2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan biji nangka (Gambar 1) diklasifikasikan sebagai berikut: Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili
: Mullidae
Genus
: Upeneus
Spesies
: Upeneus sulphureus (Cuvier, 1829)
Nama Umum
: Beach goatfish, yellow goatfish, sulphur goatfish
Nama Lokal
: Ikan kuniran atau kuningan (Jawa), ikan biji nangka (Jakarta), ikan jenggot (Sulawesi Tengah) (Genisa 2003)
Sumber : Dokumentasi pribadi
Gambar 1. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829)
6 2.1.2. Karakter morfologi Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009), pada sirip dorsal ikan biji nangka terdapat 8 jari-jari keras dan 9 jari-jari lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah, sirip pektoral terdapat 15-16 jari-jari lemah. Jumlah sisik pada lateral line sebanyak 34-37 buah sisik (hingga pada pangkal ekor). Tubuh tertutup oleh sisik stenoid. Tinggi badan pada sirip pertama hingga sirip terakhir bagian dorsal kurang lebih 29-30 % dari panjang standarnya (SL), tinggi pada bagian ekor hingga peduncle sekitar 11-12 % dari panjang standarnya, dan tinggi maksimum kepala adalah 23-35 % dari panjang standarnya. Panjang maksimum ikan biji nangka yang tertangkap di alam adalah 230 mm, sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa panjang maksimum ikan tersebut di alam adalah 300 mm (Munro 1967 in Fahmi 2002). Randall & Kulbicki (2005) menyatakan bahwa ikan biji nangka memiliki bentuk tubuh yang memanjang dengan ukuran kepala yang relatif kecil serta mulut ramping yang moncong dan terdapat sepasang sungut pada dagunya. Pada sirip dorsal berwarna coklat tua pada ujungnya. Pada tulang punggung kedua sampai keempat kira-kira setengah dari panjang tubuh berwarna merah muda, warna putih pada perut, dan terdapat dua garis kuning mengkilat pada kedua sisi tubuh. Sirip anus (anal) dan sirip dada berwarna pucat. Warna sirip ekor (caudal) kuning dan berbentuk cagak (Sumiono & Nuraini 2007).
2.1.3. Biologi dan habitat Ikan biji nangka termasuk ikan demersal yang bersifat berkelompok (schooling), hidup di perairan payau dan laut pada kedalaman rata-rata 10-90 m. Banyak ditemukan di perairan pantai hingga wilayah estuari (www.fishbase.org 2009). Kebanyakan ikan biji nangka hidup di dasar perairan dengan jenis substrat berlumpur dengan pasir, namun ditemukan pula adanya ikan biji nangka yang mencari makan sampai di daerah karang (Burhanuddin et al. 1984 in Sjafei & Susilawati 2001). Helfman (1986) in Sjafei & Susilawatei (2001) menyatakan bahwa ikan biji nangka dapat menjadi bottom feeder (pemakan biota yang berada di dasar perairan) yang baik dengan jenis substrat berpasir (white sand) atau bahkan sampai di sekitar gugusan karang.
7 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Phraba & Manjulatha (2008), komposisi makanan ikan biji nangka diantaranya adalah udang, kepiting, dan bivalvia yang ukurannya relatif lebih kecil. Makanan yang paling pokok dan penting bagi ikan ini adalah udang, kepiting menjadi dominan selama bulan Oktober, sedangkan bivalvia menjadi makanan utama pada bulan Januari, Februari, Desember. Dilihat dari komposisi jenis makanannya, ikan biji nangka adalah karnivor (Sjafei & Susilawati 2001). Menurut Herianti & Subani (1993), di Perairan Utara Jawa ukuran pertama kali matang gonad Upeneus sulphureus jantan pada ukuran panjang 115 mm, sedangkan ikan betina pada ukuran panjang 120 mm.
