REFLEKSI METODOLOGIS: PERJALANAN PENELITIAN MENGHASILKAN ETNOGRAFI Sri Alem Br.Sembiring1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan Tulisan berikut ini merupakan hasil refleksi metodologi dari perjalanan latihan penelitian lapangan bidang ilmu Antropologi selama sepuluh hari di Lingkungan Buher Kelurahan Karangpawitan Kecamatan Karawang, Jawa Barat. Tulisan ini sangat bermanfaat untuk dibaca oleh semua orang, tidak hanya bagi mahasiswa atau mereka-mereka yang berminat dalam bidang ilmu antropologi. Hasil refleksi metodologi ini menggambarkan bagaimana suatu kegiatan penelitian lapangan dilakukan dengan mengacu kepada landasan teoritis dan teknik-teknik penelitian yang lazim digunakan dalam antropologi. Dalam tulisan ini akan terurai bagaimana kisah perjalanan dan kiat-kiat mencari dan mengumpulkan data, menentukan teknik wawancara yang tepat, dan memilih informan yang representatif dalam penelitian. Penulis juga menyertakan bagaimana kendala-kendala yang dijumpai di lapangan, dan juga kekecewaan dan kecerian yang senantiasa akrab menyertai penulis dalam perjalanan penelitian ini. B. Persiapan Awal Penelitian ini merupakan kegiatan penelitian lapangan pertama bagi penulis yang dilakukan di luar wilayah Sumatera Utara. Rasa khawatir sudah tentu ada, terutama soal kemampuan penulis untuk beradaptasi agar dapat berbaur dengan masyarakat setempat, yaitu orang-orang Sunda di Lingkungan Buher Kelurahan Karangpawitan Kecamatan Karawang, Jawa Barat. Rasa khawatir penulis menjadi sedikit berkurang dengan mengetahui bahwa lokasi penelitian terletak tidak terlalu jauh dari Jakarta. Perjalanan menuju Lingkungan Buher dapat ditempuh sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan roda empat. Kekhawatiran juga semakin sedikit karena orang Sunda di Lingkungan Buher ternyata dapat mengerti Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak lancar menggunakannya dalam percakapan sehari-hari.2 Hal ini membuat kendala bahasa dapat dikesampingkan untuk sementara waktu, paling tidak pada hari-hari pertama penelitian. Kekhawatiran ini timbul karena penulis tidak dapat berbahasa sunda baik secara aktif maupun pasif. Sementara, penguasaan bahasa lokal bagi seorang peneliti menurut Malinowski (1950) adalah masalah paling penting dalam mencari dan mengumpulkan data yang baik dalam suatu penelitian antropologi. Itulah gambaran awal di benak saya (penulis) setelah pada akhir kuliah ditetapkan bahwa Karawang adalah lokasi penelitian. Informasi tentang Karawang mulai saya kumpulkan. Dari beberapa teman-teman yang mengetahui tentang daerah penelitian itu, saya hanya mendapat kisah tentang ‘goyang Karawang’ yang Tulisan ini merupakan bagian dari tugas penulis selama mengikuti Program Pascasarjana di Universitas Indonesia pada Program Studi Antropologi dalam mata kuliah Teknik-Teknik Penelitian Antropologi. 2 Penduduk di Kelurahan Karangpawitan ini cenderung menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa mereka dalam kehidupan sehari-hari. 1
2002 digitized by USU digital library
1
‘hangat’ dari para gadisnya. Dari artikel di sebuah surat kabar, saya mendapat informasi bahwa banyak orang-orang dari Karawang yang bekerja di Jakarta dan di pabrik di sekitar Karawang. Seluruh informasi yang saya kumpulkan terfokus pada kegiatan non-pertanian dan juga kegiatan pertanian, serta perkembangan kehidupan masyarakatnya, karena materi ini yang menjadi fokus penelitian.. ‘ Perburuan’ informasi ini merupakan suatu persiapan mental awal untuk menghadapai arena baru. Hal ini diperlukan mengingat saya adalah ‘orang asing’ bagi masyarakat yang didatangi. Dengan mengutip Chambers (1983) saya adalah ‘orang luar’ yang bukan orang desa setempat. Menurut Chambers (1983), kesadaran sebagai ‘orang luar’ dari si peneliti ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi hambatan kultural dan struktural yang nantinya dapat menghasilkan ‘bias’ dalam penelitian. Saya berharap dengan pemahaman awal tentang kehidupan orang yang akan saya kunjungi, saya dapat menghindari apa yang disebut Chambers (1983) sebagai prasangaka ‘orang luar’. Prasangka yang salah akan dapat berpengaruh buruk terhadap validitas hasil penelitian. Untuk itu, saya perlu menghindari prasangka-prasangka, terutama penilaian tentang baik dan buruk, pintar dan bodoh tentang apa yang mereka (orang di lingkungan Buher) lakukan. Kesehatan fisik juga perlu dijaga sebelum terjun ke lokasi penelitian, dan juga persediaan beberapa jenis-obat-obatan ringan sebagai persiapan di lapangan. Hal ini perlu mendapat priorotas, sebab menurut Geertz (1983), peneliti adalah merupakan alat yang sangat penting dalam mengumpulkan dan mencatat data, sehingga kesehatan peneliti di lapangan perlu dijaga, di samping perlunya alat-alat bantu seperti alat tulis, kamera dan lain-lain. Hal terakhir yang sata persiapkan adalah barang-barang keperluan pribadi dan alat bantu penelitian lapangan, seperti; catatan lapangan, pena, pinsil, tape-recorder, kertas folio, dan beberapa buku yang penting untuk mendukung kegiatan penelitian. Hal terakhir ini dipersiapkan juga bersama dengan teman-teman satu kelompok. Semua keperluan pribadi dan perlengkapan lainnya saya catat dengan rinci dalam catatan pribadi agar tidak ketinggalan dan hilang, seperti yang dikemukakan oleh Geertz (1983). C. Adaptasi dengan Lingkungan Baru Kiranya tanggal 15 Juli sore itu bukan hari baik untuk kelompok I dan kelompok saya (IV). Hari itu kami ‘ditolak’ oleh kepala lingkungan desa dengan cara yang amat halus.Sehingga kami harus menginap di Hotel Omega dekat Kelurahan Karangpawitan. Peristiwa ini terjadi karena kurangnya koordinasi antara pihak kami (tim peneliti) dengan pihak kelurahan. Salah satu alasan penolakan oleh Bapak Kepala Lingkugungan Buher (Pak Mardi) yang menyambut kami di lokasi sangat sederhana, yaitu tidak tersedianya tempat menginap yang menurut beliau layak untuk kami. Kategori layak yang dimaksud Pak Mardi adalah tidak adanya rumah penduduk yang telah memiliki MCK, khususnya rumah yang masih dapat ditumpangi selama kami melakukan penelitian di lingkungan tersebut. Alasan lainnya adalah karena kamarnya kecil, tidak memiliki kamar, rumahnya sempit dan dibumbui beberapa alasan lainnya. Bahkan beliau (Pak Mardi) juga mengatakan bahwa rumahnya juga tidak layak karena tidak memiliki WC. Namun kemudian dengan alasan hendak mencuci tangan ke kamar mandi, saya melihat bahwa kamar mandi Pak Mardi layak sebagai sarana MCK, bahkan sangat layak untuk ukuran penduduk setempat. Tanggal 16 Juli di keesokan harinya kami telah mendapat tempat tinggal. Kelompok kami menyewa sebuah rumah yang baru selesai milik Pak Warsan dengan biaya RP. 150.000.- selama sepuluh hari. Pada malam pertama itu pula kami
2002 digitized by USU digital library
2
