RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 001/PUU-I/2003 I. PARA PEMOHON PEMOHON I
: APHI (ASOSIASI PENASEHAT HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA )
PEMOHON II
: PBHI (PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA)
PEMOHON III
: YAYASAN 324
KUASA HUKUM
: HOTMA TIMBUL H.,SH. dkk
II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 III. ALASAN Pasal 1 huruf 18, Pasal 7, Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 67 huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal-Pasal di dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena:
1. Bahwa
pemberlakuan
UU
nomor
20
Tahun
2002
tentang
KETENAGALISTRIKAN sebagai pengganti UU Nomor Tahun 1985, pada dasarnya adalah untuk mengikutsertakan pihak swasta, dan penerapan kompetensi dalam usaha penyediaan tenaga listrikan untuk kepentingan umum justru tidaklah beralasan, karena keikutsertakaan pihak swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum justru telah mengakibatkan keterpurukan sektor ketenagalistrikan.
Dengan
mengikutsertakan
pihak
swasta
dalam
usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, berarti : a. Kepentingan umum tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dan harus dijaga oleh Negara.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
b. kepentingan umum ynag dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 justru bertentangan dengan ketentuan mengenai kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 disebutkan sebagai berikut : ”Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.” 2. Bahwa oleh pemerintah untuk mendukung keberadaan UU Ketenagalistrikan tersebut adalah alasan Indonesia kekurangan suplai tenaga listrik dan diperlukan pembangunan pembangkit-pembangkit baru, yang untuk itu diperlukan investorinvestor dari luar negeri, yang kesemuanya tidak mungkin dilakukan apabila tidak dilakukan
perubahan
terhadap
UU
Nomor
15
Tahun
1985
tentang
Ketenagalistrikan. Salah satu pokok UU Nomor 20 Tahun 2002 adalah ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik, yang menjadikan negara tidak lagi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang mana semula ditetapkan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985, Pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan : ”Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan”. 3. PEMOHON memandang Bahwa negara tidak lagi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik justru tidaklah beralasan, berdasarkan argumentasi antara lain: a. Listrik merupakan sumber energi yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak yang dalam penggunaannya tidak mungkin digantikan oleh sumber energi lain. b. Penyediaan tenaga listrik sebagai infrastruktur pembangunan bangsa dan negara belum menjangkau sebagian besar rakyat yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. c. Listrik merupakan kepentingan umum yang ketersediaanya harus dijamin oleh negara.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
d. Listrik merupakan cabang produksi strategis yang penting untuk dikuasai oleh negara. 4. Bahwa syarat-syarat dalam penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 Pasal 15 ayat (2), tidak mempertimbangkan daya beli atau kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan tingkat keekonomian harga jual tenaga listrik yang hendak dicapai adalah untuk menjamin keuntungan pelaku usaha.
PENGUJIAN SECARA FORMIL MENURUT PEMOHON Prosedur persetujuan RUU Ketenagalistrikan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo UU Nomor Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD jo Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/I/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI. Dengan begitu prosedur persetujuan RUU Ketenagalistrikan menjadi UU oleh DPR mengandung cacat hukum atau tidak sah. PENGUJIAN SECARA MATERIIL MENURUT PEMOHON Bahwa menurut permohonan ini, yang dimohonkan untuk pengujian bukan hanya materi pasal atau bagian tertentu dari UU Nomor 20 Tahun 2002 melainkan secara keseluruhan, karena diantara pasal-pasalnya tidak dapat dipisahkan dengan mengingat filosofis diadakannya UU a quo untuk meliberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia, yang dipandang sebagai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Menurut PEMOHON dengan demikian cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara dalam artian diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh Negara, menurut Prof. DR Mr.Seopomo sebagai arsitek UUD 1945 menulis dalam salah satu bukunya memberi pengertian ”dikuasai” yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : ”....termasuk
