2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pelabuhan Perikanan Sesuai dengan Pasal 1 Undang Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, bahwa Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Menurut Lubis (2000) pelabuhan perikanan adalah merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) bahwa aspek-aspek tersebut secara rinci adalah : (1)
Produksi : bahwa pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapannya.
(2)
Pengolahan : bahwa pelabuhan perikanan menyediakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya.
(3)
Pemasaran : bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan pemasaran hasil tangkapannya.
11
Selanjutnya berdasarkan Pasal 41 dan penjelasan atas Undang Undang No. 31 Tahun 2004 tersebut, dalam rangka pengembangan perikanan, pemerintah membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi, antara lain sebagai tempat tambat labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan, tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat pengumpulan data tangkapan, tempat pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan serta pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan. Mengingat demikian luasnya fungsi yang harus diselenggarakan oleh pelabuhan perikanan, maka perlu dirumuskan secara jelas misi sebagai pedoman maupun dorongan semangat kerja seluruh aparat yang bertugas dalam organisasi. Pelabuhan perikanan adalah pusat pengembangan masyarakat nelayan dan ekonomi perikanan, mampu mendorong peningkatan produksi perikanan secara berkesinambungan karena bermanfaat bagi kehidupan nelayan produsen maupun kesejahteraan konsumen serta mengkedepankan pemanfaatan teknologi maupun manajemen yang melindungi serta melayani sebagai kepentingan masyarakat perikanan terutama industri perikanan tanpa kekecualian, dalam berusaha di lingkungan pelabuhan perikanan. Tujuan pembangunan pelabuhan adalah menyediakan fasilitas atau kemudahan bagi nelayan dan pengusaha perikanan untuk melakukan kegiatan usaha secara terpadu. Kegiatan tersebut mulai dari kegiatan pra panen sampai dengan pasca panen, termasuk pengelolaan dan pemasaran hasilnya.
12
2.2
Klasifikasi Pelabuhan Perikanan Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.10/
MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, dimana pelabuhan perikanan dapat dikategorikan menurut kapasitas dan kemampuan masing-masing pelabuhan untuk menangani kapal yang datang dan pergi serta letak dan posisi pelabuhan. Pelabuhan perikanan diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kategori utama yaitu : 2.2.1 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) PPS dikenal juga sebagai pelabuhan perikanan tipe A atau kelas I. Terdapat 5 (lima) PPS di Indonesia, yaitu PPS Nizam Zachman di DKI Jakarta, PPS Cilacap di Jawa Tengah, PPS Belawan di Sumatera Utara, PPS Bungus di Sumatera Barat dan PPS Kendari di Sulawesi Tenggara. PPS adalah pelabuhan perikanan yang dapat menampung kapal perikanan yang mempunyai kemampuan beroperasi di samudera dan lepas pantai yang sifatnya nasional dan internasional, dengan kriteria sebagai berikut : (1)
Terutama untuk melayani kapal perikanan berukuran > 60 GT.
(2)
Melayani kapal perikanan yang beroperasi di perairan lepas pantai, ZEE dan perairan internasional.
(3)
Dapat menampung 100 buah kapal perikanan atau 6.000 GT sekaligus.
(4)
Jumlah ikan yang didaratkan sekitar 200 ton/hari atau 40.000 ton/tahun.
(5)
Memiliki ± 30 Ha lahan untuk kawasan industri perikanan.
(6)
Memberikan pelayanan ekspor industri perikanan.
2.2.2 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) PPN dikenal juga sebagai pelabuhan perikanan tipe B atau kelas II. Terdapat 11 (sebelas) PPN di Indonesia, dimana lokasinya berada di Brondong
13
(Jawa Timur), Sibolga (Sumatera Utara), Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Kejawanan dan Pekalongan (Jawa Tengah), Tanjung Pandan (Bangka Belitung), Pemangkat (Kalimantan Barat), Tual (Maluku), Prigi (Jawa Timur), Ternate dan Ambon (Maluku). PPN adalah pelabuhan perikanan yang dapat menampung kapal perikanan yang mempunyai kemampuan beroperasi di lepas pantai yang sifatnya regional dan nasional, dengan kriteria sebagai berikut : (1)
Terutama untuk melayani kapal perikanan berukuran 15- 60 GT.
