2
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk menjelaskan fenomena pembentukan elite sosiologi politik dan ekonomi di dalam etnis Bugis dan Makassar menuju hibriditas budaya politik, maka penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai bingkai analisis atas fakta atau fenomena sosial yang terjadi berkaitan dengan tematik penelitian. Adapun penggunaan teori ini akan disesuaikan dengan pilihan paradigma penelitian oleh peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas posisi peneliti dalam penelitian yang dilakukan. Berkaitan dengan tematik penelitian ini, penulis mengeksplorasi sejumlah teori antara lain; teori elite dan kekuasaan, yang berbasiskan etnis, simbol, dan wacana. Lebih jelasnya, uraian batasan teori sebagaimana telah disebutkan akan dipaparkan pada bagian berikut tulisan ini. 2.1 Elite Secara etimologi, istilah elite berasal dari kata Latin eligere yang berarti memilih. Pada abad ke 14, istilah ini berkembang menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan). Kemudian pada abad ke 15, dipakai untuk menyebutkan best of the best ( yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada abad ke 18, kata elite yang berasal dari bahasa Perancis, dipakai untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elite adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elite merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto meyakini bahwa elite yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-orang yang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elite terbagi dalam dua kelompok, yakni elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). Antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila secara 21
kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis. 7 Sementara Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungankeuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan. 8 Mosca meneliti komposisi elite lebih dekat lagi dengan mengenali peran ‗kekuatan sosial‘ tertentu. Mosca mengenalkan konsep ‗sub elite‘ yang merupakan kelas menengah dari para pegawai negeri sipil, para manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa. Kelas menengah ini dianggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya stabilitas politik ditentukan oleh lapisan kelompok menengah ini. Kekuasaan elite menurut Mosca adalah sebagai akibat sifat-sifat yang tak terbantahkan dari watak sosial manusia. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelas politik yang tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa mempertahankan diri. Sementara elite lain akan terbentuk dari kalangan yang diperintah, dan dengan perjalanan waktu akan mengambil alih kekuasaan meskipun dengan kekerasan. Sistem demokrasi, menurut Mosca tidak memiliki dasar substantif sebagai kekuasaan mayoritas, bahkan dianggap sebagai penyebab kemerosotan elite. Oleh karenanya semua kelompok penguasa harus mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun agar tetap dapat memanipulasi kekuasaannya. Akan tetapi Mosca juga menyadari, bahwa rekruitmen dari kelas mayoritas sangat dibutuhkan demi stabilitas organisasi politik. Mosca berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan, dan semakin besar masyarakat, semakin sukar kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap mereka terhadap kelompok elite minoritas itu. Mosca, 7
Ibid, halaman 204.
8
Lihat SP. Varma, Teori Politik Modern. Jakarta. Rajawali Pers : 2007. Halaman 206-207.
22
juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai. Baik Pareto maupun Mosca lebih memusatkan perhatiannya kepada elite yang memerintah. Konsep pergantian atau sirkulasi elite juga diperhatikan oleh Pareto, yang baginya elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elite. Percakapan tentang Teori Elite kemudian juga merambah Amerika Serikat melintasi samudrea Atlantik dan sekaligus mencoba menautkan Teori Elite dengan Demokrasi. Schumpeter sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa Demokrasi sebenarnya meski berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Ide utama Schumpeter kemudian adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan Schumpeter tidak yakin adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu. Dengan upaya-upaya panjang dalam mempertautkan Teori Elite Klasik dengan Demokrasi, sebagaimana dilakukan oleh Schumpeter di atas juga berlanjut dalam tradisi berpikir tokoh lain semisal Lasswell, Dahl, Sartori dan Lasswell menekankan bahwa betapapun memang masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Sementara Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Selanjutnya Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, maka elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah. Kajian-kajian kaitan antara Teori Elite dengan Demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana 23
kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Artinya, bagaimana mempertautkan apa yang dinamakan ironi demokrasi pada bagian depan, sehingga benar-benar esensi dan substansi bahwa demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan dalam elite pemerintahannya melalui proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas. Dengan melintasi samudera Atlantik,
maka teori elite kemudian
memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi serta bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl (2006) serta penegasan lain dari Sartori (1987) ketika menyatakan bahwa: ―Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional maneuverings‖. Hal ini nampaknya mirip dengan penegasan Dahl dalam Poliarkhi soal adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menekankan beberapa hal bahwa dalam paham pluralism ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi atas berbagai kelompok yang memiliki keinginan dan tuntutan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga Negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme tawar menawar, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan mereka. Keempat, Kepemimpinan terbuka, kelompok baru boleh dibentuk untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan. Defenisi elite juga dikemukakan oleh Lockwood (1989). Menurutnya elite dapat didefinisikan melalui dua cara, yaitu: (1) elite yang memerintah (governing elite), yang terdiri dari individu-individu yang secara langsung atau tak langsung memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan; dan (2) elite yang tak 24
memerintah (non-governing elite), yang mencakup sisanya. Sehubungan dengan itu, maka secara umum kita memiliki dua lapisan dalam masyarakat yang memposisikan kaum elite, yakni: (1) lapisan yang rendah (non-elite), yang di sini pengaruh yang mungkin dimilikinya terhadap pemerintah tidak menjadi perhatian dalam analisis ini; kemudian (2) lapisan yang tinggi (elite), yang terdiri dari elite yang memerintah dan elite yang tak memerintah. Selanjutnya,
Putman
(1987)
memberikan
gambaran
bagaimana
mengidentifikasi apakah seseorang termasuk dalam kelompok elite atau tidak. Dalam hal ini, Putman memberikan pendekatan untuk menentukan kelompok elite. Adapun pendekatan yang dimaksud, terdiri dari: (1) menganalisa posisi yang bersifat formal, yaitu pada kedudukan resmi dalam pemerintahan; (2) menganalisa reputasi, yang lebih bersifat informal dalam masyarakat; dan (3) menganalisis keputusan, melalui peranan yang dimainkannya dalam pembuatan atau penentangan terhadap keputusan politik. 9 Kemudian, elite atau calon elite mempunyai satu persamaan, dimana mereka tidak takut pada tanggungjawab atau kekuasaan.10 Dalam hal ini, kekuasaan tidak perlu diartikan secara sempit sebagai kekuasaan fisik dan kekuasaan politik belaka. Dalam dunia yang semakin kompleks dewasa ini kekuasaan dapat mengambil berbagai bentuk, seperti kekuasaan ekonomi atau kekuasaan terhadap informasi.11 Berangkat dari batasan definisi tersebut, kemudian Russell menstrukturkan kelompok elite ke dalam tiga bagian, yaitu elite startegis, sub-elite dan kontraelite.
Ketiga pengstrukturan kelompok elite ini, kemudian dijelaskan Russell
sebagai lapisan kecil pemimpin yang berada dipuncak kekuasaan negara, yang mana mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam menentukan alokasi sumber daya yang tersedia. Dengan kata lain, mereka yang tidak, atau tidak lagi, berada dalam jajaran elite secara konseptual, menurut Russell disebut massa. Meski demikian, dalam saat-saat luar biasa tatkala massa seakan-akan mempunyai 9
Lihat Robert D. Putnam, The Comparative Study of Political Elites (New York: Prentice Hall, Inc. Englewodd Cliffs, 1980), hal 90. Dikutip oleh Dr. Mochtar Mas‘ud dan Dr. Collin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan kedelapan, 1987).
10
Psikolog Edward Spranger berpendapat adanya hubungan antara tipe kepribadian yang menyukai kekuasaan ini dengan latar belakang kebudayaan yang melahirkannya; lihat, Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Penerbit CV. Radjawali, cetakan keempat, 1984). hal.102. 11 Tentang analisis kekuasaan dalam artian yang luas ini lihat Bertrand Russell, Kekuasaan Sebuah Analisis Sosial Baru (Jakarta: Yayasan Obor, 1988).
25
kehendaknya sendiri, lazimnya peranan mereka lebih bersifat pasif dan terbatas pada memberikan atau menolak legitimasi peranan elite. Meski demikian peranan massa tidak dapat kesampingkan oleh elite. Elite membutuhkan legitimasi massa agar dapat terus memerintah. Legitimasi yang dimiliki oleh massa merupakan kekuatan yang dapat diberikan dan dialihkan kerjasama dan dukungannya kepada elite yang lain, jika elite yang satu tidak sesuai dengan kehendak massa.
Karena itu, suatu tantangan mendasar yang
dihadapi oleh elite dimanapun adalah merumuskan kebijaksanaan dan strategi yang tepat untuk memperoleh legitimasi kekuasaannya terhadap massa. Hal ini dikarenakan kegagalan memperoleh legitimasi massa akan berarti berakhirnya peranan sebagai elite yang sedang berkuasa, dengan konsenkuensi yang sukar diperkirakan secara persis. Dalam konteks Indonesia (termasuk di Sulawesi Selatan), elite menghadapi suatu tantangan kepemimpinan yang khas terhadap massa dikarenakan kultur masyarakat yang majemuk. Kemajemukan kultural massa (rakyat) mempunyai makna politik, bukan saja karena setiap etnik mempunyai daerah asal yang jelas batas-batasnya, dan sebagian besar merupakan daerah otonom, tetapi juga karena setiap kultur dan subkultur tersebut mempunyai kultur politiknya sendiri. Tentu saja tidak ada masalah jika kultur politik rakyat adalah sama dan sebangun dengan kultur politik elite. Masalah baru timbul jika keduanya berbeda apalagi bertentangan. Dalam hal yang terakhir, kualitas kenegarawan elite diuji sampai keakar-akarnya. Elite yang mempunyai kualitas kenegarawan yang tinggi akan mampu memainkan peranannya dengan baik dalam melakukan alokasi sumber daya dengan dukungan penuh massa. Sebaliknya, elite yang tidak atau kurang mempunyai kualitas akan mengalami kesulitan besar, baik dalam mengalokasikan sumber daya maupun dalam memperoleh legitimasi dari massa. Tentang hal tersebut, Pareto, Mosca maupun Michels berpendapat sama tentang pentingnya ideologi, mitos serta kekuasaan bagi elite. Ideologi atau mitos merupakan shared value system yang memungkinkan elite dan massa berkomunikasi satu sama lain serta untuk berkerjasama dalam mencapai tujuan. Ditinjau dari segi ini, perhatian elite yang cukup besar terhadap pengembangan ideologi merupakan suatu hal yang wajar. Adalah menarik untuk memperhatikan
26
bahwa pengembangan ideologi oleh elite tersebut tidak hanya terdapat pada negara-negara berkembang, tetapi juga di negara industri maju yang menganut faham liberalisme dalam kehidupan politik dan ekonomi. Dengan demikian, realisme politik menunjukkan bahwa elite yang mampu menguasai tiga jenis sumber daya yang telah diuraikan sebelumnya akan dapat melaksanakan misinya dengan baik. Massa yang secara sadar menerima ideologi elite, merasakan manfaat nyata dari kepemimpinan elite tersebut dalam hidupnya, serta menyadari bahwa alternatif lain adalah kurang menyenangkan, secara rasional akan memberikan legitimasi kepada kepemimpinan elite tersebut. 2.1.1 Basis-Basis Kekuasaan Elite Indonesia Garis besar perkembangan elite Indonesia 12 terbagi dalam dua pola. Pertama, elite yang tumbuh melalui alur yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan. Kedua, elite yang berkembang lewat route modern, yang berorientasi pada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Dalam
pertumbuhannya
kemudian,
elite
modern
lebih
menunjukkan
keanekaragaman ketimbang elite tradisional. Fenomena ini dapat dilihat pada kecenderungan elite modern yang memilih profesi beragam seperti; administraturadministratur,
pegawai-pegawai
pemerintah,
teknisi-teknisi,
orang-orang
professional dan para intelektual. Dari proses pembentukannya, elite Indonesia memiliki karaktersitik dan spesifikasi yang khas antara satu elite dengan elite yang lainnya. Perbedaan itu terutama terlihat pada terbentuknya elite fungsional dan elite politik. Elite fungsional adalah pemimpin-pemimpin, yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang, mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat modern, sedangkan elite politik adalah mereka-mereka yang terlibat 12
Sesungguhnya dalam proses pembentukan elite modern Indonesia lebih banyak mengacu pada perkembangan elite yang terjadi di Jawa (pada masa kolinial), karena itu mungkin saja ungkapan ―elite Indonesia, baik dalam pengertian politik maupun pengertian sosial, pada era awal perkembangan elite modern Indonesia agak mengelirukan. Akan tetapi Jawa tidak dapat disangkal sebagai pulau yang merupakan pusat politik, admininstrasi dan ekonomi colonial. DIsamping itu, Jawa telah menjadi pusat penduduk dengan kurang lebih 70 persent dari seluruh penduduk nusantara. Pada 1900, Jawa sudah menampung 17 juta penduduk. Pada saat yang sama, pulau Jawa tidak saja didiami oleh suku Jawa dan Madura, akan tetapi juga dihuni oleh suku SUnda di Jawa Barat, suku Melayu, Bugis-Makassar dan Ambon. Dengan kondisi seperti ini, maka istilah ―elite Indonesia‖ dalam tulisan ini ditujukan pada kelompok elite yang berpusat di Jawa yang terdiri dari berbagai suku Indonesia, akan tetapi, tetap saja unsure pokoknya adalah Jawa, kecuali ada penjelasan khusus.
