5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ergonomika Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yaitu ergos yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan atau hukum. Ergonomi didefinisikan oleh Sutalaksana (1979) sebagai suat cabang ilmu yang sitematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam merancang suatu sitem kerja yang baik, efektif, aman nyaman. Menurut International Ergonomics Association (IEA) ergonomika dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara manusia dan elemen lainnya dalam sistem yang berhubungan dengan perancangan, operatoran, produk dan lingkungan untuk mendapatkan kesesuaian antara kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan manusia (Syuaib 2003). Human factors (disebut juga human engineering) adalah nama lain dari ergonomika yang biasa digunakan di Amerika Utara dan sebagian Amerika Serikat. Pada dasarnya ergonomika memiliki dua tujuan penting, yaitu pertama adalah untuk menaikkan efektifitas dan efisiensi pakerjaan dan aktivias lain yang dilakukan,
termasuk
menaikkan
kemampuan
penggunaan,
mengurangi
kesalahan dan meningkatkan produktifitas dan yang kedua adalah untuk menaikkan keinginan tertentu manusia seperti keselamatan, kenyamanan, penerimaan pengguna, kepuasan kerja dan kualitas kehidupan, sama halnya dengan mengurangi kelelahan dan stres (Fitriyani 2003). Sampai saat ini ada dua pendekatan perancangan secara ergonomi yaitu pendekatan ergonomi mikro dan ergonomi makro. 2.2 Ergonomi Mikro Pada awal perkembangan ergonomi, para ergonom lebih memfokuskan pada perancangan sistem kerja yang menitikberatkan pada kaitan kesesuaian kemampuan manusia dengan operatoran/tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan seperti ini menurut pulat (1991) adalah ciri khas dari ergonomi mikro.
6
Tahapan proses dari pendekatan ergonomi mikro adalah sebagai berikut: 1
Identifikasi masalah.
2
Pembandingan
operatoran/tugas
dengan
kemampuan
manusia.
Kemudian memverifikasi apakah benar-benar ada masalah dengan persoalan yang dimaksud. 3
Pengembangan solusi alternatif, mencakup solusi teknis dan administratif.
4
Memilih solusi terbaik.
5
Mengimplementasi solusi.
6
Melakukan tindak lanjut (follow up). Dari tahapan di atas terlihat bahwa interaksi di luar lingkungan fisik hanya
diperhatikan pada saat implementasi dan tindak lanjut. Pendekatan ini yang nantinya diubah dalam ergonomi makro. Pengukuran mikro ergonomik meliputi pencahyaan, suhu udara, kelembaban udara, kebisingan dan getaran. 2.2.1 Kebisingan Bunyi atau suara didefinisiakan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suatu sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara. Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki termasuk bunyi yang tidak beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh transportasi dan industri sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan (Wilson 1989). Bunyi dikatakan bising apabila menggangu pembicaraan, membahayakan pendengaran dan mengurangi efektifitas kerja. Woodson (1981), telah meneliti pengaruh kebisingan terhadap prestasi manusia, meskipun kebisingan dibawah 90 dB tidak menimbulkan ancaman terhadap telinga manusia, tetapi kebisingan dapat menurunkan prestasi kerja dan ganguan. Tabel 1 memperlihatkan dampak dari kebisingan tersebut. Tabel 1 Effek kebisingan dibawah 85 dB Tingkat Kebisingan (dB) 80 75 70 65 60 55 50 40 <30
Effek atau akibat Kesulitan untuk berkomunikasi Berbicara dengan keras bila saling berkomunikasi Level tertinggi untuk berkomunikasi Level tertinggi yang dapat diterima untuk lingkungan bising Level yang diterima untuk kondisi siang hari Level tertinggi untuk lingkungan tenang Level yang diterima orang-orang yang menginginkan ketenagan Sangat baik untuk berkonsentrasi Level kebisingan terendah
7
Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan di lingkungan kerja menurut Suma'mur (1988) adalah: 1
Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise) misalnya, mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain.
2
Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steasy state, narrow band noise) misalnya, gergaji sirkuler, katup gas,dan lain-lain.
3
Kebisingan terputus-putus (intermitten) misalnya, lalu lintas, pesawat terbang di lapangan udara, dan lain-lain.
