2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permodelan dan Simulasi Dunia terdiri dari sistem yang sangat kompleks, dengan komponen sistem yang sangat banyak, saling mempengaruhi dan saling bergantung antara satu komponen sistem dengan komponen lainnya, sehingga manusia harus menghadapi dan menanggulangi banyak masalah yang sangat rumit yang memerlukan penanganan yang segera dan antisipatif. Untuk memecahkan masalah ini dikembangkan Ilmu Sistem yang berkembang pesat belakangan ini. Ilmu Sistem sering menggunakan model. Model dibuat menjadi lebih sederhana daripada dunia nyata, sehingga manusia dapat lebih mudah untuk menanganinya (Saaty 1993). Menurut Tamin (2000), model dalam ilmu sistem dapat dikategorikan menjadi 2 yakni: (1). Model dinamik, yakni model yang memiliki peubah waktu di dalamnya, sehingga respons akan berubah dengan terjadinya perubahan waktu, dan (2). Model statik, yakni model yang tidak memiliki peubah waktu. Ilmu sistem dapat dipergunakan untuk membantu dalam membuat keputusan yang bersifat kompleks dan tidak terstruktur serta sulit diprediksi (Marimin 2005, Saaty 1993 dan Tamin 2000). Masalah yang muncul saat ini tidak dapat dipecahkan dengan satu disiplin ilmu saja (Marimin 2005). Ilmu sistem dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang saling berkait dan saling mempengaruhi. Selain dari itu, ilmu sistem juga dapat digunakan untuk menganalisis kejadian pertumbuhan eksponensial, pencapaian target (goal seeking), kurva Sigmoid dan Osilasi berdasarkan simulasi dan permodelan yang didasarkan pada analisis pemecahan masalah secara menyeluruh (Powersim Software 2003). Menurut Kakiay (2004) penggunaan model dan simulasi mempunyai keuntungan: (1). Menghemat waktu, (2). Dapat merentang-luaskan waktu, (3). Dapat mengawasi sumber-sumber yang bervariasi, (4). Mengoreksi kesalahankesalahan perhitungan, (5). Dapat dihentikan dan dijalankan kembali, (6). Besaran konstanta sistem dapat diubah-ubah untuk melihat pengaruhnya. Sedangkan kelebihan penggunaan model dan simulasi menurut Levin, Rubin, Stinson dan Gardner (2002) adalah: (1). Satu-satunya metode uji-coba yang tersedia karena pada lingkungan yang sesungguhnya sulit dilakukan uji-coba dan sulit diamati. Misalnya pada penerbangan ruang angkasa lebih mudah dan lebih murah 12 .
dibandingkan dengan uji coba sesungguhnya, (2). Percobaan dan pengamatan pada sistem yang sebenarnya sangat mahal. Sebagai contoh pengoperasian pusat komputer yang besar di bawah sejumlah alternatif operasi yang berbeda akan sangat mahal untuk dijadikan uji coba, (3). Penggunaan model dan simulasi dapat lebih cepat dilihat hasilnya, misalnya ketika mempelajari respons yang akan terjadi dalam jangka waktu yang sangat panjang untuk melihat kecenderungan populasi dunia ataupun hasil suatu metode silvikultur pada tanaman kehutanan dengan skala waktu lebih dari 100 tahun, (4). Operasi dan pengamatan pada sistem yang sesungguhnya mungkin akan sangat mengganggu komponen sistem yang sangat ringkih, misalnya ketika membandingkan perubahan metode pelayanan di sejumlah rumah sakit boleh jadi akan sangat mengganggu kondisi pasien di rumah sakit tersebut jika dilakukan uji coba sebenarnya. Walaupun demikian, model dan simulasi menurut Levin et al. (2002) memiliki kelemahan antara lain : (1). Hasil simulasi boleh jadi tidak persis sama dengan dunia nyata, karena model mengandung sedikit atau banyak distorsi, (2). Simulasi bukan merupakan proses optimasi dan tidak menghasilkan jawaban, tetapi hanya memberikan suatu kumpulan tanggapan sistem atas berbagai kondisi operasi dan kelemahan yang sulit diukur, (3). Model simulasi yang sangat bagus mungkin sangat mahal dan mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan model canggih yang sangat kompleks dengan hasil yang sangat ideal. Model yang dibangun harus mirip dengan sistem nyata. Oleh sebab itu, perlu dilakukan uji verifikasi dan validasi model. Uji verifikasi adalah proses pemeriksaan apakah logika operasional model sudah sesuai dengan logika. Melalui uji verifikasi dapat dilakukan pemeriksaan apakah program komputer yang sudah disusun menghasilkan simulasi data yang sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan uji validasi merupakan uji dari model yang telah dibuat yang bersifat konseptual apakah merupakan representasi dari dunia nyata (http://library. gunadarma.ac.id/files/disk1/9/jbptgunadarma-gdl-course-2005-timpengaja-427-ve rifika-i.doc). Berikut ini disajikan matriks perbandingan verifikasi dan validasi pada model konseptual, logika dan simulasi komputer (lihat Tabel 5).
13 .
Tabel 5. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji verifikasi dan validasi model Model
Verifikasi
Konseptual -
Logika
Komputer atau simulasi
Sumber:
Apakah kejadian sudah dapat direpresentasikan dengan benar ? Apakah rumus matematika dan relasinya sudah benar ? Apakah ukuran statistik dapat dirumuskan dengan benar ? Apakah kode komputer memuat semua aspek logika ? Apakah statistik dan rumus dihitung dengan benar ? Apakah model mengandung kesalahan pengkodean ?