27
dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi yang biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok elite fungsional pada umumnya selalu menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan kedua (elite politik) lebih mempunyai arti simbolis, dari pada praktis. 1. Basis Regulasi Rezim Kelahiran elite Indonesia memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sebuah rezim. Khususnya regulasi yang dirumuskan oleh rezim. Rezim ikut membuahkan elite pada pelbagai jenjang. Ketika Rezim Belanda pada 1870 mencetuskan Politik Liberal–sebuah politik kemanusiaan dan politik kebebasan ekonomi kepada Hindia Timur, yang membolehkan pihak swasta ikut mengontrol kehidupan ekonomi, maka pada saat yang sama, terjadi perubahan struktur sosial dan ekonomi pada semua jenjang. Politik Liberal memaksa pemerintah sipil Eropa di Jawa untuk memberikan perhatian yang lebih kepada kemakmuran pulau-pulau di Nusantara. Sebagai implikasi dari kebijakan rezim ini, pada 1870, komposisi masyarakat Eropa dan elite lokal (Indonesia) berubah. Perubahan ini umumnya adalah sebagai akibat cepatnya jumlah warga sipil yang ikut memberikan kontribusi dalam pengelolaan ekonomi bangsa, dimana sebelumnya peran ini hanya dilakukan oleh pemerintah dan administrator.13 Sesudah tahun 1890-an, peran sipil terus menerus meningkat, pada konteks ini, kebijakan rezim telah memberi ruang yang cukup bagi masyarakat sipil untuk mengekspresikan kepentingannya. Pada kondisi inilah lahir elite-elite modern baru, yang melakukan tuntutan baru yang sangat kritis. Misalnya yang terjadi pada 1888, sebuah Koran lokal di Semarang de Locomotief, secara tegas dan berani menyuarakan keinginan akan otonomi lokal yang lebih besar dan perbaikan keadaan untuk pribumi Hindia Timur. Mulai pada saat ini, ekonomi liberal 13
Sebelum dikeluarkan regulasi Politik Liberal (politik kemanusiaan), pemerintah kolonial mengendalikan kekuasaannya di Nusantara, melalui sistem pemerintah indirect-rule, dimana pemerintah Belanda tidak secara langsung mengendalikan pemerintahan, melainkan diserahkan kepada elite-elite tradisional (pangreh praja) yang memiliki basis-basis massa. Pangreh Praja kemudian terbentuk menjadi suatu elite birokrasi dengan sistem cara kerja, dengan etos, dan juga dengan hubungan-hubungan sosial, kekerabatan yang saling jalinmenjalin. Karena perubahan regulasi rejim (1870), lambat laun (awal abad 20) pangreh praja melalui pendidikan modern, berubah menjadi elite birokrasi. Sebelum era abad 20, pangreh praja bersumber dari tradisi penguasa tradisional atau patrimonial yang tidak mengenal pemisahan kepentingan pribadi dan jabatan (lihat Sutherland (1983), Terbentuknya Elite Birokrasi, Seri Sejarah Sosial Nomor dua, Peneribit Sinar Harapan)
28
kekuasaan kolonial mendapat kritikan dan kecaman dari elite-elite baru Indonesia, yang berkedudukan sebagai professional, intelektual, wartawan dan pengusaha. Puncaknya, pada 1899, C.T. van Deventer melakukan kritikan kepada pemerintah Belanda, yang terkenal dengan
―Hutang Budi,‖ kritikan ini menghimbau
pemerintah Belanda untuk membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang berkekurangan itu sebagai bagian ganti rugi akan laba yang sudah dikeruk di Jawa melalui Sistem Tanam Paksa (STP). Pada 1900, menurut hitungan Deventer, Belanda mengeruk keuntungan dari program STP bernilai sekitar 200 juta dollar. Serangan lain dilakukan H.H. Van Kol, pimpinan urusan jajahan dari Partai Sosial Demokrat, yang mempersoalkan kebijaksanaan kolonial dan politik jajahan. Berbagai serangan, baik yang dilakukan oleh elite politik Belanda (yang berseberangan dengan pemerintah Belanda) maupun yang digerakkan oleh eliteelite fungsional baru Indonesia (elite-elite baru yang lahir dari hasil regulasi kebijakan rezim; politik liberal) telah berhasil melahirkan orientasi baru. Orientasi baru yang lahir pada 1901 ini disebut sebagai Politik Etis 14. Politik ini, mengusahakan pembangunan tanah jajahan dengan modal swasta, juga dicari jalan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan serta memperluas otonomi melalui pendidikan. Kebijakan politik demikian mengandung sesuatu yang dapat mengenai setiap orang dari setiap aliran politik. Politik Etis direspon dengan berbagai bentuk oleh elite dan masyarakat Indonesia. Semula, kelompok priyayi (elite tradisional) Indonesia, yang jumlahnya kurang dari dua persen, merespon Politik Etis dengan berat hati – mereka berusaha tetap mempertahankan kesatuan dan kemurnian darah mereka dengan mengikuti suatu pembatasan yang keras dalam identitas sosial mereka— 14
Politik Etis lahir dari suasana yang bermula dari Pemilihan Umum 1901, yang mengubah gambaran politik di negeri Belanda. Partai Liberal yang menguasai politik selama 50 tahun telah keluar dari kekuatan politik, sibuk dengan sikap tuntunan (Partai Liberal memegang proyek-proyek sosial) dan dengan agama (pada pertengahan terakhir abad ke 19 telah ditekankan pendirian netral dalam agama), telah membuat kelompok kanan dan kelompok agama berkoalisi, yang menetapkan untuk kembali kepada prinsip-prinsip Kristen dalam pemerintahan. Deventer seorang Liberal yang popular, tidak terpilih untuk duduk di Parlemen, dan meneruskan usahanya di luar; dia dapat menyebabkan orang merasakan pengaruhnya. Pidato tahunan kerajaan pada bulan September 1901, menunjukkan semangat Kristen, ketika Ratu menekankan pentingnya kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat Hindia Belanda. Pesan ini kemudian ditafsirkan oleh publik sebagai keprihatinan terhadap keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Timur dan meminta agar dibentuk suatu komisi untuk memeriksa keadaan ini. Dari kejadian inilah diambil sebagai moment Politik Etis Jajahan. Inti dari Politik Etis berisikan keinginan kuat untuk melakukan perubahan struktur sosial masyarakat Hindia Timur, melalui jalur pendidikan modern, dan moderenisme kelembagaan sosial, untuk menuju kemakmuran sosial dan kesejahteraan masyarakat, tanpa memandang latar belakang, status sosial, asal etnis dan agama (Lihat Niel (1984) dalam; Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya).
29
akan tetapi setelah Politik Etis ini semakin menguat, dengan berbagai alasan, kekakuan itu menjadi mencair. Perubahan yang terjadi tidak mengenai semua kelompok priyayi. Kelompok priyayi yang merespon positif Politik Etis, berusaha memperluas fungsi sosial mereka, menyatu dengan masyarakat untuk melakukan gerakan sosial untuk memperkuat posisi sosial politik warga Indonesia, dengan cara menumbuhkan lapisan intelektual, budaya dan kosmologi Indonesia. Dalam konteks seperti ini, elite tradisional (priyayi) yang merespon Politik Etis, mengubah dirinya menjadi elite modern yang fungsional. Pada era 1900, kelompok priyayi sedang mengalami perubahan, oleh karena di dalamnya sendiri terjadi pertambahan pegawai negeri dan orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai intelektual dan golongan professional. Singkatnya, Politik Etis telah membongkar posisi elite tradisional Indonesia –kondisi yang sekaligus menggambarkan bahwa regulasi rezim terbukti ikut melahirkan elite-elite baru. Elite tradisional mulai lebih rasional, priyayi muda yang memiliki pendidikan formal di Belanda, mulai menggeser kedudukan priyayi tradisional15, dan memulai karir resmi mereka sebagai mantra, suatu jabatan yang termasuk kedalamnya urusan sekretariat atau polisi di tingkat lokal. Dan apabila semuanya berjalan baik, dia akan menjadi asisten wedana (kepala sub distrik), Wedana (kepala distrik), dan akhirnya Bupati atau Regen yang mengepalai sebuah Kabupaten. Pada 1900, terdapat lebih dari delapan puluh Kabupaten di Jawa. 2. Basis Pendidikan Bersamaan dengan terjadinya pergeseran elite pada ruang elite tradisional, menjadi elite modern yang fungsional, Politik Etis berhasil membangun infrastruktur
dan
suprastruktur
pendidikan.
Kondisi
ini
memungkinkan
bertambahnya orang yang menempuh pendidikan formal, yang datang dari berbagai kelompok sosial (meskipun orang yang sekolah masih didominasi oleh keturunan priyayi –elite tradisional). Pendidikan16 yang dilahirkan oleh Politik 15
Meskipun pada awalnya, proses mengembangkan pemimpin-pemimpin tradisional Jawa yang berpendidikan Barat, tidak mendapat kerjasama dan kadang-kadang mendapat tantangan dari pihak orang tua. Mereka takut akan mendapat pengaruh sebaliknya pada kedudukan sosial anak-anak mereka, dan takut pula kalau hal ini akan membawa lebih banyak kecelakaan dari pada kebaikan.. Rasa was-was ini berakhir setelah 1906, dimana pemerintah Belanda menunjukkan keseriusan untuk memberi pendidikan yang lebih baik kepada masyarakat Hindia Timur. Gerakan ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje. 16
Tujuan dari semua pendidikan sebagaimana digambarkan dalam Politik Etis Kolonial, adalah
30
Etis telah berhasil melahirkan proto type pegawai pemerintah dan intelektual abad ke-20. Kebanyakan dari mereka inilah yang sedikit banyak sebagai priyayi oleh orang banyak di Indonesia, sungguhpun mereka bukan turunan priyayi tingkat tinggi. Kedudukan mereka dalam dinas pemerintahan yang strukturnya semakin modern melibatkan mereka untuk dimasukkan ke dalam kelompok elite di dalam masyarakat Indonesia. Sepanjang awal abad ke 20, pelayanan pemerintah kian berkembang, mencari orang-orang dengan pendidikan formal untuk mengisi jabatan-jabatan dalam struktur birokrasi yang rasional. Orang-orang yang mengisi jabatan ini secara otomatis masuk ke dalam kelompok priyayi atau digolongkan kelompok elite, meskipun asal mula mereka tidak dari golongan priyayi atau elite (akan tetapi jumlah mereka ini sangat terbatas) sebagian besar mereka sesungguhnya sudah berstatus priyayi, dan sedang mencari jalan untuk terus memperbaiki posisi mereka dalam kelompok priyayi. 17 Setiap komunitas berbeda-beda merespon Politik Etis, komunitas etnis Cina dan Jawa menjadikan Politik Etis sebagai peluang untuk meraih keuntungan ekonomi. Dengan posisi seperti itu, etnis Cina menempatkan dirinya sebagai elite ekonomi, kemudian disusul oleh etnis Arab. Etnis Jawa dan beberapa etnis lain di Nusantara tidak memiliki pengalaman dan intuisi pada dunia usaha atau ekonomi. Para pribumi baik dari kelompok priyayi maupun masyarakat biasa memilih melewati jalur pendidikan dan gerakan sosial untuk memposisikan diri sebagai elite. Perluasan pendidikan adalah akar dari perubahan sosial yang mempengaruhi elite Indonesia. Bila sebelumnya, kedudukan-kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru (rezim baru), memposisikan pendidikan sebagai suplemen untuk dijadikan sebagai ukuran utama. Pendidikan menjadi salah satu sumber yang menghasilkan anggota-anggota elite baru. 18
untuk membebaskan orang Indonesia menjalankan peranan yang lebih aktif dalam masa depan politik, ekonomi dan sosial mereka. 17 Untuk sebagian orang, penggolongan dalam priyayi mungkin saja tak berarti sama sekali, karena mereka (priyayi) membangun cita-cita baru, memakmurkan, mensejahterakan rakyat, serta mengabdi kepada bangsa dan negara. Akan tetapi kebanyakan orang tetap menduga bahwa kelompok ini tetap merupakan minoritas yang kebanyakan amat tertarik pada martabat pribadi dan sosial yang melekat pada peranan birokrasi mereka yang baru. 18 Sekolah ―Dokter Jawa,‖ sekolah dokter pribumi (biasa disebut STOVIA) yang telah
31
Keberhasilan pendidikan merupakan salah satu bagian dari keberhasilan Politik Etis yang terus menerus berusaha untuk memperkuat posisi sosial ekonomi orang Hindia Timur dan membuat mereka lebih dapat membangun struktur kesejahteraan ekonomi mereka sendiri. 3. Basis Sosial, Ekonomi, Agama dan Etnisitas Budaya Politik Etis dalam upayanya mencapai struktur kesejahteraan ekonomi masyarakat Hindia Timur, juga membuka peluang bagi aktivis Indonesia untuk membangun organisasi sosial, yang dapat dijadikan sebagai alat pergerakan sosial. Budi Utomo pada 1908, tampil sebagai orang pertama yang mengambil posisi pada alur pergerakan sosial, dengan mendirikan Organisasi Indonesia pertama yang mengikuti garis-garis Barat,19 untuk memposisikan diri sebagai elite Indonesia. Budi Utomo muncul sebagai elite strategis Indonesia, dengan menggunakan pentas organisasi modern, yang didasarkan pada usaha individu-individu yang bebas dan sadar akan persatuan. Organisasi ini mengembangkan sebuah program dan tujuan yang berada di luar segala sesuatu yang terdapat di dalam cakrawala Jawa. Keanggotaannya dipilih tidak berdasarkan ikatan kesukuan, kecuali pada awalnya organisasi ini memang didominasi oleh kelompok intelektual. Gejala ini menunjukkan adanya jalan baru bagi tokoh intelektual atau tokoh pribumi yang non-priyayi membuka jalan baru (organisasi-gerakan sosial) untuk menuju panggung elite.
