RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-I/2003 I.
PEMOHON - Para Anggota KPKPN (Pemohon I) - Ir. H. Muchyat, H. Paiman Manansastro, Ph.D dkk (Pemohon II) KUASA HUKUM Amir Syamsuddin, SH., MH. Dkk
II.
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) : A. Pengujian Formil Proses Pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945: B. Pengujian Materiil Pasal 13 huruf a, Pasal 12 ayat (1) huruf a dan i, Pasal 40, Pasal 69 ayat (1) dan (2), Pasal 26 ayat (3) huruf a, Pasal 71 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bertentangan dengan UUD 1945 1. Pasal 28 D ayat (1) “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan , perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” ayat (3) “setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah” ayat (4) “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
2. Pasal 28 G ayat (1) “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” III. ALASAN-ALASAN A. Formil a. Di dalam konsideran “Menimbang” UU No.30 Tahun 2002, sama sekali tidak dicantumkan mengenai aspirasi rakyat dan dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia yang sedang berkembang saat itu seperti yang
termuat
di
dalam
konsideran
“Menimbang”
TAP
MPR
No.XI/MPR/1998, padahal UU No.30 Tahun 2002 mempunyai keterkaitan langsung dengan TAP MPR No.XI/MPR/1998; b. Dalam konsideran “Mengingat” UU No.30 Tahun 2002 sama sekali tidak menyebutkan
Tap
MPR
No.
XI/MPR/1998
dan
Tap
MPR
No.VIII/MPR/2001, padahal UU No.30 Tahun 2002 ini merupakan amanat UUD 1945 melalui Tap MPR No.XI/MPR/1998 dan Tap MPR No.VIII/MPR/2001; c. Dalam konsideran “Mengingat” UU No.30 Tahun 2002 menyebutkan dasar pembentukannya adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20, UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.30 Tahun 2002 sama sekali tidak menyebutkan Tap MPR No.XI/MPR/1998 dan Tap MPR No.VIII/MPR/2001 sebagai dasar pembentukannya, padahal UU No. 28 Tahun 1999 dan UU No.31 Tahun 1999 dibentuk berdasarkan Tap MPR No.XI/MPR/1998; d. Pembentukan UU No.30 Tahun 2002 telah mengenyampingkan ketetapan MPR yang merupakan aturan hukum yang lebih tinggi dari pada UU sehingga aspirasi rakyat dan dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia yang sedang berkembang pada saat itu, sama sekali tidak dijadikan sumber dan pedoman dalam pembentukan Pasal-Pasal UU No.30 Tahun 2002; Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
e. UU No.30 Tahun 2002 bertentangan dengan Tap MPR No.XI/MPR/1998 dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 sehingga hal ini merupakan pelanggaran Tap MPR No.III/MPR/2000 pada Pasal 4 ayat (1), karena kedua ketetapan MPR ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan UUD 1945, maka berarti pembentukan UU No.30 tahun 2002 bertentangan dengan ketentuan UUD 1945;
B. Materiil a. Ketentuan Pasal 13 huruf a UU No.30 Tahun 2002 tersebut adalah sangat bertentangan dengan amanat dan ketentuan UUD 1945 serta jelas-jelas telah
merugikan
kewenangan
konstitusional
Pemohon
(KPKPN)
khususnya seperti dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU No.28 Tahun 1999 ; b. Materi muatan Pasal 69 ayat (1) dan (2) jo Pasal 26 ayat (3) huruf a UU a quo jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 juga jelas-jelas telah merugikan kewenangan konstitusional Pemohon (KPKPN) karena ketentuan-ketentuan
tersebut
telah
menghilangkan
kewenangan
konstitusional Pemohon (KPKPN) yang diberikan oleh UUD 1945 seperti yang dirumuskan dalam UU No.28 Tahun 1999; c. Pasal 71 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002, kecuali bertentangan dengan UUD 1945, juga jelas-jelas merugikan kewenangan konstitusional Pemohon (KPKPN), karena ketentuan pasal tersebut telah menghilangkan eksistensi Pemohon KPKPN dan kewenangan Konstitusionalnya yang ditetapkan oleh UUD 1945 seperti yang dirumuskan dalam UU No.28 Tahun 1999’; d. Penerapan pasal 12 ayat (1) huruf a, UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tanpa ada pembatasan, kriteria dan kualifikasi tentang kapan dimulainya terhadap siapa saja dan kaitan perkara apa saja serta bagaimana jaminan kerahasian dari Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap hasil pembicaraan yang disadap dan direkam, telah sangat mengganggu rasa aman, perlindungan diri pribadi,
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
keluarga kehormatan, martabat dan harta benda dari setiap anggota masyarakat, karena setiap waktu terancam oleh perbuatan penyadapan dan merekam pembicaraan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanpa proteksi dan pembatasan yang jelas dari UU No. 30 Tahun 2002 itu sendiri; e. Tidak adanya pembatasan/proteksi dan criteria atau kualifikasi tentang kapan dimulainya penyadapan dan rekaman pembicaraan dan terhadap siapa saja penyadapan dan rekaman itu dapat dilakukan serta sejauh mana jaminan hasil sadapan dan rekaman itu tidak disalhgunakan untuk pemerasan dan tujuan-tujuan negatif lainnya hal itu telah sangat mengganggu rasa aman dan perlindungan dari pribadi setiap anggota masyarakat pada umumnya dan khususnya setiap penyelenggara, baik di bidang eksekutif dan legislatif maupun penyelenggara Negara di bidang yudikatif serta penyelenggaran bidang lainnya. Jadi Pasal 12 ayat (1) huruf I jelas bertentangan dengan Pasal 28 d UUD 1945; f. Pasal 40 bertentangan dengan Pasal 28D karena ketentuan Pasal tersebut tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi penyelenggara Negara atau siapapun juga sebagai tersangka manakala dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh KPTPK tidak cukup bukti atas dugaan korupsi terhadap tersangka. Padahal Surat Penghentian Penyidikan itu sangat diperlukan bagi setiap tersangka kasus korupsi, yang terkait dengan ketentuan Pasal 12 e UU No.30 Tahun 2002 yang mengatur tentang : Pemberhentian sementara Tersangka dari jabatannya. Ketentuan ini juga telah menutup jalan bagi masyarkat dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap penyidikan dan penuntutan kasus korupsi oleh KPTPK;
IV. PETITUM 1. Mengabulkan Permohonan Para pemohon ; 2. Menyatakan bahwa pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
tidak
memenuhi
ketentuan
Pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
3. Menyatakan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; atau setidak-tidaknya memutus sebagai berikut: a. Menyatakan Pasal 13 huruf a, Pasal 69 ayat (1) dan (2) jo Pasal 26 ayat (3) huruf a dan Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945; b. Menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a dan i serta Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 28 huruf g ayat (1) dan Pasal 28 huruf d UUD 1945; c. Menyatakan Pasal 13 huruf a, Pasal 69 ayat (1) dan (2) jo Pasal 26 ayat (3) huruf a dan Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d. Menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a dan i serta Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI