dengan studi pembangunan, Galtung mengemukakan 15 tesisnya dalam menelaah studi pembangunan versus studi perdamaian. Pertama: Pembangunan adalah peningkatan merealisasikan kode atau kosmologi budaya itu.
sebuah
budaya;
Kedua: Pembangunan adalah pemuasan progresif kebutuhankebutuhan alam manusia dan non-manusia, yang dimulai dengan mereka yang paling membutuhkan. Tabel 1.1 Kebutuhan Manusia dan Pemuas-pemuas lain Kebutuhan Dasar Manusia Pemuas-pemuas Integritas tubuh manusia Perlindungan manusia Input Udara (bersih), air, nutrisi Air, Air, makanan Input rangsangan (menyenangkan), visual, Lingkungan auditif, penciuman Menyenangkan Output produk Buargon, pembuangan Kakus, dll. Suhu, kelembaban, kontrol argin Pakaian, Perlindungan Tidur, Istirahat Ketenangan Gerakan Ruang Seks Privasi Reproduksi Semua hal diatas Ketiga: Pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi tanpa mengorbankan siapapun. Keempat: Kata benda ‘pembangunan’ hanya dapat dipahami dalam bentuk jamak sebagai pembangunan-pembangunan, bukan dalam bentuk tunggal. Kelima: Kata kerja ‘membangun’ hanya dapat dipahami sebagai kata kerja intransitive atau reflektif atau timbal-balik, bukan sebagai kata kerja transitif
342
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
Keenam: Peradaban Barat memahami dirinya sendiri sebagai peradaban universal, dan menguniversalisasikan sejarahnya sebagai sejarah pembangunan bagi pihak lain, yang berarti bahwa: A. Pembangunan=pembangunan Barat = Modernisasi dan B. Pembangunan=Pertumbuhan=pertumbuhan GNP
ekonomi=pertumbuhan
Ketujuh: Syarat utama bagi pertumbuhan ekonomi adalah kerja keras, menabung/investasi, tamak, dan ketidakpedulian. Kedelapan: Pembawa utama ketidak pedulian adalah pria, Protestan dan Ekonomi, khususnya jika digabungkan. Kesembilan: Ada dua daerah pertumbuhan ekonomi utama di dunia Barat laut yang beragama Yahudi-Kristen (YK) dan Tenggara yang beragama Budha-Konficius (BK). Kesepuluh: Seluruh dunia untuk sementara ini benda dalam status pinggiran dalam sistem pertumbuhan ekonomi dunia. Kesebelas: Bantuan pembangunan merupakan keturunan sah dari ayah imperialis Barat dan ibu misionaris kristen, dan sang anak membawa kode keduanya. Keduabelas: Bantuan pembangunan merupakan pasar internasional yang sangat kompetitif di mana negara donor dan negara penerima proyek di bawah berbagai slogan (pra-investasi infrastruktur, biaya transaksi, pembangunan masyarakat, partisipasi, pengganti impor, pengganti ekspor, kebutuhan dasar, untuk negara-negara termiskin, untuk rakyat termiskin dari negara-negara termiskin untuk wanita, untuk wanita-wanita termiskin di pedesaan, untuk lingkungan hidup, untuk pembangunan berkelanjutan) guna meningkatkan bagian mereka dan apa yang ditawarkan dan diterima. Ketigabelas: Bantuan pembangunan dapat mengambil bentuk menghilangkan rintangan struktural besar, struktur pusat-pinggir, dan menempatkan tuntutan yang menantang dengan pinggir. Keempatbelas: Syarat yang diperlukan bagi bantuan pembangunan adalah timbal balik, saya bantu anda, anda bantu saya. Kelimabelas: Penyedia terbaik bantuan pembangunan mungkin adalah organisasi-organisasi rakyat suka rela yang terlibat dalam dialog rakyatPembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
343
rakyat dan bukan ahli-ahli, dengan memberikan bantuan yang lebih dekat dengan kebutuhan dasar, dan siap untuk menerima timbalbalik yang sangat membantu adalah organisasi-organisasi sukarela wanita. 2.2 Teori pembangunan Demokratik Terhadap teori-teori yang telah menciptakan krisis kemanusiaan, dan alienasi, Soedjatmoko mengajukan teori pembangunan demokratik. Dalam kerangka pemikirannya, Soedjatmoko ingin keluar dari teori-teori pertumbuhan yang berwatak konvensional di satu sisi dan teori-teori struktural yang berwatak revolusioner di sisi lain. Dalam kerangka ini, ”pembangunan dapat dilihat sebagai kemauan subjek/suatu bangsa untuk mencapai martabatnya. Di sini martabat itu tidak dengan sendirinya akan terjamin oleh pertumbuhan ekonomi. Maka terhadap teori-teori yang menjagokan investasi produktif sebagi esensi pertumbuhan ekonomi, Soedjatmoko mengajukan antitesis teori pembangunan ekonomi sebagai pengerahan (dalan Ibrahim, 2004:96) Teori pembangunan demokratik ini menurut Soedjatmoko harus memiliki kemampuan analitik dan menjelaskan agar kita dapat lebih memahami hubungan antara perubahan dan pembangunan. Dalam kontek aktual Soedjatmoko mengajukan, beberapa premis yang dapat membantu memahami proses perubahan dan menerangi pilihan-pilihan yang muncul dihadapan kita dalam kerangka nilai-nilai dasar umat manusia. Sejumlah premis yang mendukung teori demokratik ini antara lain : Pertama, ia harus didasarkan atas premis bahwa ada batas kemampuan setiap sistem politik untuk mengatur dan mendamaikan konflik dan data adalah penting mengidentifikasikannya, meskipun batas-batas ini bukan tanpa perubahan. Dalam pandangan Soedjatmoko, hal tersebut merupakan fungsi dari sejumlah faktor, termasuk diperolehnya informasi, adanya komunikasi, ambang toleransi-ketakutan, maupun pengaruh dan manipulasi dari luar secara historis dan geopolitik, yang semuanya berbeda-beda bagi masyarakat. Kedua, ia harus mempunyai makna operasional dalam pengertian memberikan pegangan-pegangan konseptual tentang masalah-masalah perubahan struktural sedemikian rupa sehingga masyarakat tetap langgeng dan efektif di tingkat kursi yang terendah.
344
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
Ketiga, premis bahwa kebebasan manusiawi ditentukan oleh cara dimana tuntutan perubahan yang bertikai, stabilitas dan keadilan berada dalam keseimbangan dan bahwa politik yang moderat di dalam proses perubahan, struktural hanya mungkin bila kemampuan suatu sistem politik untuk menghasilkan penyesuaian secara sukarela, bisa ditingkatkan (Soedjatmoko dalam Ibrahim, 2004:97) Soedjatmoko mengajukan adanya transformasi (perubahan) struktural berupa : 1. memperbaiki ketidakseimbangan antara sektor perkotaan dan sektor pedesaan; 2. penghapusan kemiskinan absolut menuntut realokasi sumber-sumber secara masif; 3. pengarahan kembali pertumbuhan industri untuk memenuhi kebutuhan mayoritas, dan mengurangi dari kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari luar. Pentingnya kerangka paradigmatik yang mampu mengatasi berbagai ketimpangan praktik pembangunan yang selama ini dilakukan.. Sependapat dengan ini adalah Dorodjatun Kuntjoro Jakti, adalah makin banyaknya teori ekonomi pembangunan yang muncul, baik dari kalangan pemikir di kubu kapitalis maupun sosialis, yang ternyata meskipun semakin berusaha untuk sekrouprehensif dan seaktual mungkin, tetapi ternyata kalau dikaji makin tidak meperjelas penggambaran situasi yang dihadapi (1985:317). Menurut Kuntjoro Jakti, teori tersebut juga memberikan rekomendasi yang saling bertentangan atau menimbulkan masalah trade-off yang sulit, atau bahkan bersifat tautologis. Rekomendasi-rekomendasi dari para teoritis itu juga berarti penerapan sejumlah paradigma negara-negara sudah maju kepada negara Dunia Ketiga. Bahkan, menurutnya rekomendasi-rekomendasi cenderung bersifat normatif, meskipun cocok secara ideologis atau politis, tapi sifatnya terlalu idealis sehingga tidak praktis; ”menuntut penyelesaian permasalahan pembangunan dalam skala yang terlalu komprehensif, atau terlalu bersifat radikal (dalam Jakti, 1985:317). 2.3 Ekofeminisme Banyak orang menginterpretasikan berakhirnya konfrontasi TimurBarat bukan hanya sebagai akhir impian kaum sosialis dan utopis tetapi juga seluruh ideologi universal yang berdasarkan pada konsep universal umat Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
345