Validasi Apakah model mengandung semua elemen, kejadian dan relasi yang sudah sesuai ? Apakah model dapat menjawab pertanyaan pemodelan ? Apakah model memuat semua kejadian yang ada pada model konseptual ? Apakah model memuat semua relasi yang ada dalam model konseptual ? Apakah model komputer merupakan representasi dan miniatur dari sistem nyata ? Dapatkah model komputer menduplikasi kinerja sistem dalam dunia nyata ? Apakah output model komputer mempunyai kredibilitas dengan ahli sistem dan pembuat keputusan ?
(http://library.gunadarma.ac.id/files/disk1/9/jbptgunadarma-gdl-course2005-timpengaja-427-verifika-i.doc)
Sushil (1993) mengatakan bahwa sebelum hasil simulasi model dapat dipergunakan untuk membantu dalam menentukan kebijakan, terlebih dahulu perlu dilakukan validasi struktur model dan validasi perilaku tanggap (respon) yang dihasilkan dari struktur model yang telah dibuat. Lebih lanjut Sushil (1993) menyatakan dalam kasus-kasus tertentu validasi model secara kuantitatif bukan satu-satunya cara yang harus dilakukan untuk menguji apakah model yang dibuat sudah baik. Sushil (1993) kemudian menjelaskan bahwa validasi struktur model meliputi: 1. Uji kelayakan (suitability test). Uji ini untuk menjawab apakah struktur model sudah sama dengan dunia nyata.
14 .
2. Uji konsistensi dimensi (ukuran). Uji ini dimaksudkan untuk menelaah apakah satuan dimensi yang dipergunakan dalam persamaan di sebelah kiri sudah sama dengan dimensi yang ada di sebelah kanan. 3. Uji kondisi ektrim. Uji ini untuk menelaah jika masukannya bernilai nol, maka hasil simulasinya juga harus nol. 2.2. Bahan Bakar Minyak dan Gas Peradaban manusia membutuhkan bahan bakar minyak yang diperoleh dari minyak bumi. Fraksi minyak bumi setelah didestilasi berdasarkan titik didihnya dapat dibedakan menjadi bahan bakar minyak dan gas seperti terlihat pada Tabel 6. Bahan bakar khususnya untuk transportasi di Kota Bogor adalah bensin dan solar. Pada awalnya, komponen utama bensin adalah iso-oktana (C8H18) dan heptana (C7H16), sedangkan komponen utama solar adalah setana (C16H34) dan α-metil naftalena (C10H7-CH3). Tabel 6. Jenis bahan bakar hasil destilasi minyak bumi Titik Didih
Jumlah Atom Karbon
Jenis Bahan Bakar
< 20
C1 - C4
Gas alam
20 – 60
C5 – C6
Petroleum eter
60 – 100
C6 – C7
Nafta ringan
40 – 200
C5 – C10
Bensin
175 – 325
C12 – C18
Minyak tanah dan solar
250 – 400
C > 12
Minyak diesel
Sumber: Holum 1975 (dalam Holum 1977) 2.2.1. Bahan Bakar Konvensional Bahan bakar konvensional yang banyak dipergunakan saat ini adalah bensin, solar, minyak tanah dan LPG. Khusus untuk keperluan transportasi di Kota Bogor bahan bakar minyak yang umum dipergunakan adalah bensin dan solar. Kandungan bahan kimia yang terdapat dalam bensin dan solar selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.
15 .
Tabel 7. Kandungan kimia dalam solar dan bensin Komponen Bensin Alifatik-rantai lurus Alifatik-bercabang Alifatik-siklik Aromatik Solar Antrasen 1-Pentilnaptalen n-nonilsikloheksan n-desilsikloheksan n-Pentadekan 2-Metiltetradekan
Rumus Kimia
Kelas Hidrokarbon
Persentase
C7H16 C8H18 C5H12 C6H6 – CH5
Heptana Iso oktana Siklo pentana Etil bensena
30 % 30 % 20 % 20 %
C14H10 C15H18 C15H30 C15H30 C15H32 C15H32
Aromatik Aromatik Naftalen Naftalen n-Parafin Iso parafin
3% 15 % 32 % 11 % 23 % 16 %
Sumber : Yuliani (2004). Selain solar juga digunakan minyak diesel. Solar biasa digunakan untuk mesin dengan putaran tinggi, sedangkan minyak diesel digunakan untuk mesin dengan putaran rendah (Karyanto 2000 dan PT Pertamina 2006a). Lebih lanjut Karyanto (2000) menyatakan bahwa solar digunakan untuk motor putaran tinggi (di atas 1000 rpm), sedangkan minyak diesel digunakan untuk mesin stasioner yang bekerja dengan putaran rendah sampai sedang antara 300 – 1.000 rpm (PT Pertamina 2006b). Minyak tanah banyak dipergunakan untuk masak di dapur, khususnya pada golongan masyarakat menengah ke bawah. Bahan bakar ini mempunyai titik didih antara 150 °C - 300 °C (PT Pertamina 2006c). Pada saat ini untuk keperluan masak-memasak selain minyak tanah banyak juga dipergunakan LPG (liquid petroleum gas). Di Indonesia bahan bakar ini lebih dikenal dengan nama Elpiji. Bahan bakar ini terdiri dari propana (C3H8) dan butana (C4H10). Komposisi propana dan butana dalam LPG di Indonesia adalah sekitar 30 : 70 yang dikemas dalam tabung dengan tekanan 5 bar (Kompas Cyber Medya 2004 dan PT Pertamina 2006d).