meminta kesediaan Ibu Wakil (isteri Pak Mardi) untuk membantu menyediakan makanan dan minuman dan untuk biaya makan tersebut, kami memberikan sejumlah uang kepada beliau setiap pagi. Sebelum melakukan tugas selanjutnya, kami terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan kami, yaitu untuk melihat keanekaragaman mata pencaharian mereka. Hal ini kami lakukan mengingat pertimbangan etika dalam suatu penelitian. Perkenalan secara terbuka ini penting dilakukan. Menurut Bogdan (1993:66), dalam penelitian yang terang-terangan, peneliti dapat bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan serta memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat, dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum, berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian (Bogdan 1993: 72-73). Pak Mardi sebagai kepala lingkungan Buher adalah orang pertama yang kami minta keterangannya mengenai kondisi lingkungan setempat, keragaman mata pencaharian penduduk, pemanfaatan lahan-lahan kosong dan sebagainya. Pak Mardi adalah informan pertama kami, dan dari beliau pula kami banyak mendapat informasi yang dibutuhkan. Orang seperti Pak Mardi inilah yang disebut oleh Agar (1980:85) sebagai ‘profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi penjelasan pada ‘orang luar’ seperti kami. Disamping itu Pak Mardi juga adalah seorang kepala lingkungan yang mempunyai posisi ‘atas’ dalam bidang pemerintahan di lingkungannya. Orang seperti ini disebut juga sebagai ‘natural relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan penjelasan yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan masyarakatnya. Pak Wakil (itu adalah sebutan penduduk sekitar untuk Pak Mardi sebagai kepala lingkungan) menyatakan bahwa masyarakatnya cukup ramah, walaupun cara berbicara mereka sepertinya sedikit kasar, ‘itu mah sudah dari sononya’, begitu kata beliau. Beliau mengatakan juga bahwa sebahagian besar warganya kurang dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Sebagai peneliti yang baru tiba, saya berpikir bahwa walaupun masyarakat setempat kelihatannya sangat ramah, seorang peneliti juga perlu berhati-hati. Pelto dan Pelto (1989: 259) mengemukakan bahwa walaupun dalam keadaan masyarakat yang lemah lembut, seorang peneliti perlu peka kepada cara memperkenalkan diri dan melakukan interaksi sosial. Sikap hatihati ini perlu dibina agar mereka tetap terbuka menerima kehadiran si peneliti. Hari berikutnya kami sudah berjalan sendiri-sendiri dengan pembagian tugas masing-masing. Sebelum bergerak lebih jauh, kelompok kami yang terdiri dari saya, Ibu Dewi, Pak Jabatin, Pak Edi, dan Pak Taufan berjalan mengelilingi desa (Kampung Buher) dan juga Kampung Bambu Duri (pondokan kelompok I) sekitar pukul sepuluh pagi. Ke dua kampung ini merupakan bagian dari Lingkungan Buher. Dalam perjalanan pagi itu, kami mulai dengan menyusuri jalan kecil di arah kiri pondokan. Perjalan kami lakukan dengan melewati hamparan sawah yang telah dipanen menuju Kampung Bambu Duri. Secara serempak, pandangan kami tertuju ke tengah sawah. Kami melihat sekelompok ‘pasukan bebek’ sedang sibuk mencari makan di bekas lahan sawah. Bebek-bebek itu dipimpin seorang penggembala yang gaya hidupnya bertualang dari satu lokasi sawah yang telah dipanen ke lokasi sawah lain, dari satu kampung ke kampung lain untuk mencari bahan makanan bagi bebek peliharaannya. Bebek dan penggembalanya diangkut dengan menggunakan kendaraan truk kecil.Apabila bertemu dengan beberapa warga kampung, kami hanya ‘melempar’ senyum dan mengucap ‘mangga bapak/ibu/mbak’. Apabila mereka bertanya ‘kamana?’, maka kamipun menjawab ‘kadiek’ atau ‘jalan-jalan’.
2002 digitized by USU digital library
3
D. Kegagalan Pertama Saya Dalam sebuah bukunya Bernard (1994:211) mengatakan bahwa jika kamu menunjukkan rasa ketertarikan dan perhatian kamu, maka banyak informan dan orang-orang akan menolong kamu. Kalimat inilah yang menjadi pegangan bagi saya ketika akan turun ke lapangan. Saya mendapat banyak manfaat dari saran Bernard (1994) itu. Namun, seperti yang juga ditulis oleh Turnbell (dalam Bernard 1994:211) berdasarkan pengalamannya, bahwa hal itu tidaklah selalu benar sepenuhnya terjadi dalam kenyataan di lapangan. Ada beberapa informan yang menunjukkan sikap acuh tak acuh walaupun mereka bersedia menjawab beberapa pertanyaan. Jawabanjawaban yang diberikan informan sangat singkat dan tidak mengandung penjelasan yang rinci. Hal ini saya alami ketika berbicara dengan Pak Mian (60 tahun). Pak Mian ini menurut penduduk setempat tergolong oarang yang memiliki lahan sawah luas dan satu buah pabrik penggilingan padi. Waktu itu siang hari berkisar pukul 14.00 Wib. Saya pergi bersama Ibu Dewi. Pada hari itu saya mendapat tugas dari kelompok untuk mengumpulkan data mengernai kepemilikan lahan dan perubahan teknik-teknik pengolahan lahan pertanian. Sebelum wawancara berlangsung, Ibu Dewi kembali ke pondokan untuk mengambil kamera foto yang tertinggal. Pada awal wawancara saya terlebih dahulu memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa saya butuh beberapa informasi dari Pak Mian mengenai kegiatan penggilingan di pabrik padi miliknya. Saya melihat Pak Mian menatap saya dengan pandangan yang menyelidik. Beliau terdiam untuk waktu yang sedikit lama sebelum menjawab pertanyaan yang saya ajukan “ siapa saja yang Bapak terima untuk bekerja di pabrik penggilingan padi ini”?. Saya harus mengulang sekali lagi pertanyaan itu karena beliau tidak memberikan respon apa-apa, saya pikir beliau tidak mendengarnya. Kemudian beliau menjawab “itu bukan saya yang mengurus.” Jawaban itu diberikan Pak Mian tanpa ekspresi dan beliau langsung memalingkan wajahnya ke arah jalan umum, seolah ingin menghindari pertanyaan berikutnya. Peristiwa ini membuat saya berpikir apakah Pak Mian takut dipungut pajak atau takut ditata seluruh harta kekayaannya, entahlah..., ataukah ada persaingan usaha antara sesama penduduk di Kampung Buher. Kemudian saya mengingat bahwa kami tinggal di rumah Pak Warsan yang juga menurut penduduk kampung diberi label ‘orang kaya’ dan memiliki sebuah traktor dan juga penggilingan padi. Saya juga bertanya dalam hati apakah ada prilaku saya yang salah atau kurang sopan. Namun ketika saya melihat beliau lebih banyak membuang muka dan duduk tidak tenang sambil terus memalingakan wajah ke pabrik penggilingan padi yang sedang beroperasi, maka tidak lama kemudian saya mohon pamit. Saya menyalam Pak Mian sambil membungkukkan badan dan mengucap ‘maturnuhun Bapak’, serta sedikit menyunggingkan senyum, lalu berpamitan dan menunggu rekan saya Ibu Dewi. Untuk peristiwa ini, saya menghibur diri dengan menganggap bahwa informan saya sudah terlalu tua, mempunyai masalah dengan pendengaran dan mungkin Pak Mian merasa risih berdekatan dengan wanita muda, ataukah ini seperti yang dikatakan Bgdan (1993:84) bahwa masyarakat umumnya menghindari interaksi dengan orang asing pada hari-hari permulaan karena dipandang tidak perlu. Tetapi hari itu saya tidak kecewa sepenuhnya. Hari itu merupakan hari yang
2002 digitized by USU digital library
4