Panggung ini dikuasai oleh kelompok elite intelektual, yang
berusaha menunjukkan dirinya sebagai elite yang berbeda dengan elite keturunan bangsawan dan administratur. Pada kelompok intelektual inilah terbentuk unsur kepemimpinan baru20 Indonesia yang paling menyadari kedinamisannya. direorganisasi misalnya adalah salah satu rahim pembentukan elite-elite baru Indonesia. STOVIA adalah salah satu dari lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan lanjutan cara Barat kepada anak-anak muda priyayi dan pribumi lainnya. Selain sekolah dokter, juga ada sekolah dokter hewan (1907), sekolah Hukum (1908), sekolah Pertanian (1903), dan sekolah Keguruan (1906). 19 Kehidupan di Jawa, tersusun di sekitar desa dan kelompok priyayi di sekitar keraton atau kota tempat kekuasaan golongan atas. Kehidupan ini didasarkan atas ikatan tradisional atau adat; secara horizontal bersifat sama rata, kepada yang dipilih ialah primus inter pares, secara vertical bersifat otoriter dengan penghormatan yang tinggi terhadap atasan disandarkan pada sanksi-sanksi keagamaan, mistik, dan berdasarkan kepercayaan. Di dalam lingkungan pola organisasi itu seluruh kehidupan dipenuhi --kehidupan orang Jawa tidak mengenal pola organisasi yang lain; tak ada kehidupan di luar pola ini. 20 Kepemimpinan baru ini mendapat tantangan dari kepemimpinan tradisional (yang juga berada dalam organisasi Budi Utomo). Kelompok (priyayi konservativ) yang gerah dengan kepemimpinan baru ini kemudian mendirikan Regenentbond (Persatuan Regen tahun 1913), dengan tuntutan
32
Sebagai akibat dari perluasan gerakan sosial yang semakin intens, pada 1911
terbentuklah
Indische
Partij.
Sebuah
organisasi
(partai)
yang
mengasosiasikan dirinya dengan kemerdekaan pulau Nusantara. Organisasi ini dipelopori oleh Douwes Dekker, kemudian diikuti oleh dr. Cipto dan Suwardi. Setelah berjuang meneriakkan kedudukan yang sama dan gaji yang sama untuk semua kelompok di Nusantara, pada 1918, organisasi ini secara resmi memperoleh pengakuan dalam bentuk undang-undang, yang menetapkan suatu persamaan gaji untuk berbagai jabatan, terlepas dari asal-usul kesukuan pegawai tersebut. Kondisi ini mendorong lahirnya sejumlah elite baru yang bersumber dari berbagai golongan (tidak lagi hanya bersumber pada kelompok bangsawan) melalui pendidikan sosial, organisasi dan pergerakan sosial. Politik Etis terus menjalar, tidak saja merasuki kehidupan pusat-pusat perkotaan dan kalangan atas, tetapi juga telah sampai pada komunitas yang paling rendah. Masyarakat Desa (tanpa mempertimbangkan asal usul) diberi peran yang sama dan besar untuk mencapai tujuan Politik Etis (kesejahteraan Desa) melalui perintah halus yang dijalankan oleh anggota-anggota badan pemerintahan Desa. Gerakan ini memberi ruang kepada masyarakat Desa untuk meningkatkan kekuatan politiknya. Proses ini dengan sendirinya melahirkan elite-elite baru, yang mulai bersaing dengan elite-elite tradisional di pedesaan. Masuknya politik Etis di pedesaan mengubah formasi dan struktur sosial. Masyarakat Desa yang selama ini hidup dengan prinsip kommunal dengan pola yang terpadu dan serasi, mulai terbongkar. Gejala ini oleh elite-elite tradisional Desa (yang sesungguhnya terjadi, mereka sedang ketakutan akan ancaman terhadap kekuasaan mereka di dalam politik kesejahteraan) menganggapnya sebagai gerakan kolonial untuk sekulerisasi kehidupan pedesaan. Respon eliteelite tradisional pedesaan ini kemudian mendapat sambutan dari masyarakat kebanyakan. Akibatnya, penduduk Desa menjauhi elite-elite baru yang tumbuh dari prinsip Politik Etis, dan kembali melakukan pemujaan terhadap elite-elite tradisional. Pertarungan antara elite tradisional dengan elite baru produk Politik Etis kian seru, dan cenderung dimenangkan oleh elite-elite beraliran Politik Etis. utama otonomi lokal, dan pengakuan yang lebih besar terhadap posisi tradisional mereka. Tindakan ini adalah salah satu bagian dari cara kelompok tradisional melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan baru.
33
Elite-elite tradisional dari kalangan priyayi mempertahankan eksistensi dirinya dengan meniupkan sentiment keagamaan (Islam) 21. Unsur-unsur keagamaan dijadikan alat oleh elite tradisional untuk mempertahankan dirinya menghadapi kekuatan pembaharu di pedesaan. Sentimen keagamaan menjadi alat baru untuk memperkuat posisi politik bagi kelompok elite tradisional pedesaan. Kelompok ini menjadikan Islam bukan sekedar sebagai agama, tapi dijadikan sebagai tuntutan hidup. Ini dimaksudkan untuk menjadikan Islam sebagai segala sesuatu yang asli sebagai lawan dari yang asing. Islam menjadi suatu faktor pemersatu dalam kesadaran akan diri sendiri dalam kalangan orang Indonesia, dan dalam waktu yang bersamaan menjadi ukuran untuk solidaritas Sulsel, dari kulit berwarna dengan kulit putih. Posisi Islam seperti ini sesungguhnya merupakan hasil perselisihan intern antara golongan pembaharuan dengan golongan ortodoks. Menghadapi pergerakan Politik Etis, elite-elite tradisional pedesaan berhasil mempromosikan Islam sebagai alat pertahanan terhadap tekanan-tekanan sosial dan perubahan-perubahan yang terjadi sejak Politik Etis memasuki wilayah pedesaan. Melihat fenomena ini, pemerintah Belanda menyusun strategi baru, mengusung program Kristenisasi, sebagai langkah memotong kekuatan Islam menumbuhkan elite-elite baru. Pada 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Nusantara. Misi-misi yang beroperasi dalam ruang lingkup yang luas untuk pengembangan kesejahteraan dan ekonomi melalui penguatan sistem pendidikan modern. Program ini diharapkan mampu melahirkan elite-elite baru dari kelompok agama Kristen. Selain karena pengaruh gerakan Politik Etis dan semakin gencarnya program kristenisasi, sejumlah aktivis Islam menyambut situasi politik yang berkembang dengan mendirikan organisasi seperti Serikat Islam, Muhammadiyah (meskipun kedua organisasi Islam ini memiliki perbedaan agenda dan tujuan. Serikat
Islam
berorientasi
politik,
sedangkan
Muhammadiyah
mengkonsentrasikan diri pada aktivitas kebudayaan). Organisasi-organisasi ini
21
Di beberapa daerah Kesultanan seperti di Aceh dan Sulawesi Selatan, agama menjadi salah satu panggung yang menciptakan elite. Di Aceh, peranan Ulama Uleebalang sangat besar, dapat mengangkat atau memberhentikan Sultan dengan berbagai alasan. Kelompok mereka ini dapat digolongkan sebagai elite fungsional. Lihat Amin, dkk (1988).
34
disponsori oleh pedagang-pedagang tradisional yang taat beragama, seperti Samanhudi, dan dikendalikan oleh aktivis-aktivis yang telah menempuh pendidikan modern seperti; Tirtoadisuryo dan HOS Cokroaminoto. Pemerintah Belanda yang cenderung berpihak pada golongan Kristen, menanggapi perkembangan organisasi-organisasi Islam dengan menahan laju pertumbuhan perdagangan dan usaha yang dilakukan oleh pribumi dan pedagang Arab, dan mengalihkan dukungan pemerintah Belanda kepada pedagangpedagang Cina. Pedagang-pedagang keturunan Arab yang berkongsi dengan pedagangpedagang yang berasal dari Sumatra Barat (sama-sama taat Islam) mulai khawatir akan posisi ekonomi yang selama ini dikuasai oleh mereka, atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial yang lebih pro pedagang-pedagang keturunan Cina. Kelompok pedagang Arab dan Minangkabau memutuskan harus ada suatu aksi terpadu untuk menghadapi kekuatan Cina. Pada 1905, persekutuan ini mendirikan organisasi baru bernama Jamiyat Khair, organisasi ini bertujuan untuk perlindungan dan kerjasama ekonomi, namun juga memantulkan rasa agama yang kuat. Organisasi Serikat Islam tumbuh dengan sangat cepat di seluruh daerah di Nusantara, terutama di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, hingga ke pelosok-pelosok Desa. Salah satu yang menyebabkan organisasi ini tumbuh dengan pesat karena menggunakan sentiment agama atau citra agama. Semua organisasi Islam, terutama Serikat Islam (SI), mendapatkan sokongan dana dari pengusahapengusaha Muslim, terutama pedagang-pedagang Arab. Tujuannya, untuk mengerem program kristenisasi dan menghambat perkembangan pedagang Cina yang mendapat dukungan pemerintah Kolonial. Dukungan dana pedagang-pedagang Arab kepada SI, tidak berlangsung lama. Mereka menarik dukungannya setelah adanya kebijakan organisasi yang terlalu terbuka untuk semua agama dan etnis. Dengan berkurangnya sokongan orang Arab,
SI malah menerima tawaran dan sokongan orang Cina untuk
menghidupi dirinya. Sebagai akibatnya, SI harus segera menghapuskan semua pasal anti Cina dari programnya dan menghalangi terjadinya keributan antara pribumi dengan Cina.
35
Perkembangan organisasi Islam (SI, SDI, Muhammadiyah, dan Jamiyatul Khair) yang sangat pesat, ternyata tidak mampu dikontrol oleh elite-elite tradisional yang semula mendorong kelahirannya, dengan tujuan mempertahankan eksistensinya. Organisasi Islam malah tumbuh dengan ideology yang sarat dengan pembaharuan, yang justru ikut menghancurkan elite-elite tradisional. Efek dari kekuatan organisasi Islam moderat, melahirkan dengan cepat gerakan serikat buruh, misalnya; Serikat Pegawai Bea Cukai (PBP), Persatuan Guru (PG), Serikat Pegawai Pegadaian; Serikat Penguasa Candu Hindia Belanda; Serikat Pegawai Indonesia; dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Pemerintah. Organisasiorganisasi ini menjadi tempat yang subur untuk melahirkan elite-elite baru yang bersumber dari golongan priyayi rendahan atau masyarakat biasa. Pada 1916, Politik Etis pada akhirnya bisa diterima oleh dua kalangan yang berbeda (elite tradisional dan kelompok pembaharu–elite modern). Untuk pertama kalinya seorang Regen (Regen Cianjur R.A.A Wiranatakusumah) bisa menerima konsep dan keberadaan SI. Beberapa Regen lain menyusul mengakui perjuangan SI. Menyatunya dua kekuatan sosial dan politik ini mengindikasikan keberhasilan Politik Etis melakukan pembaharuan struktur sosial masyarakat. Berdasarkan pola perkembangan kepemimpinan (kelahiran elite modern) melalui organisasi-organisasi yang tumbuh sepanjang 1900 – 1926, terdapat tiga kelompok sosial yang melahirkan elite-elite Indonesia. Pertama, kelompok dagang sebagai perintis pergerakan sosial, yang semakin hari peranan mereka terus berkurang. Kedua, kelompok intelektual yang berpendidikan Barat, yang menjadi operator organisasi dan pergerakan sosial. Kelompok inilah yang paling kuat dan berpengaruh sepanjang pergerakan sosial berlangsung. Ketiga, mereka yang semula hanya berkuasa pada tingkat lokal, khususnya golongan agama. Golongan ini dapat menjadi lebih kuat apabila diberi kesempatan memimpin, dan bergabung dengan beberapa intelektual. Kelompok ini lebih merupakan wakil dari keanggotaan massa, daripada kedua kelompok lainnya. Berdasarkan proses keberadaannya, terdapat empat panggung pembentukan elite Indonesia22; Pertama, kelompok elite tradisional yang lahir dari keberadaan 22
Mengutip Saint Simon, Keller (1984) membagi sumber atau panggung pembentukan elite secara umum bersumber dari kelompok; (i) mereka yang menduduki garis atau eksekutif, dan yang menjalankan suatu fungsi pengintegrasian, dengan mengambil tujuan-tujuan yang akan
36
mereka sebagai kelompok sosial yang memiliki hak-hak istimewa terhadap politik, ekonomi dan kebudayaan, karena kedudukannya sebagai golongan priyayi. Dalam perjalanannya kelompok ini adalah kelompok yang pertama yang merespon regulasi rezim (politik liberal dan politik etis) yang ditawarkan pemerintah Belanda melalui pembaharuan sistem politik, ekonomi dan budaya, dengan menjadikan arena pendidikan modern, sebagai pintu masuknya. Patut dicatat, tidak semua kelompok ini merespon regulasi rezim, bahkan kebanyakan di antara mereka cenderung melawan pembaharuan yang terjadi, akan tetapi dari kelompok elite inilah (dalam jumlah terbatas) yang pertama kali merespon gagasan ini. Kedua, elite yang dilahirkan dari rahim pendidikan modern. Kelompok ini merupakan campuran dari kalangan priyayi tingkat tinggi, rendah dan masyarakat biasa yang memiliki akses dengan tokoh-tokoh Politik Etis. Meskipun kelompok elite ini adalah sebagian besar bersumber dari kalangan elite tradisional (priyayi), akan tetapi perilaku politik, budaya dan ekonomi mereka tidak menggambarkan sebagai elite tradisional. Ketiga, pergerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok elite yang telah menempuh pendidikan modern, yang disponsori oleh pedagang-pedagang senior, yang merasa tidak nyaman dengan kebijakan kolonial, menyeret aktivis-aktivis pergerakan menduduki posisi elite baru. Panggung utama kelompok ini adalah organisasi-organisasi sosial modern seperti; Budi Utomo, Serikat Islam, Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah dan Jamiyatul Khair. Kelompok ini berhasil membentuk elite-elite baru yang sama sekali bersumber dari kalangan nonpriyayi, pada setiap level, sampai di tingkat pedesaan. Keempat, kelompok elite yang bersumber dari kekuatan ekonomi, etnis dan agama. Pembentukan sejumlah organisasi dengan menggunakan citra agama, sebagai upaya kelompok ini merebut posisi-posisi strategis, baik politik maupun ekonomi. Kelahiran Serikat Islam misalnya, adalah reaksi dari kelompok elite tradisional yang gerah dengan pembaharuan yang dicanangkan oleh Politik Etis. diperjuangkan oleh masyarakat bersangkutan; (ii) mereka yang menyediakan pengetahuan atau alat untuk mencapai tujuan-tujuan ini, staf teknis atau golongan professional; (iii) mereka yang menjalankan fungsi intelektual. Sedangkan Batzell, yang dikutip Keller (1984), mengklasifikasi proses pembentukan elite melalui enam pintu; (i) bisnis; (ii) opini dan politik; (iii) dokter dan arsitek; (iv) gereja dan pendidikan; (v) para artis dan pengarang; (vi) aneka ragam jabatan.