pengertian
mengatur
dan/atau
menyelenggarakan
terutama
untuk
memperbaiki dan mempertimbangkan produksi...”. Demikian juga tokoh ekonomi Indonesia, mantan Wakil Presiden I dan salah satu arsitek UUD 1945, menyatakan : ”.....Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
membangun tenaga listrik, persediaan air minum, ......, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. 1. Bahwa keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 aquo bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : 1.1 bahwa tenaga listrik mempunyia peranan penting bagi masyarakat Indoneisa, baik badan-badan usaha, perorangan/rumah tangga, dan lain sebagainya, dalam menjalankan kegiatannya masing-masing, seperti antara lain untuk keperluan penerangan ruangan, menjalankan komputer, Air Conditioning, menjalankan alat pendingin dll. 1.2 penyediaan tenaga listrik bagi masyarakat Indonesia menjadi tanggungjawab dan kewajiban negara cq.Pemerintah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945 di atas. 1.3 dalam melaksanakan peran dan tanggungjawab negara cq pemerintah tersebut dilaksakan oleh PT PLN (Persero), sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985 Pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan : ”Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan”. 1.4 Bahwa PT PLN, menyatakan tidak dapat memenuhi keubutuhan penyediaan tenaga listrik di seluruh Indonesia dan oleh karenanya membutuhkan investor asing untuk penyediaan tersebut, yang mana keberadaan investor asing (listrik swasta) tersebut dianggap sulit terwujud karena adanya hambatan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985, sehingga dibutuhkan UU Ketenagalistrikan yang baru menggantikan UU Nomor 15 Tahun 1985 tersebut. 1.5 Keberadaan listrik swasta tersebut bukan untuk kepentingan negara dan atau untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, akan tetapi telah menjadi ajang untuk mengeruk keuangan negara melalui praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme untuk kepentingan pribadi, yang merugikan keuangan negara. 1.6 Bahwa selain itu UU Nomor 20 Tahun 2002 tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, seperti :
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
1.6.1
tidak ada perlindungan terhadap masyarakat yang belum menjadi pelanggan PLN untuk mendapatkan pelayanan penyediaan tenaga listrikan.
1.6.2
Dalam syarat-syarat penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi tenaga listrik, tidak ada jaminan kepentingan masyarakat untuk mendapatkan jaminan pelayanan apabila Badan Usaha Pembangkitan mengalami keterpurukan seperti yang terjadi dalam kasus ENRON
2. Butir Menimbang b UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam butir Menimbang b disebutkan bahwa penyediaan tenaga listrik perlu diselenggarakan secara efisien melalui kompetisi dan transparasi dalam iklim usaha yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha dan memberikan manfaat yang adil dan merata kepada konsumen. Hal ini berarti negara tidak lagi bertanggungjawab terhadap usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang semula ditegaskan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985. 3. Butir Menimbang c UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam butir Menimbang c disebutkan bahwa dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional dan penciptaan persaingan usaha yang sehat, perlu diberi kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha untuk ikut serta dalam usaha di bidang ketenagalistrikan. Hal ini berarti kedudukan negara yang dalam usaha diwakili oleh BUMN menjadi sama dengan kedudukan pihak swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Dengan demikian, negara tidak lagi menguasai usaha penyediaan tenaga listrik dan tidak ada jaminan yang dapat diberikan oleh negara atas ketersediaan tenaga listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
