GURU (TABIB) DALAM MASYARAKAT KARO: Kajian Antropologi mengenai Konsep Orang Karo tentang Guru dan Kosmos (Alam Semesta) Sri Alem Br.Sembiring, M.Si1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan kata guru dengan kata dukun2. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo. Upacara tradisional dapat didefenisikan sebagai upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam bentuk tata cara yang relaif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu dilakukan masyarkat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan, baik secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka (Dept.P&K RI (1985:1). Salah satu hal yang menyebabkan besarnya perhatian para ahli mengenai upacara atau ritus-ritus keagamaan disebabkan karena upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling ‘lahir’, sehingga lebih mudah diamati (Koentjaraningrat 1985:375). Upacara keagamaan itu sendiri berhubungan dengan sistem kepercayaan yang hidup dalam suatu kelompok mayarakat tertentu. Upacara-upacara keagamaan tradisional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah upacara yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut dengan pemena. Demikian juga halnya dengan apa yang disebut dengan guru. Konsep guru ini berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut pemena atau perbegu. Penyebutan kata pemena ini disepakati sejak tahun 1946 oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin (dukun/tabib terkenal). Perubahan kata dari perbegu menjadi pemena ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahpahaman orang-orang di luar orang Karo atas pengertian kata perbegu. Kata perbegu bagi orang di luar orang Karo seolah-olah menunjuk ke arah penyembahan kepada setan, hantu dan roh jahat lainnya. Sementara kata pemena berarti asli, berasal dari kata bena yang berarti awal atau yang pertama (asli). Jadi kata pemena dapat diartikan merupakan kepercayaan yang asli (pertama) dari orang-orang Karo sebelum masuknya pengaruh agama ‘baru’ seperti Katolik, Islam, Protestan, Hindu dan Budha. Deskripsi berikut ini akan menguraikan bagaimana guru itu berperan dalam kehidupan orang Karo. Tulisan ini akan diawali tentang konsepsi orang Karo tentang Kosmos sehubungan dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut dengan Tulisan merupakan bagian dari hasil penelitian penulis untuk penulisan skripsi S-1 pada tahun 1992 di Jurusan Antropologi FISIP-USU. Tulisan ini merupakan hasil revisi dari sebahagian isi hasil skripsi tersebut. 2 WS.Soemarno dalam penggolongan aliran-aliran kebatinan menyebutukan bahwa salah satu aliran tersebut adalah golongan pedukunan, dimana ilmu pedukunan dan pengobatan asli dipraktekkan bagi masyarakat yang memerlukan. 1
2002 digitized by USU digital library
1
pemena. Kemudian, tulisan ini dilanjutkan dengan konsep dan klasifikasi orang Karo tentang guru dan keahliannya. B. Konsepsi Tentang Kosmos Manusia yang mengembangkan kebudayaannya selalu berorientasi kepada alam lingkungan dimana mereka bertempat tinggal. Beberapa persepsi manusia terhadap alam antara lain mengangap alam itu sebagai musuh, karena itu harus ditaklukkan dan dikuasai. Persepsi lain yaitu bahwa alam itu adalah sahabat karena itu harus disdayangi dan dirawat. Ada juga yang beranggapan bahwa alam itu sesuai dengan sifatnya, kadang-kadang bisa menjadi sahabat, tetapi tidak jarang menjadi musuh yang menakutkan, karena itu harus dihadapi dengan segala kekuatan. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut di atas kita dapat melihat bahwa semuanya berakar pada kebudayaan masyarakat setempat. Orang Karo meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Segala kegiaatan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru. Suatu peranan yang mencakup luas dan mempunyai kaitan yang erat sekali dengan konsepsi tentang kosmos dari guru sebagai pelaksana utama, sebab mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama segala aktivitas peranan guru adalah untuk mencapai kembali “equilibrium” atau keseimbangan3. Baik itu keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan lingkungannya, maupun keseimbangan “makro-kosmos” dalam konteks