2.1.4. Sebaran dan musim pemijahan Daerah penyebaran ikan biji nangka di seluruh perairan pantai dan karangkarang. Ikan ini menyebar hampir di seluruh perairan pantai di Indonesia, sedangkan di perairan manca negara meliputi Indo-Pasifik Barat : dari Afrika Timur sampai Asia Tenggara, utara sampai ke China, selatan sampai ke Australia Utara dan Fiji (www.fishbase.org 2009). Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia disajikan pada Gambar 2.
Sumber : http://www.aquamaps.org (2009)
Gambar 2. Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia ( : Konsentrasi daerah penyebaran ikan biji nangka)
8 Menurut Sabrah & Al-Ganainy (2009), ikan biji nangka memijah satu kali dalam setahun tepatnya pada musim semi di Terusan Suez, Mesir. Ikan biji nangka mempunyai sifat pemijahan total (total spawner), butir-butir telurnya yang sudah matang akan dikeluarkan sekaligus dalam jangka waktu singkat pada saat pemijahan berlangsung (Sjafei & Susilawati 2001). Musim pemijahannya terjadi pada bulan Januari hingga Februari (Sumiono & Nuraini 2007).
2.2. Alat Tangkap Ikan Biji Nangka Ikan biji nangka banyak ditangkap dengan menggunakan alat tangkap trawl, bottom trawl, cantrang, dan sero (Genisa 2003). Bottom trawl banyak digunakan oleh para nelayan di Pantai Visakhapatnam (India) untuk menangkap ikan jenis ini (Phraba & Manjulatha 2008). Sedangkan nelayan di Kecamatan Brondong dan sekitarnya lebih dominan menggunakan alat tangkap dogol dengan kapal motor untuk menangkap ikan tersebut (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Menurut Sudirman & Mallawa (2004), dogol termasuk kategori pukat kantong dan merupakan alat tangkap ikan demersal. Di Indonesia seine net biasa juga disebut pukat kantong, yaitu jaring yang mempunyai kantong dan dua buah sayap. Pada prinsipnya, alat tangkap ini terdiri dari bagian kantong yang berbentuk empat persegi panjang, bagian badan berbentuk seperti trapesium memanjang. Selanjutnya pada bagian-bagian tersebut ditautkan tali penguat dan dihubungkan pula dengan tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (foot rope) serta dilengkapi dengan pelampung dan pembobot. Spesifikasi alat tangkap dogol adalah tali selambar sepanjang 1200 m, jenis tali marlon dan jaring dengan ukuran panjang 36 m, lebar 8 m. Bagian kantong memilki diameter benang 1.20 mm dan diameter mata jaring 1.25 inchi. Bagian sayap memiliki diameter benang 1.20 inchi dan diameter mata jaring 20 cm. Jenis kapal motor yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 10-20 GT serta 20-30 GT. Kekuatan daya dorong mesin ini cukup besar karena penggunaannya sebagai penarik serta penahan pada waktu menarik (hauling) jaring. Berdasarkan pendataan PPN Brondong, jumlah kapal motor yang berdomisili dan masih aktife mendaratkan ikan di PPN Brondong sebanyak 353
9 kapal motor yang masih aktif menggunakan alat tangkap dogol ini (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Gambar alat tangkap dogol disajikan pada Gambar 3.
Sumber : JICA 2009 c Gambar 3. Alat tangkap dogol (Danish seine)
Penangkapan ikan biji nangka yang dilakukan nelayan di PPN Brondong terjadi sepanjang tahun dan hasilnya berfluktuasi naik turun berdasarkan musim penangkapan. Di daerah Brondong musim penangkapan selalu berubah–ubah karena adanya produksi ikan yang tidak menentu. Musim penangkapan ikan biasanya terjadi ikan biasanya terjadi pada awal, puncak, dan akhir musim. Puncak musim penangkapan ikan biji nangka berlangsung pada bulan Maret dan Oktober (Sumiono & Nuraini 2007).