4. Ketidakpastian hukum terhadap masyarakat sebagai Konsumen dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002. Dalam Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002, disebutkan : Usaha Penjualan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d melakukan penjualan tenaga listrik kepada konsumen yang tersambung pada jaringan tegangan rendah dalam wilayah usaha tertentu. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) paragrap kedua, disebutkan : Konsumen tegangan rendah dapat mempunyai pilihan dari agen penjualan tenaga listrik yang sudah memiliki izin dari Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik untuk memperoleh pasokan tenaga listrik dengan mutu, harga, dan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, konsumen sesungguhnya tidak mempunyai pilihan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun. Apabila konsumen memang tidak mempunyai pilihan, maka berarti manfaat kompetisi tidak dirasakan oleh masyarakat, melainkan hanya dinikmati oleh pelaku usaha. 5. Ketidakpastian hukum terhadap masyarakat sebagai calon pelanggan dalam ketentuan Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2002 Dalam Pasal 7 disebutkan : ”Pemerintah dan pemerintah Daerah menyediakan dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik untuk membantu kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah terpencil dan pembangunan listrik perdesaan”. Akan tetapi tidak ada ketentuan dalam UU Nomor 20 Tahaun 20002 yang mengatur hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan penyediaan tenaga listrik. 6. Ketidakpastian hukum terhadap masyarakat atas harga listrik dalam ketentuan Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2002. Dalam Pasal 34 huruf c disebutkan : konsumen tenaga listrik mempunyai hak untuk memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar. Istilah ”harga yang terjangkau” sebagaimana tercantum dalam UU Ketenagalistrikan Nomor 15 Tahun 1985 tidak ditekankan lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 yang lebih menekankan istilah ”harga yang wajar”. Harga yang wajar adalah harga yang ditentukan oleh pelaku usaha tanpa perlu memperdulikan kondisi keadaan ekonomi rakyat.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
7. Ketidakpastian hukum berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya 7.1 Bertentangan dengan UU PMA Nomor 1 Tahun 1967 yang dalam Pasal 6, disebutkan bahwa bidang-bidang penting bagi negara termasuk produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum dinyatakan tertutup bagi modal asing 7.2 Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 6 UU PMA Nomor 1 Tahun 1967 Dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 disebutkan usaha pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan kompetisi. Usaha yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a adalah usaha pembangkitan tenaga listrik, dengan demikian berarti bahwa ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan ketentuan dalam UU PMA Nomor 1 Tahun 1967. 7.3 Pasal 67 huruf b UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 6 UU PMA Nomor 1 Tahun 1967. Pasal 67 huruf b UU Nomor 20 Tahun 2002 disebutkan : “Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun telah ada wilayah yang menerapkan kompetisi terbatas di sisi pembangkitan. Mengingat UU Nomor 1 Tahun 1967 hingga Semarang masih berlaku, maka kompetisi di bidang usaha Pembangkit Tenaga Listrik mutlak tertutup untuk kompetisi tanpa batas waktu kecuali ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 1967, Pasal 6 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. 7.4 Bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebagai tujuan UU Nomor 5 Tahun 1999 yang pada Pasal disebutkan “untuk menjaga kepentingan umum”, sedangkan kepentingan umum dalam usaha penyediaan tenaga listrik dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 justru dipersaingkan, maka jelas bahwa kepentingan umum yang dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 berbeda atau bertentangan dengan ketentuan umum yang dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
7.5 Butir Menimbang b UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999. Dalam butir Menimbang b disebutkan bahwa penyediaan tenaga listrik perlu diselenggarakan secara efisien melalui kompetisi dan transparasi dalam iklim usaha yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha dan memberikan manfaat yang adil dan merata kepada konsumen. 7.6 Pasal 1 huruf 18 bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 1 huruf 18 UU Nomor 20 Tahun 2002 menyebutkan : ”izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum”. 7.7 UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2002 Pasal 51 ayat (1) untuk mengatur dan mengawasi terselenggaranya kompetisi penyediaan tenaga listrik, dibentuk satu badan yang disebut Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Badan ini mempunyai fungsi yang sama, dan akan berbenturan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999
PROVISI Menyatakan
dan
memerintahkan
UU
Nomor
20
Tahun
2002
Tentang
Ketenagalistrikan untuk sementara dinyatakan tidak berlaku hingga adanya keputusan yang berkekuatan tetap dan final atas perkara ini.
PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan hak uji ini ; 2. Menyatakan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 ; 3. Menyatakan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sebagai tidak sah dan tidak berlaku umum;
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
4. Memerintahkan kepada Pemerintah RI Cq. Presiden RI dan DPR RI untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dalam Lembararn Negara RI dan Tambahan Lembaran Negara RI. 5. Memerintahakan kepada Pemerintah RI Cq. Presiden RI untuk membayar biaya perkara.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 001/PUU-I/2003 Perbaikan Tgl, 14 November 2003 II. PARA PEMOHON PEMOHON I
: APHI (ASOSIASI PENASEHAT HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA )
PEMOHON II
: PBHI (PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA)
PEMOHON III
: YAYASAN 324
KUASA HUKUM
: HOTMA TIMBUL H.,SH. dkk
II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 III. ALASAN Pasal 1 huruf 18, Pasal 7, Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 67 huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal-Pasal di dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena: 1. Bahwa
pemberlakuan
UU
nomor
20
Tahun
2002
tentang
KETENAGALISTRIKAN sebagai pengganti UU Nomor Tahun 1985, pada dasarnya adalah untuk mengikutsertakan pihak swasta, dan penerapan kompetensi dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum justru tidaklah beralasan, karena keikutsertakaan pihak swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum justru telah mengakibatkan keterpurukan sektor ketenagalistrikan.
Dengan
mengikutsertakan
pihak
swasta
dalam
usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, berarti : a. Kepentingan umum tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dan harus dijaga oleh Negara.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
b. Kepentingan umum ynag dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 justru bertentangan dengan ketentuan mengenai kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 disebutkan sebagai berikut : ”Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.” 2. Bahwa oleh pemerintah untuk mendukung keberadaan UU Ketenagalistrikan tersebut adalah alasan Indonesia kekurangan suplai tenaga listrik dan diperlukan pembangunan pembangkit-pembangkit baru, yang untuk itu diperlukan investorinvestor dari luar negari, yang kesemuanya tidak mungkin dilakukan apabila tidak dilakukan
perubahan
terhadap
UU
Nomor
15
Tahun
1985
tentang
Ketenagalistrikan. Salah satu pokok UU Nomor 20 Tahun 2002 adalah ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik, yang menjadikan negara tidak lagi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang mana semula ditetapkan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985, Pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan : ”Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan”. 3. PEMOHON memandang Bahwa negara tidak lagi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik justru tidaklah beralasan, berdasarkan argumentasi antara lain: a. Listrik merupakan sumber energi yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak yang dalam penggunaannya tidak mungkin digantikan oleh sumber energi lain. b. Penyediaan tenaga listrik sebagai infrastruktur pembangunan bangsa dan negara belum menjangkau sebagian besar rakyat yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. c. Listrik merupakan kepentingan umum yang ketersediaannya harus dijamin oleh negara.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
d. Listrik merupakan cabang produksi strategis yang penting untuk dikuasai oleh negara. 4. Bahwa syarat-syarat dalam penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 Pasal 15 ayat (2), tidak mempertimbangkan daya beli atau kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan tingkat keekonomian harga jual tenaga listrik yang hendak dicapai adalah untuk menjamin keuntungan pelaku usaha.
PENGUJIAN SECARA FORMIL MENURUT PEMOHON Prosedur persetujuan RUU Ketenagalistrikan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo UU Nomor Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD jo Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/I/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI. Dengan begitu prosedur persetujuan RUU Ketenagalistrikan menjadi UU oleh DPR mengandung cacat hukum atau tidak sah.