16 .
2.2.2. Bahan Bakar Nir-konvensional Bahan bakar minyak nir-konvensional yang kini mulai marak mendapat perhatian adalah gasohol dan biodisel. Gasohol merupakan campuran bensin dengan alkohol. Gasohol 10 adalah campuran 90% bensin dan 10% etanol, sedangkan gasohol 3 adalah campuran 97% bensin dengan 3% metanol. Bahan bakar lainnya yang prospektif adalah biodiesel. Biodiesel di Amerika umumnya berasal dari minyak kedelai dan minyak jelantah (used frying oil), sedangkan biodisel di Indonesia berasal dari minyak sawit yang diubah melalui proses esterifikasi dan trans-esterifikasi. Esterifikasi adalah proses pembuatan ester dari asam karboksilat dan alkohol dengan katalis asam sulfat. Sedangkan trans-esterifikasi adalah proses pengubahan ester menjadi ketil atau etil ester dengan mereaksikan ester karboksilat yang berupa trigliserida dengan metanol dengan katalis KOH (Mariana 2005 dan Hambali et al., 2007). 2.3. Emisi Gas CO2 Emisi gas CO2 di kota sebagian besar berasal dari kegiatan transportasi. Kota Bogor yang terkenal dengan ”Kota Sejuta Angkot” terancam oleh polutan udara dan gas CO2. Syakuroh (2004) telah melakukan penelitian di Kabupaten Bogor. Ternyata emisi gas CO2 di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun terus meningkat. Data selengkapnya dari penelitian yang dilakukan oleh Syakuroh (2004) dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Emisi gas CO2 dari kegiatan transportasi dan proyeksi perkiraannya di Kabupaten Bogor (x 106 ton) No
Tahun
Emisi Gas CO2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
4,35 4,60 5,29 6,42 7,99 10,01 12,46 15,36
Sumber: Syakuroh (2004): 85 17 .
Kota Bogor yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Bogor, kondisi lingkungannya sama-sama terancam seperti halnya Kabupaten Bogor. Penggunaan bahan bakar berupa bensin dan solar serta LPG menghasilkan gas CO2 yang akan meningkat terus sejalan dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak dan gas. Jika terjadi penambahan 2,13 GT C setara dengan 7,81 GT CO2 akan mengakibatkan kandungan CO2 ambien meningkat sebesar 1 ppm (Trenbeth 1981 dalam CDIAC 2005). Perhitungan ini diperoleh dengan menghitung nilai massa udara sebesar 5,137 x 106 Gt. 2.4. Karakteristik Gas CO2 Gas CO2 adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna dan tidak berasa (Holum 1977). Karakteristik fisik-kimiawi gas ini adalah sebagai berikut: Tabel 9. Karakteristik fisik-kimiawi gas CO2 Karakteristik Fisik-kimiawi Nama Rumus Kimia Berat molekul Kenampakan Titik cair Titik Sublimasi Densitas Kelarutan
Karbon dioksida CO2 44 Tak berwarna dan tidak berasa 216 oK(-570C) 195 oK (-780C) 1,98 kg/m3 (gas pada 298 oK) 1,45 mg per kg air
Sumber: CDIAC (2005) Secara alami gas ini dihasilkan dari letusan gunung berapi, perombakan bahan organik dan respirasi tumbuhan serta hasil pernapasan manusia. Selain dari itu, gas ini juga dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar minyak dan gas yang banyak dipergunakan di kota. Setiap jenis bahan bakar yang dipergunakan menghasilkan jumlah emisi gas CO2 yang berbeda-beda. Rincian emisi gas yang dihasilkan oleh berbagai macam bahan bakar dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
18 .
Tabel 10. Emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh beberapa macam bahan bakar No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Bahan Bakar
Jumlah Emisi
Satuan
2,31 2,68 2,52 1,51 1,78 3,09 1,89
kg/lt kg/lt kg/lt kg/kg kg/m3 kg/lt *) kg/m3 *)
Bensin Solar Minyak tanah LPG LNG Minyak Diesel Gas pipa
Sumber: DEFRA (2005) dan The National Energy Foundation (2005) *) Jaques (1992). Walaupun tidak dimasukkan dalam sistem, sesungguhnya manusia yang hidup juga menghasilkan gas CO2. Komposisi gas yang dihirup maupun yang dihembuskan dari pernapasan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11. Komposisi gas CO2 dan uap air pada hirupan dan hembusan napas (%) No Jenis Gas
Hirupan
Hembusan
1 2 3
20,71 0,04 1,25
14,6 4,0 5,9
O2 CO2 H2O
Sumber: http://www.sirinet.net/~jgjohnso/respiratory.html, 2005. Rerata manusia bernapas dalam keadaan sehat dan tidak banyak bergerak sebanyak 12 - 18 kali per menit yang banyaknya sekitar 500 ml udara pada setiap tarikan napas (Http://www/msnencarta/respiratorysystem.mh1 2005). Jadi manusia membutuhkan sebanyak 6 – 9 liter udara dalam waktu 1 menit atau 360 - 540 liter dalam waktu 1 jam. Jumlah gas CO2 yang dihasilkan dari pernapasan manusia dalam satu jam sebanyak 39,6 g CO2 (Goth 2005). 2.5. Dampak Negatif Gas CO2 2.5.1. Dampak Negatif Gas CO2 terhadap Manusia Udara mengandung 20,95% oksigen. Ketika paru menghirupnya, oksigen akan diserap masuk ke dalam darah dan membentuk oksi-hemoglobin sebanyak 98,5% dan sebanyak 1,5 % larut dalam plasma darah. Selain oksigen udara juga mengandung gas CO2. Ketika udara dihirup gas CO2 akan larut ke dalam plasma 19 .
darah dan sebagian lagi diikat oleh hemoglobin membentuk Hb-CO2 (karbaminohemoglobin).