manusia dan hubungannya dengan alam dan umat manusia lainnya. Ideologi ini telah di”dekonstruksi” sebagai Eropa Sentris, Egosentris dan menurut beberapa kaum feminist-Androsentris, dan Materialistis. (Mies dan Shiva, 2005:12) Akhir dari ideologi ini diproklamasikan oleh pemikir postmo, orang yang berpendapat bahwa universalisasi modern – proyek pencerahan Eropa telah gagal kemudian sejumlah kalangan enviromentalist dan developmentalist yang berpendapat bahwa penekanan pada perkembangan materi dan perkembangan ekonomi dan usaha untuk menyamai model Barat dalam masyarakat industri, telah gagal memahami sumbangan kebudayaan masyarakat non-Eropa yang memberikan penekanan cukup signifikan. Lebih-lebih menurut Mies dan Shiva, ”mereka menekankan bahwa pembagian dualistik antara ekonomi dan kebudayaan, (atau dalam terminologi. Marxis dikenal dengan basis dan suprastruktur) tidak tepat ditempatkan pada masyarakat yang sangat terbelakang” (2005:12). Mereka selanjutnya mengkritik paradigma pembangunan Barat yang ada yaitu strategi modernisasi yang mengakibatkan hancurnya kebudayaan, dan juga keanekaragaman biologi. Berangkat dari argumen-argumen inilah kaum ekofeminisme, perdamaian dan ekologi kendati istilah ini pertama kali digunakan oleh Francoise D’Eaubanne, namun menjadi populer dalam kaitannya dengan gerakan protes dan aktivis menentang perusakan lingkungan hidup yang dipicu oleh bencana ekologis. Ekofeminisme banyak mengkritik paradigma pembangunan Barat, mereka menolak proses homogenisasi yang dihasilkan oleh pasar dunia dan proses produksi kapitalis. Ekofeminisme selanjutnya mengkritik pembagian yang berdasarkan pada dualisme antara suprastruktur atau kebudayaan dan ekonomi atau basis. Dalam pandangan ekofeminisme, perlindungan terhadap bentuk kehidupan dimuka bumi yang berbeda-beda dan kebudayaan masyarakat manusia merupakan prasyarat untuk mempertahankan hidup di planet ini. Menurut Megawangi, ”perspektif ekofeminisme timbul karena ketidak puasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok (dalam Sunarto, 2000:66). Salah satu kritikan pedas ekofeminisme adalah pada gerakan-gerakan feminisme modern terutama feminisme liberal, dan feminisme sosialis/marxisme. Berbeda dari teori-teori feminisme modern yang berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkunganya dan
346
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, maka teori ekofeminisme memiliki titik berdiri yang berbeda, aliran ini memandang individu secara lebih komprehensif sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. 3 Pembahasan 3.1 Posisi Perempuan dalam Paradigma Pembangunan lama Penduduk perempuan yang jumlahnya 49,9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi perempuan dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan kurang berperannya kaum perempuan akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Kenyataannya, dalam berbagai praktekpembangunan perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. Sebagimana dikritisi oleh Johan Galtung dan kaum ekofeminisme atas pemaksaan indikator-indikator pembangunan di negara-negara maju kepada dunia ketiga, maka yang terjadi akibat penerapan pembangunan paradigma tersebut adalah ketidak adilan gender. Awalnya, pembangunan yang dilaksanakan, pemerintah merupakan pembangunan yang ”buta gender” yang menghasilkan kesenjangan gender dan merugikan kaum perempuan. Kemudian tahun 1975 pemerintah berusaha memperbaiki kehidupan perempuan melalui pendekatan perempuan dalam pembangunan (Women in Development / WID) melalui: Menteri Muda Urusan Peranan Wanita Tahun 1978. Namun, sampai saat ini ketimpangan gender dalam arus utama pembangunan masih berlangsung. Hal ini terbukti : Dalam laporan pembangunan Manusia Indonesia 2004 yang bertajuk, ”The Economic of Democracy: Financing Human Development in Indonesia” menekankan perlunya Indonesia memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi pada upaya Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
347
