3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bulu babi 2.1.1 Bentuk dan Morfologi Bulu babi Bulu babi merupakan fauna dari filum Echinodermata yang paling melimpah dan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Menurut Radjab (2001) secara morfologi, bulu babi terbagi menjadi dua kelompok yaitu bulu babi regularia (Gambar 1) atau bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi iregularia atau bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin).
Gambar 1. Bentuk umum bulu babi regularia (Dobo, 2009).
Bulu babi memiliki bentuk tubuh segilima, mempunyai lima pasang garis kaki tabung dan duri panjang yang dapat digerakkan. Kaki tabung dan duri memungkinkan binatang ini merangkak di permukaan karang dan juga dapat digunakan untuk berjalan di atas pasir. Cangkang luarnya tipis dan tersusun dari lempeng-lempeng yang berhubungan satu sama lain. Diadema setosum
4
merupakan salah satu jenis dari bulu babi yang memiliki nilai konsumsi penting di Indonesia (Aziz, 1993). Suwignyo et al. (2005) menyebutkan bahwa tubuh bulu babi berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak bertangan, mempunyai duri-duri panjang yang dapat digerakkan. Semua organnya umumnya terdapat di dalam tempurung, yang terdiri dari 10 keping pelat ganda, biasanya bersambung dengan erat, yaitu pelat ambulakral selain itu terdapat pelat ambulakral yang berlubang-lubang tempat keluarnya kaki tabung. Pada permukaan tempurung terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang membulat, tempat menempelnya duri. Kebanyakan bulu babi mempunyai dua duri, duri panjang atau utama dan duri pendek atau sekunder. Selanjutnya, mulut bulu babi terletak di daerah oral, dilengkapi dengan lima gigi tajam dan kuat untuk mengunyah yang dikenal sebagai aristotle’s lantern. Anus, lubang genital dam madreporit terletak di sisi aboral. Salah satu diantara keping genital yang berukuran paling besar merupakan tempat bermuaranya sistem pembuluh air (waste vascular system). Sistem ini menjadi ciri khas filum Echinodermata, berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi. Pada sistem peristomial terdapat pada selaput kulit tempat menempelnya organ “lentera aristotle”, yakni semacam rahang yang berfungsi sebagai alat pemotong dan penghancur makanan. Organ ini juga mampu memotong cangkang teritip, moluska ataupun jenis bulu babi lainnya (Azis, 1987).
2.1.2 Klasifikasi Bulu babi Pengklasifikasian suatu organisme sangatlah penting, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui organisme tersebut dengan lebih detail.
5
Klasifikasi bulu babi menurut Heinke dan Schultz (2006) adalah sebagai berikut : Filum : Echinodermata Subfilum
: Echinozoa
Kelas
: Echinoidea
Ordo : Cidaroida Famili : Cidaridae, Psychocidaridae, Histocidaridae Ordo : Echinothuroida Famili : Echinothuridae Ordo : Diadematoida Famili : Diadematidae, Micropygidae Ordo : Phymosomatoida Famili : Glyptocidariidae, Stomopneustidae Ordo : Arbacioida Famili : Arbaciidae Ordo : Temnopleuroida Famili : Temnopleuridae Ordo : Echinoida Famili : Echinidae, Parechinidae, Echinometridae, Strongylocentrotidae, Toxopneustidae Ordo : Clypeasteroida Famili : Clypeasteridae, Arachnoididae, Laganiidae, Rotulidae, Echinarchniidae, Dendrasteridae, Mellitidae
6
Ordo : Spatangoida Famili : Spatangidae, Mycrasteridae, Brissidae, Loveniidae, Schizasteridae, Pericosmidae, Asterostomatidae Ordo : Holectypoida Famili : Echinoneidae Ordo : Cassiduloida Famili : Cassidulidae, Apatopygidae, Echinolampadidae Ordo : Holasteroida Famili : Stereoneustidae, Urechinidae, Pourtalesiidae
2.2 Reproduksi dan Siklus Hidup Bulu babi Siklus hidup dari bulu babi diawali dengan terjadinya pembuahan yang terjadi diluar tubuh. Induk jantan membuahi telur-telur dari induk betina. Telur bulu babi dibungkus dengan semacam gelatinous yang biasa disebut dengan jelly coat (Guidice, 1986). Setelah itu terbentuklah embrio, dimana embrio ini akan membelah dengan frekuensi yang sangat tinggi. Setelah mencapai tahap embrio terus masuk fase morula dan embrio muda disebut blastula. Selama 10 jam setelah terbuahi sejak fase blastula, maka embrio tersebut mulai aktif berenang. Setelah itu muncullah anakan bulu babi (Gambar 2), bulu babi sudah dapat dikatakan telah menjadi anakan bila sudah terdapat tentakel-tentakel, duri-duri dan pediselaria (Czihak, 1971). Semakin bertambahnya waktu, anakan bulu babi menjadi dewasa. Bulu babi dewasa telah memiliki organ tubuh yang lengkap mulai dari tubuh bagian dalam sampai pada organ tubuh bagian luar semuanya telah tampak dengan jelas.