sangat baik sebagai persiapan untuk melewati hari berikutnya. Saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam menghadapi seorang informan. Malam harinya, saya memeriksa kembali catatan-catatan lapangan saya hari itu. Saya memperbaiki beberapa pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal apa saja yang akan ditanyakan sehubungan dengan tugas saya. Saya juga harus lebih hatihati lagi dalam memilih informan, waktu wawancara dan mengembangkan teknikteknik bertanya yang lebih baik. Kejadian dengan Pak Mian itu mungkin terjadi karena kesalahan saya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Spradley (1979:46) bahwa banyak kesalahan-kesalahan dalam wawancara disebabkan dari perbedaanperbedaan identitas, rintangan budaya, kepribadian yan tidak sesuai dan tidak dipunyainya keahlian orang per orang (dari sudut si pewawancara). Spradley (1979:46) juga menambahkan bahwa mewawancari informan tergantung kepada kemampuan (keahlian) pewawancara yang meliputi; kemempuan bertanya, bertindak sebagai pendengar dan bukannya pembicara, mengambil peran yang pasif, menunjukkan ketertarikan melalui kontak mata dan bahasa nonverbal lainnya. Beberapa keahlian di atas perlu dikembangkan untuk menciptakan suatu situasi wawancara yang menyenangkan, sebab dari informanlah kita memperoleh informasi atau data. Spradley (1979: 25) menyebutkan bahwa informan adalah sumber informasi, mereka adalah guru bagi seorang etnografer. E. Kesabaran dan Kendala Bahasa yang Melelahkan Bahasa adalah satu kendala yang sedikit menganggu kelancaran wawancara saya. Saya tidak dapat mengerti bahasa Sunda dengan baik. Sementara itu, sebahagian besar penduduk kurang dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Sebahagian besar wawancara cenderung terganggu oleh kendala bahasa ini, terutama dengan munculnya terminologi-terminologi atau istilah-istilah khusus dari informan. Istilah ini sendiri tidak dapat dijelaskan oleh informan dengan baik dalam bahasa Indonesia. Hanya dengan informan kunci kendala ini dapat teratasi, selebihnya dibutuhkan kerja keras dari saya dengan cara mengganti beberapa pertanyaan atau menanyakan beberapa hal lain yang berhubungan dengan topik utama data yang dibutuhkan. Pengalaman ini saya dapatkan pada waktu berbicara dengan Pak Amin (30 tahun) yang seorang ‘pemaro’ (buruh tani). Waktu itu tanggal 17 Juli 1996 berkisar pukul 15.30 Wib. Wawancara dilakukan dekat dengan lokasi pabrik Pak Mian.Siang itu Pak Amin sedang istirahat setelah selesai mengantarkan padinya ke penggilingan padi. Saya menghampirinya tanpa terlebih dahulu membuat janji untuk wawancara, memberi salam dan Pak Amin mempersilahkan saya duduk di sampingnya. Dengan sedikit perkenalan dan menjelaskan maksud saya, kami terlibat percakapan yang menurut saya sangat ’berat’. Saya harus mengulang dua kali untuk pertanyaan yang sama, karena Pak Amin tidak mengerti apa yang ditanyakan. Hal ini saya sadari ketika saya bertanya apakah Pak Amin sebagai ‘pemaro’ dan Pak Mian sebagai pemilik lahan yang digarapnya masih memiliki hubungan kerabat. Namun, jawaban yang saya terima adalah jumlah anak Pak Mian dan lokasi tempat tinggalnya saat ini. Untuk ini saya harus mengulang sekali lagi pertanyaan dengan maksud yang sama tetapi dengan kalimat yang berbeda, “apakah Pak Mian itu paman atau mertua Bapak?”. Kali ini beliau dapat menjawab dengan baik dan memberi penjelasan yang panjang lebar. Setelah situasi akrab seperti itu, tibalah giliran saya yang tidak mengerti sepenuhnya penjelasan Pak Amin. Sebab, dalam menerangkan hubungan kerabat atas dasar genealogis itu, Pak Amin menggunakan istilah-istilah lokal yang tidak
2002 digitized by USU digital library
5
saya mengerti. Dengan demikian, walaupun telah membuat catatan bagan hubungan kekerabatan, tetap saja sulit untuk menempatkan istilah tersebut dalam bagan secara tepat. Ketika saya tanyakan kembali, jawabannya tetap sama. Untuk kali ini, saya tidak menyertakan seorang penterjemah karena wawancara yang berlangsung merupakan wawancara yang tidak direncanakan sebelumnya. Dalam kasus ini, saya mencatat istilah itu dan menanyakan artinya pada informan kunci. Hal yang sama juga terjadi pada saaat wawancara dengan Pak Roji (45 tahun). Beliau seorang kepala tandur. Materi yang ditanyakan berkisar mengenai perkembangan kelompok anggota penandur. Juga ketika wawancara dengan Pak Tayu (50 tahun) mengenai kegiatan pertanian. Begitu pula wawancara dengan Pak Encip (30 tahun) ketika bercerita tentang perubahan sistem pemanenan. Untuk hal ini,saya harus bekerja dua kali dengan cara menanyakan kembali ungkapan atau istilah itu kepada informan kunci atau penduduk lain yang dapat berbahasa Indonesia sekaligus sebagai ‘re-check’ atas informasi yang telah diperoleh. Sehubungan dengan hal ini, saya mengingat apa yang dikatakan Bogdan (1993:101), telitilah ungkapan-ungkapan orang secara hati-hati; apa maksudnya itu, siapa yang memakainya, apa itu berupa asumsi umum, dalam konteks apa istilah itu dipakai, di bawah situasi bagaimana dipakai, apa istilah itu ditujukan kepada orang atau kepada barang ?. Dalam hal ini dapat saja kata itu merupakan ‘kata kunci’ yang dapat membantu menjelaskan suatu fenomena. Rasa kurang puas atas hasil wawancara selalu saja timbul walaupun dalam wawancara berikutnya saya menggunakan seorang penterjemah, namun selalu saja ada beberapa hal yang sulit bagi saya untuk dipahami. Namun, saya berusaha untuk tidak terlalu menghujani mereka dengan berbagai pertanyaan selanjutnya, karena saya khawatir mereka menjadi bosan. Sebagaimana yang dikemukakan Bogdan (1993:104) bahwa dibutuhkan kesabaran dalam mencari informasi, banyak peneliti kurang sabar, mereka memberi pertanyaan-pertanyaan dan memburu informasi dari satu topik ke topik lain atau memaksa para subjek agar berbicara berbagai masalah. Hal ini perlu dipertimbangkan untuk melihat bagaimana penerimaan subjek atas peneliti. Sikap kurang sabar ini tanpa saya sadari pernah saya lakukan ketika mewawancarai Pak Ralim (35 tahun) untuk yang ke dua kalinya. Pada perbincangan pertama, beliau sangat ramah karena saya lebih bersifat mendengarkan. Jika bertanya, saya menunggu penjelasannya selesai terlebih dahulu. Sikap seperti ini seyogyanya tetap saya pertahankan. Seperti kata Spradley (1979:46; 1980:3) bahwa sikap yang dilakukan peneliti adalah mendengarkan dan belajar dari masyarakat setempat. Namun pada perbincangan ke dua, tanpa sadar dan dengan bersemangat saya langsung memotong pembicaraan Pak Ralim begitu beliau mengucapkan istilah dalam bahasa Sunda yang kurang saya mengerti. Untuk kali pertama dan yang ke dua dengan tersenyum dan suara yang tetap bersemangat beliau tetap memberi penjelasan. Untuk kesekian kalinya Pak Ralim masih tetap menjawab dengan baik, tetapi setelah itu beliau memilih diam dan tidak melanjutkan lagi keterangannya. Akhirnya saya harus memberi pertanyaan lagi dan jawaban berikutnya diberikan dengan suara yang lebih rendah. Pak Ralim juga sudah mulai menarik-narik sarungnya dan memanggil kerabatnya lalu berbicara dalam bahasa Sunda yang tidak saya mengerti. Kemudian beliau bertanya sambil mengernyitkan alis “masih ada lagi yang mau ditanyakan?”. Dengan sangat sopan sayapun menjawab “cukup untuk hari ini Pak, saya mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang sopan”, lalu mengucapkan terimakasih dan berpamitan pulang.