pembangunan manusia dan ”bagaimana pembiayaannya. Dalam laporan tersebut juga menyebutkan posisi perempuan dibidang pendidikan dan kesehatan tidak terlalu menggembirakan. Partisipasi dalam angkatan kerja dibidang non pertanian kembali menurun menjadi 28 persen tahun 2002 dan 38 persen tahun 1998. Dari 3,9 juta pegawai negeri sipil (PNS), 38 persen diantaranya perempuan, namun 1,8 juta adalah staf biasa, dan hanya sekitar 160.000 menduduki posisi yang ”lebih tinggi”. Sebagian besar perempuan bekerja sebagai guru dan perawat. Pada tahun 2003 hanya 45 perempuan dari 462 anggota DPR. Menurut Agus Wariyanto: ”pembangunan manusia tak akan adil, berkesinambungan dan holistik, manakala pembangunan tadi tak mengenai dan mepersoalkan kesenjangan relasi gender dan kebutuhan serta permasalahan perempuan dan laki-laki (2003:2). Ima bentuk ketidakadilan gender yang lazim diteriui dalam praktek pembangunan di Indonesia” adalah : 1. Marjinalisasi (peminggiran ekonomi): banyak bentuk peminggiran ekonomi perempuan, salah satu yang paling nyata adalah lemahnya peluang perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi, seperti tanah, kredit dan pasar 2. Subordinasi (penomorduaan) perempuan, sehingga tak mempunyai peluang untuk mengambil keputusan yang menyangkut dirinya 3. Beban kerja berlebihan: perempuan memiliki tiga peran (triple role), yakni produktif, reproduktif, dan memelihara masyarakat yang lebih dominan sementara peran politik dalam masyarakat lebih dominan lakilaki 4. Cap-cap (Stereotip) negatif perempuan sering digambarkan emosional, lemah, tak mampu memimpin, tak rasional, sering dilontarkan dari kecil hingga dewasa. Perempuan selama ini masih sering ditempatkan pada posisi domestik. Sebuah peran stereotipe dalam aspek kehidupan seperti hanya mitos perempuan identik dengan tempat tidur, sumur, dan tempat memasak atau dapur 5. Kekerasan berbasis gender, meliputi perkosaan, serangan fisik, penyiksaan, pelacuran, pornografi, pemaksaan, pelecehan seksual, dan sebagainya (Wariyanto, 2003:2)
348
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
Sejauh ini, kita telah menyaksikan dampak-dampak ekologis dari strategi mengejar pembangunan di negara-negara berkembang. Bagi kaum perempuan yang hidup di negara-negara, Industri maju, mengejar pembangunan berarti hubungan laki-laki perempuan yang patriarkal akan dihapus dan diganti dengan kebijakan kesetaraan gender. Dilanjutkan penghapusan diskriminasi dalam bidang politik dan lapangan kerja.harapan srupa diipikan oleh kaum perempuan negara-negara Dunia Ketiga saat roda pembangunan dijalankan. Namun yang kerap dialami perempuan diwilayah ini adalah telah menjalani kolonisasi, pemiskinan, penggusuran (peminggiran) kekerasan struktural maupun kultural, menjadi kelinci percobaan, lebih menjadi objek ketimbang subjek dalam pola konsumsi. Vandara Shira dan Maria Mies pegiat ekofeminisme mengemukakan kasus di India. Pada tahun 1951, dengan rencana Pembangunan lima tahunnya yang pertama, India merupakan negara pertama yang menyusun sebuah Kebijakan Nasional Pengendalian Penduduk. Bercirikan ’top down’, kebijakan tersebut direncanakan, dibiayai dan diawasi secara terpusat, untuk dilakukan ditingkat pusat hingga lokal. Diaraskan, disusun dan dirancang oleh agenagen eksternal, kebijakan tersebut diimplementasikan oleh pemerintah India dan para pejabatnya. Rencana ini tidak memerlukan laporan evaluasi jangka menengah Planning Commission untuk menilai kegagalan kebijakan pengendalian penduduk, seperti yang terjkadi pada statistik yang tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk. Setelah kesalahan kampanye sterilisasi yang bersifat memaksa selama Masa Darurat (1975-1977) tema program irubah dari ’keluarga berencana’ menjadi ’kesejahteraan keluarga’, namun strategistrategi dan pendekatannya dalam menghargai perempuan tetap tidak berubah. Perempuan dipandang