2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Dalam Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 tercantum bahwa salah satu permasalahan yang menyangkut pembangunan sumberdaya manusia (SDM) yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan pencapaian pembangunan antara lelaki dan perempuan (RI 2005). Kondisi perempuan Indonesia dibandingkan dengan lelaki pada tahun 2002 berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002 (BPS 2003) antara lain adalah sebagai berikut: • Angka Partisipasi Sekolah penduduk (APS) usia sekolah 7-18 tahun adalah 80,67 persen perempuan banding 80,53 persen lelaki. • Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf: 12,69 persen perempuan banding 5,85 persen lelaki. • Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk usia 15 tahun ke atas: 50,20 persen perempuan banding 85,60 persen lelaki. • Persentase penduduk perempuan yang menjadi kepala rumahtangga (KRT): 12,44 persen perempuan banding 87,56 persen lelaki. Alat ukur yang digunakan dalam pembangunan SDM adalah HDI (Human Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan GDI (Genderrelated Development Index). HDI dan GDI mengukur pencapaian pembangunan manusia dari dimensi dan indikator yang sama, tetapi GDI memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara lelaki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil antara angka GDI dan HDI menyatakan semakin kecilnya kesenjangan gender. Dimensi dari pengukuran GDI dan HDI adalah kesehatan (indikatornya usia harapan hidup), pendidikan (indikatornya melek aksara dan lamanya mengikuti pendidikan formal) dan standar hidup layak (Pendapatan Domestik Bruto per kapita). Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP 2006). Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan adanya kesenjangan gender.
Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan gender, disamping GDI, adalah GEM (Gender Empowerment Measured). Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka GEM untuk Indonesia adalah 0,546 yang menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur. Dimensi dari pengukuran GEM adalah partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang politik (indikatornya partisipasi perempuan di parlemen), partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi (indikatornya perempuan berposisi sebagai legislator, pejabat tinggi, manajer, pekerja teknis dan profesional), dan kekuatan terhadap sumberdaya ekonomi (indikatornya perempuan dalam angkatan kerja dan rata-rata upah di sektor non-pertanian) (BPS-Bappenas-UNDP, 2004). Menurut Johansson (2004), “While GDI shows women’s capabilities, GEM shows womens opportunities in economic and political life”. Pengertian gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat (KPP 2002a). Jika pembagian peran lebih banyak merugikan salah satu pihak, maka akan timbul masalah gender. Dalam ruang lingkup pembangunan, kaum perempuan banyak yang belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi seperti dalam kegiatan pembinaan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) atau pengambilan keputusan. Menurut KPP (2002b), kesenjangan gender merupakan hambatan utama bagi peningkatan kualitas SDM, perwujudan hak asasi manusia, pengembangan pembinaan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan. Semua ini merupakan kunci peningkatan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan dan pemanfaatan serta penikmat hasil pembangunan. Gender, menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab lelaki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat (RI 2000). Gender bukanlah kodrat dari ketentuan Tuhan. Gender ini berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya lelaki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada (KPP 2002b).
15
Peran terkait dengan status yang keduanya merupakan konsep pokok dalam struktur sosial. Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok dan dalam masyarakat (Popenoe 1989) atau sekumpulan hak dan kewajiban (Sunarto 2004). Status dibagi menjadi dua yaitu status yang tergariskan (ascribed status) dan status yang diperoleh dengan usaha sengaja (achieved status). Status tergariskan adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dasar keturunan atau yang dibawa sejak lahir, seperti jenis kelamin, tingkat umur dan kelahiran dalam kelompok khusus; sedangkan status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dari kemampuan atau prestasi (Koentjaraningrat 1986; Abdulsyani 1994; Sunarto 2004). Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang terkait dengan kedudukannya (Popenoe 1989; Abdulsyani 1994) atau suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya (Abdulsyani 1994). Peran adalah aspek dinamis dari status (Abdulsyani 1994; Sunarto 2004). Berkembangnya suatu masyarakat dan lancarnya roda kehidupan masyarakat karena anggota masyarakat tidak bertindak melampaui batas-batas peranannya; sebaliknya, kehidupan masyarakat akan rusak jika anggota masyarakat berbuat melampaui atas peranannya atau tidak menyadari akan peranannya (Kartasapoetra dan Kreimers 1987). Peran gender adalah peran sosial yang dihubungkan dengan keadaan lelaki atau perempuan. Peran gender yang diharapkan ini diajarkan dan diperkuat melalui sosialisasi sejak lahir (Popenoe 1989). Dalam sosialisasi gender, agen penting yang berperan adalah keluarga, kelompok bermain (teman bergaul), sekolah dan media massa (Popenoe 1989; Sunarto 2004). Berbagai pembedaan peran dan kedudukan (status) antara lelaki dan perempuan baik langsung berupa perlakuan atau sikap maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun struktur masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu (KPP 2002c; Fakih 2004) meliputi (1) Marjinalisasi perempuan yang mendeskripsikan rendahnya status dan akses serta penguasaan seseorang terhadap sumberdaya ekonomi dan politik. Contoh: tidak adanya hak waris untuk kaum perempuan di beberapa suku di Indonesia.