7
Gambar 2. Anakan muda bulu babi setelah mengalami proses metamorfosis (Czizak, 1971). Namun bulu babi dikatakan dewasa betul apabila telah mencapai ukuran cangkang 60 mm. Selain itu bulu babi dewasa memiliki organ lengkap secara morfologi (Gambar 3). Bulu babi dewasa telah memiliki kulit (cangkang) yang keras, jari-jari dan duri-duri (spine) yang sudah dapat berfungsi dengan sempurna, misalnya jari-jari yang sudah dapat memegang pada substrat
Gambar 3. Struktur internal bulu babi dewasa (Rupper dan Barnes, 1990).
8
2.3 Sebaran Bulu babi Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratannya, oleh karena itu organisme yang ada pun sangatlah beragam. Bulu babi adalah salah satu jenis organisme dari laut yang banyak ditemukan diseluruh pantai di Indonesia. Bulu babi dapat ditemukan mulai dari daerah pasang surut sampai perairan yang dalam. Penyebaran lokal bulu babi sangat tergantung kepada perkembangan faktor substrat dan makanan. Bulu babi oleh masyarakat yang tinggal di daerah pantai kawasan Timur Indonesia lebih dikenal dengan nama duri babi yang merupakan salah satu dari sekian jenis makrobenthos dari kelas echinoidea yang dapat mencapai ukuran diameter 163 mm dan mencapi berat 200 gr. Bulu babi dari kelas echinoidea, yang hidup di dunia diperkirakan sebanyak 800 jenis dan terbagi dalam 2 anak kelas yaitu Perischoechinoidea yang terdiri dari 1 bangsa dan 2 suku, sedangkan anak kelas Euchhinoidea terdiri dari 14 bangsa dan 44 suku (Aziz, 1987). Bulu babi ini ditemukan antara lain di laut Hindia, Australia, Philipina dan Afrika (Clark dan Rowe, 1971). Kebanyakan bulu babi beraturan hidup pada substrat yang keras, yakni batu-batuan atau terumbu karang dan hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan Lumpur, karena pada kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat. Golongan tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang lebih dalam, sehingga kecil kemungkinan dipengaruhi ombak. Perikanan mengenai bulu babi telah dikenal semenjak 1000 tahun sebelum Masehi, terutama di kawasan Mediterania. Di Eropa Barat bagian selatan,
9
perikanan bulu babi terutama berkembang di Perancis dan Italia. gonad bulu babi diolah menjadi masakan dengan bumbu khusus. Selain dari Eropa Barat bagian selatan, kebiasaan makan gonad bulu babi juga telah membudaya di Jepang dan Korea. Di Jepang gonad bulu babi dikenal dengan sebutan uni, dan merupakan komponen utama dalam jenis masakan yang disebut sushi.
2.4 Habitat Bulu babi Bulu babi banyak ditemukan di daerah padang lamun dan terumbu karang. Mereka ditemukan di daerah yang berpasir atau pasir berlumpur biasa juga didapatkan di atas pecahan karang. Mereka menyukai perairan yang jernih dan tenang (Aziz, 1994). Lamun adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal, dan membentuk kelompok-kelompok sampai padang lamun yang sangat luas. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal yang terdiri dari satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang terdiri dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat (Kirkman, 1990). Sedangkan menurut Azkab (2006) lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizoma), berakar, dan berkembang biak secara generative maupun vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan karang. Jenis-jenis lamun umumnya memiliki morfologi luar yang tampak hampir serupa yakni memiliki daun panjang, tipis dan mirip pita yang mempunyai saluran air, serta bentuk pertumbuhannya monopodial. Bagian tubuh lamun dapat dibedakan ke dalam morfologi yang tampak seperti akar, batang, daun, bunga dan
10
buah (Gambar 4) (Philips dan Menez, 1988 ; Fortes, 1990; Tomascik et al. 1997). Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious) (Mann, 2000). Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang melimpah dan membentuk padang yang luas di perairan tropik. Padang lamun memiliki peran ekologis yang sangat penting yakni sebagai produsen primer, tempat pemijahan, tempat pengasuhan, tempat berlindung, tempat mencari makan, dan sebagai tempat ruaya berbagai jenis ikan dan organisme laut lainnya.