tolol, buta huruf dan bodoh, hanya menginginkan kelahiran anak-anak menghambat kesuburan mereka jelas sangat dibutuhkan. Bagi mereka yang terjun dibidang perawatan kesehatan, kebijakan pengendalian jumlah penduduk India merupakan malapetaka ganda: pertama, karena mereka gagal memahami dan melayani kebutuhan kontrasepsi perempuan; dan kedua, karena mereka meminggirkan dan memundurkan seluruh kerja perawatan kesehatan lainnya. Bagimana dengan Indonesia? kasus serupa tentu saja terjadi, saat paradigma pembangunan yang sama coba diterapkan. Program Keluarga Berencana adalah contoh kasus betapa perempuan menjadi subordinat dan Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
349
telah dimarjinalkan dalam pembangunan. Atas nama ledakan penduduk dan upaya mengurangi kemiskinan dengan slogan keluarga kecil adalah keluarga bahagia dan sejahtera telah memaksa perempuan menjadi objek program tersebut. Di Indonesia dan India misalnya, perempuan melalui program Keluarga Berencana telah mengalami kekerasan fisik juga kekerasan struktural. Bahkan, dalam beberapa kasus penerapan alat kontrasepsi secara massal perempuan diperlakukan tidak manusiawi. Seperti digambarkan oleh Shiva dan Mies : Selama rentang waktu tersebut banyak perempuan yang benar-benar menderita sakit, tetapi bukan lantaran kesuburan mereka; mereka jatuh sakit karena mempertahankan kesuburan dengan memakai kontrasepsi. Telah diketahui, bahwa kemandulan yang banyak dikeluhkan perempuan dewasa ini merupakan bagian dari hasil metode kontrasepsi yang merusak, contohnya, Dalkon Shield dan berbagai pemakai IUD lainnya dan pengobatan dokter tapa perasaan ( 2005 : 216). Strategi program memerangi kesuburan perempuan di negara-negara Dunia Ketiga juga telah mengabaikan efek jangka panjang terhadap kesehatan perempuan. Perempuan miskin tidak diperlakukan sebagai manusia namun hanya sebatas entitas angka statistik kependudukan di dalam pembangunan. Di beberapa negara yang sedang membangun seperti Indonesia, pemerintah telah menjadi agen-agen bagi negara donatur untuk melakukan pengawasan terhadap jumlah penduduk. Dalam hal ini, pemerintah telah menjalankan berbagai kebijakan guna memenuhi target tersebut melalui petugas-petugas lapangan yang siap memaksa perempuan untuk bersedia dipasangkan IUD, sterilisasi dan lain sebagainya. Perempuan di Dunia Ketiga juga telah menjadi apa yang disebut Shiva dan Mies sebagai ”kelinci percobaan” oleh industri obat-obatan multinasional dalam melanggengkan dominasi ekonomi mereka melalui proyek pembatasan jumlah kelahiran di berbagai belahan negara Dunia Ketiga. 3.2 Posisi Perempuan dalam pembangunan perspektif Demokratis dan kuturis. Sejatinya, seperti dikembangkan Vinod Thomas (dkk), pembangunan berkaitan dengan perbaikan kualitas hidup rakyat, memperluas kemampuan mereka untuk membentuk masa depan mereka sendiri (2001:xxx). Pembangunan juga dalam manuskrip World Bank disebutkan: kesempatan kerja, gender, kesehatan dan nutrisi yang lebih baik, lingkungan alam yang
350
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
lebih bersih dan lestari, keadilan dalam sistem hukum, kebebasan politik dan sipil, serta kehidupan kultural yang lebih kaya. Namun kerangka yang direkomendasikan negara-negara yang mengusung paradigma tersebut terlampau normatif bahkan idealistis. Bahkan, kerapkali dengan berbekal keyakinan yang diusung ilmu ekonomi yang ”bebas budaya dan karenanya netral” (Galtung, 2003:283), menjadikan pembangunan dilakukan dengan mengorbankan siapapun atas nama pertumbuhan ekonomi. Dminasi akan tuntutan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan terbengkalainya aspek-aspek lain dalam proses pembangunan. Misalnya fkus pembangunan ekonomi telah banyak merusak ekosistem, ”munculnya perekonomian internasional yang berkembang pesat sekarang ini telah memberikan kemungkinan bagi perpindahan kelangkaan sumberdaya