16
(2) Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau utama dibanding lainnya. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan tidak dapat memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. (3) Pandangan stereotipi (pelabelan) yaitu citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Contoh: anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. (4) Kekerasan yang merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu di lingkungan rumahtangga atau tempat umum, juga dalam masyarakat. Contoh: pelecehan seksual yang bersifat non fisik hingga penyiksaan yang bersifat fisik. (5) Beban kerja yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Hampir 90 persen pekerjaan dalam rumahtangga dikerjakan oleh perempuan, sehingga bagi perempuan yang bekerja akan memikul beban kerja ganda, di rumah dan di tempat kerja. Pekerjaan domestik adalah jenis “pekerjaan perempuan” dan dikategorikan “pekerjaan bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Istilah gender terkait dengan istilah feminisme. Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut (Bhasin dan Khan 1995; Fakih 2004). Fakih (2004) membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik, sebagai berikut (1) Aliran fungsionalisme atau fungsionalisme struktural. Teori ini meyakini bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus-menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Teori ini mempengaruhi pemikiran feminisme liberal dan pengaruh feminisme liberal terwujud dalam program Women In Development (WID). Dasar pemikiran feminisme liberal (Umar 2001; Fakih 2004; lihat Ritzer dan Goodman 2003) adalah semua manusia, lelaki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini
17
menghendaki agar perempuan terintegrasikan secara total di dalam semua peran, sehingga tidak ada kelompok gender yang lebih dominan. (2) Aliran konflik. Menurut Fakih (2004), teori konflik meyakini bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan lelaki dan perempuan. Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi dan hubungan. Teori ini dianut oleh feminisme marxis, feminisme sosialis dan feminisme radikal. Feminisme marxis memandang bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme, dan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Feminisme sosialis berusaha memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Feminisme sosialis (Ritzer dan Goodman 2003) mendeskripsikan penindasan gender sebagai sesuatu yang muncul dari usaha sistem patriarki dan kapitalis untuk mengontrol produksi dan reproduksi sosial. Menurut Umar (2001), kelompok feminisme radikal memandang perempuan tidak harus bergantung kepada lelaki. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional bahwa lelaki adalah masalah bagi perempuan. Dalam rangka menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi kepada kaum perempuan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi pertama yang menyangkut kesetaraan dan keadilan gender yaitu Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan
Konvensi
Mengenai
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women, CEDAW), selanjutnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional diterbitkan dalam rangka mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 1984 tersebut dan Beijing Platform for Action (BPFA). BPFA merupakan hasil dari Konperensi Internasional Perempuan Keempat yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1995 di Beijing. Salah satu hasil dari BPFA adalah pentingnya untuk mendisain, menerapkan dan memantau kebijakan dan program pembangunan yang sensitif gender pada semua tingkatan yang akan membantu pemberdayaan dan kemajuan perempuan (KPP 2002a;
18
Handayani dan Sugiarti 2002). Saat ini yang menjadi landasan pokok untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Belenggu budaya patriarkhi telah mengakibatkan perempuan tidak menyadari proses diskriminasi dan subordinasi yang selama ini terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pewacanaan konsep kesetaraan dan keadilan gender pada semua warga, baik lelaki dan perempuan (Dwi et al. 2002; Subhan 2002). Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000, kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lelaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan; sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap lelaki dan perempuan (RI 2000). Untuk
mewujudkan
kesetaraan
dan
keadilan
gender
maka
perlu
dikembangkan kebijakan pembangunan yang responsif gender, yaitu kebijakan yang memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan lelaki dan perempuan dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan struktural dalam mencapai kesetaraan. Sesuai amanat Inpres No. 9 Tahun 2000 maka pembangunan di semua sektor perlu mengintegrasikan pendekatan gender dalam kebijakan dan programnya dengan melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi
integral dari perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Tujuan PUG adalah untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (RI dikembangkan
2000). kebijakan
Dengan demikian, dan
program
melalui
yang
strategi
responsif
PUG
gender.
dapat Untuk
pembangunan di daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan No. 132 (Kepmendagri No. 132 Tahun 2003) tentang Pedoman Umum
19
Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan Di Daerah (Depdagri 2003; Depdagri 2004). Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 mengatur tentang pembentukan organisasi pelaksanaan PUG yaitu koordinator pelaksana, kelompok kerja dan focal point PUG serta pembiayaan untuk pelaksanaan PUG sebesar lima persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah masingmasing. Faktor empiris menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan pembangunan yang belum mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan secara seimbang sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran, dan kedudukan perempuan sering diabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (KPP 2002b). Penyebab perempuan terisolir dari proses pembangunan adalah karena: (1) beban ganda dimana perempuan melakukan pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah; dan (2) kebijakan pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang lebih luas (Krisnawaty 1993). Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan pembangunan berperspektif gender yang merupakan suatu upaya untuk mentransformasikan PUG kedalam kegiatan nyata institusi sektor. Intinya adalah mengintegrasikan permasalahan diskriminasi terhadap lelaki dan perempuan kedalam seluruh komponen perencanaan pembangunan yaitu kebijakan, program dan kegiatan, sehingga kepentingan, aspirasi dan kebutuhan peningkatan peran dan partisipasi perempuan dan lelaki dalam pembangunan dapat diakomodasikan secara proporsional kedalam kepentingan dan tujuan pembangunan pada institusi sektor (KPP 2002d). Hal ini sesuai dengan pendapat Moser (1993), “The goal of gender planning is the emancipation of women from their subordination, and their achievement of equality, equity and empowerment”. Perencana kebijakan menggunakan analisis gender untuk menilai dampak kebijakan bagi perempuan dan lelaki atas program dan atau peraturan yang diusulkan dan dilaksanakan. Analisis gender mengakui bahwa realitas kehidupan perempuan dan lelaki adalah berbeda, sedangkan kesempatan yang sama tidak harus berarti menghasilkan output yang sama (KPP 2002b; Handayani dan Sugiarti 2002). Analisis gender mengidentifikasi isu gender yang disebabkan oleh adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam:
20
(1) memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya; (2) berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pada pengambilan keputusan; dan (3) memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari kebijakan, program maupun kegiatan pembangunan (KPP 2002d). Metode analisis gender yang disebut dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 adalah Gender Analysis Pathway (GAP). GAP ini digunakan untuk membantu perencana dalam melakukan PUG dalam perencanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan (Depdagri 2003). GAP adalah suatu metode analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh lelaki dan perempuan dalam program pembangunan (KPP 2003). Metode analisis gender lainnya adalah Model Moser atau Teknik Analisis Moser yang dibuat oleh Caroline O.N. Moser. Model Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijakan, program dan kegiatan yang lebih peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan, identifikasi terhadap peranan gender perempuan (produktif, reproduktif dan sosial kemasyarakatan) dan identifikasi kebutuhan praktis-strategis gender (Moser 1993; Handayani dan Sugiarti 2002; KPP 2003). Regulasi di Indonesia sudah banyak yang mengarusutamakan gender dalam pembangunan, namun regulasi saja tidak cukup, diperlukan komitmen untuk pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen (1995) yang menyatakan bahwa persamaan hak di depan hukum jelas tidak menjamin kesetaraan de facto. Oleh karena itu, menurut Aguilar dan Castaneda (2001), untuk mengejar tujuan pembangunan yang berkelanjutan, tiap orang mempunyai tanggungjawab dan kewajiban, dengan melakukan bersama semua tindakan yang akan memungkinkan realisasi ubahan yang diusulkan. Jika orang yang berpartisipasi berada pada posisi yang subordinasi dan tertindas (dipandang dari sudut gender, usia, etnis, kelas atau kondisi sosial-ekonomi, agama, politik), hal ini akan sulit untuk mencapai persetujuan minimum yang dibutuhkan untuk membawa mereka mengakui satu sama lain sebagai setara yaitu sebagai orang dengan kewajiban yang akan dibagi dan yang dapat dipercayai.