Gas
CO2
di
dalam
darah
terdapat
dalam
tiga
bentuk
(Http://www.niehs.nih.gov/oc/factsheets/ozone/ithurts. htm 2005): •
CO2 terlarut (10% dari seluruh gas CO2 yang masuk dalam sel darah).
•
CO2 + Hb Æ Hb-CO2 : karbamino-hemoglobin yang merupakan ikatan hemoglobin dengan molekul CO2 (30%).
•
CO2 + H2O Æ HCO3- : larut dalam plasma darah yang membentuk asam bikarbonat, atas bantuan enzim karbonik anhidrase (60%). Pada lingkungan yang konsentrasi gas CO2-nya tinggi gas ini dapat
mengancam kesehatan manusia (http://people.eku.edu/ritchisong/301notes6.htm dan http://www.cdli.ca/~dpower/resp/exchange.htm#Cellular 2005 dan Aerias 2005). Lebih lanjut Aerias (2005) menyatakan bahwa kadar gas CO2 yang dapat mengancam kesehatan manusia lebih dari 1,5%. Jika kadar gas ini melebihi 3% dapat mengakibatkan gejala sakit kepala dan kelelahan yang disertai dengan napas cepat, hilang kesadaran, bahkan kematian (http://www.health.state.mn.us/divs/eh/ air 2004) dan http://www.ccohs.ca/oshanwers/chemicals/chem_profiles/carbondioxide/health_cd.html 2004). Oleh sebab itu, konsentrasinya di udara ambien diusahakan tidak lebih dari 0,5%. Dengan adanya kontaminan gas CO2, maka jumlah yang terlarut yang dibawa oleh plasma darah menjadi semakin tinggi yang akan menggeser gas oksigen, karena kelarutan gas ini 20 kali lebih kuat dari pada kelarutan gas oksigen (Http://www.niehs.nih.gov/oc/factsheets/ozone/ithurts.htm 2005). 2.5.2. Dampak Negatif Gas CO2 terhadap Lingkungan Hidup Selain gas ini dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia, meningkatnya kandungan gas ini beserta gas rumah kaca lainnya seperti: CH4, CFC, N2O dan O3 yang terdapat di udara ambien akan menahan radiasi balik (reradiation) dalam bentuk gelombang panjang yang memiliki energi termis, sehingga mengakibatkan naiknya suhu udara bumi melalui efek rumah kaca. Gas CO2 dapat menahan sinar inframerah jauh dengan panjang gelombang 13 - 19 μm (http://www.able2know.com/forums/about44061-0-asc-1980.html 2006), sedangkan menurut Sunu (2001) panjang gelombang yang diserap 12,5 - 17 μm. 20 .
Gas CO2 merupakan gas penyusun atmosfer yang konsentrasi di lingkungan yang tidak tercemar sebesar 0,03%. Oleh karena gas ini di lingkungan yang tidak tercemar sekalipun ada namun konsentrasinya rendah, maka sebagian ahli menyatakan gas ini bukan sebagai pencemar udara. Keberadaan gas ini di alam selain untuk bahan baku fotosintesis juga gas ini dapat menahan radiasi balik dalam bentuk gelombang panjang yang kemudian akan mengakibatkan suhu udara bumi menjadi lebih hangat. Suhu rerata udara bumi sekitar 15oC (Stuart dan Costa 1998). Lain halnya jika di atmosfer bumi tidak ada gas CO2, maka suhu udara bumi -18oC (Sinclair dan Gardner 1998). Keberadaan gas ini di atmosfer sangat dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Masalah ini akan dibahas kemudian pada Bab 2.6. Walaupun kadar gas ini semula sangat rendah, namun konsentrasinya dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 1860 konsentrasinya 280 ppm, kemudian pada tahun 1950 menjadi 306 ppm, tahun 1960 sebesar 313 ppm, tahun 1971 menjadi 321 ppm, tahun 1999 sebesar 345 ppm dan tahun 2004 menjadi 378 ppm. Lebih jauh Stuart dan Costa (1998) menyatakan bahwa 75% pertambahan berasal dari pembakaran bahan bakar minyak dan gas (Gambar 2). Emisi Karbon Global
Juta ton
Gambar 2. Emisi gas CO2 dari penggunaan bahan bakar fosil dan produksi semen. Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Carbon_dioxide. Diperkirakan nanti pada tahun 2100 konsentrasinya akan menjadi dua kali lipat dari yang ada sekarang ini. Jika prediksi itu benar-benar terjadi, maka suhu udara akan meningkat sebesar 1,0 – 5,5oC (Sinclair dan Gardner 1998). Pengaruh dari pemanasan global antara lain: cuaca menjadi lebih ekstrim, evapotranspirasi meningkat, suhu udara meningkat, permukaan air laut meningkat, kebakaran 21 .
hutan bertambah, migrasi satwa dan kelangkaan air (http://en.wikipedia. org/wiki/Effects of global warming 2006). Suhu udara memang berfluktuasi, namun mempunyai kecenderungan terus meningkat, apalagi pada dua dasawarsa belakangan ini, seperti terlihat pada Gambar 3 berikut ini.