yang lebih luas. Guru dianggap memilki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kejadiankejadian dalam hubungannya dengan kehidupan4. Keteraturan dalam kosmos sudah terbentuk sejak Dibata (Tuhan) menciptakan manusia dan dunia, bahwa si nasa lit (segala yang ada) dikuasai oleh Dibata. Alam semesta merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat dibagi secara “vertikal” (tegak lurus) dan secara “horizontal” (mendatar). Secara vertikal, alam dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang disebut benua, yaitu : benua atas, benua tengah dan benua teruh yang masing-masing dikuasai oleh Dibata datas, Dibata tengah dan Dibata teruh yang merupakan suatu kesatuan yang disebut Dibata si Telu ( Tuhan yang tiga) atau dianggap sebagai “tri tunggal” yang disebut juga Dibata kaci-kaci ( Kaci-kaci artinya Tuhan Perempuan) sebagai penguasa tunggal. Bagi masyarakat Desa Kidupen , para guru menyebutnya juga dengan Dibata si nurihi buk mecur atau Dibata si mada tenuang. Si nurihi buk mecur artinya yang mampu menghitung rambut (manusia) yang sangat banyak. Sedangkan si mada tenuang artinya yang menciptakan (tenuang berasal dari kata tuang = cipta, yang biasa dipakai menyebutkan pencipta manusia selagi dalam rahim seorang Ibu).
Penegasan mengenai ritual yang ditujukan untuk mencapai ‘equilibrium’ dalam masyarakat dapat dilihat dalam tulisan Geertz (1983). 4 Lihat dalam tulisan Ginting (1990) 3
2002 digitized by USU digital library
2
Secara horizontal, alam semesta dibagi ke dalam delapan penjuru mata angin: purba (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), butara (utara), irisen (timur laut). Penjuru mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa mate (arah mate. Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah; timur, selatan, barat dan utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan kebahagiaan kepada manusia. Sebaliknya pada arah mati terdapat mahluk-mahluk gaib yang jahat dan suka mencelakakan manusia. Sesuai dengan dengan pendapat dan pemikiran ini, posisi arah rumah dan areal pemakaman penduduk suatu desa (Desa Kidupen) mengikuti arah hidup. Posisi rumah pribadi mayoritas menghadap ke arah utara dan selatan. Sedangkan posisi rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah timur dan barat. Sementara itu, areal persawahan dan perladangan mayoritas di arah utara, selatan dan barat. Dalam kehidupan sehari-hari, pembagian kosmos yang diikuti dengan pembagia Dibata ternyata tidak begitu penting. Bagi mereka, Dibata yang yang dikenal dan dianggap penting adalah Dibata kaci-kai sebagai kesatuan keseluruhan dari Dibata. Menurut mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana saja, kekuasaannya meliputi segalanya dan dianggap serbagai sumber segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib (Ginting, J.R. 1986:111). Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam “kosmos” mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanaya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari “kosmos” (alam semesta). Setiap manusia dianggap sebagai “mikro-kosmos” (semesta kecil) yang merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai ‘keseimbangan dalam manusia’. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian5. Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar sebagai suatu “makro-kosmos” (semesta besar) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial dan lingkungan alam sekitar. Tercapainya suatu “keseimbangan dalam” akan memperlihatkan berbagai keadaan menyenangkan, seperti; malem (sejuk/tenang), ukur malem (pikiran tenang), malem ate (hati sejuk/tenang), malem pusuh (perasaan sejuk/tenang). Oleh karena itu kata malem digunakan juga sebagai arti sehat atau kesembuhan dalam bahasa Karo. 5
Keterangan lain mengenai jiwa dapat dibaca dalam tulisan van Peursen (1983). Kekekalan jiwa menurut Plotinus, jiwa itu ada sebab tubuh sendiri tidak berjiwa, jiwa adalah suatu kehadiran yang membuat tubuh menjadi seperti apa adanya, jiwa meresapi tubuh, kehadiran jiwa seolah-olah terpencar dari tubuh (van Peursen, CA. 1983:12). Maka karena itu walaupun seseorang telah meninggal jiwanya tetap hisup.