21
Program pembangunan secara formal seringkali dikuasai oleh lelaki dan karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat hampir selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang lebih kuat maka adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan sering diabaikan. Hal ini terjadi karena perempuan memang jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat formal. Pelibatan perempuan ke dalam wacana yang bersifat pengaturan sumberdaya kolektif di tingkat komunitas (lokal) masih belum banyak dibahas dalam pendekatan pembangunan. Padahal, isu pengaturan sumberdaya di tingkat komunitas merupakan isu penting yang terkait langsung dengan kehidupan perempuan miskin (Anonim, 2003). Menurut Soetrisno (1993), kemiskinan dari sudut pandang perempuan berarti tidak hanya kekurangan ekonomis, tetapi juga penderitaan fisik maupun pengorbanan dari kehormatannya sebagai perempuan seperti menjual dirinya sebagai perempuan. Menurut Hubeis (2004) “Kombinasi kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang dihadapi oleh perempuan (miskin) menyebabkan terjadinya peningkatan feminization of poverty. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan telah meningkat menjadi 50 persen dibanding dengan 30 persen lelaki. Lebih dari 70 persen dari 1.300 juta orang miskin saat kini adalah perempuan. Untuk kasus Indonesia, keadaan tersebut tak jauh beda.” Rumahtangga dalam isu gender dan kemiskinan merupakan salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Ketidaksetaraan di dalam alokasi sumberdaya dalam rumahtangga memperlihatkan lelaki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda (Anonim 2003). Pada tingkat dunia sudah ada satu komitmen internasional yang terkait dengan persoalan perempuan, kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yaitu The Millennium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan hasil komitmen The Millenium Declaration, yaitu suatu konsensus global dari 189 negara anggota PBB (termasuk Indonesia) yang lahir pada tahun 2000. Delapan komitmen kunci yang dikemukakan dalam MDGs (UNIFEM and BMZ 2004) sebagai berikut (1) (2) (3) (4)
Eradicate extreme poverty and hunger Achieve universal primary education Promote gender equality and women’s empowerment Reduce child mortality
22
(5) (6) (7) (8)
Improve maternal health Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases Ensure environmental sustainability Develop a global partnership for development.
Dari delapan komitmen MDGs, enam komitmen pertama berhubungan langsung dengan kondisi dan kebutuhan perempuan yang perlu ditangani serta memberikan berbagai
bentuk partisipasi
kepada perempuan untuk berkiprah dalam
pembangunan, sedangkan dua komitmen lainnya terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (1996), perempuan termasuk pelaku kunci dalam pengelolaan lingkungan yang terkait dengan peran mereka yang menonjol sebagai pengguna utama sumberdaya untuk keperluan rumahtangga mereka. Penguatan posisi perempuan melalui intervensi pembangunan dapat membawa kemajuan pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. 2.2 Pembangunan Perikanan Pantai 2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia Dalam Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, salah satu sasaran pokok dari Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia adalah untuk menurunkan jumlah penduduk miskin melalui upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia; terkait dengan sasaran pokok tersebut terdapat prioritas untuk Revitalisasi Pertanian. Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam rangka Revitalisasi Pertanian yang terkait dengan komunitas nelayan adalah (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat kemiskinan nelayan; (2) terbatasnya akses ke sumberdaya produktif, terutama akses terhadap sumber permodalan yang diiringi dengan rendahnya kualitas SDM; (3) penguasaan teknologi masih rendah; dan (4) belum optimalnya pengelolaan sumberdaya perikanan. Arah kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ditempuh dengan tiga langkah pokok yaitu (1) peningkatan kemampuan nelayan dan pembudidaya ikan serta penguatan lembaga
pendukungnya;
(2)
pengamanan
ketahanan
pangan
(termasuk
ketersediaan ikan dari dalam negeri); dan (3) peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk perikanan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan (RI 2005).
23
Program pembangunan yang terkait dengan bidang perikanan dalam Perpres No. 7 Tahun 2005 yaitu Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan. Program ini bertujuan untuk mengelola, mengembangkan, dan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal, adil, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan devisa, nilai tambah hasil perikanan, serta pendapatan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi unsur berikut. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan. Peningkatan usaha perikanan skala kecil. Pengendalian dan peningkatan pelayanan perizinan usaha. Penyusunan kebijakan dan perencanaan pengelolaan perikanan untuk setiap kawasan. Peningkatan pemasaran, standar mutu, dan nilai tambah produk perikanan. Penguatan kelembagaan dan tata laksana kelembagaan. Pengembangan iptek (ilmu pengetahuan) dan peningkatan riset perikanan. Pengembangan sistem data, statistik dan informasi perikanan. Peningkatan sumberdaya manusia (nelayan, penyuluh dan pendamping perikanan). Peningkatan profesionalisme perencanaan dan pengawasan pembangunan perikanan (RI 2005).
