TINJAUAN PUSTAKA Tanah Inceptisol Inceptisols tersebar luas di indonesia yaitu sekitar 40,8 juta ha. Menurut data Puslitbangtanak (2000) Di Sumatera Utara luasan lahan kering masam mencapai 4,1 juta ha yang terdiri dari 2,4 juta ha inceptisol selebihnya entisol, oxisol dan ultisol Menurut Soil Survey Staff (2014) bahwa tanah Inceptisol dicirikan sebagai berikut: a. adanya horizon kambik dikedalaman 100 cm dari permukaan tanah mineral dan berada dibatas 25 cm dibawah permukaan tanah mineral; b. adanya calcic, petrocalcic, gypsic, petrogypsic, atau placic di horizon atau terkandung dikedalaman 100 cm dari permukaan tanah mineral; c. adanya horizon fragipan atau oksik, sombrik, atau spodik didalam 200 cm dari permukaan tanah mineral dan d. adanya horizon sulfirik dikedalaman 150 cm dari permukaan tanah mineral. Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang dari pada entisol (inceptum, permulaan). umumnya mempunyai horison kambik, karena tanah belum berkembang lanjut dan umumnya tanah ini cukup subur. Tanah ini termasuk alluvial, regosol, gleihumus, latosol dan lainnya. Penyebaran liat ke dalam tanah tidak dapat diukur. Kisaran kadar C-organik dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah inceptisol dapat terbentuk hampir disemua tempat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub hingga tropika (Hardjowigeno, 2003). Ciri khas Inceptisol ini adalah tanah mulai berkembang, mempunyai epipedon Ochric (pucat), rneskipun masih sedikit memperlihatkan bukti adanya eluviasi dan iluviasi. Golongan tanah ini dapat terjadi hampir dalarn semua zone iklim yang memungkinkan terjadinya proses pencucian. Inceptisol merupakan
Universitas Sumatera Utara
tanah yang mempuyai horizon alterisasi yang telah kehilangan basa-basa atau besi dan aluminium tetapi mengandung mineral-mineral terlapuk, tampa horizon iluviasi yang diperkaya dengan liat silikat yang mengandung aluminium dan bahan organik amorf (Sevindrajuta, 2012) Inceptisol merupakan tanah yang baru berkembang, biasanya mempunyai tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung pada tingkat pelapukan bahan induknya. Masalah yang dijumpai karena nilai pH yang sangat rendah (< 4), sehingga sulit untuk dibudidayakan. Kesuburan tanahnya rendah, jeluk efektifnya beragam dari dangkal hingga dalam. Di dataran rendah pada umumnya tebal, sedangkan pada daerah-daerah lereng curam solumnya tipis. Pada tanah berlereng cocok untuk tanaman tahunan atau tanaman permanen untuk menjaga kelestarian tanah (Manurung, 2013). Inceptisol memiliki reaksi tanah (pH tanah) masam sampai agak masam (4.6 - 5.5), khususnya pada sebagian Eutrudepts pH tanahnya lebih tinggi yaitu dari agak masam sampai netral (5.6 - 6.8). Kandungan bahan organik sebagian besar rendah sampai sedang dan sebagian lagi sedang sampai tinggi. Kadar Corganik lapisan atas tanah (top soil) selalu lebih tinggi daripada lapisan bawah (sub soil), dengan rasio C/N tergolong rendah (5 - 10) sampai sedang (10 - 18) (Subagyo dkk., 2000). Tanah Inceptisol memiliki kandungan bahan organik yang rendah dan pH yang rendah. Menurut Damanik dkk (2010) reaksi tanah ada yang masam sampai agak masam (pH 4,5 – 5,6) , kandungan bahan organik rendah dengan rasio C/N tergolong rendah (5 – 10) dan kandungan P potensial rendah.