2002 digitized by USU digital library
3
Kesejukan badan dan pikiran merupakan dasar dari keadaan sehat, yaitu keadaan sejuk dan seimbang antara “makro-kosmos”. Prinsip ini pula yang menyebabkan mengapa seorang guru melakukan beberapa upacara ritual dengan tujuan untuk mendapatkan keadaan yang serba malem (sejuk/tenang). Menurut para guru, terganggunnya hubungan-hubungan dalam “mikro-kosmos” seseorang berarti adanya keadaan tidak seimbang dalam tubuhnya, yaitu ketidakseimbangan antara tubuh, jiwa, perasaan, nafas dan pikiran. Dengan menggunakan air jeruk purut pada upacara berlangir (erpangir), seorang guru akan menyiramkannya ke kepala pasiennya. Air jeruk purut diyakini menimbulkan rasa sejuk. Sementara itu kepala si pasien dipilih dengan pertimbangan bahwa kepala adalah tempat dari pikiran dan sebagai pusat dan pimpinan dari “mikro-kosmos” (semesta kecil) tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri guru terdapat suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam “mikrokosmos” (semesta kecil/tubuh manusia itu sendiri) tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan “kosmos” (alam semesta secara luas). Oleh karena itu, seorang guru dalam beberapa ritusnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada diri manusia akan menggunakan air jeruk yang malem. Air jeruk dianggap sebagai lambang dari alam semesta yang mewakili ‘keseimbangan luar’ akan dimasukkan ke dalam diri manusia yang mewakili ‘“keseimbangan dalam” itu sendiri. Tindakan ini diyakini akan menyempurnakan keseimbangan dalam diri seseorang. Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai “makro-kosmos”. Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu; beraspati taneh (inti kehidupan tanah), beraspati rumah (inti kehidupan rumah), beraspati kerangen (inti kehidupan hutan), beraspati kabang (inti kehidupan udara). Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air) misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para ( tempat menyimpan alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan atas kerangan ( hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar), embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beras pati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan, seperti dalam upacara perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah agar meraka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih yang disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan lambang diri manusia.
2002 digitized by USU digital library
4
Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh manusia, kapur lambang dari darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan gambir adalah lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi warna merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peredaran darah dalam tubuh. Mantra (Karo = tabas) yang dipakai guru dalam rangka persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah adalah sebagai berikut: “enda ku sentabi kel aku o nini beraspati taneh kenjulu kenjahe sider bertengna, cibal beloku, belo cawir, pinang cawir, kapur meciho, pinang meciho maka meciholah penuri - nurin Dibata si lakuidah. Maka ula kari abat ula kari alih, enda persentabinku, o nini beraspati rumah ujung kayu bena kayu . . .”. (“ Ini aku datang memohon ijin kepada nenek sebagai inti kehidupan tanah dari segala sisi, ku letakkan sirih permohonanku, terdiri dari sirih bersih dan bagus demikian juga pinangnya, kapur yang putih bersih dan terang atau jelaslah keterangan dan petunjuk dari Dibata yang tidak terlihat. Supaya tidak ada yang menghalangi upacara ini, permohonan ijin dariku, kepada nenek beraspati rumah , baik yang ada di ujung kayu ataupun di pangkal kayu . . .”). Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib diatunjukkan dengan pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut berasal/datang dari negeri seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia disebut doni enda (dunia ini). Ini menunjukkan bahwa alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang hidup. Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap maelewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehinga disebut negeri seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai ke tempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam suatu mangkuk putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang mati yang mengganggu. Sebutan i jah dan i jenda tidak berarati adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa. Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. Semua tempat sekitar manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak terlihat dan tanpa wujud, karaena itulah disebuat deangan i jah (di sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya. Menurut seorang mengatakan bahwa:
guru
Pa
Jawi
(bukan
nama
sebenarnya),
“I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel lalana, tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina
2002 digitized by USU digital library
5
orang alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita.” (“Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian juga dengan keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu keramat penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak menganggu sifatnya, tidak mau menganggu manusia, dia menolong manusia, tapi jika orang-orang halus bisa saja membuat penyakit bagi manusia dan mencelakakan kita.”) Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meinggal, seorang guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung6, khususnya mereka yang dijulluki sebagai guru si baso7 melalui ritual perumah begu atau perumah tendi8. Guru mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan melalui perantaraan angin si lumang-lumang (angin yang berhembus). Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah meninggal mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan manusia. Arwah itu tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi suarina, pagi berngina. Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita manusia dan pagi bagi arwah adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang merupakan penyebab mengapa dikatakan begu banyak berkeliaran di malam hari. Alam gaib dikatakan juga sebagai alam jiwa. Keseluruhan alam gaib disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena itu hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut jenujung (junjungan). Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung yang berasal dari “makro-kosmos”. C. Guru dan Keahliannya Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan. Secara harfiah sama artinya dengan kata “guru” Jenujung ini disebut juga sebagai roh pelindung (junjungan) atau dikenal secara ilmiah dengan sebutan ‘quardiant spirit’ (Pettit 1966) atau ‘ghost spirit’ (Mordock 1974). “Quardiant spirit’ ini diperlukan oleh seorang ‘shaman’ atau ‘spirit medium’ sebagai pelindung dirinya dan sebagai sumber kekuatan untuk hidup ataupun untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit (lihat dalam Pettitt 1966:137-243: Murdock 1974: Foster/Anderson 1986) 7 Deskripsi rinci mengenai guru si baso (‘shaman’) dapat dilihat dalam tulisan skripsi penulis (Sembiring 1992). 8 Ritual perumah begu ini pada dasarnya dilakukan karena adanya kepercayaan akan kehidupan kekal dari jiwa, walaupun seseorang telah meninggal. Tetapi jiwanya tetap hidup dan dapat tinggal dimana saja dan masih dapat berhubungan dengan anggota keluarga lain yang masih hidup (lihat juga tulisan Singarimbun 1972:21: Bangun P 1976: Prinst, Darwan-Darwin 1985:22: Sembiring 1992) 6
2002 digitized by USU digital library
6
(lehrer) dalam bahasa Indonesia. Tetapi sebagai sebuah peranan biasanya diartikan dengan kata “dukun” dalam bahasa Indonesia (Ginting, J. 1990: 1). Dalam tulisannya yang berjudul “De Bataksche Guru” dalam Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap, J.H. Neumann (1910 : 1 - 18) memandang guru sebagai suatu “kumpulan informasi”, ahli sejarah, ahli penyembuhan, ahli theologi, ahli ekonomi dan juga merupakan suatu “ensiklopedi” yang mengembara di tengah-tengah masyarakat. Dialah yang telah mengumpulkan, mendaftar dan memakai sebagian besar pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam masyarakat. Untuk melakukan suatu upacara dengan baik, guru harus mengikuti aturan-aturan tertentu, suatu hal yang memperlihatkan bahwa kemampuannya memang banyak. Dia harus mengetahui cerita yang menjelaskan asal upacara itu yang sering berkaitan dengan asal mula dunia. Dia harus mengetahui tumbuhtumbuhan mana yang diperlukan untuk melaksanakan suatu upacara dan dia harus mengetahui tindakan-tindakan dan mantera-mantera yang perlu dijelaskan kepada peserta-peserta lainnya. Guru adalah juga pemellihara ceritera-ceritera lama, tradisi-tradisi dan mitos-mitos yang merupakan harta