Institusi pemerintah yang berwenang untuk mengelola sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Pada saat ini upaya pemberdayaan perempuan yang sudah dilakukan oleh DKP adalah program Pemberdayaan Perempuan Pesisir yang merupakan salah satu kelompok sasaran dari Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, yang merupakan bagian dari proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Program ini berada di bawah wewenang Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Program ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya wanita pesisir dalam hal teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan, serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP, 2005b). 2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir Wilayah pesisir ialah jalur saling pengaruh antara darat dan laut, mempunyai ciri geosfer khusus; ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik
24
laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan darat (Sumawidjaya et al. 2000). Dengan demikian, masyarakat yang hidup dan menetap di wilayah pesisir disebut masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir umumnya mencari nafkah atau bekerja di bidang perikanan, baik sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan atau pedagang ikan. Menurut Satria (2002), untuk membangun masyarakat pesisir diperlukan pemahaman sosiologis tentang masyarakat pesisir. Kajian sosiologis masyarakat pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan. Menurut Kusumastanto (2003), sifat dan karakteristik masyarakat pesisir dipengaruhi oleh aspek sosial budaya (seperti pendidikan dan mentalitas) dan jenis kegiatan usaha (seperti perikanan tangkap, perikanan tambak dan pengolahan hasil perikanan). Komunitas nelayan mempunyai jam kerja yang tidak tetap. Banyak nelayan yang pergi melaut pada malam hari, bahkan ada yang melaut lebih dari satu hari dan jauh dari rumah atau keluarga, dengan demikian bila sudah berada di laut nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan lainnya. Akibatnya waktu untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pun relatif kurang, komunikasi kurang dan informasi yang diterimanya pun kurang. Bagi mereka pun akan sulit untuk memisahkan waktu untuk berpartisipasi dalam program penyuluhan yang berhubungan dengan perikanan. Akibat dari aktivitas nelayan yang sedemikian rupa maka peran mereka sebagai kepala rumahtangga atau kepala keluarga menjadi minim dan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pada umumnya dilakukan oleh pihak perempuan atau istri. Menurut Satria (2002), akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain, maka posisi sosial nelayan dapat dikategorikan rendah. Hal ini menyebabkan ketiadaan kemampuan nelayan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Perempuan nelayan adalah perempuan yang bergerak di bidang perikanan, baik sebagai bakul ikan, pengolah hasil perikanan atau pengumpul biota laut, yang umumnya suami atau ayahnya berprofesi sebagai nelayan (DKP 2001). Peran perempuan nelayan (Aguilar and Castaneda 2001; Sharma 2003; Murdiyanto 2004) adalah melalui kegiatan penangkapan langsung (mengumpulkan ikan dari
25
terumbu karang atau menggunakan jaring tarik dari pantai), pengolahan, perdagangan dan pendistribusian ikan kepada sanak famili yang merupakan bentuk tanggungjawab kepada komunitas. Berdasarkan laporan pengamatan Ikhsan (2003) terhadap kegiatan perempuan di bidang perikanan di Pulau Jawa diketahui bahwa ada beberapa tingkatan peran perempuan di bidang perikanan sebagai berikut. (1) Peran sebagai istri yang mengurus anak dan suami, termasuk membantu membersihkan jaring, menyulam jaring, mengelola hasil tangkapan agar siap dipasarkan sampai dengan menjual hasil tangkapan ikan oleh suami. (2) Sebagai pekerja hasil laut rumahan (seperti: fillet atau pemotong ikan, picker atau pengupas kulit rajungan, kerang, keong dan udang, perebus kerang atau keong). (3) Sebagai pekerja pabrik perikanan (seperti: fillet, pembekuan ikan atau udang, pengepak dan pemberi label). (4) Menjadi bakul yang memasok hasil tangkapan nelayan atau panen ikan kepada para supplier atau pabrik. (5) Menjadi bendahara (pemegang keuangan) dari perusahaan keluarga (supplier). (6) Menjadi Supplier yang memasok bahan baku ke pabrik. (7) Menjadi Quality Control pabrik. (8) Menjadi eksportir perikanan ke mancanegara. Menurut Sharma (2003), peran perempuan di bidang perikanan di Asia ada empat yaitu: (1) sebagai pekerja di bidang perikanan (dibayar atau tidak dibayar); (2) sebagai pekerja di pemrosesan ikan (penuh atau paro-waktu); (3) orang yang bertanggungjawab terhadap keluarga dan komunitas; dan (4) sebagai pekerja di luar bidang perikanan (seperti pedagang warung). Pekerjaan yang dilakukan perempuan ini jarang dianggap sebagai pekerjaan produktif, umumnya dianggap sebagai perpanjangan dari pekerjaan domestik. Nilai sosial rendah dilekatkan kepada pekerjaan domestik dan komunitas yang dilakukan oleh perempuan. Dalam hal partisipasi perempuan nelayan dalam proses pengambilan keputusan, menurut Kumar (2004), perempuan nelayan umumnya tidak terorganisir dengan baik dan kurang efektif sebagai kekuatan politik dibandingkan dengan lelaki. Ketika perempuan diberi tempat dalam suatu organisasi dan proses pengambilan keputusan, maka mereka akan membawa suatu perspektif yang meletakkan peningkatan kualitas hidup dan matapencaharian berbasis perikanan sebagai suatu hal yang mendasar.