2.3. Sebaran Frekuensi Panjang Semua metode pendugaan stok pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Pada perairan beriklim sub-tropis, data komposisi umur biasanya dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena
10 adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi perairan dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999). Busacker et al. (1990) menyatakan bahwa umur ikan bisa ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu sebaran normal. Dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut bisa diketahui kelompok umur ikan. Untuk menghitung pertumbuhan atau laju pertumbuhan dapat digunakan hasil identifikasi kelompok umur. Penggunaan analisis frekuensi panjang dalam bidang perikanan, untuk memperoleh dugaan parameter pertumbuhan yaitu panjang teoritis, koefisien pertumbuhan, dan umur ikan (Boer 1996). Sparre & Venema (1999) juga menyebutkan bahwa analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu, sehingga analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran.
2.4. Pertumbuhan Pertumbuhan suatu individu merupakan penambahan bobot atau panjang, sedangkan pertumbuhan populasi merupakan penambahan jumlah. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, antara lain keturunan sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan (Effendie 2002). Menurut Ricker (1970) in Effendie (2002) menyatakan bahwasannya dalam studi pertumbuhan ikan, sering digunakan analisis hubungan panjang bobot untuk menjelaskan sifat dan pola pertumbuhannya. Bobot dianggap sebagai salah satu fungsi panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, dimana bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hasil analisis tersebut menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang merupakan harga pangkat yang dapat menjelaskan pola pertumbuhan. Suatu pertumbuhan, dimana pertambahan panjang
11 ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (b = 3), maka pertumbuhan yang demikian itu disebut juga pertumbuhan isometrik. Sedangkan, jika pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot (b ≠ 3), maka pertumbuhan yang demikian itu disebut juga pertumbuhan alometrik. Dikatakan pertumbuhan alometrik positif jika nilai b > 3, menunjukkan bahwa pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambeahan panjang. Sebaliknya, jika pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot, maka dikatakan pertumbuhan alometrik negatif (b < 3). Pitter (1920) in Sparre & Venema (1999) telah mengembangkan suatu model pertumbuhan yang dapat dianggap sebagai dasar dari sebagian model pertumbuhan lainnya termasuk salah satu yang dikembangkan sebagai suatu model matematik bagi pertumbuhan individu oleh Von Bertalanfy (1914), dan ternyata cukup memadai untuk pertumbuhan yang telah diobservasi pada sebagian besar spesies ikan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi (King 1995).
2.5. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas suatu kelompok ikan yang kesemuanya mempunyai umur yang kira-kira sama dan berasal dari stok yang sama atau yang sering disebut kohort terdiri atas mortalitas karena penangkapan dan mortalitas karena sebab-sebab lain yang disebut sebagai kematian alamiah (natural mortality) yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian karena predasi, penyakit dan umur (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup, sehingga laju eksploitasi juga didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor penangkapan. Stok yang dieksploitasi
optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju
mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0.5 (Pauly 1984). Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).
12 Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy yaitu K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil (Beverton & Holt 1957). Pauly (1984) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan.
2.6. Pengkajian Stok Ikan Widodo & Suadi (2006) menyatakan bahwa pengkajian stok meliputi penggunaan berbagai perhitungan statistik dan matematik untuk membuat dugaan kuantitatif mengenai reaksi dari berbagai populasi ikan terhadap beberapa alternatif pengelolaan. Orientasi utama dari pengkajian stok adalah untuk melangkah lebih jauh dari berbagai prediksi kuantitatif dan harus mampu memprediksi produksi beserta kisaran nilainya, berbagai risiko yang mungkin ditimbulkan dari adanya penangkapan yang berlebihan terhadap berbagai populasi induk yang sedang memijah (spawning population), dan perlunya membiarkan ikan tumbuh sampai ukuran tertentu sebelum ditangkap. Menurut Wiyono (2005) bahwa pendugaan stok ikan di Indonesia dilakukan dengan beberapa metode pendekatan, seperti yang dijelaskan berikut ini : 1) Metode sensus atau transek digunakan untuk mengkaji stok ikan yang sifatnya tidak bergerak dengan cepat, seperti ikan hias dan ikan karang. 2) Metode swept area digunakan untuk menduga stok ikan dasar (demersal). Metode ini dilakukan dengan prinsip menyapu area perikanan dengan menggunakan alat tangkap trawl. 3) Metode akustik digunakan untuk menduga ikan pelagis maupun demersal. Prinsip kerja metode ini adalah menghitung potensi ikan dengan menggunakan alat yang dinamakan echosounder. 4) Metode produksi surplusdigunakan untuk menduga ikan dengan memanfaatkan data time series hasil tangkapan dan upaya penagkapan ikan di tempat pendaratan ikan.