karun sastera Batak (lihat dalamGinting 1986:121-122). Seperti yang dituturkan oleh seorang guru perban pangir di Desa Kidupen (lokasi penelitian penulis) yang dipanggil “Pa Jawi”. “Pa Jawi adalah seorang guru pembuat langir (berlangir). Pa Jawi harus menentukan berapa jumlah tumbuhtumbuhan yang harus dipakai sebagai bahan upacara dan juga mantera-mantera yang diucapkan untuk jeniss penyembuhan yan berbeda pula. Untuk membuat pangir seorang pasien yang mendapat mimpi buruk akan dikumpulkan bahan-bahan seperti; jeruk empat macam dan setiap macam berjumlah empat buah, daundaunan tertetnu seperti besi-besi, sangka sempilet, kalinjuhang dan lain-lain, juga beberapa ruas tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Karo disebut buku-buku, seperti; ruas tebu, ruas batang bambu, ruas batang jagung dan lain-lain. Dimana pemilihan jenis tumbuhan ini disesuaikan dengan sifat dari tumbuhan itu sendiri yang secara simbolik dikaitkan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sifat tumbuhan itu diharapkan menyatu dengan tubuh pasien dan mencapai kembali keseimbangannya dan sembuh dari penyakit. Pa Jawi mengatakan bahwa: “si sungkuni kai si akapna kurang ibas dagingna, kadena si mesui, e maka si ban pangirna, si leboh guru si deban si dua lapis perngenin matana, banci idahna ise si reh i jah nari, ras pe ia ngerana, i sungkun kai kin atena, pemindona makana ia engganggui, adi enggo si eteh, maka si ban pangirna, bereken kai si i pindo si reh i jah nari, gelah ia laus, kenca bage e maka si sakit pe malem ka lah ia, malem pinakit”. (“ Kita bertanya apa yang dianggap pasien kurang enak di badannya, apa yang sakit, lalu kita buat pangirnya, dan kita panggil guru yang dapat melihat mahluk halus dan yang mampu berkomunikasi dengan mahluk halus itu, ditanya apa kemauannya sehingga ia menganggu si pasien, setelah diketahui lalu dibuatkan pangir untuk si pasien dan dipenuhi permintaan mahluk halus itu, jika demikian, maka sembuhlah si pasien, penyakitnya sembuh”.) Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang guru harus mampu terlebih dahulu mendeteksi atau mendiagnosa apa penyebab keadaan sakit atau keadaan tidak seimbang dalam diri si individu (pasien). Kemudian tahap berikutnya
2002 digitized by USU digital library
7
menentukan jenis upacara penyembuhan dan pengobatan; jenis obat dan jenis mantera yang diperlukan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Karo, terdapat beberapa sebutan untuk jenis guru, seperti; guru tua dan guru si nguda/ guru sibeluh niktik wari (ahli dalam melihat hari-hari baik dengan perhitungan waktu, arah dan tempat), guru nendung (peramal dengan bertanya pada roh-roh gaib) disebut juga sebagai guru si erkata kerahung/ guru perseka-seka, yaitu seseorang yang memiliki suara siulan di leher sebagai ucapan roh gaib, guru si dua lapis pernin matana (seseorang yang dapat melihat roh-roh gaib), guru perjinujung (seseorang yang disertai dan dibantu oleh roh-roh gaib untuk melaksanakan penyembuhan dan upacara-upacara ritual), guru si baso (seseorang yang dapat berhubungan dan mengundang roh-roh gaib untuk memasuki tubuhnya sehingga kesurupan dan ahli dalam upacara pemanggilan roh-roh orang yang telah meninggal, dan mengundang roh tersebut untuk memasuki tubuhnya sebagai medium (perantara) untuk berbicara dengan kearabt-kerabat yang masih hidup, guru perseluken (seseorang yang ahli mengundang roh-roh gaib memasuki tubuh orang lain sehingga kemasukan), guru nabas (seorang ahli mantera), guru permag-mag ( seseorang yang ahli dalam penyampaian doa melalui nyanyian), guru pertapa (pertapa), guru pertawar (penyembuh dengan ramuan obat-obatan), guru perbegu ganjang (pemelihara roh-roh jahat), guru peraji-aji (ahli guna-guna atau peamu racun), guru baba-baban (ahli jimat isebut juga guru perberkaten), guru si majak panteken (ahli membuat pangir/langir baik sebagai obat penyembuh, penolak bala, atau sebagai tangkal, biasanya guru ini mempunyai apa yang disebut tungkat malaikat)9. D. Siapa Menjadi Guru Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat menjadi seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu. Bahkan peran sebagai guru telah dianggap dimiliki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si mada tenuang atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk para guru mengatakan bahwa seseorang jika paroses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun tidak memiliki ciri