5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Organisme Bivalvia Menurut Suwignyo (1989) yang termasuk kedalam bivalvia (pelecypoda) adalah jenis kerang, remis dan kijing. Terdapat di laut dan di air tawar. Beberapa hidup di daerah pasang surut, kebanyakan di daerah litoral, meskipun ada yang terdapat pada kedalaman 5000 m. Lingkungan hidupnya ialah dasar yang berlumpur atau berpasir, beberapa pada substrat yang lebih keras seperti lempung, batu atau kayu.
Gambar 1. Bagian cangkang luar dan dalam Bivalvia Sumber: Leal, J.H
Tubuh dan kaki bivalvia umumnya pipih secara lateral, seluruh tubuh tertutup mantel dan dua keping cangkang yang berhubungan di bagian dorsal dengan adanya hinge ligament (Suwignyo 1989). Bivalvia memiliki rongga mantel luas dan insang biasanya besar karena berfungsi sebagai alat pernafasan pada umumnya dan sebagai pengumpul makanan pada khususnya. Puncak cangkang disebut umbo dan merupakan bagian paling tua. Garis-garis melingkar sekitar umbo menunjukkan pertumbuhan cangkang. Bentuk, ukuran, hiasan serta warna cangkang bervariasi. Pada umumnya moluska bivalvia adalah pemakan deposit. Secara khusus moluska bivalvia dapat beradaptasi sebagai pemakan suspensi namun tidak dapat menyaring air dengan baik pada tingkat padatan tersuspensi yang tinggi.
6
Akibatnya walaupun bivalvia bersifat pemakan deposit tetapi cenderung untuk menghindari wilayah yang bersubstrat halus karena di wilayah ini terjadi proses pelarutan pada partikel. Namun anggota sub famili Anadarinae umumnya mampu beradaptasi dengan memanfaatkan relung hidup (niche) sebagai pemakan suspensi di wilayah perairan dengan kandungan padatan tersuspensi yang tinggi. Anadara granosa sebagai sub famili Anadarinae diklasifikasikan sebagai pemakan deposit permukaan dasar perairan (Broom 1988 in Hery 1998).
2.2. Habitat dan Penyebaran Bivalvia Menurut Nybakken (1992), moluska mempunyai penyebaran yang luas, karena memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, sehingga dapat hidup hampir di semua tempat yang bermacam-macam (di dasar yang lunak, karang, padang lamun, atau rumput laut dan juga di pantai). Daya adaptasi inilah yang menyebabkan adanya perbedaan jenis yang terdapat di suatu habitat. Budiman (1985) in Pratami (2005) menyatakan bahwa pola sebaran beberapa jenis moluska yang dominan dipengaruhi oleh substrat tempat hidup, frekuensi, serta lama ketergenangan terhadap pasang surut. Nybakken (1992) menyatakan bahwa habitat dari moluska tergantung pada ketersediaan makanan yang berupa detritus dan makroalgae serta kondisi lingkungan yang terlindung oleh gerakan air. Ketidakmerataan penyebaran dan variasi tertentu kelimpahan serta komposisi spesies infauna di daerah subtidal merupakan akibat gangguan secara terus-menerus yang disebabkan oleh gerakan air atau atau aktivitas biologis seperti pemangsaan (Nybakken 1988). Menurut Driscol & Brandon (1973)
bahwa distribusi kelimpahan jenis moluska juga
dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu dan liat, adanya cangkang-cangkang mati dan kestabilan substrat. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis epifauna meningkat pada dasar substrat yang banyak mengandung cangkang-cangkang mati. Moluska yang hidup di laut mempunyai dua tipe penyebaran yaitu penyebaran secara horizontal dan penyebaran secara vertikal. Pada umumnya batas teratas dan terendah penyebaran satu jenis moluska pada suatu daerah dipengaruhi oleh hubungan timbal balik dari beberapa faktor lingkungan, mulai
7
dari derajat keterbukaan terhadap pukulan ombak, panjang massa air berada diatas permukaan, batas maksimum dan minimum suhu air dan udara, ada tidaknya pesaing makanan, dan ada tidaknya pemangsa dan ketersediaan makanan (Budiman 1985 in Pratami 2005). Menurut Russel-Hunter (1983) bivalvia tersebar di perairan pesisir seperti estuari, dengan dasar perairan lumpur bercampur pasir. Beberapa diantaranya hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu atau batu, air tawar serta sedikit yang hidup di daratan. Bivalvia seperti mussels (kepah), clamp (kerang) dan tiram merupakan anggota bivalvia yang hidup di laut. Bivalvia yang hidup di daerah estuari, yaitu beberapa jenis kerang seperti Scrombicularia plana, Macoma balthica, Rangia flexosa dan tiram jenis Crassostrea (Nybakken 1992). Komunitas infauna dijaga kelestariannya dengan menetapnya larva yang pada mulanya bersifat planktonik. Diketahui bahwa larva dapat memilih daerah yang akan ditempatinya. Larva bereaksi terhadap faktor-faktor fisika kimia tertentu. Jika substrat tidak baik maka hewan ini tidak menetap atau bermetamorfosis. Larva juga bereaksi terhadap adanya organisme dewasa dari spesies yang sama. Kemampuan larva memilih daerah untuk menetap serta kermampuannya menunda metamorphosis membuat penyebarannya tidak acak (Nybakken 1988).