37
Sama halnya dengan kehadiran Jamiyatul Khair yang digagas oleh pedagangpedagang keturunan Arab dan Minang, untuk menghadang laju ekonomi pedagang Cina. Pada golongan lain (Kristen) merespon kondisi ini dengan semangat yang sama, yakni mengembangkan program kristenisasi. 2.2. Kekuasaan Collins mendefinisikan kekuasaan seperti dinyatakan Weber, yakni kemampuan individu atau kelompok untuk menginstruksikan sesuatu pada pihak lain. Dalam konteks ini, kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dalam konteks individu saja, tetapi juga masuk ke lembaga atau organisasi. Siapa pun tidak semata-mata penguasa absolut dari kekuasaan. Dalam konteks ini, kekuasaan itu bersifat sangat halus, terutama ketika melihat bagaimana ia bekerja dan bagaimana ia gagal bekerja. Tidak ada orang mapan dengan kekuasaan yang sudah dipegang. Orang yang sangat berkuasa sekalipun harus terlibat dalam manipulasi sosial yang cukup kompleks. Ia harus melakukan sesuatu sesuai dengan hukum-hukum organisasi sosial. Ia harus melawan kelompok di bawah yang ingin menggeser kekuasaan itu. Collins tidak hanya menggambarkan kekuasaan dalam konteks politik, tetapi juga dalam realitas mikro ekonomi. Hanya yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa konflik dalam ekonomi tidak harus diartikan sebagai antitesis kelas seperti yang dinyatakan Marx, tetapi bisa disebabkan kepentingan ekonomi diri dalam persoalan kerja sehari-hari. Seperti yang bisa kita lihat dalam realitas sehari-hari bahwa orang bekerja tidak hanya menginginkan uang, tetapi ada kesenangan lain yang dikejar. Karena setiap orang menginginkan kekuasaan, maka ketika terjadi konflik, kekuasaan pasti selalu terlibat. Collins menjelaskan kekuasaan dalam artian umum. la tidak membedakan antara kekuasaan dan kewenangan, atau menurutnya, kekuasaan dan kewenangan itu sama. Collins memberikan ciri-ciri kekuasaan, sebagai berikut: (i) Mengendalikan orang lain; (ii) Orang mampu mengontrol pihak lain, tetapi pasti ada perlawanan atau konsekuensi yang tersembunyi/tidak diharapkan; (iii) Dalam menggunakan kekuasaan, selalu saja ada konflik sosial;
38
(iv) Siapa yang memiliki social
resources pastilah menang; (v) Tetapi sesuatu yang dikeluarkan belum tentu mendapatkan seperti yang diinginkan, karena ada mekanisme kompromi. Collins menyatakan bahwa ada 3 cara individu atau organisasi mempraktikkan kekuasaan, yaitu dengan uang, paksaan, dan membangun solidaritas. Uang bisa menjadi kekuasaan ketika kita mempekerjakan orang lain. Kita bisa membayar mereka atau mengancam kalau tidak bekerja dengan kualitas baik. Banyak orang yang "terkalahkan" karena membutuhkan uang. Hanya menurut Collins, kekuasaan dengan bentuk ini memiliki kelemahan. la hanya efektif dipraktikkan dalam kelompok kecil. Dalam kelompok besar, mengontrol dengan uang akan menemui banyak masalah. Terlebih, kalau sudah masuk birokrasi dengan berbagai macam aturan dan mekanisme, maka kekuatan uang menjadi semakin tidak efektif. 1. Paksaan, akan bisa menjadi kekuasaan, sebab dilakukan dengan cara mengancam. Misal, kalau ada pihak-pihak yang melanggar aturan akan diancam dengan pemecatan. Atau kalau berani melawan nyawanya akan terancam. Hanya saja, paksaan juga tidak lepas dari beberapa kelemahan, karena semua orang tidak mau dipaksa, sebagaimana penjelasan di muka. Juga, siapa pun yang mencoba memaksa orang lain akan memiliki buruh dengan semangat kerja yang suka marah. Sama dengan pikiran Skinner bahwa seperti burung merpati, orang lebih suka mendapatkan reward dibanding hukuman. Reward lebih sebagai alat untuk mendapatkan kerelaan. Secara sederhana, Collins menjelaskan beberapa kelemahan kekuasaan paksaan ini, sebagai berikut:
Orang yang dipaksa akan bekerja dengan tidak berkualitas. Kalau mereka memiliki kemampuan, akan membalas. Mereka bekerja asal-asalan dan bahkan selalu saja mencari waktu untuk melarikan diri.
Pemegang kekuasaan membelanjakan anggaran yang justru lebih banyak. Mereka harus mengawasi buruh dengan ekstra ketat karena ada ancaman pemberontakan.
Situasi paksaan membuat orang kehilangan inisiatif. Secara mental mereka cenderung terlihat goblok. Baik balasan (reward) maupun hukuman (punishment) jelas menjadi bentuk kontrol yang relatif lemah.
39
2. Membangun Solidaritas. Dengan membangun solidaritas ini lebih efektif, sebab
berhasil
membuat
individu-individu
merasa
bahwa
pekerjaan
merupakan bagian dari identitas mereka. Pekerjaan menyumbang pada sesuatu yang mereka percayai atau menyumbang beberapa kelompok yang mereka miliki. Untuk membangun solidaritas bisa lewat ritual sosial yang menciptakan perasaan identitas kelompok dan menghasilkan cita-cita yang orang hargai. Akan tetapi, penggunaan kekuasaan dengan solidaritas juga memiliki beberapa kelemahan, yakni:
Ritual membutuhkan waktu dan usaha tertentu, dan ia dengan sendirinya tidak benar-benar produktif secara langsung.
Ritual bisa terselenggara jika mereka sama-sama menanggung kekuasaan organisasi;
dan
semakin
ritual
digunakan,
semakin
kekuasaan
didistribusikan. Kalau semua orang dalam organisasi diberi tanggung jawab untuk kebijakan-kebijakan ke publik, maka akan menjadi sangat sedikit kekuasaan bagi manajer. Collins menyatakan bahwa kekuasaan dipraktikkan mengikuti kondisikondisi tertentu. Dari studi organisasi, maka beberapa profesi adalah posisi-posisi yang sangat berkuasa, yakni mereka yang mampu mengontrol wilayah-wilayah ketidakpastian yang sangat penting. Mengapa dokter menduduki pekerjaan dengan imbalan yang lebih dari cukup di masyarakat? Jika dokter gagal menyembuhkan, terutama pada deadline tertentu, banyak orang mengasumsikan kesalahan penyakit dan tidak pada dokter. Dokter dikatakan menghadapi penyakit yang sulit untuk mendiagnosisnya. Dunia kedokteran ditandai dengan banyak hal yang lebih misterius dibanding dunia lain. Inilah alasan utama untuk gengsi yang lebih tinggi dan sebagai bentuk kekuasaan dokter. Sama dengan memelihara ketidakpastian demi mendapatkan kekuasaan, tidak heran jika sesuatu dinyatakan sebagai rahasia yang digunakan para politisi untuk memelihara kekuasaan dan gengsi. 2.2.1 Dimensi dan Kubus Kekuasaan Teori kubus kekuasaan (the power cube approach); pendekatan ini memisahkan tiga komponen yakni ruang-ruang interaksi, wilayah-wilayah
40
interaksi, dan dimensi-dimensi kekuasaan. Dengan demikian, pandangan ini difokuskan pada ruang-ruang yang telah dibuat baik oleh elite Sulawesi Selatan maupun masyarakat secara umum. Pertanyaannya adalah bagaimana ruang-ruang tersebut digunakan atau dibangun oleh para aktor. Untuk membantu membaca kualitas proses keterlibatan politik dan ekonomi dalam setiap ruang, maka peneliti memasukkan ‗tangga proses keterlibatan‘ yang diperkenalkan oleh Pretty dimana terdapat 7 anak tangga proses keterlibatan yang dimulai dengan proses keterlibatan pasif, proses keterlibatan melalui pemberian informasi, proses keterlibatan sebagai konsultan, proses keterlibatan dalam pemberian material, proses keterlibatan secara fungsional melalui pembentukan kelompok-kelompok, proses keterlibatan secara interaktif dan proses keterlibatan sebagai kemampuan memobilisir diri dalam menghadapi persoalan internal.