(2)
Melayani kapal ikan yang beroperasi di perairan ZEE Indonesia dan perairan nasional.
(3)
Mampu menampung sekaligus 75 buah kapal perikanan atau 3.000 GT.
(4)
Jumlah ikan yang didaratkan sekitar 40-50 ton/hari atau sekitar 8.00015.000 ton/tahun.
2.2.3 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) PPP dikenal juga sebagai pelabuhan perikanan tipe C atau kelas II. Terdapat 44 (empat puluh empat) PPP di Indonesia, dimana lokasinya berada di Asemdoyong, Bacan, Bajomulyo, Banjarmasin, Bawean, Blanakan, Bondet, Cilauteureun, Ciparage, Dagho, Eretan, Hantipan, Karangantu, Karimun Jawa, Kota Agung, Kupang, Kwandang, Labuhan Lombok, Labuhan Maringgai, Lampulo, Lekok, Lempasing, Mayangan, Morodemak, Muara Ciasem, Muncar, Paiton, Pondok Dadap, Sadeng, Sikakap, Sorong, Sungai Liat, Tarakan, Tarempa, Tasik Agung,, Tawang, Tegalsari, Teladas, Teluk Batang, Tobelo, Tumumpa, Wonokerto.
14
PPP adalah pelabuhan perikanan yang dapat menampung kapal perikanan yang mempunyai kemampuan beroperasi di pantai yang sifatnya regional, dengan kriteria sebagai berikut : (1)
Melayani kapal perikanan berukuran 5-15 GT.
(2)
Melayani kapal ikan yang beroperasi di perairan pantai.
(3)
Mampu menampung 50 buah kapal perikanan atau 500 GT sekaligus.
(4)
Jumlah ikan yang didaratkan sekitar 15-20 ton/hari atau sekitar 3.000-4.000 ton/tahun.
2.2.4 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) PPI merupakan pelabuhan kecil yang umumnya dikelola oleh daerah, untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan di daerah pantai. Terdapat 585 PPI di Indonesia, yang digunakan untuk kapal-kapal nelayan setempat untuk mendaratkan dan memasarkan hasil tangkapan, dengan kriteria sebagai berikut : (1)
Melayani kapal perikanan yang beroperasi di perairan pantai.
(2)
Melayani kapal berukuran sampai dengan 10 GT.
(3)
Mampu menampung 20 buah kapal perikanan atau 200 GT
(4)
Jumlah ikan yang didaratkan sekitar 10 ton/hari atau 2.000 ton/tahun.
Kriteria ini akan menentukan dalam peningkatan klasifikasi PP/PPI yang kegiatan operasional mengalami peningkatan dengan adanya pembangunan/pengembangan sarananya (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2001). Menurut Lubis (2000) pelabuhan perikanan dapat diklasifikasikan menurut letak dan jenis usaha perikanannya. Pelabuhan perikanan bila dilihat dari banyaknya faktor yang ada, pengklasifikasiannya dapat dipengaruhi oleh berbagai parameter antara lain :
15
(1)
Luas lahan, letak dan konstruksi bangunannya.
(2)
Tipe dan ukuran kapal yang masuk pelabuhan.
(3)
Jenis perikanan skala usahanya.
(4)
Distribusi dan tujuan ikan hasil tangkapan. Pengklasifikasian pelabuhan perikanan seperti tersebut di atas pada
dasarnya dibuat untuk mempermudah dalam pengelolaan khususnya dan pengembangan pelabuhan pada umumnya. 2.3
Fasilitas Pelabuhan Perikanan Di dalam pelaksanaan fungsi dan peranannya, pelabuhan perikanan
dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di pelabuhan perikanan umumnya terdiri dari fasilitas pokok, fungsional dan tambahan/ penunjang. Fasilitas pokok dan penunjang bersifat pelayanan umum bagi masyarakat dan pengusaha perikanan, dimana pembangunannya membutuhkan biaya yang relatif mahal maka menjadi kewajiban pemerintah. Fasilitas fungsional (cold storage, pabrik es, Bahan Bakar Minyak (BBM) dan lain-lain) yang bersifat komersial pembangunannya dapat diserahkan kepada swasta sebagai mitra kerja di bawah bimbingan, pembinaan dan pengaturan oleh pemerintah. Lubis (2000) menjelaskan bahwa guna mendukung fungsi-fungsi tujuan pembangunan pelabuhan, maka pelabuhan perikanan dilengkapi dengan fasilitas yang dibedakan atas 3 (tiga) kelompok sebagai berikut :
16
(1)
Fasilitas pokok Fasilitas pokok atau juga dikatakan infrastruktur adalah fasilitas dasar atau pokok yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas pokok tersebut antara lain terdiri dari : dermaga, kolam pelabuhan, alat bantu navigasi, breakwater atau pemecah gelombang dan tanah untuk industri.
(2)
Fasilitas fungsional Fasilitas fungsional dikatakan juga suprastruktur adalah fasilitas yang berfungsi meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok yang dapat menunjang aktifitas di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas ini diantaranya tidak harus ada di suatu pelabuhan namun fasilitas ini disesuaikan dengan kebutuhan operasional pelabuhan perikanan tersebut. Sebagai contoh, ada kalanya suatu pelabuhan tidak memerlukan cold storage karena ikan-ikan yang didaratkan semuanya habis terjual dalam bentuk segar. Fasilitas-fasilitas fungsional ini antara lain TPI, balai pertemuan nelayan, tangki BBM, tangki air, radio komunikasi, instalasi listrik, pabrik es, cold storage, dock/slipway dan bengkel.
(3)
Fasilitas penunjang Fasilitas
penunjang
meningkatkan
adalah
peranan
fasilitas
pelabuhan
yang
atau
secara
para
tidak
pelaku
langsung
mendapatkan
kenyamanan melakukan aktifitas di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas penunjang
17
ini antara lain kantor pengelola pelabuhan, jalan di dalam komplek, perumahan, toko, kamar mandi umum dan tempat ibadah. 2.4
Manajemen Strategi Strategi pada intinya adalah keterampilan dan ilmu memenangkan
persaingan. Persaingan dalam dunia bisnis adalah perebutan pangsa pasar, pada kondisi yang selalu berubah. Oleh karena itu strategi perlu selalu dikelola agar tujuan organisasi dalam jangka pendek, jangka menengah dan panjang dapat dicapai. Menurut David (1999) definisi manajemen strategis adalah seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai sasarannya. Pengertian yang senada juga diberikan oleh Wheelen dan Hunger (2000) bahwa manajemen strategi adalah sekumpulan keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang suatu organisasi. Menurut David (1999) proses manajemen strategis yang efektif dan efisien diterapkan dengan menggunakan suatu model manajemen strategis, dimana model tersebut membagi proses manajemen strategi ke dalam 3 (tiga) tahap yaitu tahap formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. 2.5
Kelembagaan Kelembagaan dapat diartikan dalam 2 (dua) pengertian, pertama
kelembagaan sebagai institusi yaitu lembaga atau organisasi berbadan hukum untuk
mengelola
suatu
kegiatan,
dan
kedua
pelembagaan
nilai
atau
institutionalized. Kelembagaan sebagai institusi dikembangkan melalui 3 (tiga) aspek yaitu peningkatan kemampuan aparatur yang bekerja di lembaga tersebut 18
dan memobilisasi tenaga untuk bekerja di lembaga tersebut, penyediaan fasilitas (ruang kantor, peralatan dan bahan serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga tersebut); serta penyediaan dana operasional dan pemeliharaan serta pembangunan untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut. Pelembagaan nilai-nilai dikembangkan dengan memasyarakatkan hasilhasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut ke masyarakat yang menjadi sasaran atau pengguna jasa tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan per Undang Undangan, peraturan daerah, tata ruang pesisir dan lautan dan bentukbentuk lainnya yang dihasilkan oleh lembaga tersebut. Menurut Mubyarto (1987), yang dimaksud dengan lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Hayami dan Kikuchi (1987) mendefinisikan bahwa lembaga (pranata) adalah sebagai aturanaturan yang dikukuhkan dengan sanksi oleh para anggota komunitas. Ruttan (1985), mendefinisikan bahwa lembaga sebagai aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, sedangkan organisasi adalah kesatuan sosial yang memiliki kewenangan untuk pengambilan keputusan, seperti keluarga, perusahaan dan kantor dengan menjalankan pengendalian terhadap berbagai sumberdaya. Menurut Purwaka (2004), kelembagaan (K) adalah satu set atau satu perangkat peraturan per Undang Undangan yang mengatur tata kelembagaan (Institutional Arrangement : IA) dan mekanisme/kerangka kerja kelembagaan (Institutional Framework : IF) dalam rangka fungsionalisasi kapasitas potensial