Rerata tahunan Rerata 5 tahunan
Gambar 3 . Fluktuasi suhu udara dari tahun 1860 – 2000. Sumber: Http://data.giss.nasa.gov/gistemp/2005. Dengan memperhatikan Gambar tersebut di atas para ahli lingkungan dan iklim sepakat telah terjadi peningkatan suhu udara yang mengkhawatirkan, namun tidak semua sepakat bahwa penyebabnya hanya karena gas-gas rumah kaca. Jika dikaji secara menyeluruh naiknya suhu udara bumi selain akibat efek rumah kaca, juga dapat diakibatkan karena bahang (heat, kalor) yang dihasilkan oleh beberapa macam kegiatan manusia yang dapat mengakibatkan semakin hangatnya udara. Beberapa kegiatan manusia modern yang menghasilkan kalor antara lain: penggunaan AC di daerah tropika dan penghangat ruangan di daerah dingin (heater dan tungku pemanas ruangan), kebakaran hutan, gas yang sengaja dibakar (flare), kegiatan masak memasak di rumah, restoran dan hotel, pesawat udara dan kapal laut serta industri dan kendaraan bermotor. Kesemuanya itu menghasilkan bahang yang akan menghangatkan udara. AC misalnya, udara yang dihembuskan ke dalam ruangan adalah udara dingin, sedangkan udara yang dihembuskan ke luar ruangan adalah udara panas. Pesawat udara bermesin jet akan memanaskan 22 .
udara yang sangat dingin sampai dengan ketinggian 3.000 m. Kapal laut akan memanaskan udara yang ada di permukaan laut. Kegiatan masak-memasak juga akan menghasilkan bahang. Jadi kesemuanya itu menghasilkan bahang (kalor) yang dapat memanaskan udara yang ada di permukaan bumi. Bahang (heat) yang dihasilkan itu tidak dapat menembus ke luar atmosfer, karena meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi. Maka suhu udara bumi akan semakin hangat. Akibat dari menghangatnya suhu udara bumi, es di kedua kutub akan mencair sehingga banyak kota yang terletak di pesisir akan tenggelam. Akibatnya, ekosistem mangrove dapat terganggu, demikian juga dengan kota-kota yang terletak di tepi pantai dapat terendam air laut. Dampak negatif lainnya berupa bergesernya satwa liar yang sensitif terhadap pemanasan global. Meningkatnya suhu udara mengakibatkan habitat satwa liar yang semula nyaman menjadi lebih panas, sehingga mereka akan berpindah mencari tempat baru yang lebih nyaman. Peningkatan suhu udara sebesar 1 oC akan mengakibatkan satwa akan berpindah sejauh 100-150 km mendekati kutub atau ke tempat 150 m lebih tinggi dari tempat hidupnya semula (http://www.cook.utgers.edu/~humeco/courses/gm classes/global/classnotes/possible_consequences_of_global_.htm
2006
dan
http://
mason.gmu.edu/~klargen/111lectclimatechange.htm 2006). 2.6. Fotosintesis dan Respirasi Fotosintesis adalah proses metabolisme pengubahan CO2 dan H2O menjadi karbohidrat dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari. Proses ini berlangsung di dalam butir kloroplas, yang terdiri dari dua bagian yakni: (1) Tilakoid yang tersusun dari grana yang memungkinkan terjadinya pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia (foto-fosforilasi) dan (2) Bagian cair (kurang padat) yang disebut lamela yang merupakan tempat terjadinya reduksi CO2 pada reaksi gelap. Gas CO2 sebagai bahan utama fotosintesis masuk melalui stomata. Laju fotosintesis daun tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor (Bildwell (1974), Kramer dan Kozlowski (1979), Smith (1981), Schulze dan Caldwell (1995), Taiz dan Zeiger (1991), Bell dan Treshow (2002) serta Lakitan (2004):
23 .
a. Perbedaan jenis tumbuhan Tumbuhan berdasarkan fotosintesisnya dapat dibagi menjadi 3 golongan besar yakni jenis C-3, C-4 dan CAM. Tanaman C-4 antara lain: jagung, tebu dan sorgum. Tanaman kehutanan umumnya tergolong ke dalam C-3. Nenas dan kaktus termasuk golongan CAM (Crassulacean Acid Metabolism). Setiap jenis tumbuhan mempunyai laju fotosintesis yang berlainan. Ada tanaman yang memiliki laju sink gas CO2 yang tinggi dan ada juga yang memiliki laju sink yang rendah. b. Umur daun Laju fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun. Daun muda umumnya mempunyai kemampuan fotosintesis yang masih rendah yang kemudian akan meningkat dengan bertambahnya umur dan luasan daun. Setelah ukuran daun mencapai maksimum, maka daun akan menjadi tua dan berubah warna menjadi kuning karena klorofil mulai rusak. Kemampuan fotosintesis daun dengan klorofil yang mulai rusak akan menurun bahkan akan terhenti jika klorofilnya sudah sangat rusak. c. Letak daun Daun yang terletak di bagian dalam tajuk kurang cukup mendapat cahaya matahari. Akibatnya laju fotosintesis daun yang terletak di bagian dalam tajuk umumnya lebih rendah daripada daun yang terletak di tepi luar tajuk yang mendapat cahaya matahari yang cukup. d. Fase pertumbuhan Tumbuhan yang sedang tumbuh, sedang berbunga dan berbuah memiliki laju fotosintesis yang tinggi dan laju translokasi fotosintat yang tinggi pula. Sebaliknya tumbuhan yang sedang istirahat laju fotosintesisnya rendah. e. Intensitas cahaya matahari Intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan oleh tumbuhan berbeda-beda. Ada jenis tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada cahaya matahari penuh dan ada pula tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada kondisi ternaungi (shade plants).