2.3. Keterkaitan Kondisi Lingkungan dengan Bivalvia 2.3.1. Substrat dasar Menurut Brower et al.(1990), substrat merupakan campuran dan fraksi lumpur, pasir dan liat dalam tanah. Odum (1971) menyatakan bahwa karakteristik dasar suatu perairan sangat menentukan keberadaan organisme di suatu perairan. Substrat dasar yang merupakan batu-batu pipih dan batuan kerikil merupakan lingkungan yang baik bagi benthos, sehingga mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang tinggi (Odum 1971). Nybakken (1992) menyatakan bahwa tipe substrat berpasir dibagi menjadi dua, yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe substrat berpasir kasar. Tipe substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air yang cepat dan kandungan bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut selalu tersedia, proses dekomposisi di substrat dapat berlangsung secara
8
aerob serta terhindar dari keadaan toksik. Tipe substrat berpasir halus kurang baik untuk pertumbuhan organisme perairan, karena memiliki pertukaran air yang lambat dan dapat menyebabkan keadaan anoksik, sehingga proses dekomposisi yang berlangsung di substrat pada keadaan anaerob, dapat menimbulkan bau serta perairan yang tercemar. Di dalam Odum (1971) dijelaskan bahwa di perairan yang arusnya kuat lebih banyak ditemukan substrat yang kasar (pasir atau kerikil), karena partikel kecil akan terbawa ke tempat yang lebih rendah akibat aktivitas arus dan gelombang, sedangkan partikel besarnya akan mengendap. Driscoll & Brandon (1973) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan jenis moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu dan liat, adanya cangkang-cangkang organisme yang telah mati dan kestabilan substrat. Kestabilan substrat dipengaruhi oleh penangkapan kerang secara terus-menerus, dikarenakan substrat teraduk oleh alat tangkap. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis epifauna meningkat pada substrat yang banyak mengandung cangkang organisme yang telah mati. Jenis-jenis dari kelas gastropoda dan bivalvia dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena memiliki alat-alat fisiologi khusus untuk dapat beradaptasi pada lingkungan perairan yang memilki tipe substrat berlumpur (seperti siphon yang panjang). Ukuran partikel substrat bervariasi, mulai dari liat yang berdiameter < 0,002 mm hingga pasir sangat kasar yang berdiameter 1-2 mm (Tabel 1).
Tabel 1. Kategori ukuran dan partikel substrat Kategori Liat (Clay) Debu/lumpur (Silt) Pasir sangat halus (Very kind sand) Pasir halus (Fine sand) Pasir sedang (Medium sand) Pasir kasar (Coarse sand) Pasir sangat kasar (Very coarse sand) (sumber : Soil Survey staff in Brower et al, 1990)
Diameter partikel (mm) < 0,002 0,002 - 0,050 0,050 - 0,100 0,100 - 0,250 0,250 – 0500 0,500 - 1,000 1,000 - 2,000
9
2.3.2. Parameter kualitas air 2.3.2.1. Suhu Suhu merupakan faktor yang penting karena akan mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme tersebut (Nybakken 1988). Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya (Effendi 2003). Pengaruh suhu dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dapat terjadi pada proses metabolisme, distribusi dan kelimpahan beberapa jenis, sedangkan secara tidak langsung terjadi pada proses kematian organisme akibat kehabisan air yang menyebabkan meningkatnya suhu di perairan (Nybakken 1992). Menurut Broom (1985) kerang darah dapat hidup pada suhu air antara 25 0C dan 32,8 0C sementara menurut Welch (1980) in Tussullus (2003) kisaran suhu yang menunjang kehidupan organisme moluska berkisar antara 35-40 ⁰C.