Universitas Sumatera Utara
Pupuk Fosfor (TSP) Unsur hara P merupakan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman. Tidak ada unsur hara lain yang dapat mengganti fungsinya di dalam tanaman, sehingga tanaman harus mendapatkan atau mengandung P secara cukup untuk pertumbuhannya secara normal, oleh karena P dibutuhkan tanaman cukup tinggi. Fungsi penting P dalam tanaman yaitu dalam proses fotosintetis, transfer dan penyimpanan energi, pembelahan dan pembesaran sel serta proses-proses di dalam tanaman lainnya yang membantu mempercepat perkembangan akar dan perkecambahan. Unsur P dapat merangsang pertumbuhan akar, kemudian berpengaruh pada pertumbuhan bagian di atas tanah. Kekurangan unsur P dapat menunjukkan gejala menurunnya sintesis protein, seperti: lambatnya pertumbuhan bibit dan daun berwarna keunguan (Winarso, 2005). Unsur hara P di dalam tanah bersumber pada larutan tanah yang berasal dari pelapukan bebatuan/bahan induk hasil mineralisasi P organik atau dekomposisi bagian tanaman yang mengimmobilisasikan P dari larutan tanah. Jumlah P dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen (N) dan kalium (K). Unsur hara P yang dapat diserap oleh tanaman berupa dalam bentuk ion orthofosfat primer (H2PO4-) dan ion orthofosfat sekunder (HPO42-) (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Fosfor merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar yang berfungsi sebagai penyusun sel hidup, terutama dalam pembelahan dan pembentukan membran sel, berperan aktif dalam mentransfer energi yakni merubah ADP menjadi ATP. fosfat diserap tanaman dalam bentuk ion ortofosfat
Universitas Sumatera Utara
H2PO4- dan HPO42- dan ion ini tidak diikat oleh liat ataupun koloid organik karena muatannya sama (Rahmi, 2007). Faktor yang mempengaruhi ketersedian P dalam tanah menurut Winarso (2005) adalah: a. Tipe liat Fiksasi P akan lebih kuat pada liat tipe 1:1 daripada tipe 2:1. Tipe liat 1:1 yang banyak mengandung kaolinit lebih kuat mengikat P. Disamping itu oksida hidrous dari Al dan Fe pada tipe liat 1:1 juga ikut menjerap P. b. Reaksi tanah Ketersediaan dari bentuk P di dalam tanah sangat erat hubungannya dengan pH tanah. Pada kebanyakan tanah, ketersediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH antara 5.5-7. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah 7. Adsorpsi P dalam larutan tanah oleh oksida Al dan Fe dapat menurun apabila pH meningkat. Apabila pH tanah makin tinggi, maka ketersediaan P juga akan berkurang yang terfiksasi oleh Ca dan Mg yang banyak pada tanah alkalis. P sangat rentan untuk diikat atau terjerap pada kondisi masam maupun alkalis. Semakin lama antara P dan tanah bersentuhan, semakin banyak P yang terfiksasi. c. Waktu reaksi Semakin lama antara P dan tanah bersentuhan, semakin banyak P yang terfiksasi. Apabila pada waktunya Al akan diganti oleh Fe, maka kemungkinan akan terjadi ikatan Fe-P yang lebih sukar terlarut jika dibandingkan dengan ikatan Al-P. d. Temperatur
Universitas Sumatera Utara
Tanah yang berada pada iklim panas umumnya lebih banyak mengikat P jika dibandingkan dengan tanah pada iklim sedang. Iklim panas akan menyebabkan kadar oksida hidrous Al dan Fe dalam tanah cukup tinggi. e. Bahan organik Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral hara tanaman dengan lengkap (unsur hara makro dan mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. Sumber fosfat yang ada dalam tanah sebagai fosfat mineral yaitu batu kapur fosfat, sisa tanaman dan bahan organik lainnya. Perubahan fosfor organik menjadi fosfor anorganik dilakukan oleh mikroorganisme. Selain itu, penyerapan fosfor juga dilakukan oleh liat dan silikat. Fosfat anorganik maupun organik terdapat dalam tanah. Bentuk anorganiknya adalah senyawa Ca, Fe, Al, dan F. Fosfor organik mengandung senyawa yang berasal dari tanaman dan mikroorganisme dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid, dan fitin. Bentuk fosfor anorganik tanah lebih sedikit dan sukar larut. Walaupun terdapat CO2 di dalam tanah tetapi menetralisasi fosfat tetap sukar, sehingga dengan demikian P yang tersedia dalam tanah relatif rendah. Fosfor tersedia di dalam tanah dapatdiartikan sebagai P- tanah yang dapat diekstraksikan atau larut dalam air dan asam sitrat. P- organik dengan proses dekomposisi akan menjadi bentuk anorganik (Sianturi, 2008). Ketersediaan P dalam tanah pada umumnya rendah. Banyak tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki kandungan P rendah. Fiksasi