dari satu negara ke negara lain, semacam teori domino untuk gangguan dan kerusakan ekologi (Brown, 1987:8). Packrd Winklor membedakan cara memandang hubungan antara kebudayaan dan pembangunan salah satunya bahwa ”kegiatan pembangunan harus disesuaikan dalam konteks kebudayaan” (Pronk, 1993:287) untuk menjawab berbagai dampak negatif pembangunan. Bahkan pada level yang lebih jauh kegiatan pembangunan dicangkokan pada konteks kebudayaan dengan hasil keduanya menjadi lebih kuat. Kiranya perlu dikaji pembangunan Nasional yang dilaksanakan dengan pendekatan Integratif, demokratis sekaligus kulturis. ”Pemikiran pendekatan kebudayaan timbul dari pengamat bahwa dalam perubahan sisial yang cepat brbagai aspek-sektor kehidupan tidak berjalan seimbang” (Pasaribu dan Simanjuntak, 1986:184). Dalam juangka panjang keadaan ini apabila dibiarkan akan menimbulkan disorganisasi sosial bahan disintegrasi kultural. Pendekatan kultural dan demokrasi dalam pembangunan diharapkan dapat memberikan langkah-langkah solutif atas permasalahan pembangunan. Jika pendekatan kulturismenyediakan langkah-langkah proses inkulturasi hingga asimilasi terma-terma pembangunan dalam konteks budaya masyarakat, maka perspektif pembangunan demokratik akan memberikan akses keadilan, keseimbangan dan menjauhkan pada upaya pembangunan masyarakat yang lebih humanis. Mengapa? sebab pembangunan yang selama ini bersifat fisik (melalui ukuran-ukuran ekonomi telah melahirkan ketimpangan-ketimpangan secara sosial budaya bahkan sudah sejak lama hingga kini Suparjo menyebutkan adanya sikap pasif, untuk tidak Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
351
mengatakan sikap masa bodoh yang masih mewarnai peta psikologis dan mentalitas sebagian masyarakat Indonesia (dalam Lubis, 1993:186). Karenanya, mentalitas pembangunan yang ideal seperti prakarswa sikap produktif, kesediaan untuk mengorbankan kepentingan-kepentingan marjinal dan sebagainya, ternyata masih relatif lemah. Selo Sumardjan menyebutkan; ”adanya gejala korupsi yang semakin meluas, gelombang kejahatan yang semakin meningkat, ketegangan antara golongan kaya dan miskin, keresahan putusan kubu orang yang tidak sempat memperoleh pendidikan (dalam Lubis, 1993:186) 4 Penutup 4.1 Kesimpulan Perempuan di Indonesia telah dirugikan oleh kemiskinan dan dimarjinalkan oleh proses pembangunan. Dari perspektif perempuabn, definisi kemiskinan tidak hanya dilihat dari rendahnya pendapatan, tetapi juga kurangnya kesempatan bekerja, berkarya, dan akses, serta hak untuk mengambil keputusan atas diri dan keluarganya. Rendahnya akses terhadap pendidikan akibat kemiskinan dan budaya partriarki juga menambah buruknya kualitas sumbar daya perempuan Indonesia. Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah contoh kongkrit rendahnya mutu pendidikan sehingga menjadikan perempuan tak lebih sebagai asset yang dapat dieksploitasi. Kemiskinan struktual dalam berbagai praktek pembangunan telah memarjinalkan perempuan dan menempatkannya sebagai korban. Dalam kerangka mengubah arah pembangunan yang bias gender inilah, kaum Ekofeminisme melakukan gerakan dalam menyelamatkan ekosistem yang telah dirusak atas nama pembangunan. Sebagai gerakan feminis dan aktivis lingkungan, gerakan ini juga mencoba mengkonstruksi epistimologis ekofeminisme dan aspek-aspek metodologis dalam, “mendukung pembebasan konsumen dan produksi subsistence, keberlanjutan dan regenerasi; dan mereka mendorong penerimaan terhadap konsep keterbatasan alam dan hubungan timbal balik, dan sebuah penolakan terhadap eksploitasi , kebutuhan tak terbatas terhadap komoditas dan kekerasan” (Shiva dan Mies, 2005). Kegagalan pembangunan dalam mengusung tujuan sejatinya juga telah banyak menuai kritik dari kalangan akademisi. Berbagai tawaran paradigmatik diajukan oleh berbagai kalangan, salah satu yang banyak digaris bawahi adalah urgensi atas pembangunan selaras dengan kebudayaan 352