4
Kebisingan impulsif (impact atau impulsif noise) misalnya, pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan lain-lain.
5
Kebisingan impulsif berulang misalnya, mesin tempa di perusahan. Kebisingan yang terjadi dalam pabrik dapat mengganggu kinerja operator
dan pada taraf yang buruk dapat menyebabkan ketulian. Pada lingkungan kerja, kebisingan yang terjadi tidak boleh menimbulkan kerugian bagi operator yang ada. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan perancangan lingkungan kerja yang nyaman. Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu: a) Frekuensi Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang merambat persatuan waktu (cps = cycle per second), yang disebut Hertz. Bunyi yang dapat diterima oleh telinga manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara 20-20000 Hz. Apabila kurang dari 20 Hz maka disebut infrasound dan bila lebih dari 20000 Hz disebut ultrasound dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia. b) Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas bunyi semakin tinggi. Lama
mendengar
ditentukan
oleh
beban
bising,
yaitu
jumlah
perbandingan antara waktu mendengar pada tingkat bising bersangkutan, seperti pada Tabel 2.
8
Tabel 2 Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan Intensitas (dB) OSHA
ISO
Indonesia (MENAKER) 85 90 85 ... 92 87.5 88 95 90 ... 97 92.5 91 100 95 94 105 100 97 110 105 100 115 110 Sumber (Sudirman 1992 dalam Wijaya A 2005)
Waktu kerja (jam) 8 6 4 3 2 1 0.5 0.25
Perhitungan lama mendengar yang diizinkan dapat dihitung dengan menggunakan beberapa standar, diantaranya adalah The U.S. Department of Defense standard (standar DOD) dan Occuptional Safety and Health Administration standard (standar OSHA). Rumus yang digunakan pada pada kedua standar adalah:
Waktu ( jam) = Waktu ( jam) =
8 2
( L −84 ) / 4
8 2
( L − 90 ) / 5
DOD .............................................
(1)
OSHA ..............................................
(2)
Dimana : L = intensitas kebisingan (dB)
Untuk meminimalisasi efek kebisingan yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, upaya pengendalian kebisingan diantaranya sebagai berikut:
Pengendalian kebisingan,
keteknikan,
yaitu
modifikasi proses
memodifikasi dan
modifikasi
peralatan
penyebab
lingkungan
dimana
peralatan dan proses tersebut berjalan.
Pengendalian sumber kebisingan, yang dilakukan dengan subtitusi antar mesin,
proses
dan
material
terutama
penambahan
penggunaan
spesifikasi kebisingan pada peralatan baru.
Perlindungan diri, yaitu dengan menggunakan sumbat telinga Alat-alat tersebut dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 20 - 30 dB.
9
2.2.2 Suhu dan Kelembaban Sudah merupakan suatu kondisi umum bahwa di area pabrik dimana aktivitas mesin berjalan sepanjang hari akan menghasilkan panas yang cukup tinggi di lingkungan sekitar. Suhu kerja adalah suhu lingkungan tempat kerja yang merupakan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerak dan suhu radiasi. Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara (dinyatakan dalam %) dan sangat dipengaruhi oleh temperatur udara Dalam bekerja diperlukan suhu lingkungan yang baik, misalnya ditempat kita bekerja ditanami pohon-pohonan agar memberikan rasa sejuk bagi operator. Seorang operator dalam melakukan kegiatannya sebaiknya dalam keadaan suhu badan yang normal agar konsentrasi operatorannya tidak tergangganggu. Berdasarkan penelitian suhu optimum kerja daerah tropis (di Indonesia) antara 24 - 26 °C. Suhu konstan den gan sedikit fluktuasi di sekitar 37 °C terdapat di bagian dalam otak, jantung, dan o rgan bagian dalam