PENGUJIAN SECARA MATERIIL MENURUT PEMOHON Bahwa menurut permohonan ini, yang dimohonkan untuk pengujian bukan hanya materi pasal atau bagian tertentu dari UU Nomor 20 Tahun 2002 melainkan secara keseluruhan, karena diantara pasal-pasalnya tidak dapat dipisahkan dengan mengingat filosofis diadakannya UU a quo untuk meliberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia, yang dipandang sebagai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Menurut PEMOHON dengan demikian cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara dalam artian diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh Negara, menurut Prof. DR Mr.Seopomo sebagai arsitek UUD 1945 menulis dalam salah satu bukunya memberi pengertian ”dikuasai” yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : ”....termasuk
pengertian
mengatur
dan/atau
menyelenggarakan
terutama
untuk
memperbaiki dan mempertimbangkan produksi...”. Demikian juga tokoh ekonomi Indonesia, mantan Wakil Presiden I dan salah satu arsitek UUD 1945, menyatakan : ”.....Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
membangun tenaga listrik, persediaan air minum, ......, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. 1. Bahwa keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 a quo bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : 1.1 bahwa tenaga listrik mempunyai peranan penting bagi masyarakat Indonesia, baik badan-badan usaha, perorangan/rumah tangga, dan lain sebagainya, dalam menjalankan kegiatannya masing-masing, seperti antara lain untuk keperluan penerangan ruangan, menjalankan komputer, Air Conditioning, menjalankan alat pendingin dll. 1.2 penyediaan tenaga listrik bagi masyarakat Indonesia menjadi tanggungjawab dan kewajiban negara cq.Pemerintah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945 di atas. 1.3 dalam pelaksanakaan peran dan tanggungjawab negara cq pemerintah tersebut dilaksakan oleh PT PLN (Persero), sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985 Pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan : ”Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan”. 1.4 bahwa PT PLN, menyatakan tidak dapat memenuhi kebutuhan penyediaan tenaga listrik di seluruh Indonesia dan oleh karenanya membutuhkan investor asing untuk penyediaan tersebut, yang mana keberadaan investor asing (listrik swasta) tersebut dianggap sulit terwujud karena adanya hamabatan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985, sehingga dibutuhkan UU Ketenagalistrikan yang baru menggantikan UU Nomor 15 Tahun 1985 tersebut. 1.5 Keberadaan listrik swasta tersebut bukan untuk kepentingan negara dan atau untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, akan tetapi telah menjadi ajang untuk mengeruk keuangan negara melalui praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme untuk kepentingan pribadi, yang merugikan keuangan negara. 1.6 Bahwa selain itu UU Nomor 20 Tahun 2002 tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, seperti :
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
1.6.1
tidak ada perlindungan terhadap masyarakat yang belum menjadi pelanggan PLN untuk mendapatkan pelayanan penyediaan tenaga listrikan.
1.6.2
Dalam syarat-syarat penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi tenaga listrik, tidak ada jaminan kepentingan masyarakat untuk mendapatkan jaminan pelayanan apabila Badan Usaha Pembangkitan mengalami keterpurukan seperti yang terjadi dalam kasus ENRON
2. Butir Menimbang b UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam butir Menimbang b disebutkan bahwa penyediaan tenaga listrik perlu diselenggarakan secara efisien melalui kompetisi dan transparasi dalam iklim usaha yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha dan memberikan manfaat yang adil dan merata kepada konsumen. Hal ini berarti negara tidak lagi bertanggungjawab terhadap usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang semula ditegaskan dalam UU Nomor 15 Tahun 1985. 3. Butir Menimbang c UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam butir Menimbang c disebutkan bahwa dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional dan penciptaan persaingan usaha yang sehat, perlu diberi kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha untuk ikut serta dalam usaha di bidang ketenagalistrikan. Hal ini berarti kedudukan negara yang dalam usaha diwakili oleh BUMN menjadi sama dengan kedudukan pihak swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Dengan demikian, negara tidak lagi menguasai usaha penyediaan tenaga listrik dan tidak ada jaminan yang dapat diberikan oleh negara atas ketersediaan tenaga listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