24 .
f. Konsentrasi gas CO2 Gas CO2 merupakan bahan yang dibutuhkan untuk fotosintesis. Oleh sebab itu, jika konsentrasi gas ini semakin meningkat, maka hasil fotosintesis akan meningkat pula. Walaupun demikian secara umum konsentrasi gas yang melebihi 1.000 – 2.000 ppm akan berpengaruh buruk pada fotosintesis. g. Suhu udara Laju fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya suhu udara, karena proses biokimia menjadi lebih cepat. Namun pada suhu yang sangat tinggi enzim yang berperan dalam fotosintesis menjadi rusak, sehingga fotosintesis akan terganggu. h. Ketersediaan air tanah dan kelembaban udara Bahan yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis selain gas CO2 juga air. Oleh sebab itu, jika tumbuhan kekurangan air, maka translokasi air dari akar ke daun berkurang. Untuk mengurangi daun kehilangan air, terlebih lagi pada keadaan kelembaban udara sangat rendah, maka bukaan stomata daun akan mengecil bahkan menutup. Dengan demikian masuknya gas CO2 ke dalam daun lewat stomata akan berkurang. Akibatnya proses fotosintesis juga akan menurun. i. Kesehatan daun Daun yang terserang penyakit menyebabkan tidak bisa melakukan fotosintesis secara baik. Tab-toksin yang dihasilkan oleh Pseudomonas syringae atau ten-toksin yang dihasilkan oleh Alternaria tenuis dapat mempengaruhi fotosintesis tumbuhan (Agrios 1997). j. Polutan udara Beberapa polutan dapat mempengaruhi fotosintesis. Gas SOx, NOx, ozon dan hujan asam dapat mempengaruhi proses fotosintesis, baik melalui proses terbentuknya kloroplas maupun dalam mempengaruhi umur kloroplas serta proses biokimia yang terjadi dalam daun. 2.7. Tumbuhan sebagai Penyerap gas CO2 Gas CO2 yang dihasilkan oleh berbagai proses di alam ketika manusia belum mencemari lingkungan akan dapat diserap kembali oleh mikrofita (tumbuhan renik) dan makrofita (tumbuhan) baik yang terdapat di perairan 25 .
maupun di daratan. Tumbuhan dapat menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis berdasarkan rumus: 6 mol CO2 + 12 mol H2O + 675 cal Æ 1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O 264 g
216 g
180 g
192 g
108 g
Kemampuan tanaman dalam menyerap gas CO2 bermacam-macam. Menurut Purnama (2003), pertambahan tanaman kehutanan sekitar 8 - 25 ton C/ha/tahun setara dengan 29,36 - 91,75 ton CO2/ha/tahun. Umur rotasi tanaman 740 tahun. Sedangkan menurut Gordinho et al., (2003), tanaman mahoni yang berumur 11 tahun dengan kepadatan 940 pohon/ha mempunyai daya serap sebesar 25,40 ton CO2/ha/tahun; sedangkan tanaman mangium dengan umur yang sama namun kepadatannya 912 pohon/ha mempunyai daya serap 23,64 ton CO2/ha/tahun; sementara tanaman sungkai yang berumur 8 tahun dengan kepadatan 1.016 pohon/ha mempunyai daya serap 18,06 kg CO2/ha/tahun. Sedangkan menurut Urban Forestry Administration District of Columbia (2004) pohon hutan kota dapat menyerap gas CO2 sebanyak 6,42 ton/ha/tahun. Simpson dan McPherson (2001) memperkirakan kemampuan tanaman yang berumur 35 tahun yang tumbuh di Barat laut Pasifik mampu menyerap CO2 sebanyak 50-100 kg CO2/pohon/tahun. Metro TV pada tanggal 10 Juni pukul 14.30-15.00 dalam siaran yang berjudul Earth Report is a Carbon Neutral Program dari National Geographic menyatakan satu pohon dapat menyerap gas CO2 sebanyak 20 kg/tahun. Kemampuan sink gas CO2 juga pernah diteliti oleh Moerdiyarso et al. (1999) yang melaporkan bahwa tanaman Acacia mangium dan Gmelina arborea yang berumur antara 2 – 8 tahun di Parung Panjang, Jasinga Bogor mempunyai laju fiksasi masing-masing sebesar 0,64 – 3,98 ton CO2/ha dan 1,14 – 1,62 ton CO2/ha pada lingkungan yang konsentrasi ambien gas ini antara 300 – 351 ppm. Sementara Brown (1982) dalam Moerdiyarso et al. (1999) menyatakan kemampuan hutan alam dalam menyerap gas ini sebesar 73,4 – 256,9 ton CO2/ha. Sementara Hairiah et al. (2001) menyatakan bahwa jenis tanaman kehutanan cepat tumbuh (sengon) dapat menyerap sebanyak 9 Mg C/ha/tahun atau setara dengan 33,03 ton CO2/ha/tahun, sedangkan jenis lambat tumbuh sebesar 4,5 26 .