2002 digitized by USU digital library
6
Dari pengalaman ini, saya belajar bagaimana sebaiknya memotong pembicaraan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Whyte (1960:335 dalam Bernard 1994:219) ‘learn to interupt gracefully’; perlu dipelajari cara memotong penjelasan tanpa menimbulkan kebencian dan jangan memotong secara tiba-tiba. Disamping itu saya juga menemukan perbedaan makna yang mereka gunakan dari satu kata dengan makna yang saya pahami. Seperti kata paceklik. Menurut yang saya pahami, paceklik diartikan sebagai kegagalan panen. Pak Mardi (kepala Lingkungan Buher) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan paceklik adalah masa dimana tidak ada pemotongan padi, yaitu masa sesudah dan sebelum panen. Sedangkan masa kegagalan panen disebut dengan bapuk atau puso. Pengalaman ini mengingatkan saya akan apa yang diungkapkan oleh Bogdan (1993:98) bahwa aspek yang paling penting adalah bahasa, peneliti harus berangkat dari pokok pikiran bahwa bahasa atau simbol-simbol yang dipakai dalam dunia mereka dapat mempunyai makna yang berbeda dengan yang dikenal peneliti. Hal ini senada dengan yang dijelaskan oleh Spradley (1979:17) bahwa bahasa adalah alat untuk membangun realitas, bahasa yang berbeda-beda menimbulkan dan memperlihatkan realitas yang berbeda pula. Kendala bahasa ini menyebabkan kekurangmampuan saya untuk mengerti nuansa-nuansa makna dari istilah yang mereka gunakan. Keterbatasan ini juga yang membuat saya kurang memahami emosi-emosi mereka sewaktu menjelaskan bagaimana susahnya atau gembiranya mereka dalam menghadapi suatu persoalan atau situasi. F. Kepura-puraan yang Menyenangkan dalam Membina Hubungan Baik Ternyata tidak mudah untuk membina hubungan yang ‘dekat’ (rapport) antara peneliti dan masyarakat. Hubungan yang ‘dekat’ ini merupakan suatu hal yang mutlak dan perlu dalam suatu penelitian. Seperti yang dikemukakan oleh Spradley (1979:25) bahwa seorang etnografer selayaknya bekerja sama dengan para informannya sebab kelulusan penelitian tergantung dari sifat hubungan ini. Dengan hubungan yang baik, maka dapat diciptakan apa yang disebut ‘friendly conversation’ (Spradley 1979:55), yaitu perbincangan yang lebih bersahabat sehinggga dapat menghindari jarak antara peneliti dan penduduk. Bagi saya, apa yang disebut dengan ‘cultural approach’ (pendekatan budaya) sudah sangat tipis kemungkinannya mengingat kendala utama saya adalah bidang bahasa. Dari segi penguasaan bahasa lokal jelas poin saya sangat rendah. Saya hanya mampu mengucapkan beberapa kalimat yang sederhana, seperti sapaan kalau berpapasan di jalan, ucapan terimakasih, salam pertemuan dan sejenisnya. Cara lain yang saya handalkan hanyalah dengan menunjukkan sikap yang bersahabat. Dalam rangka cara inilah yang saya maksudkan menunjukkan minat dan perhatian, yaitu perhatian dalam hal apa saja yang meliputi kehidupan masyarakat setempat. Dalam rangka perhatian ini pula saya harus mengembangkan suatu sikap kepura-puraan. Salah satu contohnya adalah pada saat saya mencoba menarik perhatian seorang Ibu penjual kue (Ibu Ac) yang menjajakan dagangannya keliling kampung. Pada waktu lewat di depan pondokan kelompok kami (kelompok IV), beliau sepertinya berteriak lebih keras sambil memalingkan wajahnya ke pondokan kami. Saya dan rekan saya Ibu Dewi memanggil Ibu Ac. Kami membeli beberapa potong kue dan langsung mencicipinya di depan Ibu tersebut sambil berguman dengan mengangkat alis seolah sangat menikmati “hmm... enak”. Saya menambah dua potong kue lagi walaupun kemudian saya tidak memakannya. Secara bersamaan
2002 digitized by USU digital library
7
senyum Ibu Ac tidak hanya sekedar tersungging tetapi melebar sambil; berucap maturnuhun neng, lalu memberi kami uang kembalian pembayaran kue. Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membuat jadwal wawancara dengan beliau. Demikian juga suatu siang selesai berjalan-jalan (19 Juli 1996). Ketika hendak menuju podokan, saya mampir di warung Pak Kanta untuk membeli air sosro dingin. Karena bercampur lapar, saya meminta Ibu Kanta untuk mengambilkan sebuah pisang goreng. Tetapi ketika saya melihat pisang goreng yang berada dalam wadah itu telah dihinggapi beberapa ekor lalat, saya berkelit agar diberi beberapa potong pisang goreng yang masih panas. Saya meminta yang telah dingin agar dibungkus untuk dibawa pulang. Syukurlah secara kebetulan masih ada di penggorengan yang belum matang. Sikap seperti ini diperlukan untuk menjaga dan membina hubungan baik dengan informan. Sebagaimana yang diungkapkan Spradley (1979:78) bahwa ‘rapport’ diartikan sebagai hubungan yang harmonis antara peneliti dan etnografer. Tetapi perlu juga diingat apa yang dikemukakan Vredenbregt (1984:90) bahwa pada hakekatnya pewawancara selalu akan menjaga untuk memepertahankan rapport yang baik, tetapi sekali lagi perlu diingat bahwa rapport yang baik bukanlah tujuan dari wawancara, tujuan dari wawancara adalah untuk memperoleh data. Banyak kepura-puraan lain yang harus ditampilkan, misalnya kemurahan senyum, keramahan bertegur sapa dan sejenisnya. Dalam membina rapport yang baik, pada saat-saat tertentu saya ikut bergabung bersama beberapa kelompok ibuibu di warung Pak Kanta dekat jembatan. Warung itu cenderung ditunggui oleh isteri beliau dan seorang anak perempuannya yang telah menikah. Sambil duduk-duduk, saya menanyakan beberapa kata bahasa Indonesia dalam bahasa Sunda dan mencobanya. Mendengar pengucapan saya, mereka tertawa karena bagi mereka pengucapan itu sangat kaku . Tetapi saya melihat mereka cukup memberi respon yang baik karena sikap ingin tahu saya, ingin belajar dari mereka. Hal yang terpenting adalah menunjukkan minat dan perhatian dalam setiap perbincangan mereka. Kadangkala terselip juga kisah sedih dan gosip-gosip di antara mereka sesama wanita. Saya merasa perlu menimpali sesekali dan menunjukkan sikap yang bersemangat. Perbincangan itu sangat menarik bagi saya. Saya menemukan beberapa isyu kecemburuan dan persaingan yang sifatnya spontan tanpa direkayasa yang secara tidak sengaja terselib di antara obrolan mereka. Isu itu cenderung mengenai harta, kesuksesan, kecantikan dan beberapa hal lain. Bogdan juga memberikan masukan dalam rangka membina hubungan baik dengan masyarakat ini. Menurut Bogdan (1993:84) agaknya berguna bagi peneliti untuk menempatkan dirinya dalam posisi setengah-setengah (tidak menonjolkan diri), seperti ikut berkumpul dalam aktivitas yang tidak resmi, misalnya di warungwarung atau acara minum kopi. Partisipasi ini dapat mengurangi perasaan canggung dan menambah keakraban. Malinowski (1961) juga mengemukakan pengalamannya di Trobriand. Dia mengatakan bahwa menunjukkan minat dalam setiap perbincangan dan perkembangan yang berlaku di kampung, ikut aktif dalam aktivitas mereka, seperti upacara-upacara atau kegiatan lain. Partisipasi ini perlu dikembangkan untuk menjalin hubungan dengan mereka, dimana hubungan baik ini merupakan suatu kondisi penting untuk suatu penelitian (Malinowski 1961:7-8). G. Sulitnya Menghindari Penilaian Subjektif dan Persoalan Etik - Emik