(suhu
inti). Suhu inti yang konstan diperlukan agar alat-alat itu dapat berfungsi normal, sedang perubahan yang menyolok tidak baik karena tidak akan sesuai dengan kehidupan makhluk yang berdarah panas (Sulistyadi dan Susanty 2003). Menurut Sulistyadi (2003) kelembaban relative normal pada saat bekerja antara 50-70%. 2.2.3 Pencahayaan Menurut Susanty (2003), ada tiga aspek penting tentang pencahayaan yaitu kekuatan, arah datang dan jenis cahaya. Kesalahan sering dilakukan karena pemahaman yang tidak benar yaitu semakin terang berarti semakin baik. Pada kenyataannya kekuatan cahaya yang berlebihan akan cepat melelahkan mata sebagaimana halnya pencahayaan yang kurang: mata akan silau akibat pantulan cahaya yang terlampau kuat, dan bekerja berat bila cahaya tak mencukupi. Jumlah pencahayaan yang dibutuhkan pada berbagai aktivitas terdapat pada Tabel 3. Tabel 3 Pemandu untuk illuminasi Kebutuhan illuminasi 80- 170 170 – 350 350 – 700 1000 - 10 000
Hasil operatoran Tidak cermat Agak cermat Cermat/Teliti Amat Teliti
Jenis operatoran Melihat Memasang Mambaca, menggambar Mencocokkan
10
Illuminasi didefinsikan sebagai “kepadatan (density) sinar yang mengalir dari sebuah sumber cahaya (sumber energi radian)”. Satuan internasional yang dipakai adalah ‘lux” ialah banyaknya cahaya yang menerpa sebuah bidang (1 lux = 1 lm m-2). Selain itu sering dipakai satuan lumen (lm) dan candel (Cd). Kecerahan (luminance) merupakan ukuran dari sebuah permukaan yang memancarkan sinar atau yang memantulkan sinar dan surnber cahaya. Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat obyek secara
jelas,
cepat,
tanpa
menimbulkan
kesalahan.
Kebutuhan
akan
pencahayaan yang baik akan makin diperlukan pada saat mengerjakan suatu operatoran yang memerlukan ketelitian pada penglihatan. Kemampuan mata untuk dapat melihat obyek dengan jelas ditentukan oleh ukuran obyek, derajat kontras diantara obyek dan sekelilingnya, luminensi (brigntness) dan lama kegiatan melihat. Arah yang salah dari datangnya cahaya dapat menyebabkan silau sehingga menimbulkan bayangan pada permukaan pandang.
Keadaan
bayangan dapat ditentukan oleh jenis cahaya. Cahaya lampu pijar menimbulkan bayangan yang tajam, berbeda dengan lampu neon, sementara itu jenis lampu dapat berperan dalam mencitrakan warna. 2.2.4 Getaran Getaran mekanis merupaka getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis. Besarnya getaran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1
Intensitas
2
Frekuensi, dan
3
Lamanya getaran Getaran tersebut dapat menyebabkan tergangunya konsentrasi kerja,
mempercepat proses kelelahan dan menyebabkan gangguan pada anggota tubuh seperti: mata, telinga, syaraf, otot dan lain-lain (Sulistyadi 2003). Menurut Bridger (2003), getaran dengan frekwensi antara 4-8 Hz sangat berbahaya. Menurut ISO (ISO 2631-1 1985), getaran dengan percepatan lebih besar dari 0.32 m/s2 dapat menimbulkan efek yang sangat serius bagi kesehatan seperti kesulitan dalam menulis atau minum, sulit bicara dan pandangan mata kabur.
11
2.3 Ergonomi Makro Hendrick (1987, 2002) menyampaikan suatu pendekatan perancangan sistem kerja yang dikaitkan dengan struktur organisasi, interaksi manusia dan organisasi serta aspek motivasi dalam operatoran. Pendekatan ini dikenal dengan Macro Ergonomics. Di dalam sistem industri, pendekatan ini disebut juga dengan Organizational Design (OD) dan digunakan dalam perancangan struktur organisasi dan hubungan antar komponen struktur tersebut. Dalam paper yang berjudul “Macro Ergonomics : A Concep Whose Time Has Come”, Hendrick menyampaikan bahwa ada 3 urutan generasi pengembangan. Generasi pertama adalah ergonomi yang memfokuskan pada perancangan tugas secara spesifik, kelompok kerja, hubungan manusia-mesin, termasuk display, pengaturan ruang kerja, lingkungan fisik kerja. Penelitian ergonomi dalam tahap ini diarahkan pada antropometri dan karakteristik fisik manusia dan implikasinya dalam perancangan alat. Menurut IEA, definisi ergonomi generasi pertama ini disebut Physical Ergonomics. Generasi kedua menitikberatkan pada peningkatan perhatian faktor kognitif kerja yang direfleksikan dalam perancangan sistem. Model pengembangan yang ditekankan adalah user-system interface technology. Pengembangan egonomi di era kedua ini menjadi dasar pada pengembangan selanjutnya karena sudah mulai banyak menyentuh masalah sistem teknologi. Pendekatan yang serupa ini di Amerika Serikat disebut juga Human Faktor Engineering. Menurut IEA, hal ini disebut dengan Cognitive Ergonomics. Generasi ketiga yang menurut IEA disebut dengan Organizational Ergonomics, lebih menitikberatkan pada perancangan sistem secara makro, optimisasi sistem kerja dalam kaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologi organisasi. Model pengembangan yang ditekankan adalah organization-machine interface technology. Pendekatan ini disebut dengan ergonomi makro, dimana dalam proses perancangan dilakukan penilaian terhadap organisasi dari atas ke bawah menggunakan pendekatan sistem sosio-teknik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perancangan level komponen atomistik spesifik tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa diawali dengan membuat keputusan ilmiah tentang keseluruhan organisasi , termasuk bagaimana hal tersebut nantinya akan diatur.
12
2.4 Beban Kerja, Kelelahan dan Kecelakaan Kerja 2.4.1 Kelelahan 2.4.1.1 Definisi Kelelahan Tarwaka dkk (2004) mengatakan definisi kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan adalah aneka keadaan yang
disertai
penurunan
(Sedarmayanti 1996).
efisiensi
dan
ketahanan
dalam
bekerja
Ramandhani dalam Budiono dkk (2003) mengatakan
definisi kelelahan kerja adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap orang, yang telah tidak sanggup lagi untuk melakukan kegiatan. Kelelahan adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam kehidupan sehari hari yang mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Suma'mur 1989). 2.4.1.2 Jenis Kelelahan Jenis kelelahan terbagi menjadi dua menurut Ramandhani dalam Budiono (2003), yaitu: A Kelelahan Otot (Muscular Fatique) Adalah suatu kelelahan yang ditunjukkan melalui gejala sakit nyeri yang luar biasa, seperti: ketegangan otot pada daerah sendi. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot. Secara fisiologi dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan. Kelelahan
fisik
menguntungkan
ini
dapat
seperti
menyebabkan
melemahnya
sejumlah
kemampuan
hal
tenaga
yang kerja
kurang dalam
melakukan operatorannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja. Kelelahan otot adalah gejala nyeri atau sakit mendadak yang terjadi pada otot yang mengalami pembebanan berlebihan yang terlokalisir ditempat tersebut. Tanda-tandanya: kekuatan kontraksinya melemah, kontraksi dan relaksasi melamban serta fase laten memanjang. Otot yang lelah akan menyebabkan gangguan koordinasi, sehingga dapat meningkatkan resiko atau kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecelakaan kerja, disamping itu pada otot yang lelah
13
kandungan
asam
laktat
dan
karbondioksidanya
akan
meningkat
(Kurniawan 2000). B Kelelahan Umum (General fatique) Adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas. Beberapa jenis kelelahan fisik secara umurn dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1
Kelelahan penglihatan muncul dari terlalu letihnya mata
2
Kelelahan seluruh tubuh sebagai akibat terlampau besarnya beban fisik bagi seluruh organ tubuh
3
Kelelahan mental penyebabnya dipicu oleh operatoran yang bersifat mental dan intelektual
4
Kelelahan saraf penyebabnya oleh karena terlalu tertekannya salah satu bagian dari sistem psikomotorik
5
Terlalu monotonnya operatoran dan suasana sekitarnya
6
Kelelahan kronis sebagai akibat terjadinya akumulasi efek kelelahan pada jangka waktu panjang
7
Kelelahan siklus hidup sebagai bagian dari irama hidup siang dan malam serta pertukaran periode tidur Menurut Nurmianto (1926) bahwa jenis kelelahan kerja terbagi menjadi
dua, yaitu: A Kelelahan Otot Adalah kondisi dinamis dari operatoran yang akan meningkatkan sirkulasi darah yang juga mengirim zat-zat makanan bagi otot dan mengusir asam laktat. Suasana kerja dengan otot statis, aliran darah agak menurun, sehingga asam laktat terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal, disamping itu juga dikarenakan beban otot yang tidak merata pada sejumlah jaringan tertentu yang pada akhirnya akan mempengaruhi kineria (performance) seseorang. B Kelelahan Umum Perasaan adanya kelelahan urnum yang ditandai dengan berbagai kondisi, antara lain: 1
Kelelahan visual (indera penglihatan)
2
Kelelahan seluruh tubuh
3
Kelelahan mental
4
Kelelahan urat saraf
14
5
Stress (pikiran tegang)
6
Rasa malas bekerja (circadian fatique)
2.4.1.3 Gejala-Gejala Kelelahan Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatique symptom) secara subjektif dan objektif menurut Ramandhani dalam Budiono dkk (2003), antara lain: 1
Perasaan lesu, ngantuk dan pusing
2
Tidak atau kurang mampu berkonsentrasi
3
Berkurangnya tingkat kewaspadaan
4
Persepsi yang buruk dan lambat
5
Tidak atau berkurangnya gairah untuk kerja
6
Menurunnya kinerja jasmani maupun rohani Bila kelelahan telah merupakan keadaan penyakit, kelelahan tersebut
telah bersifat medis dan gejala-gejala yang ditemukan pada tenaga kerja menurut Suma'mur (1989), adalah: 1
Pusing kepala
2
Jantung berdebar-debar
3
Nafas sesak
4
Hilang nafsu makan
5
Gangguan pencernaan
6
Tidak bisa tidur
Kelelahan klinis ini terjadi pada tenaga kerja yang memiliki konflik-konflik kejiwaan atau kesulitan psikologis. Gejala atau perasaan lelah akibat kegiatan menurut Sedarmayanti (1996), antara lain dapat menyebabkan: 1
Kepala berat
2
Lelah seluruh badan
3
Kaki terasa berat
4
Banyak menguap
5
Pikiran kacau
6
Mengantuk
7
Rasa berat pada mata
8
Gerakan kaku atau canggung
9
Berdiri tidak seimbang
10 Ingin berbaring
15
Nurmianto (1996) mengatakan bahwa kelelahan dapat ditandai dengan kondisi yang cenderung untuk mengantuk, Gejala-gejalanya adalah 1
Rasa letih, lelah, lesu dan lemah (4 L)
2
Mengantuk
3
Motivasi kerja menurun
4
Rasa pesimis
2.4.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Terdapat 5 kelompok sebab kelelahan menurut suma'mur (1989), yaitu: 1
Keadaan monoton
2
Beban dan lamanya operatoran baik fisik maupun mental
3
Keadaan lingkungan seperti: cuaca kerja, penerangan dan kebisingan
4
Keadaan kejiwaan seperti: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik
5
Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi Budiono dkk (2003) mengatakan bahwa terdapat 6 kelompok penyebab
kelelahan, yaitu: 1
Intensitas dan lamanya upaya fisik dan psikis
2
Masalah lingkungan kerja: kebisingan dan penerangan
3
Irama detak jantung
4
Masalah-masalah fisik: tanggung jawab, kecemasan dan konflik
5
Nyeri dan penyakit lainnya
6
Gizi atau nutrisi Menurut
Grandjean
(1991)
menjelaskan
bahwa
faktor
penyebab
terjadinya kelelahan di industri sangat bervariasi, dan untuk memelihara / mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus dilakukan di luar tekanan (cancel out the stress). Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja juga dapat memberikan penyegaran. Masalah lingkungan kerja seperti yang disebutkan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Penerangan Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda di tempat kerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Penerangan dapat berasal dari cahaya alami dan cahaya buatan. Banyak obyek
16
kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang
lebih
baik
dan
(Habsari dalam Budiono dkk
keadaan
lingkungan
yang
menyegarkan
2003). Upaya mata yang melelahkan menjadi
sebab kelelahan mental, gejala yang ditimbulkannya yaitu: sakit kepala, penurunan intelektual daya konsentrasi dan kecepatan berfikir (Suma'mur 1988). Sinar yang terlalu kuat, menyilaukan atau terlalu lemah akan menimbulkan pembebanan bagi tenaga kerja yang menyebabkan kelelahan lebih mudah terjadi (Kurniawan 2000). 2 Kebisingan Bising adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan yang sangat mengganggu aktivitas atau kegiatan manusia sehingga dapat mengurangi konsentrasi dalam bekerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Kebisingan mengganggu perhatian yang perlu terus menerus dicurahkan, maka dari itu tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap satu proses produksi atau hasil dapat membuat kesalahan-kesalahan, akibat dari terganggunya konsentrasi. Ada tenaga kerja yang sangat peka terhadap kebisingan terutama pada nada tinggi, salah satu sebabnya mungkin reaksi psikologis, juga kebisingan berakibat meningkatnya tingkat kelelahan (Suma'mur 1988). Kebisingan adakalanya dapat diadaptasikan oleh telinga, sampai seberapa tinggi tingkat kebisingan dapat dianggap tidak mengganggu masih sulit ditetapkan. Perlu dijaga agar tingkat bising tidak sampai mengakibatkan hilangnya kesempatan istirahat karena akan menyebabkan lelah kronis (Sedarmayanti 1996) 3 Lingkungan Kerja Panas (Iklim kerja) Tarwaka dkk (2004) mengatakan bahwa operator di dalam lingkungan panas, seperti disekitar boiler, tungku pemanasan atau bekerja di luar ruangan di bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara
suatu
kisaran
panas
lingkungan
yang
konstan
dengan
menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan salah satunya adalah
17
gangguan perilaku dan performance kerja seperti, terjadinya kelelahan, sering melakukan istirahat curian. 2.4.1.5 Mekanisme Terjadinya Kelelahan Suma'mur (1989) mengatakan bahwa kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan saraf pusat, terdapat sistem aktivasi dan sistem imbibisi. Kedua sistem ini saling mengimbangi tetapi kadang-kadang salah satu dari padanya lebih dominan sesuai dengan keperluan. Sistem aktivasi bersifat simpatis, sedangkan sistem imbibisi bersifat parasimpatis. Agar tenaga kerja berada dalam keserasian dan keseimbangan, kedua sistem tersebut harus berada pada kondisi yang memberikan stabilitas kepada tubuh. Kelelahan adalah reaksi fungsionil dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri, yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik yaitu: sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat terdapat dalam thalamus
yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan
menyebabkan kecenderungan untuk tidur. Adapun sistem penggerak terdapat dalam formatio retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan, dalam tubuh ke arah bekerja, berkelahi, dan melarikan diri. Apabila sistem penghambat yang kuat, seseorang berada dalam kelelahan, sebaliknya manakala sistem aktivasi yang kuat, seseorang dalam keadaan segar untuk bekerja. 2.4.2 Beban Kerja Menurut Mc.Cormick dan Sanders (1993), metabolisme merupakan proses kimia yang mengubah bahan makanan menjadi dua bentuk, yaitu energi panas dan energi mekanik. Energi panas terjadi akibat kita melakukan suatu operatoran, dan energi mekanik digunakan untuk kegiatan internal tubuh (proses pernafasan maupun pencernaan) dan kegiatan eksternal seperti bekerja, berjalan maupun kegiatan lainnya. Energi yang tersedia dalam tubuh dihasilkan melalui proses metabolisme yang terjadi di dalam sel-sel otot tubuh. Metabolisme ini berkaitan dengan kelancaran transportasi bahan-bahan metabolik ke seluruh tubuh yang diedarkan oleh sistem transportasi tubuh. Kelancaran sistem peredaran darah ini dapat dipantau melalui jumlah denyut jantung dan nadi per satuan waktu yang berperan layaknya pompa darah. Semakin besar kebutuhan tenaga dalam
18
melakukan suatu aktifitas maka akan semakin cepat pula jantung dan nadi itu berdenyut. Beban kerja merupakan beban seseorang ketika melakukan suatu operatoran. Beban ini akan diketahui pada saat operator menanggapi kerja dengan memberikan respon seperti denyut jantung yang tinggi atau keringat yang keluar.