19
(Potential Capacity : PC), daya dukung (Carrying Capacity : CC), dan daya tampung (Absorptive Capacity : AC). AC juga disebut sebagai daya lentur kelembagaan, yaitu kelenturan sesuatu lembaga dalam menghadapi dan mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi di dalam pembangunan kelautan. Kelembagaan tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : K = f (IA, IF) (PC, CC, AC) dimana : K : Kelembagaan f
: Fungsi
IA : Tata kelembagaan (bersifat statis) IF : Kerangka kerja/mekanisme kelembagaan (bersifat dinamis) yaitu tata kelembagaan dalam keadaan bergerak atau bekerja PC : Kapasitas potensial CC : Daya dukung AC : Daya tampung Di dalam IA dan IF, masing-masing mengandung PC, CC dan AC, dimana PC, CC dan AC adalah kapasitas kelembagaan. Dengan demikian, pengembangan kapasitas kelembagaan adalah upaya optimalisasi kapasitas kelembagaan dalam kerangka tata dan mekanisme kelembagaan. Dalam kaitan ini, analisis pengembangan kapasitas kelembagaan dapat mempergunakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam sebagai tools of analysis. Tools of analysis ini juga dapat dipergunakan dalam upaya membuat desain kelembagaan.
20
2.6
Teknik Penyusunan Strategi Alternatif Formulasi strategi adalah perumusan rencana jangka panjang untuk
mengelola peluang dan ancaman secara efektif dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan yang ada pada organisasi. Formulasi strategi juga meliputi perumusan misi organisasi, menentukan tujuan, dan merumuskan kebijakankebijakan organisasi. Tahap formulasi strategi meliputi proses audit. Faktor lingkungan internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi keadaan organisasi dimasa datang, serta menyusun strategi alternatif dan memilih strategi yang layak untuk dilaksanakan oleh suatu organisasi. Audit faktor lingkungan internal dan eksternal organisasi merupakan kegiatan identifikasi, evaluasi, dan diseminasi berbagai faktor internal dan eksternal untuk diinformasikan kepada pengambil keputusan dalam organisasi. Lingkungan eksternal terdiri dari 2 (dua) variabel yaitu peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats), sedangkan lingkungan internal juga terdiri dari 2 (dua) variabel yaitu kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness). Menurut Wheelen dan Hunger (2000) lingkungan eksternal berkaitan dengan lingkungan tugas dan lingkungan sosial. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan internal adalah berbagai bidang fungsional, sumberdaya dan budaya kerja dalam organisasi. Teknik untuk memadukan faktor-faktor internal dan eksternal untuk mendapatkan strategi alternatif melalui analisis sebagai berikut : 2.6.1 Analisis matriks SWOT Analisis SWOT adalah analisis kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan
21
strategi suatu kegiatan. SWOT adalah singkatan dari Strength, Weakness, Opportunities dan Threats (Rangkuti, 2002). Analisis
SWOT
membandingkan
antara
faktor
eksternal
yang
dipresentasikan melalui peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Kedua faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan kekuatan, dan negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan. Dalam analisis SWOT juga digunakan matriks SWOT (Rangkuti, 2002). Matriks tersebut dapat menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif strategis sebagai berikut : Strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT. Matriks SWOT menampilkan enam kotak, dua kotak di bagian paling atas adalah kotak faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan, sedangkan dua kotak di sebelah kiri adalah kotak faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman. Empat kotak lainnya A, B, C dan D merupakan kotak isi strategi yang timbul sebagai hasil kontak antara faktor internal dan eksternal. Keempat isi strategis adalah sebagai berikut (Tabel 1) : (1)
Strategi SO atau Comparative Advantage (keunggulan komparatif) yaitu pengambil keputusan telah melihat peluang yang tersedia dan juga memiliki posisi internal yang kuat. Organisasi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang.