13 Pengkajian stok dapat berperan penting dalam berbagai hal untuk perkembangan perikanan, diantaranya
menyelaraskan (fine tunning) sistem
perikanan dengan produksi yang lebih tinggi, mengembangkan berbagai rencana untuk rehabilitasi stok terutama bila tahap perkembangan awal menghasilkan penangkapan berlebihan, dan mengembangkan berbagai strategi untuk pengelolaan selama terjadi transisi teknologi kearah metode penangkapan yang lebih efisien (Widodo & Suadi 2006).
2.7. Model Produksi Surplus Model produksi surplus merupakan model holistik yang menganggap suatu stok sebagai satu unit yang besar dari biomassa, dimana dalam model ini tidak perlu menentukan kelas umur seperti dalam model analitik. Metode ini menggunakan data hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan hasil tangkapan per satuan upaya per spesies atau CPUE (Catch per Unit Effort) sebagai masukan. Data yang digunakan tersebut merupakan data runtun waktu (time series data) tahunan dan berasal dari hasil sampling terhadap perikanan komersil (Sparre & Venema 1999). Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa metode produksi surplus yang dikembangkan Schaefer & Fox bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) tanpa mempengaruhi produktivitas stok jangka panjang. Metode produksi surplus yang digunakan untuk menentukan MSY dan upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang seragam dan tidak berhubungan dan tidak berhubungan dengan komposisi dari proporsi ikan tua atau besar. Konsep dasar dari metode produksi surplus adalah meneningkatkan populasi ikan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedangkan penurunan dari populasi tersebut meruapakan akibat dari mortalitas. Mortalitas tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor baik kematian alamiah (natural mortality) diantaranya predasi dan penyakit maupun karena penangkapan ( fishing mortality) yang merupakan aktifitas penangkapan oleh manusia (Widodo & Suadi 2006).
14 2.8. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Peluang pengembangan perikanan di Indonesia ditunjukkan oleh sejumlah kelompok sumberdaya baik secara nasional maupun di tingkat wilayah pengelolaan perikanan tertentu. Namun demikian, dalam melakukan estimasi potensi serta tingkat pemanfaatannya mengandung banyak unsur ketidakpastian, maka setiap usaha pengembangannya harus dilakukan secara gradual, dengan berlandaskan pendekatan yang bersifat hati-hati (precautionary approach) untuk memenuhi azas perikanan yang bertanggung jawab bagi terwujudnya pembangunan perikanan yang berkesinambungan ( Boer & Azis 1995). Analisis produksi surplus juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer & Azis 1995).
2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya perikanan sama seperti sumber daya pertambangan yaitu samasama mempunyai batasan, namun berbeda dengan sumber daya produk pertambangan seperti minyak bumi, sumberdaya perikanan memiliki daya reproduksi atau bersifat dapat diperbaharui, sehingga apabila dikelola dengan baik maka akan dapat digunakan secara berkesinambungan. Dengan kata lain, apabila dilakukan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan secara tepat, maka akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama, juga memiliki kontribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya. yang jelas akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan. Di sini terdapat makna tentang pentingnya pengelolaan sumber daya perikanan (JICA 2009c). JICA (2009c) juga menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY : Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan
15 pecegahan dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Untuk menghadapi penipisan sumberdaya perikanan dan untuk merumuskan progam pengelolaan yang berhasil diperlukan beberapa informasi. Beberapa informasi tersebut diantaranya, proses-proses biologi dan ekonomi dari setiap perikanan (JICA 2009c).