Mg C/ha/tahun atau setara 16,52 ton CO2/ha/tahun. Sementara tanaman perkebunan (kopi) 2,2 Mg C/ha/tahun yang setara dengan 8,07 ton CO2/ha/tahun. IPCC (2000) serta Pretty dan Ball (2001) dalam Niles et al., (2001) menyatakan tanaman semusim (padi) menyerap gas CO2 sebanyak 0,37 ton/ha/tahun, sedangkan daya serap kebun campuran sebanyak 2,94 ton CO2/ha/tahun sementara semak dan rumput sebanyak 3,30 ton CO2/ha/tahun. Menurut Nobel (1991), penyerapan gas CO2 oleh hutan sebesar 2,76 ton/ha/tahun, sedangkan menurut Bernatzky (1978), 1 pohon Beach menyerap gas CO2 2,35 kg/jam dan menghasilkan gas O2 sebanyak 1,71 kg/jam. Air yang dibutuhkan sebanyak 0,96 kg/jam dan karbohidrat yang dihasilkan sebanyak 1,6 kg/jam. Lebih lanjut Bernatzky (1978) menyatakan hutan dengan pepohonan, semak, perdu dan rumput membutuhkan 900 kg gas CO2 per hari atau 328,5 ton CO2/ha/tahun dan menghasilkan 0,60 ton O2/ha/tahun atau 219,0 ton O2/ha/tahun. Sedangkan menurut Iverson et al. (1993) nilai sink gas CO2 untuk hutan 58,26 ton/ha, kebun 52,40 ton/ha serta semak dan rumput 3,30 ton/ha. Daya sink gas CO2 dari beberapa varietas tanaman padi berlainan menurut varietasnya antara 25 – 65 mg CO2 per dm2 lembar daun per jam (Indradewa dan Putra 2007). IPCC (2006) menyatakan daya sink beberapa tipe penutupan lahan adalah sebagai berikut : Tabel 12. Daya sink gas CO2 di beberapa tipe penutupan lahan Tipe Penutupan Lahan Ladang Sawah Agroforestry : - Multi jenis - Sederhana dengan kerapatan tinggi Semak dan Rumput Hutan Kebun
Daya Sink Gas CO2 (t CO2/ha/jam) (t CO2/ha/tahun) 0,15 657,00 0,04 175,20 0,84 - 1,68 2,93 - 3,77
3.679,20 – 7358,40 12.833,40 – 16.512,60
0,34 0,13 0,13
1.489,20 569,40 569,40
Sumber : Http://www.159.226.205.101/climatechange2/IPCC/report/land/ch9910/ report%5Csinksch4 : 110 (data telah diolah).
27 .
2.8. Respoons Tumbu uhan terhad dap Pening gkatan Kon nsentrasi G Gas CO2 Daari beberappa penelitiaan yang peernah dilakuukan tangggapan tumb buhan terhadap peningkataan konsentrrasi gas CO C 2 berbedda-beda meenurut jeniisnya. mbuh akan meningkat sebanyak 54%, sedan ngkan Pertumbuhhan tanamaan cepat tum tanaman lambat l tum mbuh sebesaar 23%. Seecara umum m dapat dinnyatakan bahwa b peningkataan konsentrrasi gas ini sebanyak 2 kali akan mengakibat m tkan pening gkatan pertumbuhhan tanamaan sebesar 40-50%. Produksi P taanaman keddelai menin ngkat sebanyak 32 % padaa paparan konsentrasi k CO2 ambieen semula 315 µmol mol-1 mudian ditinngkatkan menjadi m 630 0 µmol mol-1 (Sinclaair dan Gaardner yang kem 1998). Paada tanamaan gandum m, pengaru uh peningkkatan CO2 selama in nisiasi pembungaaan mengakkibatkan peningkatan jumlah j buliir (kernel) ddan pening gkatan ukuran buulir. Untuk padi, p jumlah gabah perr malai dann massa gabbah per biji tidak berubah dengan meniingkatnya konsentrasi k gas g CO2 (Siinclair dan G Gardner 19 998).
naman Gambar 4. Pengaruh peningkatann konsentraasi gas CO2 pada laju assimilasi tan kedelai. Suumber: Junee (2003).
Gambar 5. Hubungann antara suhhu daun deng gan laju asimilasi tanam man kedelai Sumber: June J (2003)). 28 .