4. Ketidakpastian hukum terhadap masyarakat sebagai Konsumen dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002. Dalam Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002, disebutkan : Usaha Penjualan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d melakukan penjualan tenaga listrik kepada konsumen yang tersambung pada jaringan tegangan rendah dalam wilayah usaha tertentu. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) paragrap kedua, disebutkan : Konsumen tegangan rendah dapat mempunyai pilihan dari agen penjualan tenaga listrik yang sudah memiliki izin dari Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik untuk memperoleh pasokan tenaga listrik dengan mutu, harga, dan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, konsumen sesungguhnya tidak mempunyai pilihan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun. Apabila konsumen memang tidak mempunyai pilihan, maka berarti manfaat kompetisi tidak dirasakan oleh masyarakat, melainkan hanya dinikmati oleh pelaku usaha. 5. Ketidakpastian hukum terhadap masyarakat sebagai calon pelanggan dalam ketentuan Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2002 Dalam Pasal 7 disebutkan : ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik untuk membantu kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah terpencil dan pembangunan listrik pedesaan”. Akan tetapi tidak ada ketentuan dalam UU Nomor 20 Tahaun 20002 yang mengatur hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan penyediaan tenaga listrik. 6. Ketidakpastian hukum terhadap masyarakat atas harga listrik dalam ketentuan Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2002. Dalam Pasal 34 huruf c disebutkan : konsumen tenaga listrik mempunyai hak untuk memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar. Istilah ”harga yang terjangkau” sebagaimana tercantum dalam UU Ketenagalistrikan Nomor 15 Tahun 1985 tidak ditekankan lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 yang lebih menekankan istilah ”harga yang wajar”. Harga yang wajar adalah harga yang ditentukan oleh pelaku usaha tanpa perlu memperdulikan kondisi keadaan ekonomi rakyat.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
7. Ketidakpastian hukum berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya 7.1 Bertentangan dengan UU PMA Nomor 1 Tahun 1967 yang dalam Pasal 6, disebutkan bahwa bidang-bidang penting bagi negara termasuk produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum dinyatakan tertutup bagi modal asing 7.2 Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 6 UU PMA Nomor 1 Tahun 1967 Dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 disebutkan usaha pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan kompetisi. Usaha yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a adalah usaha pembangkitan tenaga listrik, dengan demikian berarti bahwa ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan ketentuan dalam UU PMA Nomor 1 Tahun 1967. 7.3 Pasal 67 huruf b UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 6 UU PMA Nomor 1 Tahun 1967. Pasal 67 huruf b UU Nomor 20 Tahun 2002 disebutkan : “Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun telah ada wilayah yang menerapkan kompetisi terbatas di sisi pembangkitan. Mengingat UU Nomor 1 Tahun 1967 hingga Semarang masih berlaku, maka kompetisi di bidang usaha Pembangkit Tenaga Listrik mutlak tertutup untuk kompetisi tanpa batas waktu kecuali ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 1967, Pasal 6 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. 7.4 Bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebagai tujuan UU Nomor 5 Tahun 1999 yang pada Pasal disebutkan “untuk menjaga kepentingan umum”, sedangkan kepentingan umum dalam usaha penyediaan tenaga listrik dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 justru dipersaingkan, maka jelas bahwa kepentingan umum yang dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 berbeda atau bertentangan dengan ketentuan umum yang dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
7.5 Butir Menimbang b UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999. Dalam butir Menimbang b disebutkan bahwa penyediaan tenaga listrik perlu diselenggarakan secara efisien melalui kompetisi dan transparasi dalam iklim usaha yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha dan memberikan manfaat yang adil dan merata kepada konsumen. 7.6 Pasal 1 huruf 18 bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 1 huruf 18 UU Nomor 20 Tahun 2002 menyebutkan : ”izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum”. 7.7 UU Nomor 20 Tahun 2002 bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2002 Pasal 51 ayat (1) untuk mengatur dan mengawasi terselenggaranya kompetisi penyediaan tenaga listrik, dibentuk satu badan yang disebut Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Badan ini mempunyai fungsi yang sama, dan akan berbenturan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999
PROVISI Menyatakan
dan
memerintahkan
UU
Nomor
20
Tahun
2002
Tentang
Ketenagalistrikan untuk sementara dinyatakan tidak berlaku hingga adanya keputusan yang berkekuatan tetap dan final atas perkara ini.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI
PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan hak uji ini ; 2. Menyatakan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 ; 3. Menyatakan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan mengikat; 4. Merintahkan pencabutan pengundangan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dalam Lembararn Negara RI dan Tambahan Lembaran Negara RI atau setidak-tidaknya memerintahkan pemuatan petitum ini dalam Lembaran Negara RI dan Tambahan Lembaran Negara RI.
Bagian Administrasi Perkara pada Biro APP MKRI