Kapasitas kerja manusia dibatasi dan terutama ditentukan oleh
kemampuan untuk menyediakan oksigen dan makanan yang cukup. Konsumsi energi sebesar 20 kJ per menit, termasuk energi untuk metabolisme basal sebesar 4.2 kJ adalah nilai tetap maksimum yang dapat dihasilkan seorang pria dewasa. Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan dengan memperhatikan empat parameter fisiologis sebagai berikut (Zanders 1972): 1 Suhu Tubuh Peningkatan beban kerja akan menaikkan suhu tubuh, sehingga suhu tubuh dapat dijadikan parameter pengukuran beban kerja fisik. Pada operator yang bekerja pada suhu udara tinggi, peningkatan suhu tubuh tidak proporsional dengan laju konsumsi O2, sifat ini dapat dijadikan indikasi pengukuran heat stress. 2 Konsumsi Oksigen (O2) Perubahan karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi memerlukan O2, dengan demikian konsumsi O2 dapat dijadikan parameter untuk pengukuran benda kerja, dengan mengequivalenkan antara kebutuhan energi dan kebutuhan O2 diperoleh hubungan yang nyata antara keduanya. Konsumsi energi bersih per kegiatan dapat diukur dengan cara menguranginya dengan energi yang diperlukan untuk metabolisme basal. 3 Laju Paru-Paru dan Frekuensi Pernafasan Laju paru-paru dan frekuensi pernafasan seimbang dengan konsumsi O2, sehingga dengan mengetahui laju paru-paru dan frekuensi pernafasan dapat dihitung besarnya konsumsi O2 dan dapat diketahui besarnya beban kerja. 4 Denyut Jantung Kerja jantung akan meningkat jika tubuh melakukan tenaga mekanis. Laju denyut jantung yang tinggi akan diikuti oleh konsumsi O2 yang rendah, biasanya menunjukkan kelelahan otot, terutama untuk operatoran statis (Zander 1972 dan Sanders 1987).
19
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan parameter-parameter di atas, tingkat beban kerja fisik dapat digolongkan dalam beberapa tingkat, seperti terdapat dalam Tabel 4. Tabel 4
Tingkat beban kerja fisik yang diukur berdasarkan parameter fisiologis
Konsumsi Konsumsi Konsumsi Denyut energi dalam energi oksigen jantung/menit 8 jam (kkal) (kkal/menit) (liter/menit) Isirahat < 720 < 1.5 < 0.3 60-70 Sangat Ringan 768-1200 1.6-2.5 0.32-0.5 65-75 Ringan 1200-2400 2.5-5.0 0.5-1.0 75-100 Sedang 2400-3600 5.0-7.5 1.0-1.5 100-125 Berat 3600-4800 7.5-10.0 1.5-2.0 125-150 Sangat Berat 4800-6000 10.0-12.5 2.0-2.5 150-180 Luar Biasa Berat >6000 >12.5 >2.5 >180 Sumber: American Industrial Hygiene Association dalam Mc. Cormick 1970. Tingkat kerja
Pengukuran beban kerja fisik yang termudah untuk dilakukan pada kondisi lapang adalah dengan mempergunakan pengukuran denyut jantung. Tetapi, pengukuran ini memiliki kelemahan, karena hasil pengukuran tidak hanya dipengaruhi oleh usaha-usaha fisik, melainkan juga oleh kondisi dan tekanan mental. Kelemahan lainnya adalah bervariasinya karakter denyut jantung pada setiap orang, dan dapat pula terjadi penyimpangan (Hayashi. et al 1997). Salah satu metode yang dipergunakan untuk kalibrasi pengukuran denyut jantung ini adalah dengan mempergunakan metode step test atau metode langkah, selain dari sepeda ergometer. Dengan metode step test dapat diusahakan suatu selang yang pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena dapat dilakukan dimana-mana, terutama di lapang, dibandingkan dengan mengguanakan sepeda ergometer (Hayashi. et al 1997). Menurut Hayashi. et al (1997), denyut jantung sebanding dengan konsumsi oksigen. Beban kerja yang pasti dapat diketahui dengan mengkalibrasi antara kurva denyut jantung saat bekerja dengan beban kerja (denyut jantung) yang ditetapkan sebelum bekerja (metode step test). Step test mempunyai komponen pengukuran yang mudah, selalu tersedia dimana saja dan kapan saja, sehingga dengan demikian dengan metode ini ketidakstabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah dianalisa (Hayashi. et al 1997). Dengan metode ini beberapa faktor individual seperti umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur (Herodian 1998).