26
Dalam dokumen FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 10 Increasing the contribution of small-scale fisheries to poverty alleviation and food
security
(2005)
ditegaskan
bahwa
untuk
mengembangkan
dan
mengimplementasikan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan perlu diadopsi perspektif kesetaraan gender dan pengakuan terhadap posisi perempuan dalam komunitas dan dalam sektor perikanan. Menurut panduan FAO, “How small-scale fishers are defined in legislation is important, and has potentially significant gender impacts. For example, processing and marketing activities where typically women are more active, in addition to capture fisheries”. 2.2.3 Perikanan pantai Perikanan pantai (coastal fishery) yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di perairan tepi laut, dekat atau sekitar pantai. Menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, “Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan atau mengawetkannya.”; sedangkan definisi perikanan (UU No. 31 Tahun 2004) adalah sebagai berikut: “semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.”. Perikanan pantai dikenal juga sebagai perikanan rakyat dan subsisten atau perikanan artisanal (berskala kecil). Perikanan pantai meliputi hampir lebih dari 90 persen nelayan Indonesia. Lebih dari 10 juta nelayan kecil dapat mendaratkan 20 juta ton ikan per tahun (Murdiyanto 2004). Sebagian besar nelayan artisanal tersebut tergolong miskin. Karakteristik nelayan kecil (small-scale fishermen) adalah sebagai berikut: memiliki kapasitas teknologi yang masih sederhana, jumlah armada yang sedikit, biasanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten) jadi bukan untuk diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha, cenderung menggunakan sistem pembagian hasil penjualan tangkapan ikan antara pemilik perahu dan nelayan yang melaut. Komunitas nelayan kecil sangat rentan secara ekonomi terhadap timbulnya
27
ketidakpastian yang berkaitan dengan musim-musim produksi (Charles 2001; Satria et al. 2002; DKP 2005c). Bagi mayoritas rumahtangga di negara berkembang yang terlibat dalam kegiatan perikanan (nelayan penuh atau temporer), kegiatan menangkap ikan tidak mendatangkan penghasilan tinggi tetapi dapat menolong mereka untuk mempertahankan hidup dan mencegah mereka jatuh ke situasi yang lebih buruk. Nelayan miskin sangat mengandalkan sektor pascapanen dimana perempuan merupakan mayoritas pekerjanya. Sektor pascapanen memberikan penghasilan yang nyata dan peluang kerja bagi perempuan yang memiliki keterbatasan pilihan, khususnya di lokasi perdesaan yang terpencil. Sektor pascapanen perikanan menawarkan kontribusi yang sangat potensial untuk pengentasan kemiskinan (FAO 2005). The FAO’s Advisory Committee on Fishery Research (ACFR) Working Group on Small-Scale Fisheries (FAO 2005) memberikan satu pernyataan tentang visi perikanan skala kecil sebagai berikut The vision for small-scale fisheries is one in which their contribution to sustainable development is fully realized. It is a vision where: • they are not marginalized and their contribution to national economies and food security is recognized, valued and enhanced; • fishers, fish workers and other stakeholders have the ability to participate in decision-making, are empowered to do so, and have increased capability and human capacity, thereby achieving dignity and respect; and • poverty and food insecurity do not persist; and where the social, economic and ecological systems are managed in an integrated and sustainable manner, thereby reducing conflict. Menurut Kusnadi (2002, 2004), faktor kelangkaan sumberdaya perikanan dan kemiskinan memiliki kontribusi dalam peningkatan intensitas konflik. Untuk meminimalisasi konflik tersebut diperlukan peraturan daerah tentang pengelolaan sumberdaya perikanan lokal dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Untuk membantu nelayan pantai yang tergolong nelayan kecil ini, maka dilakukan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Tujuan dari pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai (Murdiyanto 2004) adalah untuk: (1) mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan dan kelanjutan kegiatan produksi ikan melalui pemanfaatan sumberdaya pantai sebagai matapencaharian masyarakat pantai yang bersangkutan,
28