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004
tempat di mana pembangunan itu dilaksanakan. Sebagaimana dinyatakan oleh Galtung dalam tesis-tesisnya, saat kebudayaan diakomodir dalam kerangka pembangunan, dengan sendirinya akan ada berbagai perspektif pembangunan yang sesuai dengan kondisi budaya Negara-negara yang membangun tersebut. Alternatif yang ditawarkan Soedjatmoko dalam mengubah arah pembangunan kira patut ditelaah lebih serius oleh para penentu kebijakan pembangunan. Pembangunan demoktratis, kulturis, dan humanis kiranya harus menjadi pilihan Negara-negara Dunia Ketiga dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan yang telah sekian lama dialami. Dalam perspektif ini, dimungkinkan adanya jaminan keadilan, kesetaraan, perspektif subjek (partisipatif) dalam memperoleh kualitas kehidupan yang lebih baik. Mudah-mudahan juga dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia apabila kita sepakat dengan ukuaran-ukuran kuantitatif atas pembangunan yang ditetapkan oleh UNDP tersebut. 4.2 Saran Dalam mengusung perubahan paradigma atas konsep-konsep pembangunan tersebut, Perguruan Tinggi menempati posisi yang demikian strategis dalam melakukan riset pembangunan dan memberikan feed back kepada pihak pengambil kebijakan akan perlunya perubahan perspektif teoriteori dan praktik pembangunan selama ini. Perguruan Tinggi juga melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakatnya seharusnya menjadi tulang punggung dalam melakukan proses meningkatkan sumber daya manusia. Pemerintah hendaknya bermitra dengan Perguruan Tinggi dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan dengan sikap yang jujur dan penuh tanggungjawab dalam upaya mengentaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukkan dan ketertinggalan. ------------------------
Pembangunan Dalam Perspektif Ekofeminisme (Analisis Kritis Paradigma Teori Pembangunan dan Urgensi Pembangunan Perspektif Demokratis Kulturis dalam Upaya Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Ema Khotimah)
353
DAFTAR PUSTAKA Sunarto. 2002. Analisis Wacana ”Ideologi Gender” Media Anak-Anak. Semarang : Yayasan Adikarya Ikapi dan Ford Foundation. Jakt, Dorojatun Kuntjoro. 1984. Teori Pembangunan Ekonomi: Menuju Ketidakpastian? (Memelihara Momentum Pembangunan). Jakarta : Gramedia. Ibrahim, Idi Subandy. 2004. Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan (Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko. Yogyakarta : Jalasutra. Shiva, Vandara dan Mies Maria. 2005. Ecofeminisme: Perspektif Gerakan, Perempuan & Lingkungan. Yogyakarta : IRE PRESS. Galtung Johan. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban. Surabaya : Pustaka Eureka. Hatta, Meutia. 2006. ”Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Rendah” Sambutan tertulis pada pengukuhan Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Perempuan dan Perlindungan Anak. Muslim. 2006. Reformasi Otonomi Pendidikan, RIAU POS, 28 Maret 2006. Hamijoyo. Santoso S. 1990. ”Lima Jurus Strategi Dasar Pendidikan, dalam Era Globalisasi, dalam jurnal pendidikan”. Mimbar Pendidikan, No 4 tahun IX Desember 1990. Bandung : University Press IKIP Bandung. Vinod, Thomas, dkk. 2001. the Quality of Growth: Kualitas Pertumbuhan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka. Pronk, J.P. 1993. Sedunia Perbedaan Sebuah Acuan Baru dalam kerjasama pembangunan Tahun 1990-an. Jakarta : yayasan Obor Indonesia.. Pasaribu I.L dan Simandjuntak B. 1986. Sosiologi Pembangunan. Bandung : Tarsito. Brown Lester R, dkk. 1987. Dunia penuh Ancaman. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Lubis, Mochtar, 1993. ”Budaya Masyarakat dan Manusia Indonesia : Himpunan Catatan Kebudayaan Mochtar Lubis”. Majalah Horison, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
354
Volume XXII No. 3 Juli – September 2006 : 333- 354