Source: Gaventa, IDS, 2005
Gambar 2. Pendekatan kubus kekuasaan. Pendapat tentang ruang sudah cukup luas digunakan dalam literature sosiologi politik dan sosial khususnya dalam konteks kekuasaan, kebijakan, demokrasi, dan aksi warga (Gaventa, 2005). Ruang disini mengutip Gaventa adalah “spaces are seen as opportunities, moments, and channels where citizens can act to potentially affects policies, discourses, decisions, and relationships which affect their lives and interests” (Gaventa 2005:11). Ruang dilihat sebagai peluang, momen, dan wahana yang dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan, wacana, keputusan-keputusan. Dengan demikian ruang untuk berproses keterlibatan di level lapangan tidaklah netral karena adanya relasi kekuasaan yang
41
eksis baik secara nyata (visible), tak terlihat (invisible), atau tersembunyi (hidden) apakah dalam konteks lokal, nasional, atau Global (Cornwall A, 2002). Ruang-ruang yang dimaksud adalah ruang tertutup (closed), ruang tersediakan (invited), dan ruang terciptakan, diklaim atau dibuat sendiri (created). Ruang tertutup, adalah ruang yang dibuat oleh sekelompok aktor atau elite yang difungsikan untuk mengambil keputusan tanpa melibatkan pihak lain tanpa ada keinginan untuk membuka lebih luas ruang tersebut untuk membuka kemungkinan masuknya pihak lain atau partisipan secara lebih luas. Ruang tersediakan, adalah ruang yang dengan sengaja dibuat oleh para penentu kebijakan baik pada level negara, daerah ataupun desa baik yang disahkan secara hukum ataupun tidak, dan bertujuan untuk mengundang lebih banyak pihak duduk bersama memutuskan sesuatu (NGO, donor, sector swasta, kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dll). Sementara ruang terciptakan, adalah ruang yang dibangun secara mandiri oleh masyarakat yang secara umum diakibatkan oleh kekecewaan atas ruang-ruang yang tersedia di wilayah mereka untuk berproses keterlibatan atau dibangun secara khusus untuk menyediakan ruang bagi aktifitas mereka sendiri tanpa ada intervensi dari pihak luar. Biasanya juga ruang semacam ini terbangun akibat mobilisasi rakyat atas persoalan yang tak dapat diselesaikan oleh para pejabat setempat yang bertanggungjawab atas ruang dan proses yang ada (Cornwall, A., 2002: p24). Soja, memilih menyebut ruang terciptakan ini sebagai ‗the third spaces‟ dimana aktor-aktor sosial menolak hegemoni ruang yang dilakukan oleh Negara dan pada akhirnya membuat sendiri ruang mereka (Soja, E. 1996). Wilayah proses keterlibatan politik dan ekonomi merujuk pada tempat dimana proses keterlibatan berlangsung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gaventa bahwa fokus pada bagaimana dan oleh siapa ruang-ruang proses keterlibatan dibentuk tentu saja bersinggungan dengan perdebatan tentang tempattempat atau arena-arena dimana kekuasaan ekonomi, politik dan sosial kritis berada. Dengan demikian, proses keterlibatan pada level praktis seharusnya kemudian dapat berada pada level global, nasional dan lokal dimana juga berfungsi sebagai lokasi bersemayamnya kekuasaan (nyata, tak terlihat, dan tersembunyi), bahkan ada juga yang berpendapat bahwa kekuasaan berpindah dari
42
aktor-aktor pada arena global dan dengan demikian perjuangan untuk memperluas proses keterlibatan harus terleburkan pada level tersebut (Gaventa, 2005, p13). Sedangkan dimensi kekuasaan dimaksudkan untuk menguji hubungan antara ruang dan wilayah proses keterlibatan politik dan ekonomi berhadapan dengan ide proses keterlibatan politik, Gaventa menyarankan untuk menguji dinamika kekuasaan yang membentuk inklusifitas proses keterlibatan di antara mereka. Dengan mengadopsi pendapat VeenaKlasen dan Miller, Gaventa mengklasifikasi kekuasaan ke dalam format visible, invisible, dan hidden (Veena Klasen and Miller, 2002:47). Kekuasaan Nyata (Visible power) kekuasaan di sini biasanya disebut sebagai kekuasaan politik dan termasuk di antaranya adalah kekuasaan yang diatur secara hukum, memiliki struktur, kewenangan, institusi, dan prosedur dalam pengambilan keputusan secara jelas. Veena Klasen dan Miller menyebutnya: “…strategies that target this level are usually trying to change the „who, how, and what‟ of policy-making so that the policy process is more democratic and accountable, and serves the needs and rights of people and the survival of the planet” (ibid). Dengan
demikian,
batasan kekuasaan terpaku
pada
proses-proses
demokratis dan adanya pertanggungjawaban yang jelas. Sementara itu, kekuasaan tersembunyi (hidden power); adalah kekuasaan yang dikontrol oleh orang-orang tertentu atau institusi yang memiliki power institutions yang menjaga pengaruh mereka melalui pengontrolan terhadap siapa yang dapat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan agenda. Dinamika semacam ini beroperasi pada banyak level kekuasaan, sedikit banyak menafikan dan mengecilkan arti atau nilai dari orang-orang tersisih. Sedangkan kekuasaan tak terlihat (invisible power); dimensi kekuasaan ini membentuk batasan-batasan proses keterlibatan secara ideologis dan psikologis. Dengan demikian, persoalan dan isu-isu tidak hanya dijaga pada meja pengambilan keputusan, tapi juga dari pikiran, dan kesadaran dari para pemain yang terlibat. Dengan mempengaruhi bagaimana masyarakat berpikir tentang tempat mereka di dunia, maka level kekuasaan ini adalah membentuk kepercayaan (beliefs), rasa kedirian (sense of self), dan penerimaan akan status quo (acceptance
43
of the status quo) mendefinisikan apa yang dimaksud dengan normal, apa yang dapat diterima, dan apa yang dianggap aman. 2.2.2 Pola Kekuasaan Etnis Bugis Dan Makassar Pola kekuasaan di sini adalah cara bagaimana seseorang atau sekelompok orang untuk menggapai dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan di sini dekat dengan pengertian Weber di mana pihak yang punya kuasa bisa mendesakkan kehendaknya atau gagasan-gagasannya kepada orang lain bahkan ketika mereka tidak sepakat dengannya. Giddens yang tidak puas dengan pengertian yang terlalu luas ini—setiap bentuk hubungan sosial dengan mudah bisa menjadi relasi kuasa antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Untuk itu dia membedah lebih jauh konsepsi ini dengan mengambil konsepsi yang lebih spesifik dari Weber, dominasi. Dominasi menurut Weber adalah pendesakan kekuasaan, di mana seorang pelaku menuruti suatu perintah spesifik yang dikeluarkan oleh orang lain. Mengapa orang menurut pada perintah semacam ini? Giddens mengidentifikasi bahwa penyebabnya bisa merentang antara kebiasaan hingga kepentingan pribadi. Selanjutnya, ―kemungkinan untuk menerima memperoleh hadiah-hadiah materiil dan kehormatan sosial merupakan dua bentuk yang paling meresap dari ikatan yang mengikat pemimpin dan pengikut.‖ (Giddens 1985: 192) Tentu saja Weber telah mengantisipasi bahwa tiap dominasi pasti mengalami kegoyahan. Namun alasannya tentang instabilitas dominasi tersebut—kepercayaan dari pihak bawahan atas legitimasi kedudukan mereka sebagai bawahan—tidak begitu mudah untuk ditemukan dalam penelitian yang akan kita bahas di sini. Selanjutnya, teori kekuasaan lain dari Weber yang akan dimanfaatkan di sini, adalah pemilahannya tentang pola hubungan dominasi, atau bisa kita sebut pola relasi kekuasaan, yakni tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Menurutnya, relasi kekuasaan tradisional adalah kekuasaan yang bersandar pada aturan turun-temurun yang dipercaya oleh sebagian besar pendukungnya. Biasanya yang dianggap paling mengetahui aturan-aturan tersebut dijadikan sebagai pemimpin, atau punya otoritas untuk menjalankan pemerintahan. Orangorang ini biasanya adalah orang-orang tua yang pengetahuannya sudah mencapai tingkat lebih matang dibandingkan anggota masyarakat lainnya, dianggap paling
44
meresapi kearifan tradisionalnya. Implikasinya, sebagian besar pemimpin di banyak masyarakat tradisional atau ‗kesukuan‘ adalah orang tua laki-laki, yang paralel dengan apa yang disebut Weber sebagai sistem patriarkhis. Sistem ini tumbuh di dalam keluarga dimana aturan-aturan dalam keluarga tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Penjelasan Weber mengenai pola relasi kekuasaan legal-rasional merupakan ulasan yang paling meyakinkan. Sistem pemerintahan birokratis menjadi contoh utama Weber dalam ulasannya tentang pola relasi kuasa ini. Mengenai sistem ini Giddens merangkumnya seperti di bawah ini: ―Kegiatan-kegiatan staf administrasi dilaksanakan secara teratur, dan merupakan ‗kedinasan-kedinasan‘ resmi yang jelas batas-batasnya. Bidangbidang wewenang para pejabat dibatasi dengan jelas, dan tingkat-tingkat otoritas digariskan batasnya dengan jelas dalam bentuk hierarki kantor. Aturan-aturan mengenai perilaku staf, otoritas dan tanggungjawabnya, dicatat dalam bentuk tertulis. Penerimaan tenaga administrasi didasarkan atas terbuktinya kemampuan spesial melalui ujian persaingan dan pemilikan diploma atau gelar, yang memberikan bukti tentang kemampuankemampuan yang cukup memadai. Milik kantor bukan milik pejabat. Suatu pemisahan antara pejabat dan kantor dipertahankan sedemikian sehingga di bawah kondisi apa pun, kantor itu tetap tidak bisa dimiliki oleh yang berwenang di kantor.‖ (1986:194) Mengenai dominasi berwatak kharismatik Weber menjelaskan bahwa pola ini bergantung pada individu yang dipercaya mempunyai kemampuan aneh yang sangat mengesankan, sesuatu yang membuatnya lain dan terpisah dari orang kebanyakan, kharisma. Apakah seseorang benar-benar mempunyai kualitas kharismatik yang dimaksud bukanlah hal yang begitu penting. Penekanannya ada pada kualitas-kualitas yang membuat orang tersebut kharismatik. Apakah sebenarnya kharisma itu, Weber menyatakan: ―Suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib, sifat unggul, atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa.‖ (dalam ibid :197) Kekuasaan yang mengikuti tokoh yang luar biasa ini bisa muncul di banyak jenis masyarakat. Pengikutnya didulang melalui kepercayaan akan kemampuan luar biasa sang tokoh. Kharisma bisa dipindahkan dengan menjadikannya sebagai sebuah kualitas yang bisa dipindahkan ke orang lain. Pemindahan kualitas ini bisa
45
dilakukan lewat latihan atau pewarisan. Sebagai contoh, bila kharisma diubah menjadi kekuasaan model tradisional atau legal-rasional, maka dia bisa dijadikan sebagai ‗sumber kekuasaan yang sakral‘, yang bisa menjadi salah satu alat yang legitimate untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Orang-orang biasa yang dilatih dengan baik dalam pengetahuan ajaran Islam bisa kemudian muncul sebagai orang yang punya kharisma, punya kemampuan khusus. Yang paling penting adalah orang tersebut bisa membuktikan keluarbiasaannya kepada para pengikutnya. Hal lain yang penting mengenai kharisma menurut Weber adalah model bisa menjadi pendobrak untuk mengubah model tradisional warisan turun-temurun. Pengikut dari pemimpin kharismatik juga menjadi pengikut secara sukarela, tidak terdapat hierarki kepengikutan seperti dalam birokrasi moderen (kepangkatan dan jabatan), juga tidak terdapat aturan yang terlalu mengikat tentang tanggungjawab spesifik masing-masing anggota, dana yang diperoleh kebanyakan berasal dari sumber informal, sumbangan atau rampasan. Teori tentang tiga model kekuasaan yang dikembangkan ini kemudian dimanfaatkan oleh Gibson untuk menjelaskan tentang tiga jenis pengetahuan simbolik yang hidup di masyarakat Asia Tenggara, yakni pengetahuan Tradisional, Islam, dan Moderen. Pendekatan Gibson ini menjadi sangat relevan mengingat ‗pengetahuan simbolik‘ yang dijelaskannya merupakan semacam bahan baku yang bisa dimanipulasi menjadi pengetahuan ideologis. Menurutnya, pengetahuan simbolik bisa berasal dari mitos dan ritual; kitab suci agama; dan ‗dokumen-dokumen‘ yang merujuk pada tulisan-tulisan atau terbitan yang dibawa orang Eropa. Selain itu, Gibson mengambil contoh kasus untuk mengembangkan teorinya dari masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Gibson menemukan tiga tahapan transformasi kekuasaan politik dan ekonomi masyarakat Bugis dan Makassar23, yakni;
23
Tahapan transformasi masyarakat yang dikemukakan Gibson memiliki kemiripan dengan tiga tahapan perubahan masyarakat yang diuraikan Comte (Ankersmit, 1987; Feibleman, 1986; Hadiwijono, 1998; Johnson, 1994; Laeyendecker, 1983), Menurutr Comte, tahapan-tahapan itu meliputi; (i) Tahap Teologis, adalah tahapan yang paling lama dalam sejarah manusia, untuk analisis yang lebih terinci, Comte membaginya dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Periode fetisisme merupakan bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Periode politeisme adalah kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun
46
1. Tradisional Negara-negara di Sulawesi Selatan mulai bermunculan pada abad ke 14. Tadinya mereka adalah unit-unit politik kecil yang berpindah-pindah yang kemudian menjadi menetap setelah menemukan daerah yang cocok untuk bertani secara menetap. Salah satu contoh adalah federasi Soppeng yang unit-unit kecilnya berbeda-beda dari benda-alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Periode monoteisme merupakan kepercayaan dengan satu sang pencipta alam semesta, begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu digantikan dengan kepercayaan akan satu tuhan. Dalam tahap ini terdapat banyak hal-hal yang berkaitan dan dapat ditemui dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada fase tradisional sampai masa awal islam modern. Misalnya kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan. Paham ini sangat melekat pada konsep kalompoang, penemuan benda gaukang dan regalia bagi kalangan bangsawan, sedangkan pada kalangan masyarakat awam memandang pohon besar yang lebat dan rimbun terkadang dipercaya oleh masyarakat dihuni oleh mahkluk halus atau tidak kasat mata dan dianggap oleh masyarakat sebagai salah satu tempat yang sifatnya angker atau menyeramkan, karena itu apabila ada kegiatan yang diadakan di sekitar lokasi yang berdekatan dengan pohon tadi maka masyarakat melakukan ritual-ritual tertentu. (ii) Tahap Metafisik, merupakan tahapan transisi antara tahap teologis dan positifis. Tahap ini ditandai dengan suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemui dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pemikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik. Pada tahap ini masyarakat menganggap adanya hukum alam yang akan dapat membatasi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat yang dianggap dapat merusak keseimbangan dari alam itu sendiri serta ekosistem lainnya, misalnya adanya penebangan hutan berlebihan yang menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga akan menimbulkankan sebuah bencana besar, yang dianggap oleh masyarakat alam akan menjadi marah yaitu dengan adanya banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Dengan adanya hal semacam ini akan membuat masyarakat untuk mematuhi segala sesuatu yang dapat dinggap menimbulkan bencana bagi masyarakat itu sendiri. Tahap ini pada masyarakat Bugis dan Makassar terjadi sepanjang fase feudalism dan dan masa awal islam modern. (iii) Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empirik sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak. Semangat positivisme memperlihatkan keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empirik. Analisis rasional mengenai data empirik akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum lebih dilihat sebagai uniformitas empirik daripada kemutlakan metafisik. Seperti diketahui positivisme menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasarkan dengan hukum-hukum alam, yang dijadikan dasar serta strategi untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan masyarakat. Hasilnya akan berupa suatu masyarakat di mana penalaran akal budi akan menghasilkan kerjasama dan di mana takhayul, ketakutan, kebodohan, paksaan, konflik akan dilenyapkan. Dengan melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empirik harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Dalam tahap ini masyarakat lebih menekankan ilmu pengetahuan pada hal-hal yang terjadi, misalnya gempa bumi karena adanya pergesekan antara lempeng bumi sehingga menimbulkan pergerakan-pergerakan, ini dipelajari oleh masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang mempelajari hal tersebut, yaitu geografi/ geologi. Selain itu dibidang kesehatan dengan adanya ilmu pengetahuan tadi akan dapat mengetahui ragam penyakit untuk dapat dipelajari dan diteliti untuk mencari obatnya dalam hal ini adalah ilmu kedokteran.