June (2003) menyatakan tanaman kedelai yang diberi perlakuan dengan konsentrasi gas CO2 ambien 700 μmol mempunyai laju asimilasi lebih besar daripada tanaman yang mendapat paparan 350 μmol (lihat Gambar 4). Sedangkan pada Gambar 5 hasil penelitiannya menggambarkan hubungan antara laju sink gas CO2, suhu daun yang mendapat konsentrasi 350 dan 700 μmol. Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa titik suhu maksimum tanaman kedelai yang mendapat paparan 350 μmol pada 29oC, sedangkan titik maksimum suhu tanaman yang mendapat paparan 700 μmol pada 33oC (June 2003). 2.9. Hutan Kota Hutan kota yang efektif dan efisien perlu dibangun agar kota menjadi lebih sejuk, segar, sehat, nyaman, hijau dan berbunga. Hutan kota harus fungsional, artinya tanaman harus dapat berfungsi dalam pengelolaan lingkungan (Dahlan, 2004). Keberfungsian tanaman harus disesuaikan dengan masalah lingkungan yang telah ada atau diperkirakan akan muncul di masa yang akan datang. Dengan adanya hutan kota yang luas dan fungsional diharapkan kualitas lingkungan kota dan sekitarnya akan meningkat dan daya dukung kota pun akan tinggi. Definisi hutan kota bermacam-macam. Jorgensen dalam French (1975) mendefinisikan, hutan kota adalah: “Pepohonan dan hutan di dalam kota dan di sekitar kota yang berguna dan berpotensi sebagai pengelola lingkungan perkotaan oleh tumbuhan dalam hal: ameliorasi iklim, rekreasi, estetika, fisiologi, sosial dan kesejahteraan ekonomi masyarakat kota”. Wenger dalam Forestry Handbook (1984) menyatakan: “Perhutanan Kota adalah pengelolaan lahan milik umum maupun pribadi di wilayah perkotaan”. Sementara Miller (1988) menyatakan: “Hutan Kota adalah semua pepohonan dan vegetasi lain yang berada di dalamnya yang berada di dalam wilayah hunian manusia baik dari komunitas yang kecil dengan wilayah yang sempit sampai wilayah metropolitan yang sangat luas. Persatuan Ahli Kehutanan Amerika Serikat menyatakan: “Perhutanan Kota adalah seni, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan pepohonan dan sumberdaya hutan di dalam maupun di sekitar ekosistem perkotaan yang bermanfaat untuk fisiologi, sosiologi, ekonomi manusia dan manfaat ekologis lainnya serta untuk meningkatkan estetika lingkungan kota dan 29 .
perkotaan (Helms 1998). Sedangkan PP No. 63 tahun 2002 menyatakan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. 2.10. Studi Kebutuhan Luasan Hutan Kota Dahlan dalam buku: Membangun Kota Kebun Bernuansa Hutan Kota yang diterbitkan oleh IPB Press tahun 2004 menyatakan ada empat hal yang harus diperhatikan dalam membangun hutan kota yakni: (1). Pemilihan tanaman yang cocok dengan keadaan setempat. (2). Pemilihan tanaman sesuai dengan fungsi dalam pengelolaan lingkungan. (3). Estetika. (4). Luasannya. Luasan hutan kota perlu diperhatikan agar fungsinya dalam pengelolaan lingkungan dapat dirasakan keberadaannya. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan penentuan luasan hutan kota akan dijelaskan berikut ini. Wisesa (1988) dalam skripsinya yang berjudul Studi Pengembangan Hutan Kota di Wilayah Kotamadya Bogor telah menghitung kebutuhan luasan hutan kota sebagai pemasok oksigen. Kebutuhan luasan hutan kota untuk kotamadya Bogor yang luas keseluruhannya 11.850 ha pada tahun 1988 adalah 1.136,8 ha (9,59% dari luas Kotamadya Bogor) dan pada tahun 1995 menjadi 1.843,96 ha (15,56%). Penelitian lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan luasan hutan kota yang telah dilakukan di Kota Bogor adalah penelitian yang dilakukan oleh Herdiansyah tahun 2006 yang berjudul Penentuan Luasan Optimal Hutan Kota sebagai Gas Karbondioksida. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa luasan hutan kota yang diperlukan pada tahun 2005 dan 2020 masing-masing seluas 1.970,97 ha (16,63 %) dan 3.108,08 ha (26,23%). Nasihin (2003) juga melakukan penelitian kebutuhan hutan kota di perkotaan Kuningan pada tahun 2003. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa luasan hutan kota yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen untuk manusia dan kendaraan bermotor seluas 30,22 % pada tahun 2003 dan pada tahun 2010 menjadi 59,67 % dari total luas perkotaan Kuningan. Selain dari itu Septriana (2005) melakukan penelitian tentang kebutuhan luasan hutan kota di Kota Padang. Kebutuhan luas hutan kota berdasarkan konsumsi oksigen oleh manusia, kendaraan bermotor, hewan ternak dan industri 30 .
di Kota Padang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu dari tahun 2003 sampai tahun 2020 luas hutan kota yang dibutuhkan antara 8.623,65 - 14.894,61 ha atau 12,41 - 21,43% dari total wilayah Kota Padang, sedangkan luas ruang terbuka hijau yang ada seluas 41.242,25 ha (59,34%) dan luas hutan kotanya 36.915,9 ha (53,12%), sehingga masih melebihi kebutuhan hutan kota untuk tahun 2003 bahkan sampai tahun 2020. Penelitian lainnya yang berkaitan dengan luasan hutan kota adalah Tinambunan yang melakukan penelitian di Kota Pekanbaru pada tahun 2006. Kota Pekanbaru luasnya 63.226 ha terdiri dari 8 kecamatan. Berdasarkan analisis Citra tahun 2004, luasan ruang terbuka hijau yang ada sebesar 31.750,34 ha, sedangkan ruang terbuka hijau yang diperlukan sebagai penyerap gas CO2 seluas 27.337,34 ha (Tinambunan 2006).
31 .