2002 digitized by USU digital library
8
Saya tidak menyangkal bahwa bagaimanapun kecilnya, unsur subjektifitas dapat muncul dalam suatu laporan penelitian. Walaupun penulis dapat menghindari analisa yang menyesatkan hasil penelitian tersebut. Dalam setiap wawancara selama sepuluh (10) hari (15 Ju;i - 24 Juli 1996) dalam latihan penelitian ini, kadangkala ada beberapa hal yang bergejolak dalam diri saya. Saya sangat tidak setuju dengan beberapa sikap masyarakat setempat. Terutama kaum wanita yang bersikap biasa saja dan merasa suatu hal yang lumrah jika mereka dimadu (untuk isteri pertama). Begitu juga bagi wanita lain yang dijadikan isteri ke dua. Mereka menganggap itu hal yang biasa dan tidak merasa malu menjelaskan kisahnya kepada saya. Malahan terdapat dua orang isteri tinggal dalam satu rumah bersama satu orang suami mereka, seperti keluarga Pak Dudung. Kagum ..., saya sangat terpesona dengan sikap seperti itu. Namun, saya tidak bisa membohongi diri saya. Saya memberikan penilaian, “ah sayang sekali, segampang itu mereka mau melakukannya, jika si suami menginginkannya untuk bercinta, maka mereka mengunjunginya, jika bosan ditinggal, kasihan nasib mereka.” Hal seperti ini juga dialami oleh seorang informan wanita bernama Sn, seorang sinden (penari/penyanyi) yang telah menikah sebanyak dua kali. Begitu perasaan itu muncul, pertanyaan dalam wawancara saya sudah sedikit menyimpang dan lebih banyak terarah kepada perasaan informan sebagai wanita. Salah satu wawancara saya yang berlangsung demikian adalah dengan Ny.Km (45 tahun). Beliau telah dimadu oleh suaminya sebanyak dua kali. Sesudah kembali ke pondokan, saya merasa lucu dengan sikap saya. Apakah layak saya mempertahankan sikap seperti ini dengan pandangan demikian. Saya menyadari bahwa perasaan itu harus dibuang jauh-jauh. Saya menyadari bahwa saya datang ke Lingkungan Buher untuk latihan penelitian dan yang saya alami ini hanyalah salah suatu akibat yang dapat membawa konsekuensi buruk terhadap hasil peneltian. Haluan saya putar, dan wawancara berikutnya dapat dilakukan lebih terarah. Saya juga mendapat beberapa masukan dan saran dari teman-teman kelompok untuk mengantisipasi hal yang saya alami. Para wanita di Lingkungan Buher menilai bahwa perkawinan dengan dua isteri merupakan hal yang biasa terjadi. Kelumrahan ini lebih dapat ditoleransi terutama jika hal itu terjadi kepada mereka yang berprofesi sebagai sinden (penari/penyanyi). Sinden-sinden muda cenderung identik dengan kehidupan perkawinan candung, yaitu sebagai isteri simpanan atau isteri ke dua. Pernikahan para sinden ini sebahagian besar berlangsung atas dasar pernikahan di bawah tangan dengan disaksikan oleh Amil atau petugas dari KUA (Kantor Urusan Agama). Perkawinan jenis ini tidak mempunyai akte nikah di catatan sipil dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika terjadi perceraian si isteri dan anaknya tidak berhak dan tidak dapat menuntut hak waris dari suami. Untuk kasus seperti ini kiranya sikap yang baik adalah seperti apa yang dikatakan Bogdan (1993:38) bahwa kita mendengarkan mereka dari suara hati mereka sendiri dan dari pengalaman mereka sendiri meskipun kita tidak menerima wawasan mereka sebagai suatu kebenaran, namun pengembangan sikap empati memungkinkaan kita memahami dunia mereka dari pandangan mereka sendiri. Dalam hal ini, Boas (dalam Pelto &Pelto 1989:77-78) juga menyebutkan; “...sekiranya kita benar-benar bertujuan untuk memahami pemikiran manusia, maka seluruh analisa pengalaman mestilah diasaskan pada konsep mereka dan bukannya konsep kita.” Untuk masalah seperti ini, dalam pendekatan antropologi disarankan hendaknya peneliti menggunakan pendekatan ‘emik’; menjelaskan sesuatu hal
2002 digitized by USU digital library
9
menurut pandangan masyarakat setempat. Pelto dan Pelto (1989:76) menyebutkan bahwa masalah kita (para antropolog) lahir karena lemahnya strategi pengkonsepan yang digunakan dalam kebanyakan uraian-uraian etnografi. Tingkah laku kebudayaan sebaiknya dikaji dan dikategorikan mengikut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, defenisi yang diberikan oleh si pelaku yang mengalami peristiwa itu. Disebutkan bahwa pengkonsepan perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik. Pandangan ini disebut sebagai ‘etnografi baru.’ Unsur subjektifitas yang saya bicarakan sebenarnya sedikit berbeda dengan pendekatan etik dan emik. Tetapi dengan menekankan pada pendekatan emik (‘native point of view’) seorang etnografer dapat menghindari atau setidaknya dapat mengurangi masuknya hal-hal subjektifitas dalam analisa data. Koentjaraningarat (1982) mencoba menjelaskan permasalahan ini sebagai aspek manusia dalam penelitian masyarakat. Koentjaraningrat (1982:viii-ix) menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi seorang antropog adalah menyangkut masalah penyesuaian pandangan emik dari para informan, responden dan warga masyarakat dengan pandangan etik dari peneliti terhadap topik serta soal-soal yang sedang ditelitinya. H. Seorang Etnografer yang Baik Ternyata untuk memahami salah satu bahagian saja dari suatu kebudayaan, maka seorang peneliti harus melihat secara keseluruhan dalam konteks sosio kultural suatu masyarakat yang hendak diteliti. Hal ini begitu jelas saya rasakan ketika harus memahami sejak kapan kegiatan-kegiatan non-pertanian di Lingkungan Buher mulai banyak dilakukan oleh