47
berkembang di sepanjang lembah Sungai Walennae. Federasi Wajo di sekitar Danau Tempe dan Luwu di sepanjang delta di pesisir ujung utara Teluk Bone. Negeri petani ini semakin membesar dengan berkembangnya alat pertanian logam, yang sumbernya bisa ditemukan dengan mudah di pedalaman Luwu. Caldwell dan
Bulbeck
melakukan studi arkelologis pada negeri ini dan menemukan bahwa kelompokkelompok masyarakat kecil di kawasan Luwu telah ada sekitar abad ke-3 sebelum Masehi. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi masyarakat yang lebih kompleks setelah datangnya para perantau Bugis dari selatan pada abad ke 5. Dan setidaknya pada sekitar abad ke 12 mulai mengorganisasikan diri dalam sejumlah unit-unit politik kecil (chiefdom) yang independen. Unit-unit ini menggantungkan hidupnya pada perladangan berpindah dan tetap. Bagaimana kelompok elite terbentuk? Caldwell berpendapat bahwa penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti sawah yang subur, membuat seorang penguasa bisa mengkonsolidasi kekuatannya. Baginya, ideologi dan religi adalah faktor sekunder dari terbentuknya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elite.
Dia mencontohkan bahwa sejak dikuasainya daerah lembah
sungai besar di kawasan itu oleh sekelompok bangsawan, maka terbentuklah unitunit politik yang lebih besar. Memanfaatkan temuan-temuan arkeologis Caldwell dan Bougas menjelaskan proses tersebut sebagai berikut: Sifat temuan-temuan ini yang bersebar dan berlainan menunjukkan bahwa pola perdagangan selama milenium pertama Masehi berukuran kecil dan sporadis, sebuah pola yang sesuai dengan kurangnya bukti akan organisasi politik yang rumit di Jeneponto pada masa itu. Ceritacerita tentang asal-muasal kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan pada kronik-kronik Bugis dan Makassar menandakan bahwa sebelum munculnya kerajaan setelah masa 1300, entitas politik yang terbesar di Sulawesi Selatan adalah perkauman (chiefdom) sederhana (wanua, B.; banoa, banua, M.), yang paling banyak berjumlah beberapa keluarga dan biasanya hanya terdiri dari beberapa ratus jiwa. Perkauman yang lebih rumit atau kerajaan-kerajaan kecil, dengan pusatpusat yang berjumlah lebih dari satu dan berlapis-lapis, mulai terbentuk di lembah-lembah di hilir Sungai Jeneponto, setelah tahun 1300. Kemunculan kerajaan-kerajaan kecil ini berkaitan dengan perluasan dan intensifikasi pertanian padi basah di sepanjang dataran lembah, dirangsang oleh bertumbuhnya ketersediaan barang dagangan yang dapat ditukar dengan surplus beras. Yang paling menonjol adalah kapas India, keramik Cina dan Asia Tenggara dan barang-barang perunggu
48
dari Jawa. 24 Pada tahap awal perkembangan kerajaan kecil yang terletak di lembah sungai, mereka masing-masing berdiri sendiri, lalu kemudian mereka bergabung membentuk Kerajaan Binamu dan Bangkala. Pemujaan terorganisir terhadap leluhur dewa dari keluarga penguasa menyuntikkan ideologi religius dan politis yang menyokong posisi raja dan hierarki sosial pada kerajaan yang baru terbentuk ini. Masyarakat Jeneponto kini mengisahkan bagaimana keluarga penguasa Binamu dan Bangkala diawali oleh tomanurung (makhluk yang turun dari langit berjenis kelamin pria atau wanita) yang dipilih sebagai penguasa dan menikah dengan kalangan elite lokal. Setelah membentuk institusi jabatan untuk penguasa (pakkaraengang), tomanurung lenyap secara misterius, meninggalkan keturunannya untuk memegang kuasa. Penguasa dan komunitas ini turun-temurun melakukan pemujaan terhadap tomanurung yang telah raib melalui kalompoang (benda pusaka keramat) yang ditinggalkannya. Sebagian kalompoang dapat dilihat kini di Jeneponto, Gowa dan Bone. Sementara itu, lewat penelitian tekstual atas naskah lontara di negeri-negeri Makassar, Cummings menyimpulkan bahwa cara elite di masyarakat Makassar untuk mempertahankan atau meluaskan kuasanya bergantung pada masuknya budaya tulisan. Menurutnya, lontara sangat penting untuk menebarkan pemahaman akan keberadaan sebuah kekuatan supra yang berada di atas seluruh gallarang di wilayah tersebut. Cara orang Makassar memperlakukan naskah tulis sangat penting dalam hal ini. Mereka memperlakukan naskah sebagai benda keramat yang diperlakukan dengan hati-hati dan banyak digunakan dalam ritualritual. Dengan demikian, naskah tentang genealogi asal usul penguasa bisa dibelokkan menuju ke pusat kekuasaan, Gowa. Dengan demikian ketika naskah tersebut dibacakan secara hikmat dalam ritual secara teratur, maka legitimasi sekali lagi dikuatkan (Cummings 2002). Dengan diakuinya Gowa sebagai awal dari asal-usul para penguasa di kawasan Makassar, maka secara politis lebih mudah mengajak mereka menjadi negeri bawahan. Gibson menuliskan bahwa cara masyarakat Konjo mempertahankan kekuasaannya adalah dengan mengaktifkan sebanyak mungkin pengetahuan simbolik yang dipercaya masyarakat. lewat mitos dan ritual, para elite merelegitimasi
dan
mereproduksi kekuasaan
mereka.
Mereka
misalnya
mengadakan ritual yang melibatkan banyak orang dimana leluhur pendiri kerajaan Kotilainen (1992:49) menunjukkan serangkaian barang impor serupa yang ditemukan di Sulawesi bagian tengah. 24
49
tertentu menjadi subyek sesembahan. Sehingga hal ini kembali menegaskan legitimasi kekuasaan para keturunannya di masa sekarang. (Gibson 2005, 2007) Elemen penyembahan leluhur dalam ritual ini melengkapi penjelasan Ijzereef (1987) tentang pengadaan ritual di akhir abad 19 di Bone. Menurutnya, ritual di adakan untuk menunjukkan besarnya kekuasaan seseorang. Untuk menguji keluasan pengaruh seorang bangsawan, biasanya diukur dengan berapa banyak orang yang hadir dalam upacara yang dia adakan. Hal ini, menurut Ijzereef, berkaitan dengan elemen ekonomi kekuasaan di Bone pada masa itu. Dengan absennya teknologi maka pertanian bergantung pada tenaga manusia. Dan seorang raja sangat bergantung pada mereka untuk mengerjakan tanah kerajaan yang sangat luas. Semakin banyak orang yang bisa dimobilisasi untuk bekerja semakin besar kekuasaan seorang bangsawan. Sebaliknya semakin berkuasa seorang bangsawan, misalnya jika dia menjabat raja, semakin mudah dia memobilisasi orang untuk bekerja padanya. Hal ini menarik jika diperbandingkan dengan daerah lain. Millar, membuat perbandingan menarik tentang persepsi kekuasaan orang Bugis dan Jawa. Bagi orang Bugis, kekuasaan diukur dari seberapa luas pengaruh seseorang terhadap orang lain. Sedangkan bagi orang Jawa kekuasaan diukur dari seberapa jauh seorang penguasa terlepas dari pekerjaan fisik. Hubungan patron-klien merupakan model hubungan kekuasaan utama yang tumbuh di Sulawesi Selatan. Pelras menjadi peneliti yang pertama melakukan studi serius tentang ihwal ini di masyarakat Sulawesi Selatan, utamanya Bugis. Salah satu hal yang paling menonjol dari penelitian Pelras mengungkapkan bahwa, hubungan patron klien yang tadinya merupakan hubungan sosial politik ekonomi sudah mulai tereduksi menjadi lebih pada hubungan ekonomi saja. Hal ini juga dibuktikan Ammarel ketika meneliti masyarakat nelayan Bugis yang turun temurun menggunakan sistem punggawa-sawi. Oleh perubahan sosial terutama karena dampak perubahan teknologi navigasi dan mekanisasi perahu, para sawi semakin bebas untuk menentukan perahu yang ingin diawakinya. Mereka tidak lagi begitu tergantung pada punggawa. Namun di samping itu secara bersamaan pengetahuan navigasi tradisional mereka semakin tergerus karena mesti bergantung pada teknologi navigasi baru seperti kompas. Ini membuat mereka tidak perlu melewati pelajaran panjang teknik navigasi yang biasa
50
diajarkan oleh para kapten yang juga banyak di antara mereka menjadi punggawa. Hal ini menyebabkan hubungan sosial mereka semakin longgar dan secara politis tidak lagi begitu tergantung kepada punggawa-nya. Mereka semakin menjadi cuma buruh untuk kapal yang mereka tumpangi. Selanjutnya perubahan dalam hubungan patron-klien ini tentu menyebabkan perubahan signifikan pada struktur kekuasaan dan politik di Sulawesi Selatan. Untuk melihat hal ini lebih jauh kita kembali dulu melihat ke masa lalu. Kajian Ijzereef (1987) tentang struktur kekuasaan dan politik di kerajaan Bone di pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad 20 bisa menjadi model yang menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan bekerja di provinsi ini. Menurut Ijzereef masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang sangat hierarkis, yang tersusun berdasarkan ‗kemurnian darah‘ kebangsawanan. Hierarki ini tentu tidak berdiri sendiri. Setiap unit kekuasaan punya hierarki, dan unit kekuasaan ini sendiri berada di dalam hierarki yang lebih besar, hingga tingkat antar-kerajaan. Dengan demikian, kompetisi atau persaingan menuju puncak hierarki berlangsung terus menerus, dan hal ini tentu akan memancing konflik. Menurutnya, semakin berdekatan posisi dua pihak dalam suatu hierarki maka potensi konfliknya semakin besar. Dan semakin berjauhan posisi hierarkis dua pihak semakin kecil potensi konflik bisa terjadi. Dengan demikian, di dalam hierarki ini yang berkuasa adalah para bangsawan, dan pihak yang berada di luar itu baru bisa melakukan mobilisasi sosial ke atas hanya bila para bangsawan bersedia mengizinkannya, itu pun kemampuan mobilisasi mereka cukup terbatas. Dalam hal ini hierarki sebenarnya bisa berperan sebagai pencegah konflik. Sistem yang secara sepintas sangat menekan ini, bila kita melihatnya dari kacamata konsep (Barat) yang datang beberapa dekade terakhir, bisa berperan untuk menekan kelompokkelompok yang bertikai dengan menyesuaikan diri ke dalam hierarki yang dipercaya kedua belah pihak, sebagian besar lewat negosiasi. Bagi orang Bugis, pengetahuan akan hierarki masing-masing pihak sangat penting untuk berhubungan dengan pihak lain. Setiap kelompok atau individu harus tahu dimana posisi sosial mereka sehingga bisa bersikap ‗pantas‘ ketika berhadapan dengan individu atau kelompok lain. Penelitian Millar (1989) menjelaskan dengan baik bahwa yang berpengaruh dalam penataan hierarki ini adalah status
51
kebangsawanan dan prestasi pribadi dalam hal kepintaran, ekonomi, dan pengetahuan agama. Lebih jauh dia membuktikan bahwa aturan yang sudah ada sejak lama ini masih bertahan hingga pertengahan abad 20 (penelitian tahun 1975) dan strata itu paling nampak dan ditegaskan berulang-ulang pada acara pernikahan. Hal lain yang cukup penting dalam penelitian Millar yang mengurai dan menggambarkan konsep pelapisan sosial ini adalah, dia secara spesifik mengurai konsep ‗lokasi sosial‘—yang terpampang jelas ketika masyarakat Bugis mengadakan pesta pernikahan. Lokasi, tempat seseorang duduk secara fisik selama prosesi tertentu sebuah pernikahan menunjukkan posisinya dalam hierarki sosial. Sebagaimana penelitian Millar, Pelras (2000) juga menekankan pentingnya hubungan patron-klien yang dalam hal ini diwakili hubungan ‗Joa‟ dan ‗Ajjoareng‟ atau ‗Punggawa‟ dan ‗Sawi‟. Hubungan ini, menurut Pelras adalah hubungan yang tidak terlalu timpang. Para patron memang punya kekuasaan menentukan banyak hal bagi kliennya namun mereka juga mempunyai banyak kewajiban terhadap mereka, termasuk memberi jaminan finansial bila ketika shock dalam berbagai bentuk menghantam sang klien. Apabila patron tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka klien bisa dengan bebas berpindah ke patron lain. Meski pun tindakan itu bukan tanpa risiko bagi sang klien, namun yang terpenting adalah mereka masih punya pilihan.