(2) meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan pantai, dan (3) menjamin upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan dari perikanan pantai. Kemitraan
(co-management)
antara
pemangku
kepentingan
utama
(pemerintah dan masyarakat) dalam pengelolaan wilayah pesisir merupakan hal yang penting untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Tanpa dukungan kebijakan dan peraturan pemerintah, sistem pengelolaan yang dihasilkan tidak akan memiliki kekuatan hukum (Savitri dan Khazali 1999). Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya penting dalam menjaga kesinambungan sumberdaya. Hal ini dimaksudkan agar generasi sekarang dan generasi mendatang dapat menikmati kekayaan sumberdaya perikanan (Satria, 2002). Menurut Fauzi dan Anna (2005), apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistik tidak dipenuhi, pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan, eksploitasi-lebih dan praktik perikanan yang destruktif. Hal ini sesuai dengan definisi pengelolaan perikanan (UU No. 31 Tahun 2004) yaitu: “semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) harus ada pemaduan dan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi alam, karena dengan mengkonservasi alam maka pembangunan dapat berkelanjutan (KLH dan UNDP 2000). Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (RI 1997). Menurut
Charles
(2001),
konsep
pembangunan
perikanan
yang
berkelanjutan mengandung empat aspek berikut.
29
(1) Ecological sustainability (ekologi berkelanjutan) memberi perhatian utama terhadap memelihara stok atau biomassa sehingga tidak melewati daya dukungnya dan meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem. (2) Socioeconomic sustainability (sosio-ekonomi berkelanjutan) mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan berkelanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. (3) Community sustainability (komunitas berkelanjutan) mengandung makna bahwa kesejahteraan dari sisi masyarakat harus menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. (4) Institutional sustainability (kelembagaan berkelanjutan) menyangkut pemeliharaan aspek finansial, administrasi dan organisasi yang sehat yang merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan lainnya. Dalam konsep sistem perikanan berkelanjutan (sustainable fishery system), perikanan adalah suatu jaringan dari komponen ekologi, biofisik, ekonomi, sosial dan budaya yang saling terkait dan berinteraksi (Charles 2001). Kerangka yang menggambarkan interaksi dari empat aspek tersebut dilukiskan pada Gambar 2. Ecological sustainability
Institusional sustainability
Socioeconomic sustainability
Community sustainability
Gambar 2 Kerangka Sistem Perikanan Berkelanjutan (Charles 2001) Sistem perikanan berkelanjutan (sustainable fishery system) merupakan konsep baru sebagai pengganti konsep lama yaitu hasil yang berkelanjutan (sustainable yield). Fokus dari sustainable fishery system adalah sistem perikanan yang memperhatikan ekosistem dan masyarakat; sedangkan sustainable yield berfokus pada output fisik yaitu hasil perolehan ikan yang berkelanjutan (Charles 2001). Perubahan pola pikir ini terjadi karena penghitungan fisik dari stok ikan saja dianggap tidak menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan karena
30
perikanan berkelanjutan banyak tergantung kepada perilaku dan pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan di bidang perikanan. 2.3 Sikap dan Pengambilan Keputusan Dalam kehidupan sehari-hari banyak pengambilan keputusan dilandaskan intuisi, padahal dengan intuisi banyak kemungkinan untuk keliru. Untuk mengatasinya kemudian dikembangkan sistematika baru yaitu analisis keputusan yang diharapkan dapat memperoleh keputusan yang berlandaskan logika. Tiga aspek yang berperan dalam analisis keputusan adalah kecerdasan, persepsi dan falsafah (Marimin 2004). Pengambilan keputusan adalah suatu proses kognitif yang mengarahkan ke pemilihan suatu aksi diantara berbagai pilihan. Proses kognitif rutin seperti ingatan, pemikiran atau pertimbangan dan formasi konsep pada diri individu memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan (TIP 2006). Tindakan pengambilan keputusan seseorang akan dilandasi oleh motif orang tersebut. Menurut Gerungan (2004), motif adalah semua penggerak, alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motif memberikan tujuan dan arah kepada tingkah laku manusia. Upaya pendidikan motif