Gambar 4. Morfologi tumbuhan lamun (Philips dan Menez 1988)
Tumbuhan lamun yang ada di seluruh perairan dunia berjumlah kurang lebih 58 jenis yang berasal dari 12 genus dan 2 famili. Famili Potamogetonaceae
11
terdiri dari 9 genus sedangkan famili Hydrocharitaceae terdiri dari 3 genus. Hingga kini, tercatat kurang lebih 12 jenis lamun dijumpai di perairan Indonesia yang termasuk dalam 7 genus dan 2 famili. Famili Hydrocharitaceae terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan H. minor sedangkan famili Potamogetonaceae terdiri dari Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis, dan Thalassodendron ciliatum (Azkab, 2006). Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di Indonesia menurut Philip dan Menez (1988) adalah sebagai berikut : Divisi : Anthophyta Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Helobiae Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus Genus : Thalassia Genus : Halophila Famili : Patamogetonaceae Genus : Cymodoceae Genus : Halodule Genus : Syringodium Genus : Thalassodendron
Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran lamun diantaranya adalah kecepatan arus, kecerahan perairan, suhu, salinitas, tipe substrat, pH dan oksigen terlarut. Suhu optimal bagi lamun berkisar antara 28 oC-30 oC, untuk
12
fotosintesis lamun memerlukan suhu optimum 25 oC-35 oC dan pada saat cahaya penuh. Spesies lamun memiliki toleransi salinitas yang lebar yakni 10 ‰-40 ‰. Nilai optimum toleransi lamun terhadap salinitas adalah 35 ‰ (Dahuri et al. 1996). Kisaran pH yang optimal untuk laut adalah 7,5-8,5 (Nybakken, 1992). Kisaran pH yang baik untuk lamun adalah pada saat pH air laut normal karena pada saat tersebut ion karbonat yang dibutuhkan lamun untuk fotosintesis oleh lamun dalam keadaan melimpah.
2.5 Parameter Fisika – Kimiawi Perairan Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat (Nybakken, 1988). Effendi (2003), menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat. Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993). Gastropoda yang hidupnya berpindah-pindah seperti halnya bulu babi mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985)
13
kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰. Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah, karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena itu, secara tidak langsung kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna benthos yang hidup didalamnya. Disamping itu kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988). pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5. Kedalaman diukur dengan menggunakan pipa berskala, pengukuran kedalaman ini dimaksudkan untuk mengetahui kedalaman yang optimal bagi habitat organisme yang diamati. Disamping itu kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).
2.6 Jenis Substrat Nybakken (1988) menjelaskan bahwa substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrobenthos. Penyebaran makrobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. bulu babi biasanya menempati substrat berupa lamun dan karang. Substrat dasar
14
atau tekstur tanah merupakan komponen penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos (Odum, 1994). Tekstur substrat dikelompokkan dalam segitiga tekstur sedimen, pengelompokan tersebut berdasarkan presentase pasir, liat dan debu (Gambar 5).
Gambar 5. Segitiga tekstur sedimen (Sutanto, 2005)
Tekstur pasir memiliki laju peresapan air yang baik, kapasitas menahan air rendah, dan kandungan hara rendah. Tekstur liat kapasitas pengikatan air tinggi, aerasi kurang baik dan kandungan hara tinggi. Tekstur debu memiliki sifat antara pasir dan liat. Sedangkan tanah geluh adalah tanah yang memiliki kandungan pasir, debu dan liat hampir sama dan apabila ditetesi air sampai teksturnya agak
15
melekat, maka akan mudah dibentuk seperti sosis dan akan retak atau patah jika dibengkokkan (Sutanto, 2005).
2.7 Bahan Organik dalam Sedimen Sedimen merupakan padatan yang dapat langsung mengendap jika air didiamkan dan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap tersebut terdiri dari partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran relative besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Debu dan liat merupakan padatan yang dapat mengendap dengan sendirinya terutama jika airnya tidak terguncang (Fardiaz, 1992). Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan substrat. Bahan organik di dalam ekosistem perairan dapat berasal dari dalam perairan itu sendiri (autochtonous) maupun berasal dari luar (allochtonous). Bahan organik yang berasal dari luar didapat dari adanya proses alami yang terbawa oleh air tanah dan air permukaan tanah serta berasal dari aktivitas manusia yang langsung memasukkan bahan organik ke dalam suatu perairan. Laju dan pertambahan kandungan bahan organik memiliki pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar (Effendi, 2003).