Universitas Sumatera Utara
P merupakan masalah utama pada tanah-tanah vulkanik dan tanah kering masam dengan tekstur liat yang mengandung banyak oksida Al dan Fe. Pemberian P dari pupuk kimia seperti: TSP, SP-36, atau rock fosfat dalam jumlah banyak diperlukan untuk mengatasi fiksasi P agar sebagian dari P yang diberikan tersedia bagi tanaman (Santoso dan Sofyan, 2002). Salah satu sumber fosfat yang umum dipergunakan adalah TSP (Triple Super Phosphate) yang mengandung kadar P2O5 43 – 45%. Pada tanah yang miskin unsur P, pemupupuk kandang 75 – 100 kg TSP per hektar perlu dilakukan untuk mendapatkan pertanaman dan hasil yang baik. Fosfor untuk tanaman ditentukan oleh bentuk ion unsur ini. Bentuk ion ditentukan oleh pH larutan di mana ion itu terdapat. Kalau larutan asam hanya terdapat ion H2PO4 jika pH naik yang dominan mula ion HPO4 dan akhirnya ion PO4 (Rukmi, 2009). Pupuk Kandang Ayam Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari hewan ternak, berupa kotoran padat (feses) atau yang bercampur dengan sisa makanan maupun air seni (urine) hewan umumnya pada sapi, kambing, ayam, dan jangkrik. Kotoran tidak hanya mengandung unsur makro seperti N, P dan K, juga mengandung unsur mikro seperti Ca, Mg, dan Mn yang dibutuhkan tanaman serta berperan dalam memelihara keseimbangan hara dalam tanah, karena kotoran hewan ternak memiliki pengaruh untuk jangka waktu yang lama (Andayani dan Sarido, 2013). Pupuk kandang memang dapat menambah tersedianya bahan makanan (unsur hara) bagi tanaman yang dapat diserapnya dari dalam tanah. Selain itu, pupuk kandang ternyata mempunyai pengaruh yang positif terhadap sifat fisik dan
Universitas Sumatera Utara
kimia tanah, mendorong kehidupan (perkembangan) jasad renik. Dengan kata lain pupuk kandang mempunyai kemampuan mengubah berbagai faktor dalam tanah, sehingga menjadi faktor yang menjamin kesuburan tanah (Sutejo, 2002). Kadar hara P pada kotoran ayam relatif lebih tinggi dari jenis kotoran ternak lainnya. Kadar hara ini sangat dipengaruhi oleh jenis konsentrat yang diberikan. Selain itu pula dalam kotoran ayam tersebut tercampur sisa-sisa makanan ayam serta sekam sebagai alas kandang yang dapat menyumbangkan tambahan hara ke dalam kotoran ayam tersebut. Beberapa hasil penelitian aplikasi kotoran ayam selalu memberikan respon tanmaman yang terbaik pada musim pertama penanaman. Hal ini terjadi karena kotoran ayam relatif lebih cepat terdekomposisi serta mempunyai kadar hara yang cukup dibandingkan dengan jumlah unit yang sama dengan kotoran lainnya (Hartatik dan Widowati, 2009). Hasil penelitian Rasyid dan Inayanti (2010) menyatakana bahwa lama waktu inkubasi terbaik untuk kotoran ayam adalah 2 minggu . dimana pada waktu tersebut C organik tanah sudah meningkat akibat adanya proses dekomposisi yang dipercepat oleh proses penguraian oleh mikroba tanah. Pada penelitian Sihite (2016) menunjukkan kandungan P – total tanah yang diperoleh pada perlakuan pupuk kandang ayam berpengaruh nyata terhadap peningkatan P – total tanah inceptisol. Pemberian pupuk kandang ayam 120 g/polibag dapat meningkatkan 81,96 % P – total tanah Inceptisol dibandingkan tanpa pemberian pupuk kandang ayam . Kombinasi pemberian kotoran ayam dan pupuk SP-36 dapat meningkatkan ketersediaan P tanah dan serapan P pada tanaman jagung. Dengan semakin meningkat dosis yang diberikan maka semakin meningkat ketersediaan P tanah
Universitas Sumatera Utara
dan serapan hara P tanaman Jagung, pada penelitian ini kombinasi perlakuan terbaik antara pupuk SP-36 dengan kotoran ayam adalah pada dosis pupuk SP-36 150 kg/ha dan kotoran ayam 30 ton/ha (Hasibuan, 2013). Pada penelitian Tufaila (2014) Hasil pengamatan kadar P dalam tanah, sebelum perlakuan sebesar 6,43 mg 100 g-1 (sangat rendah). Setelah perlakuan kadar P tertinggi yaitu pada perlakuan 25 ton/ha sebesar 30,64 mg 100g-1 (tinggi). Pemberian beberapa dosis kompos kotoran ayam dapat meningkatkan kelarutan P di dalam tanah. Hal ini diduga karena pemberian kompos kotoran ayam pada tanah masam dapat menurunkan fiksasi P oleh kation asam di dalam tanah, sehingga ketersediaan P dalam tanah meningkat Hasil penelitian Nariratih (2013) menyatakan bahwa Pemberian pupuk kandang kotoran ayam memiliki nilai bobot kering tanaman tertinggi dibandingkan kompos jerami padi dan kulit kakao karena sifatnya yang lebih mudah terdekomposisi, sehingga dapat menyediakan unsur N dan hara lainnya lebih cepat pada masa awal penanaman seperti yang .
Universitas Sumatera Utara