fisik tertenu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun juga. Mengingat setiap guru harus mempunyai apa yang disebut dengan jenujung (junjungan) yaitu roh gaib pelindung/pnolong, maka orang-orang yang kelahirannya istimewa saja yang dapat mempunyai jenujung. Jenujung ini diyakini berasal dari benua datas (dunia atas). Junjungan ini dianggap memiliki kemampuan gaib yang dapat melindungi para guru dan membantunya dalam praktek-praktek penyembuhan ataupun pengobatan. Junjungan ini diyakini pula dapat melindungi para guru dari niat jahat orang lain terhadapnya yang hendak mencelakakanya. Beberapa ciri tanda kelahiran yang dianggap istimewa seperti; janin yang dililit oleh tali pusar, leher janin terbungkus oleh selaput pembungkus janin, dan lain-lain. Sementara itu, beberapa ciri fisik bawaan dari lahir yang juga dianggap sebagai hal istimewa adalah; jumlah gigi seri yang hanya dua buah, jumlah jari kaki ataupun tangannya lebih banyak dari orang biasa, adanya daging tumbuh pada 9
Uraian lebih rinci dapat dilihat dalam tulisan Sembiring (1992).
2002 digitized by USU digital library
8
daerah tertentu di tubuhnya. Tetapi hal ini tidaklah selalu harus ada pada setiap guru secara mutalak. Keahlian dapat pula dimiliki melalui belajar, bertapa, keturunan, atau atas kehendak roh-roh gaib melalui peristiwa mimpi, didatangi roah gaib keramat dengan jalan kesurupan, tiba-tiba lehernya mengeluarkan suara siulan yang berdesis, atau terlebih dahulu menderita suatu penyakit yang disebabkan ole roh-roh gaib, lalu setelah sembuh diadakan suatu upacara untuk meresmikan rih gaib keramast tersebut menjdi jenujungnya (junjungan). Setelah peresmian menjadi junjungan ini, maka seseorang sudah menjadi guru dan dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit ataupun mampu mengundfang roh-roh gaib lainnya. Seeorang dapat pula menolak menjadi guru walaupun dia bermimpi didatangi roh-roh gaib yang meyuruhnya menjadi seorang guru. Penolakan ini juga harus dilakukan melalui suatu upacara ritual, sama halnya dengan penerimaan menjadi guru yang juga harus dilakukan melalui suatu ritual yang disebut petampeken jenujung. Ritual petampeken jenujung atau penolakan jenujung ini dapat dilakukan oleh jenis guru yang disebut dengan guru si baso. Guru si baso ini cenderung terdiri dari kaum wanita10. E. Penutup Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih luas mengenai keragaman budaya dan praktek-praktek upacara ritual atau ritus-ritus tradisional dari kebudayaan Karo. Beberapa dari upacara-upacara ritual ini masih ditemukan tetap dilaksanakan di beberapa desa di wilayah Karo, terutama dengan tujuan untuk penyembuhan beberapa penyakit demi mencapai keseimbangan dalam diri individu yang disebut dengan keadaan sehat. Upacara-upacara ritual tersebut ada yang bersifat individual dan ada juga yang bersifat komunal yang meliputi kepentingan suatu penduduk desa. Untuk tujuan komunal, ritual itu cenderung dimaksudkan untuk mencegah malapetaka dalam tingkat desa, atau untuk keselamatan penduduk desa dari suatu ancaman keselamatan atau bencana alam. Tulisan ini juga memberikan suatu cakrawala baru bagi pembaca untuk pencerahan pemikiran bahwa pengertian kata begu yang dimaksud oleh orang Karo tidaklah berkonotasi negatif untuk menyebutkan setan atau roh jahat. Pengertian konsep begu yang dimaksud adalah roh-roh (arwah) para leluhur atau keluarga yang telah meninggal dunia. Untuk menyebut roh-roh jahat yang dapat membuat malapetaka bagi manusia disebut orang Karo dengan sebutan setan. Dalam penyebutan sehari-hari dikenal beberapa jenis setan (roh jahat), seperti; setan begu ganjang, setan naga lumayang, setan begu sidang bela. Sebutan begu tetap disertakan karena kata itu menunjukkan sesuatu yang dimaksud sebagai mahluk halus yang tidak dapat diempiriskan secara indrawi biasa atau melalui pengelihatan dengan mata telanjang. Penulis berharap kiranya karya tulis dapat bermanfaat bagi kajian-kajian ritual atau religi untuk lebih memahami keragaman budya bangsa Indonesia. Satu hal yang perlu penulis tekankan adalah dalam mengkaji kebudayaan lain, kita harus membuang jauh-jauh sikap ‘ethnocentrisme’ yang hanya menganggap bahwa 10
Siti Dahsiar (1976) menyebutkan dari hasil penelitiannya di Jepang bahwa para shaman atau dukun yang mampu bertindak sebagai spirit medium cenderung sebanyak 99% adalah wanita dan struktur pemanggilan roh dengan jalan kesurupan (‘trance’).