2.3.2.2. Salinitas Menurut Boyd (1982) in Effendi (2003) salinitas adalah total konsentrasi dari seluruh ion terlarut dalam perairan yang dinyatakan dalam satuan ‰. Salinitas mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam distribusi biotik akuatik. Menurut Nontji (2002) sebaran salinitas dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.
Menurut McLusky (1989) bahwa pembagian zona estuari
berdasarkan salinitas, yakni (1) Head, daerah hulu, air tawar memasuki estuari dan masih ada pengaruh arus dari sungai, salinitasnya < 5‰. (2) Upper reaches, di muara, daerah pencampuran antara air tawar dan air laut yang memiliki arus yang lemah, deposit lumpur, salinitasnya 15-18‰. (3) Middle reaches, bagian tengah, arus terjadi dikarenakan gelombang, lumpur dan pasir terdeposit seiring
10
dengan semakin cepatnya arus, salinitasya 18-25‰. (4) Lower reaches, bagian bawah, arusnya semakin cepat, substrat berpasir atau lumpur jika arus melemah, salinitas 25-30‰. (5) Mouth, mulut (hilir), arusnya kuat, bersedimen pasir atau pantai berbatu, salinitas hampir sama dengan laut, yakni > 30‰. Menurut Effendi (2003) perairan tawar biasanya memiliki salinitas kurang dari 0,5‰, perairan payau 0,5‰-30‰, dan perairan laut 30‰-40‰. Pada perairan hipersaline nilai salinitas dapat mencapai 40‰-80‰. Pada perairan peisisir, nilai salinitas sangat di pengaruhi oleh masukan air sungai. Menurut Pennak (1978) kisaran optimum bagi bivalvia berkisar antara 2-35 ‰.
2.3.2.3. Kecepatan arus Menurut Nontji (2002) arus merupakan gerakan suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan dalam densitas air laut atau disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang. Menurut Wood (1987) terdapat lima kategori kecepatan arus dan efeknya terhadap organisme dasar (Tabel 2).
Tabel 2. Kecepatan arus dan efeknya terhadap organisme dasar Kecepatan arus Kategori (cm/detik)
> 100
Cepat
10-100
Sedang
< 10
Sangat lemah
<5
Sangat lemah sekali
(Sumber: Wood, 1987)
Keterangan Organisme bentik sangat terpengaruh oleh arus yang cepat sehingga dapat menyebabkan stress fisik, sangat sulit untuk menetap Menguntungkan bagi organisme dasar dan perairan terbuka, terjadi pencampuran dan pembauran antara bahan organik dan anorganik, tidak terjadi akumulasi Organisme bentik dapat menetap, tumbuh dan bergerak bebas, pencampuran mulai berkurang, begitu pula dengan pembaruan gas-gas terlarut dan bahan-bahan penting lain Kurangnya pencampuran, terjadi stratifikasi kolom air, oxycline dan berkurangnya oksigen bagi organisme dasar
11
Arinardi (1978) in Pratami (2005) menyatakan bahwa organisme akuatik yang
hidup
menetap
pada
arus
yang
kuat
dapat
mengakibatkan
ketidakseimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar perairan yang berpasir atau berlumpur. Pergerakan arus yang cukup lambat di daerah berlumpur menyebabkan partikel-partikel halus mengendap dan melimpahnya detritus. Hal ini merupakan media yang baik bagi deposit seperti bivalvia. Pergerakan air yang ditimbulkan oleh gelombang dan arus memiliki pengaruh yang penting terhadap bentos, mempengaruhi lingkungan sekitar seperti ukuran sedimen, kekeruhan dan banyaknya fraksi debu juga stress fisik yang dialami organisme-organisme dasar.
2.3.2.4. DO ( Oksigen terlarut) Menurut Effendi (2003) Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi keanekaragaman organisme dalam suatu ekosistem perairan. Perairan dengan kandungan oksigen yang cukup stabil akan memiliki jumlah spesies yang lebih banyak. Pada suatu area dimana kandungan oksigen terlarutnya sebesar 1,0-2,0 ppm maka organisme moluska masih dapat bertahan hidup karena mereka dapat beradaptasi pada kandungan oksigen yang rendah, seperti halnya bivalvia dari famili Ostreidae. Pada pasang surut, mereka akan menutup cangkang dan melakukan respirasi anaerob, karena kandungan oksigen yang rendah (Aksornkoae 1993 in Tussulus 2003).
2.3.2.5. Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik seprti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell in Effendi 2003).