penduduk setempat. Dalam rangka memahami munculnya kegiatan-kegiatan non-pertanian, saya harus melihat sejarah perkembangan kota-kota di sekitar Buher atau sekitar kelurahan Karangpawitan. Faktor eksternal juga harus diperhitungkan, yaitu sejak kapan maraknya atau akrabnya penduduk dengan produk-produk elektronika, seperti radio dan televisi yang memberikan banyak informasi. Dari segi faktor internal, saya harus memperhatikan perkembangan tingkat pendidikan dan hubungan Lingkungan Buher dengan lingkungan lain dan di luar kelurahan mereka. Misalnya, terjadi perubahan status kepemilikan tanah. Banyak orang-orang dari luar Lingkungan Buher bahkan dari kecamatan lain ataupun dari Bekasi dan Jakarta yang membeli tanah di Buher sebagai akibat dari banyaknya penggusuran di Bekasi. Dengan uang ganti rugi yang diterima, orang dari luar Buher dapat membeli tanah yang cukup luas di Buher. Seiring dengan itu tertjadi pula perubahan orientasi bagi kaum muda. Kaum muda cenderung enggan bekerja di sawah dan memilih bekerja di pabrik-pabrik yang berkembang pesat di wilayah Kecamatan Karawang, terutama sejak awal tahun 1990-an. Beberapa kaum muda ini cenderung memberi alasan dengan mengatakan, “ kerja di sawah mah capek, hitam kulit.” Beberapa ibu-ibu muda yang enggan bekerja di sawah juga mengemukakan alasan dengan nada yang tidak jauh berbeda, “kalau nyawah ya capek, hitam, hasilnya lama, juga tidak punya sawah sendiri, harus maro.” Dari kejadian itu, saya merasa sulit untuk memformulasikan data yang saya miliki pada awalnya. Berkat kerja sama tim kelompok IV yang cukup baik, kami dapat memecahkan masalah-masalah itu satu per satu. Setelah berdiskusi bersama, kami menemukan bahwa terdapat beberapa data yang tadinya kami rasa kurang perlu pada awalnya ternyata dibutuhkan untuk menjelaskan beberapa hal.
2002 digitized by USU digital library
10
Dengan pengalaman ini, saya menyadari bahwa sulit untuk memahami suatu fenomena. Walaupun kita sudah berada dekat bahkan di dalam fenomena itu dan hadir di tengah-tengah orang-orang yang mengalaminya. Dari kejadian itu, saya menemukan bahwa banyak rangkaian-rangkaian peristiwa lain yang harus saya ketahui untuk menjelaskan suatu fenomena. Kemudian saya berkata dalam diri saya sendiri, kiranya benar yang selama ini saya dengar dan baca bahwa seseorang yang hendak menjadi etnografer yang baik dan tertarik pada lingkungan kebudayaan tersebut perlu melibatkan rangkaian dari sekumpulan aspek budaya seluas mungkin. Seperti apa yang dikemukakan Spradley (1980:3) bahwa etnografi adalah pekerjaan menggambarkan kebudayaan. Tujuan utama dari etnografi adalah untuk memahami cara-cara kehidupan lain dari sudut pandang masyarakat. Membuat suatu etnografi tidak saja berarti kita mempelajari suatu masyarakat, etnografi berarti belajar dari masyarakat. Menjadi seorang etnografer yang baik ternyata tidak cukup hanya dengan persiapan seperti yang saya lakukan untuk penelitian singkat ini. Hendaknya saya lebih banyak lagi mempersiapkan pengetahuan mengenai latar belakang budaya orang-orang Karawang, sehingga tidak terlalu sulit bagi saya untuk menemukan makna dari perilaku mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Spradley (1975:69) bahwa tujuan pendekatan etnografi adalah menemukan makna yang tersembunyi yang terletak dibelakang perilaku dan pengetahuan yang digunakan untuk menghasilkan dan menginterpretasikan perilaku. Penelitian tidak hanya sekedar melakukan observasi, menerangkan perilaku yang terlihat dan lingkungan fisik tanpa memperhatikan makna dari hal-hal tersebut bagi anggota masyarakat itu. Dalam hal ini Agar (1980:77-81) mengatakan bahwa tujuan etnografi adalah belajar untuk memperoleh pengetahuahn yang belum diketahui dan tujuan seperti ini bergantng kepada gagasan mengenai urusan yang menekankan pentingnya proses menginterpretasi mengenai segala sesuatu yang menjadi perhatian; mengenai alam, gerak dan lain-lain. Ditegaskan bahwa, seorang etnografer pada hakekatnya melakukan pekerjaan mentransformasikan observasiobservasi yang dilakukan ke dalam bentuk tulisan (laporan) yang dikategorikan sebagai suatu proses. Sementara itu Spradley (1979:22) menyebutkan bahwa setiap hasil etnografi adalah merupakan sebuah terjemahan, penulisan kembali dari datadata yang diperoleh dengan bahasa si peneliti. Pada proses pentransformasian ini, saya juga mengalami apa yang dikemukakan oleh Agar (1980:74-76) bahwa dalam penulisan etnografi dapat terjadi perubahan arti dari data yang sesungguhnya di hasil laporan, yaitu pada proses mentransformasikan data lapangan yang diperoleh ke dalam bentuk laporan. Saya menyadari kebenaran dari apa yang dikemukakan oleh Agar (1980). Saya alami ketika saya mulai menulis laporan perdana di lapangan pada tanggal 17 Juli 1996 (pukul 21.00 Wib) mengenai perkembangan sistem maro dan dinamika kepemilikan tanah. Untuk hasil tulisan perdana ini, saya sendiri sangat kurang puas, terutama setelah saya baca ulang. Keesokan harinya saya sesuaikan lagi dengan beberapa hasil wawancara lain dan terdapat beberapa kekeliruan yang saya lakukan. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pemahaman saya mengenai siklus kegiatan pertania mereka. Dari sini saya banyak belajar tentang cara-cara menjadi seorang etnografer yang baik sebagaimana yang diungkapkan Spradley (1972). Sparadley mengatakan bahwa cara terbaik untuk belajar melakukan etnografi adalah dengan melakukannya. Mudah-mudahan ini menjadi pengalaman berharga bagi saya di kemudian hari. I. Kiat memperoleh Informasi Tertutup dan Memecah Kebekuan
2002 digitized by USU digital library
11