(2)
Strategi ST atau Mobilization Advantage (pengerahan keuntungan), interaksi antara ancaman dari luar yang diidentifikasi oleh pengambil keputusan
dengan
kekuatan
organisasi.
Dalam
menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.
22
hal ini organisasi
(3)
Strategi WO atau Investement/Divestment (bertambah/berkurang), dimana peluang yang tersedia sangat menyakinkan, tetapi tidak ada kemampuan organisasi untuk menggarap dan memberikan reaksi positif. Organisasi akan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang.
(4)
Strategi WT atau Damage (rugi), merupakan keadaan yang paling lemah bagi organisasi. Pada keadaan ini ancaman dari luar dihadapkan pada sumberdaya organisasi yang sangat lemah. Organisasi perlu mengendalikan kelemahan untuk menghindari ancaman.
Tabel 1 Strategi yang dihasilkan dari perpaduan antara faktor internal dengan eksternal KEKUATAN (S)
INTERNAL
EKSTERNAL PELUANG (O) X1 X2 . . Xn ANCAMAN (T) X1 X2 . . Xn Sumber : Rangkuti, 2002
X1 X2 . . Xn (Strategi SO) a b . . n (Strategi ST) a b . . n
KELEMAHAN (W) X1 X2 . . Xn (Strategi WO) a b . . n (Strategi WT) a b . . n
2.6.2 Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam mengambil keputusan seringkali harus memecahkan suatu masalah hubungan antar komponen dalam sistem yang kompleks seperti sumberdaya, hasil-hasil yang diinginkan atau tujuan-tujuan, kelompok orang dan sebagainya. Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik (PHA) adalah 23
merupakan analisis yang digunakan untuk memahami kompleksitas sistem dan dapat meningkatkan kualitas prediksi dalam mengambil keputusan. Dalam penerapannya, Saaty (1991) menyarankan sedapat mungkin menghindari adanya penyederhanaan seperti dengan membuat asumsi-asumsi, dengan tujuan dapat diperoleh model-model yang kuantitatif. AHP merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah. Metode ini ditujukan untuk memodelkan problem tak terstruktur, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun sains manajemen yang dikembangkan pertama sekali oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an, seorang ahli matematika dari university of Pittsburg Amerika Serikat. Prinsip dasar AHP adalah penyusunan hirarki, penerapan prioritas dan prinsip konsistensi (Saaty, 1991). Tolok ukur kekonsistenan pendapat responden diukur dengan menggunakan rasio konsistensi atau Consistency Ratio (CR). Dari hasil AHP ditentukan urutan/tingkatan pengaruh elemen-elemen dalam suatu hierarki. Prinsip menyelesaikan masalah dengan menggunakan AHP adalah dipergunakannya hirarki untuk menguraikan sistem yang komplek menjadi elemen-elemen yang lebih sederhana. Hirarki dari metode ini dibagi menjadi fokus, faktor, aktor, tujuan dan alternatif seperti terlihat pada Gambar 2.