2. Islam Abad ke 17 merupakan abad yang luar biasa dalam hal perubahan masyarakat Sulawesi Selatan. Perubahan besar-besaran ini sebagian besar disebabkan oleh dipeluknya Islam oleh nyaris seluruh penguasa yang ada di Sulawesi Selatan pada masa tersebut. Bersama dengan masuknya Islam tentu pengetahuan yang dibawa oleh para imam kharismatik, berdasarkan Al Qur‘an dengan kitab-kitab lainnya. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang bersebarangan. Teori pertama adalah ‗Teori Balapan‘. Dalil ini sangat populer di banyak belahan Nusantara yang mengatakan bahwa Raja Gowa secara bersamaan meminta imam dari Aceh dan pendeta dari India. Karena yang tiba duluan adalah imam maka dia kemudian memutuskan untuk memeluk Islam. Teori berikutnya banyak dipercaya oleh ilmuwan Eropa dan berhubungan dengan ajaran tertentu yang lebih disukai oleh para raja. Pelras misalnya mengatakan bahwa para raja baru memeluk
52
Islam setelah datang model yang lebih cocok bagi para raja. Secara spesifik Gibson (2005, 2007) mengatakan bahwa raja Tallo memeluk Islam menurut ajaran Ibnu Arabi yang salah satu doktrinnya adalah bahwa raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Ajaran ini telah dipegang oleh beberapa raja di Nusantara karena menjamin kekuasaan politis, selain religius, raja-raja tersebut. Teori lain tentang perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dikemukakan oleh Cummings (2001). Dia mengajukan argumen bahwa di awal masuknya Islam pada abad ke 17 di GowaTallo, yang terjadi adalah sebuah gerakan tekstual beraksara Arab. Lewat manipulasi teks menjadi benda keramat dan menjadi bahan ritual pembacaan yang dikeramatkan, ‗Islam‘ menjadi semacam ‗benda pusaka‘ yang digunakan oleh para bangsawan istana untuk memperluas atau mengokohkan kekuasaannya. Dengan kata lain, kitab-kitab dari ajaran Islam dijadikan alat legitimasi kekuasaan baru selain pusaka kerajaan tradisional. Artinya, Islam tidak menghapus model kekuasaan tradisional melainkan menjadi tempelan baru yang mengokohkan model kekuasaan yang sudah ada. Melihat ketiga teori ini, jelas kita dibentangkan gambaran dekatnya kekuasaan dengan masuknya model kekuasaan baru ini. Model Islam yang seharusnya cosmopolitan dan membuat hierarki global dengan Timur Tengah sebagai pusatnya, tidak bisa melakukan hal demikian di awal kedatangannya. Islam harus menyesuaikan diri dengan model kekuasaan yang telah ada. Sebab Islam baru bisa menyebar luas di kawasan ini setelah mendapat restu dan disponsori oleh kekuasaan tradisional yang ada. 3. Moderen Gibson (2007) menuliskan bahwa model kekuasaan versi Eropa tiba dibawa oleh VOC khususnya setelah Perang Makassar pada paruh ke dua abad ke 17. Namun model kekuasaan ini baru benar-benar berefek dan diadopsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan setelah sebagian besar kerajaan di kawasan ini ditaklukkan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1906. Sejak takluknya Gowa di tahun 1669, masyarakat di Sulawesi Selatan mulai terekspose jenis pemerintahan moderen besutan VOC. Namun mereka terlibat hanya sebagai mitra di luar struktur pemerintahan. Di satu sisi, VOC memang adalah maskapai
53
dagang dan bukan sebuah pemerintahan permanen, di sisi lain masyarakat Sulawesi Selatan masih tertata dalam sistem pemerintahan masing-masing yang otonom. Kepentingan VOC, dan kemudian pemerintah kolonial sebelum politik etis, adalah kepentingan dagang. Mereka hanya melakukan intervensi bila keadaan politik lokal mulai mengganggu kepentingan dagang mereka. Dengan demikian, sebagian besar kerajaan pra-politik etis berdiri sendiri dengan tingkat otonomi dalam pemerintahan sehari-hari yang sangat besar. Maskapai dagang, VOC, dan kemudian sejak 1800, pemerintah kolonial Belanda, membawa jenis pemerintahan administratif yang bertumpu pada model kekuasaan, yang meminjam istilah Weber, rasional-legal. Jenis pemerintahan ini biasanya tunduk pada hukum formal yang tertulis secara eksplisit, berbeda misalnya dengan jenis pemerintahan tradisional yang banyak dijalankan berdasarkan aturan tak tertulis dan tingkat efektifitas aturan atau ‗hukum adat‘ itu sebagian ditentukan oleh para bangsawan. Semakin berkuasa seorang bangsawan, maka semakin mungkin dia memanipulasi aturan tradisional mereka. Dengan demikian, kekuasaan yang dibawa masyarakat moderen ini bertumpu pada penguasaan terhadap alat negara seperti tentara dan birokrasi, penguasaan ilmu pengetahuan saintifik yang menuntun segala perikehidupan masyarakat moderen, dan model ekonomi rasional (perhitungan untung-rugi). Ketika Sulawesi Selatan benar-benar berada di bawah kekuasaan langsung pemerintah kolonial, model kekuasaan tradisional dan Islam tidak hilang dengan sendirinya. Menurut Gibson mereka hidup berdampingan hingga sekarang. Dalam hal ini dia membantah tesis Weber bahwa ketiga model relasi kekuasaan ini merupakan sebuah proses sejarah dengan model kekuasaan rasional-legal sebagai titik akhirnya (Gibson 2005). Perubahan kebijakan Belanda, menyebabkan terjadinya pemerintahan yang berjalan dengan baik. Muhammadyah tidak berkembang di pedalaman seperti Bone. Tidak terjadi korupsi dan inflasi. Di Soppeng, orang-orang tua informan Susan Millar mengenang masa itu sebagai masa yang tenang. Hal ini terjadi antara lain karena hierarki kebangsawanan ‗bekerja‘ dengan baik. Para raja mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sementara itu, di mata orang biasa, yang punya hubungan rapat dengan pemerintah kolonial adalah para pejabat-pejabat rendahan,
54
sebab kepada merekalah para raja membebankan tugas administratif seperti mengumpulkan pajak. Bangkitnya kembali kekuasaan para bangsawan, yang disponsori oleh Belanda, disambut dengan perlawanan oleh para imam reformis dan para pemimpin Islam tradisional (khususnya di daerah Sidenreng dan Parepare), yang memperjuangkan sentimen anti ―bangsawan feudal-koopeerator.‖ Saat itu kekuatan Muhammadyah cukup besar, dan bangsawan menengah serta orang kebanyakan semakin tertarik kepada organisasi ini meski mereka menghembuskan semangat anti-bangsawan. Sebagai gambaran pada tahun 1941, Muhammadyah beranggotakan 4000 orang, cabang wanitanya, Aisyah, 2000 orang, dan sayap pemudanya, seribu orang. Sangat mungkin mereka melakukan ini karena Muhammadyah dianggap bisa digunakan untuk melawan dampak yang ditimbulkan oleh imam yang lebih radikal, sekaligus menjadi cara untuk mengungkapkan ketaksetujuan mereka terhadap kebijakan Belanda yang memberi tempat istimewa kepada faktor keturunan. Bahkan, pengaruh sekolah-sekolah Muhammadyah bahkan menjadi lebih luas, dan bukan menyempit, oleh upaya Belanda mengembangkan sekolah-sekolah mereka. Bersamaan dengan itu, sekolah-sekolah dengan orientasi nasionalis (khususnya Taman Siswa) menjadi lebih berpengaruh di Makassar karena upaya Belanda untuk menyingkirkan mereka secara legal. Perlu dicatat pula bahwa pada saat bersamaan para bangsawan rendah tidak lagi begitu tertarik menjadi imam. Mereka lebih banyak melanjutkan pendidikan formal ke Makassar di sekolah Muhammadyah atau Belanda. Strategi mereka adalah mencapai posisi tertinggi pada hierarki pemerintahan yang bisa dicapai pribumi. Mereka berharap lewat cara ini mereka bisa berbagi kekuasaan dengan para pegawai Belanda. Sementara para pemuda bangsawan tinggi, karena yakin akan posisi warisan mereka, tidak begitu berminat melanjutkan sekolah. Jadi, para bangsawan menengah dan rendah serta to madeceng, mendapat pendidikan lebih baik dan mendominasi alokasi kecil di pemerintahan pribumi. Tidak diragukan lagi, di antara pegawai pribumi terjadi persaingan sangat ketat, khususnya di tahun 1940an. Hal ini terjadi ketika semakin banyak orang berstatus tinggi yang berpendidikan menginginkan posisi pemerintahan yang ada di daerah mereka.
55
Persaingan keras juga berlangsung di lembaga Hadat yang diisi para bangsawan. Dengan posisi Bone dan Goa yang sudah disamakan dengan kerajaan lain, maka hierarki kerajaan-kerajaan di wilayah ini telah dirombak, sehingga para bangsawan mulai lagi bersaing di dalam konteks formal yang baru. Demikianlah, kekuatan Kolonialisme, Islam dan tradisional, senantiasa menjadi tiga pihak yang terus berkoalisi dan berlawanan dengan semakin banyak variabel yang menambahkan kerumitan interaksi mereka. Kondisi ini menurut Gibson (2005) tidak lepas dari perubahan pengetahuan simbolik yang dipercaya oleh masyarakat secara tradisional. Atau perubahan kadar dominasi dari ketiga jalur kekuasaan tersebut. Ijzereef mengungkapkan bahwa para bangsawan La Pawawoi, Arumpone bisa menduduki tahtanya pada tahun 1895 karena sokongan Pemerintah Kolonial. Dengan bantuan Fort Rotterdam saingan potensi La Pawawoi yang baru dilantik, segera disingkirkan. Pertama-tama Belanda mengusir suami I Banri kembali ke Gowa. Sementara puterinya, yang telah dilantik oleh Dewan Hadat Bone atau Arung Pitu sebagai ratu, tidak diakui oleh Pemerintah Kolonial dan masih terlalu muda untuk memobilisasi kekuatan untuk menantang La Pawawoi. Semakin meningkatnya intervensi Belanda dalam struktur kekuasaan Bone pada akhir abad 19 masih tetap menyisakan beberapa prinsip kekuasaan tradisional yang sulit untuk digoyahkan. Di Bone pada masa itu kekuasaan Arumpone sangat tinggi, boleh dikatakan tertinggi, sehingga hanya orang berdarah bangsawan tinggi yang boleh menjadi Arumpone. Memang seorang raja bisa menetapkan penggantinya, namun dia akan mendapatkan tantangan sangat keras bila mengangkat bukan salah satu dari bangsawan berstatus tertinggi: yaitu seseorang dengan derajat kemurnian darah paling tinggi. Bila sang raja tidak sempat menetapkan pengganti maka ketentuan adat berlaku, mengangkat orang berdarah paling murni. Terlihat bahwa dalam penelitian Ijzereef dia sama sekali melupakan unsur agama di dalam perebutan dan upaya mempertahankan kekuasaan. Hanya ada dua unsur yang berinteraksi, unsur pemerintahan nasional Belanda dan sistem kekuasaan tradisional. Bisa jadi memang pada masa itu di Bone unsur agama (Islam) begitu kecil dengan berbagai alasan. Sebagaimana diungkap Millar di atas, bahwa kuatnya reproduksi kekuasaan lewat pewarisan di Bone yang didukung
56
oleh penguasa kolonial di awal abad 20, membuat unsur kekuasaan lain, Islam, menjadi tidak berkembang. Atau karena sumber yang digunakan oleh Ijzereef adalah catatan pemerintahan kolonial yang sering mengabaikan apa yang tidak begitu penting bagi pihaknya. Sebagaimana kritik van Leur bahwa catatan tentang Indonesia terlalu sering dilihat dari geladak kapal dagang atau kantor loji maskapai dagang asing, Florida ( 1976). Faktor manakah yang dominan di antara keduanya? Kita hanya bisa membandingkannya dengan melihat kajian lain. Hal lain yang penting dicatat dari hasil studi Millar mengenai sejarah politik Sulawesi Selatan adalah setiap pergantian kekuasaan, kebangsawanan selalu memegang peranan penting. Yang terjadi adalah persaingan tiga kubu, antara bangsawan Sulawesi memperebutkan dominasi di Makassar, sebagai pusat Hindia Timur, antara bangsawan di Sulawesi Selatan memperebutkan dominasi di Sulawesi Selatan dan antara bangsawan melawan orang kebanyakan yang juga memperebutkan dominasi di provinsi ini. Persaingan pertama ini terjadi karena pada tahun 1938 pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk satu unit pemerintahan baru yang meliputi seluruh Hindia Timur, berpusat di Makassar. Jabatan-jabatan di jawatan baru ini didominasi oleh orang Minahasa dan Ambon yang saat itu lebih maju dalam hal pendidikan moderen. Hal yang membuat para bangsawan lokal di Makassar merasa dilangkahi. Pada masa pemerintahan Jepang, mereka menjadikan Makassar sebagai pusat politis dan ekonomi di kawasan Timur Hindia. Mereka memusatkan perdagangan produk-produk utama seperti beras dan kopra di Makassar. Mereka juga membentuk dewan pemerintahan se Sulawesi Selatan yang diisi para bangsawan. Ketika proklamasi nasionalis diumumkan di Jakarta tahun 1945, bangsawan terbelah dua. Antara yang nasionalis seperti bangsawan Bone, yang menjalin kontak dengan tokoh nasionalis setempat, yang juga bangsawan, seperti Sam Ratulangie dan Tajuddin Noor. Sedangkan para bangsawan Gowa lebih merapat ke N.D. Malewa yang lebih berorientasi provinsi. Kubu yang terakhir ini kemudian kooperatif terhadap upaya Belanda menghidupkan Negara Indonesia Timur. Ketika itu semangat nasionalisme tidak begitu semaju di Jawa. Bagi orang kebanyakan, mereka hanya ingin lepas dari pemerintahan kolonial yang tidak mereka sukai, dan
57
bagi para bangsawan mereka ingin merebut dominasi kekuasaan dari ‗orang-orang luar‘ yang sedang berkuasa di ‗wilayah tradisional‘ mereka. Peran bangsawan kembali menjadi penting ketika Pemerintah Indonesia berusaha memadamkan gerakan bersenjata yang dipimpin Muzakkar, seorang non-bangsawan lulusan sekolah Muhammadiyah yang sangat anti-aristokrat, dan mendapatkan pendidikan militernya selama masa revolusi lebih banyak di Jawa. Pemerintah nasional yang berusia muda ini mengirim seorang bangsawan militer, Jusuf—yang ironisnya telah menanggalkan gelar ‗Andi‘ sebagai dukungannya terhadap gerakan anti-feudalisme tahun 1950an yang dikobarkan Soekarno. Yang diperanginya adalah seorang non-bangsawan yang kharismatik, yang sebagian mendapatkan pengaruhnya dari gerakan militernya di Jawa, atau sentimen antisentralisasi pasca-proklamasi, dan belakangan jaringan Darul Islam yang tersebar secara sporadis di beberapa daerah bekas Hindia Belanda. Dengan demikian, kedudukan bangsawan senantiasa dianggap penting untuk meredam konflik berkepanjangan, meski konflik itu bersumber dari luar. Ketika gerakan nasionalis meluber hingga ke Sulawesi Selatan, bangsawan terbelah menurut kepentingan masing-masing. N.D. Malewa dan bangsawan Gowa lainnya memihak pada skema federal Belanda karena dia telah menjadi kepala urusan dagang selama masa Jepang, dan belakangan diangkat sebagai perdana menteri NIT. Dia berjuang ‗merebut‘ wilayah tradisionalnya yang sejak akhir tahun 1930-an didominasi pendatang Indonesia Timur lainnya yang berpendidikan. Ketika pengaruh Kahar yang bukan bangsawan begitu besar di Sulawesi Selatan, para bangsawan muda militer seperti Jusuf dan AM melakukan maneuver dengan dibantu pasukan nasional yang dikirim pemerintah Indonesia untuk menumpas gerakan Kahar. Ketika Muzakkar memutuskan hubungan dengan Jakarta karena ia dan pasukannya tak dapat diakui sebagai pasukan resmi karena alasan standar pendidikan militer formal, para bangsawan profesional ini merapatkan diri ke Jakarta. Bahkan, dengan adanya pemberontakan di daerahnya, mereka punya kesempatan untuk membuktikan kesetiaan terhadap semangat nasionalis versi Soekarno. Dengan demikian, mereka bisa mengamankan kekuasaan di provinsi ini.