Dalam suatu wawancara adakalanya beberapa hal yang sifatnya rahasia sulit untuk ditanyakan dan informan enggan menjawab. Hal ini kami alami pada waktu mewawancarai seorang sinden (penari dan penyanyi kesenian Sunda) dengan satu anak bernama Sanah (26 tahun). Pada saat akan membuat perjanjian untuk wawancara, kami membuka pertemuan dengan satu pertanyaan yang berhubungan dengan hal yang akrab dengan kehidupan Sanah, “apakah masih menjadi sinden?”. Sanah menjawab’ “tidak,suami saya melarang, itu dulu.” Ketika kami (saya dan Ibu Dewi) meminta kesediaannya untuk berbincang-bincang dan mengatakan bahwa yang kami butuhkan hanya apa yang Sanah lihat tentang penampilan para sinden, beliau tidak menolak, “tetapi tidak hari ini”, begitu katanya. Cara seperti ini perlu untuk mendapatkan kesediaan seseorang sebagai informan. Sebagaimana yang dikemukakan Bernard (1984:210) bahwa langkah terpenting untuk diambil ketika memulai wawancara dengan informan untuk pertama kali adalah menjelaskan bahwa yang kita ingin ketahui adalah sangat sederhana yaitu mengenai apa yang mereka pikir dan apa yang mereka amati. Melihat sikap Sanah yang sangat tertutup walaupun beliau bersedia diwawancarai, saya mencoba menjumpai ibunya di warung untuk mendapatkan informasi tentang Sanah. Selama ini hubungan kami dengan Ibu Sanah sudah sangat baik sekali. Satu saja pertanyaan saya, “saya dengar Sanah itu dulu seorang sinden, apakah suaminya mengijinkan dia tetap nyinden setelah menikah?”. Jawaban yang saya terima dari sang Ibu sangat panjang. Sambil menggoreng pisang dan tempe, si Ibu menjelaskan kisah perkawinan anaknya. Dari Ibunya ini kami mengetahui bahwa suami Sanah sudah tidak kelihatan lagi. Suami Sanah tidak pernah lagi datang mengunjunginya, dan dalam waktu dekat Sanah akan nyinden lagi untuk memancing kembalinya sang suami kepadanya dan anaknya. Cara ini menurut Bogdan (1993:105) merupakan suatu taktik khas yang dapat dipakai peneliti untuk memperoleh informasi yang sulit dijangkau. Dari jenis perbincangan seperti ini, informasi yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai langkah awal untuk memperoleh iformasi selanjutnya dari Sanah sendiri. Wawancara itu akhirnya dilakukan juga di rumah Sanah. Sanah didampingi oleh Bapaknya (Pak Kamta). Sebelum perbincangan dimulai, saya menanyakan kepada Sanah apakah dia tidak keberatan apabila kami membuat catatan. Permohonan izin dari informan seperti ini perlu dilakukan sebagaimana yang dikemukakan Bernard (1984:210), katakan kepada informan untuk permisi membuat catatan, dan ini sangat vital karena tanpa catatan dalam kebanyakan kasus, nilai dari wawancara tidak akan dapat maksimal. Bernard (1984:181) juga melanjutkan bahwa memori atau ingatan manusia adalah sangat miskin untuk merekam tandatanda, khususnya bentuk-bentuk detail dari data. Perbincangan dilakukan sembari Sanah menyuapi anak laki-laki tunggalnya makan siang, namun suasanya sedikit agak kaku. Sanah hanya menjawab singkat dan lebih banyak menjawab “enggak tahu ya, memang sudah begitu dari dulu.” Pada kesempatan ini, rekan kami yaitu Pak Edi menawarkan Sanah untuk mempertunjukkan kebolehannya dengan berjanji memberi imbalan. Kesepakatan ini disetujui Sanah. Keesokan harinya, setelah Sanah mempertunjukkan kebolehannya (21 Juli 1996), sikapnya telah berubah. Sanah mulai sering menyapa kami. Jika berbicara, Sanah juga mulai memegang pundak saya atau Ibu Dewi dan tidak malu untuk tertawa terbahak-terbahak. Sepertinya Sanah merasa lebih ‘dekat’ dengan kami dari sebelumnya.
2002 digitized by USU digital library
12
Ketika kami melakukan wawancara ke dua, Sanah lebih bersemangat memberi informasi tentang profesi seorang sinden. Tetapi ketika pertanyaan mengarah kepada kualifikasi dan teknik-teknik keberhasilan seorang sinden, kembali suasana menjadi sedikit kaku. Sanah hanya tersenyum dan menjawab “enggak tahu ya, memang biasa begitu.” Saya juga tersenyum dan memandang wajahnya lalu mulai lagi dengan kalimat baru bernada memuji penampilan Sanah yang dipertunjukkannya bersama rekannya (Mbak Acih) dalam pertunjukan kemarin. Saya mengatakan bahwa gerakan pinggul dan tangannya yang bagus. Sanah segera bereaksi sambil tersenyum, “...ah tidak, kalau saya mah tidak pakai apa-apa, tapi Acih pakai susuk di pipi.” Ketika ditanya tentang dirinya, dengan menundukkan kepala sambil menunjukkan lengannya Sanah mengatakan bahwa dia memakai susuk emas di lengan kanannya. Akhirnya Sanah menceriterakan bagaimana cara seorang dukun memasang susuk tersebut dan pantangan yang tidak boleh dilakukan dan dimakan oleh si pemakai susuk, serta mengapa seorang sinden cenderung memakai susuk pada salah satu bagian tubuhnya. Cara lain yang saya lakukan apabila perbincangan menjadi kaku adalah dengan mengulang kembali ide terakhir dari si informan dan mengatakan “ saya setuju, di kampung saya juga sama.” Saya berusaha merangsang kegairahan informan dan memberi beberapa informasi serupa dengan membandingkannya dengan daerah saya di Sumatera Utara. Misalnya dalam hal pemanfaatan lahan setelah panen menunggu masa tanam berikutnya atau teknik penyiraman tanaman di musim kering. Hal ini saya lakukan beberapa kali sewaktu berbicara dengan Pak Wakil Mardi beserta isterinya, Pak Warsan ataupun Pak Roji mengenai kegiatan pertanian yang berhubungan dengan kegiatan non-pertanian. Informan cenderung kembali bersemangat memberi penjelasan lanjutan dan ternyata banyak penjelasan baru lainnya yang sifatnya sangat informatif. Dalam hal ini terbukti apa yang dikatakan Bogdan (1993:89) bahwa tukar-menukar informasi sering menjadi sarana yang berguna bagi peneliti untuk memecah kebekuan dan sekali kebekuan itu pecah, mereka akan memberi kita informasi lainnya. J. Data Cepat Jalur cepat perolehan data kami tempuh dengan FGD (‘Focus Group Discusion’). Pelaksanaan FGD itu dilakukan pada hari Kamis 18 Juli 1996. Pada pagi hari, kami menjumpai Pak Wakil Mardi. Pak Wakil tidak ditempat. Kelompok kami meminta Ibu Wakil untuk mengantar kami ke rumah Pak Ralim. Pak Ralim adalah seorang Ketua RT 02/02. Kami meminta bantuan beliau untuk menghubungi beberapa orang lagi yang dianggap mengetahui hal yang menjadi fokus diskusi. Fokus diskusi yang akan dilaksanakan dalam FGD adalah mengenai pembuatan peta lingkungan Buher, kepemilikan lahan persawahan, dan perkembangan teknik pengolahan lahan. Data ini diharapkan dapat menjelaskan rasio antara kebutuhan tenaga kerja pertanian, jam kerja yang dibutuhkan, dan kondisi demografi yang ada. Data lain yang kami harapkan adalah mengenai persentase kepemilikan lahan pertanian sawah, untuk melihat jumlah perbandingan petani pemilik tanah dan petani yang tidak memiliki tanah. Data ini dibutuhkan untuk mendapat gambaran mengenai dinamika intern yang mendorong timbulnya kegiatan lain di luar bidang pertanian. Bagian data-data ini adalah tugas saya.