2002 digitized by USU digital library
9
kebudayaan kita selalu lebih baik dari kebudayaan orang lain. Melainkan, kita harus mengembangkan sikap ‘relativisme budaya’, dimana kita harus melihat bahwa kebudayaan lain itu sebagaimana adanya, baik dan berguna terutama bagi pendukung kebudayaan tersebut.
________________
Daftar Pustaka Anderson/Foster 1986 Antropologi Kesehatan. UI Press, Jakarta. Bangun, Payung 1976 “Kebudayaan Batak”, Djambatan, Jakarta.
dalam
Manusia
Dept. P&K. RI 1985 Upacara Tradisional Daerah Jamb., Kebudayaan Daerah . Jakarta.
dan
Kebudayaan
di
Indonesia,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Geertz, Clifford. 1983 Abangan, Santri dan Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta. Ginting, Juara. R 1986 Pandangan Tentang Gangguan Jiwa dan Penanggulangannya Secara Tradisional Pada masyarakat Karo. Skripsi Sarjana. Jur.Antropologi-FISIPUSU. 1990 Karo Guru and His Practices. Artikel untuk Katalog Museum StuttgardJerman. Koentjaraningrat 1985 Ritus Peralihan di Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Murdock, G.P. 1974 “Tenino Shamanism”, dalam Many Answers : A Reader in Cultural Anthropology. Norman Alger (ed).West Publiciting Co. U.S.A.:264-272 Neuman, J.H. 1910 “MNZG” (1-18) dalam Pandangan tentang Penanggulangan Jiwa dan Penanggulangannya pada Masyarakat Karo. Skripsi Sarjana Juara R.Ginting 1986. Jur.Antropologi FISIP-USU. Pettitt, George A. 1966 “The Vision Quest and The Quardiant Spirit” dalam Readings in Anthropology. Mc.Graw-Hill Book Company.USA:237-243. Prinst, Darwan-Darwin 1985 Sejarah dan Kebudayaan Karo.Yrama.Jakarta. Sembiring, Sri Alem
2002 digitized by USU digital library
10
1992 “Guru Si Baso”: Peranan dan Fungsi Sosial Dukun Wanita Sebagai ‘Spirit Medium’ di Lingkungan Sosial Masyarakat Karo. Skripsi Sarjana. Jur. Antropologi FISIP-USU. Singarimbun, Masri 1972 Kinship, Descent and Alliance Among The Karo Batak. University of California Press.Berkley,London,Loss Angeles. Siti Dahsiar, A. 1976 “Shamanisme di Jepang”, dalam Berita Antropologi, Thn.VIII No.20, Januari 1976. Jakarta. Van Peursen, CA. 1983 Tubuh, Jiwa dan Roh: Sebuah Pengantar dalam Filsafat Manusia. Terjemahan, BPK Gunung Mulia. Jakarta.
_________
2002 digitized by USU digital library
11