12
Menurut Ewusie (1980) in Tussulus (2003) kekeruhan itu penting dari segi biologi, karena melibatkan juga bahan terlarut dan sebagai perangkap zat makanan terbentuk, dimana kadar garam anorganiknya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di lautan bebas ataupun sungai yang mengalir masuk.
2.3.2.6. pH Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan oleh pH yang rendah daripada pH tinggi. Menurut Effendi (2003), bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Menurut Pennak (1978), pH yang mendukung kehidupan moluska berkisar antara 5,7-8,4. Odum (1971) menyatakan bahwa perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil karena adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan. Perubahan pH sedikit saja akan mengakibatkan nilai alami sistem buffer terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi keseimbangan faktor kimia perairan.
2.3.2.7. Logam berat Logam berat yang masuk ke perairan baik di sungai ataupun di laut akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses, yaitu: pengendapan, adsorbs oleh organisme-organisme perairan (Bryan 1976). Logam berat memiliki sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Besarnya kandungan logam berat yang mengendap di dasar perairan pada daerah yang memiliki arus tenang akan jauh lebih banyak jika dibandingkan perairan berarus kuat. Namun arus yang kuat akan menyebabkan terjadinya resuspensi logam berat yang ada di sedimen kembali ke badan perairan. Konsentrasi logam berat terdapat dalam sedimen yang partikelnya paling halus, oleh karena itu sedimen yang terkontaminasi oleh logam berat tetap dapat menjadi
13
sumber pencemar bahkan jika sumber asli pencemar telah dihilangkan (Bryan 1976).
1. Timbal (Pb) Kandungan timbal di perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi membentuk senyawa kompleks yang memiliki kelarutan cukup rendah sehingga kadarnya di perairan relatif kecil. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan oksigen. Toksisitas Pb terhadap organisme akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Toksisitas akut Pb terhadap beberapa jenis avertebrata air tawar dan laut berkisar antara 0,5-5,0 mg/liter (Effendi 2003). Pada organisme akuatik timbal akan menutupi lapisan mukosa dan selanjutnya menyebabkan sufokasi. Toksisitas timbal lebih rendah daripada Cd, Hg dan Cu tetapi akan lebih toksik daripada Cr, Mg, Zn dan Fe.
2. Kadmium (Cd) Keberadaan kadmium di perairan sangat sedikit (renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Garam-garam kadmium (klorida, nitrat dan sulfat) dapat berupa senyawa kompleks organik dan anorganik atau terserap kedalam bahan-bahan tersuspensi dan sedimen dasar. Pada pH tinggi kadmium mengalami presitipitasi/ pengendapan. Kandungan kadmium pada perairan laut sekitar 0,0001 mg/l (Mc Neely et al., 1979 in Effendi 2003). Untuk melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, kadar kadmium sebaiknya sekitar 0,0002 mg/l (Moore, 1991 in Effendi 2003). Moluska bivalvia dapat mengakumulasi Cd sampai 352 kali lebih tinggi dari kadar Cd yang terdapat dalam airnya. Tingginya akumulasi ini berhubungan erat dengan sifat hidupnya sebagai binatang dasar yang mengambil makanan dengan cara menyaring air (filter feeder).
14
3. Hg (Air Raksa) Merkuri dalam perairan dapat berasal dari buangan limbah industri kelistrikan dan elektronik, baterai, pabrik bahan peledak, pestisida, industri kimia dan pembangkit listrik tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar fosil. Masuknya merkuri ke dalam tubuh hewan air adalah melalui penyerapan pada permukaan kulit, melalui insang dan rantai makanan. Logam berat Hg berbahaya karena bersifat biomagnifikasi sehingga dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai makanan. Kadar merkuri pada perairan laut berkisar antara < 10-30 mg/liter (Moore 1991 in Effendi 2003). Kadar merkuri dalam berbagai organisme yang merupakan anggota jala makanan pada ekosistem perairan ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme anggota jala makanan pada ekosistem perairan Jenis Organisme 1. Sedimen 2. Fitoplanton 3. Tumbuhan tingkat tinggi 4. Zooplankton 5. Zoobentos herbivore 6. Zoobentos karnivora 7. Jenis ikan hebivora 8. Jenis ikan karnivora 9. Bebek/itik 10. Burung pemakan ikan Sumber : Sarkka et al 1978 in Effendi 2003
Kadar Merkuri (µg/kg berat basah) 87-114 15 9 13 77 83 332-500 604-1,510 240 2,512-13,685