diarahkan untuk membentuk kerangka pengertian dan kesadaran pada seseorang yang dapat merangsangnya untuk menggunakan potensi diri secara konstruktif dan produktif bagi seluruh masyarakat. Motivasi seseorang terkait dengan sikap orang tersebut terhadap suatu obyek. Menurut Gerungan (2004), sikap senantiasa terarah kepada suatu obyek, jadi tidak ada sikap tanpa ada obyeknya. Sikap terhadap sesuatu obyek, gagasan atau orang tertentu adalah suatu sistem yang berlangsung terus yang mengandung komponen kognitif, komponen afektif dan kecenderungan untuk bertindak. Komponen kognitif menyangkut kepercayaan atau keyakinan terhadap obyek sikap; komponen afektif menyangkut perasaan emosional yang terkait dengan keyakinan tersebut; dan kecenderungan untuk bertindak adalah kesiapan untuk merespon dengan cara yang tertentu. (Freedman et al. 1978; Azwar 1988). Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Dalam interaksi sosial, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang
31
lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu (seperti prasangka) (Azwar 1988). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan. Tanpa partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan (hasil) pembangunan berarti tingkat hidup atau tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik. Keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan asupan maupun menikmati hasil pembangunan (Slamet 2003). Terkait dengan pembangunan perdesaan, hasil penelitian Prawoto (2001) menyimpulkan bahwa pembangunan masyarakat desa perlu didorong dengan proses
motivasi,
peningkatan
partisipasi,
serta
memperhatikan
dan
mempertimbangkan inspirasi dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Sarannya adalah bahwa dalam proses pembuatan keputusan desa, diharapkan melibatkan secara aktif partisipasi masyarakat. Untuk itu pemimpin formal (kepala desa) maupun informal (ulama dan guru) sangat dibutuhkan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat desa. Peran dari masyarakat dalam pengelolaan pesisir luas jangkauannya dan tergantung pada banyak faktor seperti isu-isu yang terlibat, konteks pemerintahan, motivasi dan kemampuan masyarakat serta proses kebijakan. Masyarakat mempunyai beberapa peran penting dan potensial yang memberikan sumbangan kepada perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir (Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999). Sehubungan dengan peranserta masyarakat dalam pengelolaan pesisir, Pollnac et al. (2003) melakukan evaluasi tentang faktor yang mempengaruhi keberlanjutan proyek pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Jawa Tengah dan Sulawesi
Utara.
Hasil
temuannya
adalah
faktor
yang
paling penting
mempengaruhi keberlanjutan proyek pengelolaan wilayah pesisir tersebut adalah partisipasi individual dan komunitas dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Partisipasi atau peranserta masyarakat tersebut dipengaruhi oleh keuntungan (manfaat) yang dirasakan masyarakat. Menurut DENR et al. (2001) isu lingkungan di wilayah pesisir umumnya kompleks. Untuk melibatkan masyarakat tersebut maka kesadaran mereka
32
terhadap lingkungannya perlu ditingkatkan. Pendidikan lingkungan atau komponen kesadaran masyarakat dari program pengelolaan wilayah pesisir (PWP) memerlukan pendekatan komprehensif dan holistik untuk tahap komunikasi pada tingkat komunitas, sehingga diperlukan pendekatan melalui upaya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Kerangka kerja KIE ini terlukis pada Gambar 3.
Melek lingkungan
Etika lingkungan
Nilai sosial PWP
Pendidikan lingkungan
Perubahan perilaku
Aksi/advokasi lingkungan
Gambar 3 Kerangka Kerja KIE (modifikasi DENR et al. 2001) Upaya KIE juga digunakan dalam PUG sebagaimana tercantum dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003. Dalam Pasal 3 Bab Pelaksanaan PUG Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tercantum bahwa Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) perlu meningkatkan upaya Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) melalui sosialisasi, penyuluhan, advokasi, pendidikan dan pelatihan tentang pengarusutamaan gender kepada seluruh aparatur pemerintah dan seluruh komponen masyarakat (Depdagri 2003). Melalui upaya KIE ini diharapkan terbentuk sikap baru masyarakat terhadap kesetaraan gender dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
33