24
Fokus :
Sasaran Utama (Ultimate Goal)
Faktor :
Faktor yang terlibat (internal dan eksternal)
Aktor :
Pelaku yang terlibat
Tujuan :
Tujuan dari pelaku
Alternatif :
Alternatif Strategi
Gambar 2 Analytical Hierarchy Process (Saaty, 1991) AHP mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut : (1)
Memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk anekaragaman persoalan yang tak terstruktur.
(2)
Memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
(3)
Dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
(4)
Mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemenelemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
(5)
Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.
25
(6)
Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
(7)
Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.
(8)
Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
(9)
Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
(10) Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan
memperbaiki
pertimbangan
dan
pengertian
mereka
melalui
pengulangan. 2.7
Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian tentang pelabuhan perikanan telah dilakukan beberapa peneliti
di Indonesia dengan berbagai pendekatan analisis yang digunakan diantaranya adalah : (1)
Hayati (2001) dengan topik penelitian yaitu Strategi Peningkatan Kinerja Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian tersebut telah dapat menginventarisasi dan mengidentifikasi faktor-faktor dominan yang menentukan kinerja pelabuhan, merumuskan sasaran kerja pelabuhan, mengkaji faktor-faktor yang harus ditingkatkan dan merumuskan rekomendasi strategi peningkatan kinerja pelabuhan.
(2)
Furuta (2002) dengan topik penelitian yaitu Dampak Bantuan Pinjaman dari Pemerintah Jepang terhadap Perikanan Tangkap di Indonesia : Studi Kasus tentang Pengembangan Pelabuhan PPS Jakarta oleh OECF (JBIC). Hasil
26
penelitian menunjukkan antara lain bahwa pengembalian bantuan pinjaman dari OECF/JBIC, diperhitungkan akan sulit dituntaskan bila didasarkan pada penerimaan pelabuhan pada masa kini, khususnya dengan sistem pengelolaan yang seluruhnya dilakukan oleh pemerintah. Pengalihan pengelolaan ke pihak swasta mungkin dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kemampuan pengembalian pinjaman, namun masih perlu pengkajian yang lebih dalam. (3)
Susilowati (2003) dengan topik penelitian yaitu Analisis Peran Pelabuhan Perikanan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Masyarakat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberadaan PPS Jakarta telah memberikan dampak ganda baik bagi masyarakat maupun pemerintah daerah.
(4)
Firmansyah (2004) dengan topik penelitian yaitu Analisis Ekspor Ikan Tuna Indonesia dari PPS Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi ikan tuna dari PPS Jakarta berpengaruh positif terhadap nilai ekspor ikan tuna Indonesia. Jika produksi ikan tuna Indonesia meningkat maka nilai ekspor Indonesia juga meningkat.
(5)
Suparman (2004) dengan topik penelitian yaitu Formulasi Strategi Pengembangan Perusahaan Umum Prasarana Perikanan Samudera di Indonesia.
Penelitian
tersebut
telah
dapat
menginventarisasi
dan
mengidentifikasi faktor-faktor eksternal dan intenal yang mempengaruhi kinerja Perum PPS dan merumuskan rekomendasi strategi yang layak dilaksanakan Perum PPS untuk mengembangkan unit-unit usaha yang dikelolanya.
27
Dari hasil inventarisasi kajian penelitian terdahulu, maka didapat bahwa topik penelitian tentang kelembagaan di pelabuhan perikanan khususnya di PPS Nizam Zachman sampai saat ini belum ada yang melakukan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis memilih topik penelitian yaitu Strategi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan PPS Nizam Zachman Jakarta. Dari hasil penelitian diharapkan nantinya teridentifkasi kelembagaan/organisasi PPS Nizam Zachman saat ini, faktor-faktor yang menentukan efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan PPS Nizam Zachman, dan strategi yang diperlukan dalam upaya peningkatan kapasitas kelembagaan PPS Nizam Zachman.
28