2002 digitized by USU digital library
13
Sebahagian dari pertanyaan dalam FGD difokuskan untuk memancing pendapat, interpretasi atau perasaan informan mengenai transformasi pengetahuan bidang pertanian. Dalam hal ini, tipe pertanyaan adalah terbuka, seperti yang disebut oleh Dawson (1993:28) sebagai jenis pertanyaan yang ‘open-ended question.’ FGD dilakukan pada pukul 19.00 Wib di rumah Pak Wakil Mardi (Kepala Lingkungan). Penduduk lain yang hadir adalah; Ibu wakil, Pak Ralim (Kepala RT02/02), Pak Warsan (mantan Kepala Lingkungan), sementara beberapa orang lainnya berhalangan hadir. Dari pihak kelompok kami, saya dan Ibu Dewi yang hadir. Beberapa anggota kelompok lainnya mengerjakan tugas mereka masing-masing pada hari itu. Dalam pelaksanaan FGD itu, Ibu Dewi akhirnya asyik berbincang berdua bersama Ibu Wakil tentang sistem kekerabatan. Tinggallah saya sendiri beserta partisipan FGD kami. Ditengah diskusi kami kedatangan tamu, Pak Encip. Beliau tidak diundang. Secara kebetulan beliau mampir ke lokasi pertemuan. Pak Encip merupakan warga masyarakat biasa tanpa mempunyai peranan khusus di Lingkungan Buher. Kiranya Pak Encip dapat memberi informasi yang lebih pasti soal jumlah luas tanah yang dimiliki penduduk dan juga mengenai perkembangan teknik pengolahan lahan. Untuk keadaan seperti ini terbukti apa yang dikatakan Dawson (1993). Dawson mengatakan bahwa kadang-kadang orang-orang yang kelihatannya kurang mampu untuk memberi informasi ternyata dapat menjadi sangat berguna. Untuk itu perlu disadari bahwa semua anggota masyarakat dapat mempunyai pengetahuan atau pengaruh terhadap persoalan yang kita teliti (Dawson 1993:24). FGD ini selesai sekitar pukul 21.15 Wib. Sebagai penutup Ibu Wakil menawarkan kopi dan teh manis beserta kacang goreng untuk kami nikmati bersama. K. Diary-ku Sayang Diary-ku Malang Hubungan yang paling dekat secara pribadi dengan Saya di lapangan adalah sesosok benda mati berukuran 8 x 15 cm dengan tebal sekitar 1/2 cm. Dialah diaryku. Termuat di dalmnya catatan-catatan pribadi tentang perasaan dan gejolak emosi yang saya alami selama di lapangan. Saya selalu ‘mengunjunginya’ terutama di malam hari setelah semua tugas saya selesai. Kadangkala saya ‘berbicara’ dengannya di sore hari, tepatnya pada saat waktu istirahat sembari menunggu saat wawancara dengan informan. Diary-ku sangat membantu dalam banyak hal, seperti yang diungkapkan oleh Bernard (1994:183), diary sifatnya pribadi, akan menolong kamu dalam keadaan kesepian, ketakutan dan emosi-emosi lain yang membuat penelitian lapangan jadi sulit. Namun apa hendak dikata, sebahagian lembaran dari sahabat baikku itu telah terlepas. Beberapa lembar telah hilang karena kekurang hati-hatian dalam penyimpanan, dan yang tersisa berupa penggalan-penggalan ungkapan kegembiraan dan kekesalan. Tersisa juga satu bagian mengenai kebimbangan saya ketika memasuki lokasi penelitian. Saya merasakan adanya sedikit ketegangan, walaupun Bogdan menghibur dalam penjelasannya dengan mengatakan bahwa pelaku observasi yang masih baru selalu merasa canggung tentang bagaimana bisa masuk ke berbagai situasi penelitian, seyogyanya dia (peneliti) berkeyakinan bahwa mereka senang menerima penelitiannya (Bogdan 1993:68). “Apakah saya rakus”, itu merupakan salah satu topik kecil dari lembaran sahabat baikku yang masih tersisa. Kalimat itu saya tuliskan ketika saya merasa bahwa beberapa informan kunci telah terlalu sering saya wawancarai, dan telah
2002 digitized by USU digital library
14
banyak informasi yang saya dapatkan darinya. Sementara itu, Spradley (1979:38) memperingatkan penelliti agar jangan mengeksploitasi informan. I. Penutup Saya mendapatkan suatu pengalaman menarik selama penelitian singkat ini, yaitu dengan membiarkan informan bercerita tanpa memotongnya.Ternyata banyak informasi yang dapat diperoleh dan dapat ditanyakan kembali dari hal yang diceriterakan oleh informan. Dalam hal ini tentu saja saya bersikap sebagai pendengar budiman. Namun, untuk beberapa informan diperlukan kiat tertentu untuk memotong pembicaraannya. Pengalaman singkat ini ternyata membuahkan sebuah kisah panjang. Pengalaman berharga ini tidak hanya dapat saya nikmati. Orang lain juga dapat memetik buah pengalaman itu melalui karya tulis ini. Ternyata untuk menjadi peneliti yang handal bukanlah suatu profesi yang gampang dan tidak dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Terlebih lagi jika si peneliti berkeinginan untuk memperoleh hasil yang valid dan terbebas dari nilai-nilai bias. Kebersamaan, kerjasama, keceriaan, kegagalan, kekesalan, dan juga kesuksesan berbaur menjadi satu selama sepuluh hari yang begitu berarti. Sepuluh hari itu juga sekaligus menjadi hari-hari yang menegangkan. Sepuluh hari itu juga dapat menjadi kebahagiaan apabila kita menikmati apa yang kita kerjakan dan apa yang kita peroleh selama perjalanan sang waktu, dari detik ke detik hingga memasuki tahap akhir. -------------------Daftar Pustaka Agar, Michael H 1980 The Professional Stranger :An Informal Introduction to Ethnography. Orlando: Academic Press Inc. Bernard, H. Russel 1984 Research Methods Anthropology, Qualitative and Quantitative Approach. second edition. Thousands Oaks, Londond, New Delhi: SAGE Publication. Bogdan, R & Taylor Steven, J. 1983 Kualitatif : Dasar - Dasar Penelitian ( terjemahan ). Judul Asli : Introduction to Qualitative Research Methods. Surabaya: Usaha Nasional. Chambers, Robert 1983 ( 1932 ) Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang ( terjemahan ). Judul Asli,“ Rural Development Putting the Last First.“ Jakarta: LP3ES. Dawson, Susan and Manderson, Lenore and Tallo, Veronica, L,. 1983 A Manual for The Use of Focus Groups. Boston: INFDC. Geertz, Hildred 1983 Keluarga Jawa ( terjemahan ). Jakarta: Grafiti Pers. Koentjaraningrat dan Emmerson, Donald, K, ( ed )
2002 digitized by USU digital library
15
1982 Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.. Malinowski, B 1950 Agronauts of the western pacific. New York: E.P. Dutton & co. Pelto, P,.J,. & Pelto G,.H,. 1989 Penyelidikan Antropologi; Struktur Penelitian ( terjemahan ). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Spradley, J.P and D.W. Mc Curdy 1975 Anthropology The Cultural Perspective. New York: John Wiley & Sons. Inc. Spradley, James, P. 1979 The Ethnographic Interview. New York: Rinehard and Winston.. 1980 Participant Observation. New York: Rinehart and Winston. Vredenbregt, J,. 1979 Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
2002 digitized by USU digital library
16