20
2.4.3 Kecelakaan Kerja Keberhasilan seseorang operator dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut harus diperhatikan agar dapat memaksimalkan fungsi kerja operator sehingga marnpu menyelesaikan operatoran dengan cepat dan dapat meningkatkan produktivitas kerja Untuk menghindari kecelakaan kerja dari awal seseorang operator perlu memperhatikan faktor tersebut Secara garis besar faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua (2) kelompok, yaitu: 1
Kelompok faktor diri (individual), dan
2
Kelompok faktor situasional Kelompok faktor diri terdiri dari beberapa faktor yang datang dari diri
operator itu sendiri. Beberapa hal seperti penalaran, pengalaman, dan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang bekerja. Kelompok faktor situasional terdiri dari faktor yang dapat diubah atau diatur. Faktor ini berada di luar diri manusia Kelompok faktor situasional terbagi ke dalam dua sub kelompok yaitu: 1
Faktor sosial keorganisasiannya seperti kepuasan kerja dan semangat dalam bekerja
2
Faktor fisik operatoran yang bersangkutan seperti keterkaitan antara seseorang yang bekerja dengan alat, mesin dan lingkungan kerja
2.5 Produktifitas Rendahnya produktivitas tenaga kerja yang terlibat dalam sektor industri merupakan salah satu faktor yang ikut bertanggung jawab atas rendahnya sumbangan industri pada produk domestik bruto. Dalam konsep manajemen, manusia diharapkan mau memanfaatkan tenaga sepenuhnya atau seoptimum mungkin untuk meningkatkan produktivitas, yang diikuti oleh terciptanya hubungan kerja yang bermutu dengan konotasi yang menyenangkan. Usaha ini menuntut
keterlibatan
seluruh
perusahaan
dimana
setiap
orang
dapat
merasakan pentingnya produktivitas yang meningkat lalu berperan serta (Kussriyanto 1986). Unsur utama yang menyebabkan suatu lingkungan tertentu memberikan motivasi adalah gabungan dari kondisi fisik dan sikap mental. Sejauh mana salah satu unsur tersebut lebih penting, bergantung pada sifat dan pentingnya operatoran bagi karyawan. Hasil kerja yang sangat memuaskan dapat dicapai
21
dalam suatu keadaan yang buruk, manakala hasrat karyawan untuk berprestasi amat kuat. Sebaliknya, kondisi yang sangat baik tidak berarti menghalangi munculnya hasil kerja yang justru sangat mengecewakan apabila para karyawan tidak mempunyai gairah untuk berprestasi. Karyawan yang bermotivasi tinggi dapat membuat "keajaiban" di dalam lingkungan yang buruk. Sebagai contoh misalnya operatoran-operatoran teknik para tawanan perang yang mereka laksanakan dalam usaha melarikan diri. Tanpa peralatan yang lengkap, terpaksa bekerja di tempat yang gelap, terputusputus dan dibayangi rasa ketakutan kalau-kalau ketahuan, mereka membuat terowongan, mendesain dan memasang sistem ventilasi serta merancang cara membuang berton-ton tanah tanpa diketahui oleh lawan. Dengan motivasi tinggi para tawanan itu tidak menghiraukan kondisi lingkungan kerja yang buruk dan mereka terus maju untuk mencapai sasaran. Mereka benar-benar dipimpin oleh orang-orang yang mernberikan berbagai pengarahan secara jelas dan yang selalu memberikan dorongan, sehingga semangat kerja mereka terjaga terus dalam keadaan apa pun. Kepemimpinan yang baik membantu orang mengatasi lingkungan kerja yang buruk (Kussriyanto 1986).