58
Dua hal lain yang menyebabkan mereka mampu merebut kekuasaan atas pendatang Manado, Ambon dan Jawa adalah reorganisasi pemerintahan yang terjadi pada tahun dan tuntutan kelompok Permesta di tahun 1957. Tahun itu pemerintahan
swapraja
dihapus
dan
digantikan
dengan
pemerintahan
Kabupaten/kotamadya. Bupati dan walikota sebagian besar dipegang oleh kalangan militer. Namun mereka juga adalah bangsawan maupun orang biasa yang menikah dengan bangsawan. Akan tetapi mereka tidak berkuasa dengan sendirinya. Pemerintah pusat menerapkan sistem rotasi sehingga persaingan berlangsung ketat, meski tetap tertata dengan tertib. Akan halnya Permesta, dimulai dengan ketidakpuasan regional masyarakat Sulawesi terhadap kebijakan pemerintah nasional. Sekelompok pejabat militer dan sipil di Provinsi Sulawesi mengajukan tuntutan untuk memekarkan provinsi Sulawesi, meningkatkan kondisi perdagangan dan pendidikan, serta reorganisasi militer berupa pengurangan tentara dari Jawa dan membentuk komando daerah militer terpisah. Selain itu mereka juga meminta mandat untuk dijalankan oleh komando militer yang kelak terbentuk itu untuk menangani sendiri pemberontakan Kahar Muzakkar. Jakarta merespon positif seluruh permintaan ini. salah satunya adalah penunjukan dua orang bangsawan militer mengepalai Kodam: AM sebagai panglima dan Jusuf sebagai wakilnya. Namun, gelombang pemberontakan PRRI di seluruh Indonesia pada tahun 1958, akhirnya sampai juga ke Sulawesi. Kelompok yang mengusung Permesta di Sulawesi terpecah. AM dan Jusuf memihak Jakarta. Para bangsawan profesional ini tahu bahwa untuk merawat kekuasaannya, mereka harus menjalin hubungan dekat dengan pemerintah pusat, sembari mempertahankan jalinan tradisionalnya dengan masyarakat serta memanfaatkan potensi ekonomis. Mereka tahu bahwa tradisi kebangsawanan atau posisi sebagai raja tidak lagi menjadi alat yang bisa berdiri sendiri untuk memperoleh kekuasaan. Sementara itu pihak penyokong Permesta lainnya bergabung dengan PRRI para pemimpin pro-permesta belakangan bahkan bernegosiasi untuk bergabung dengan Kahar melawan pemerintah pusat. AM yang waktu itu kebetulan sakit, tidak bertindak menangkapi koleganya pengusung Permesta—para petinggi militer maupun sipil provinsi Sulawesi berasal dari berbagai tempat di Sulawesi
59
dan Jawa. Namun penangkapan itu kemudian tetap terjadi, dilakukan oleh wakil sang panglima, Jusuf. Tak lama kemudian Jusuf menggantikan AM sebagai panglima Kodam (1958-1965). Ringkasnya, lewat reorganisasi administrasi pemerintahan dan peristiwa PRRI Permesta, para bangsawan Sulawesi Selatan kembali menjadi penguasa atas posisi-posisi penting di seluruh provinsi ini. Mereka menyingkirkan para bangsawan-intelektual seperti Ratulangie, Samuel, dan Tajuddin Noor. Selain itu mereka juga berhasil menyingkirkan gerakan anti-bangsawan-Islam di bawah pimpinan Muzakkar. Untuk yang terakhir ini—kemenangan bangsawan-militer atas pemimpingerakan-non-bangsawan—disebabkan oleh beberapa hal. Para bangsawan punya pendidikan lebih baik, lebih banyak uang dan senjata, ikatan tradisional dengan sebagian rakyat yang masih mendukung. Mereka juga bisa menangkis argument Muzakkar dengan mengatakan bahwa mereka juga mengusung demokrasi dan menonjolkan ke-Islam-an mereka. Tahun 1950an banyak bangsawan—termasuk Jusuf—yang menanggalkan gelar bangsawan mereka dan menolak diperlakukan seperti bangsawan di masa sebelumnya, serta meninggalkan hak-hak istimewa mereka sebagai bangsawan. Bahkan banyak di antara mereka yang ikut dengan gerakan Kahar di fase-fase awal. Para bangsawan ini, dan pengikut lainnya, belakangan banyak meninggalkan Kahar karena ia tidak punya metode yang cukup baik untuk menyebarkan alasan-alasan gerakannya dan menawarkan model kehidupan alternative yang menjanjikan. Sebaliknya, setelah melewati kesulitan hidup dan ketidakpastian selama bertahun-tahun, banyak pengikut Kahar yang akhirnya menyerah, lalu bersedia menerima kebijakan nasional yang terlihat semakin tertata dengan rapi. Selain gerakan Kahar, Jusuf juga berhasil mematahkan gerakan-gerakan para pemimpin gerilya lokal (warlords) yang juga mengambil celah di tengah lemahnya pemerintahan pusat dan kurang rapinya gerakan Kahar. Ironisnya, ketika Jusuf berhasil memadamkan seluruh gerakan itu di tahun 1965, dia ditarik ke Jakarta menjadi menteri. Agaknya langkah ini diambil Soekarno agar ia tidak sempat menjadi ‗orang kuat‘ yang sanggup membentuk
60
pengaruh yang terlalu kuat, yang bisa berkembang ke arah yang berlawanan dengan kebijakan Jakarta. (Millar 1989: 52-59) Risalah yang disusun Millar di atas menunjukkan pada kita bahwa Pemerintah Nasional di Jakarta telah turut menjadi faktor penentu dinamika kekuasaan di Sulawesi Selatan. Kedatangan sekolah Muhammadiyah yang nyaris bersamaan dengan sekolah buatan pemerintah kolonial ini menyebabkan pelan-pelan modernisasi menjadi
cepat
diserap
masyarakat
Sulawesi
Selatan.
Mereka
berhasil
mendominasi alam pikiran masyarakat yang masih banyak mempercayai ajaran tradisional. Sedikit demi sedikit penguasaan pengetahuan lewat sekolah formal, Islam maupun sekular, berhasil merebut kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan. Menyelesaikan pendidikan sudah bisa menjadi alat untuk mobilitas sosial terutama bagi bangsawan rendah dan orang kebanyakan. Pada titik ini, kaum Islam modernis dan Indonesia nasionalis mendapatkan ladang persemaian yang subur. Meski ini kelak kedua kelompok ini terbelah karena gerakan DI/TII. Pada masa Jepang, kecenderungan ini semakin menguat, mereka mendirikan jawatan pemerintahan yang menangani urusan keagamaan. Untuk mengimbangi orang-orang terpelajar didikan Belanda dan kaum aristokrat Jepang menunjuk menjadikan Departemen Urusan Agama ini lebih banyak memperhatikan urusan kaum Muslim. Mereka mendukung pembentukan sebuah federasi politik Muslim yang dikenal dengan nama Masyumi, dan belakangan melatih milisi-milisi Islam ketika ancaman invasi Sekutu semakin mendekat. Dengan segera kelompokkelompok Islam mendapat angin segar. Kahar Muzakkar adalah salah satu jebolan sekolah Muhammadiyah. Bersama orang-orang segenerasinya mereka membentuk kelompok radikal Islam yang juga mengenal konsep moderen Negara sebagai basis pemerintahan. Ketika mereka tidak diterima masuk sebagai bagian dari tentara nasional Indonesia, mereka berontak dan menguasai daerah pedalaman Sulawesi Selatan. Mereka menyerang praktik-praktik bid‘ah, yang merupakan sinkretisme ajaran Islam dan ritual tradisional. Namun yang penting di catat adalah mereka, cukup toleran terhadap ajaran tradisional. Mereka misalnya tidak menyerang Tana Toa di Kajang dan Amparita, tempat mukim penganut ajaran to lotang. Salah satu alasannya adalah karena DI/TII tidak hanya
61
merupakan gerakan teologis, tetapi juga gerakan sosiologis. Mereka menyerang feudalisme, aristokrasi, simbol perbedaan pelapisan sosial yang biasanya muncul dalam ritual-ritual siklus hidup seperti kelahiran dan perkawinan. Mereka misalnya mengurangi pembayaran mahar untuk semua kalangan ke angka yang paling rendah, sehingga seluruh mempelai pria hanya perlu membayar sedikit dan menandatangani akta nikah di depan dua saksi—tanpa perlu upacara yang rumit dan biasanya berbiaya mahal. Di samping itu mereka juga menyerang para pegawai negeri yang bekerja di Desa-Desa sehingga mereka harus melarikan diri ke kota bila tak memutuskan untuk bergabung dengan gerakan DI/TII. Pada titik ini cita-cita para pendiri sekolah-sekolah Muhammadyah untuk menandingi kaum terpelajar didikan Belanda menemui bentuknya yang radikal. Mereka ingin juga ingin mendirikan Negara, namun bukan negara sekuler, tetapi negara Islam (Gibson, 2007). Akhirnya kita tahu bahwa gerakan Islam modernis ini kalah oleh kekuatan nasionalis yang juga modernis— namun melekatkan diri pada negara berbasis sekuler. Di masa Orde Baru Soeharto mengambil langkah strategis yang banyak mengubah wajah kekuasaan di Sulawesi Selatan. Di masa pemerintahannya yang sentralistik Soeharto bisa menentukan pejabat-pejabat strategis yang penting untuk memuluskan kerja rezimnya. Di awal tahun 1970-an sang presiden mengangkat anggota militer (bukan bangsawan) yang menikah dengan bangsawan tinggi atau bangsawan yang sekaligus anggota militer sebagai Bupati di nyaris seluruh Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan. Hal ini tentu saja menghidupkan kembali kekuasaan tradisional para bangsawan yang agak meredup di masa sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Soekarno sangat tidak menyukai feudalisme dan pada saat itu sentimen anti kebangsawanan juga berujung pada digantikannya istilah ‗swapraja‘ menjadi kabupaten dan kotamadya yang lebih berbau egaliter. Saat itu di Sulawesi Selatan banyak bangsawan yang secara sadar menanggalkan gelar ‗Andi‘ di depan namanya. Masa itu berlalu ketika para bangsawan kembali mendapat tempat di Sulawesi Selatan. Dari kajian Susan Millar di Soppeng, terlihat bahwa nyaris setengah dari 46 jabatan penting di pemerintahan Kabupaten tersebut, yaitu 18 orang, diisi oleh para ‗Andi‘. Belum lagi melihat bahwa ada dua bangsawan yang dikenal
Millar namun belum
memasang kembali gelar Andi di depan namanya. Dan ini terjadi meski terdapat
62
cukup banyak orang biasa berpendidikan yang punya kualifikasi memadai untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Menyadari hal ini, banyak bangsawan yang telah menanggalkan gelar ‗Andi‘ di masa Soekarno, kembali memasang gelar tersebut. Mereka sadar zaman telah berubah. Sementara itu, banyak sekali golongan non-bangsawan di Soppeng menganggap bahwa fenomena ini menyakitkan bagi mereka. Namun, meski mereka tidak menyenangi keadaan ini mereka tidak bisa melawan. Saat itu adalah masa militerisasi ala Orde Baru, dengan keamanan dan ketertiban menjadi perhatian penting. Setiap pertemuan atau acara publik, formal maupun informal, sekecil apa pun, di tempat seterpencil apa pun, aparat militer nyaris selalu hadir untuk memantau. Sementara itu, yang terjadi pada golongan non bangsawan adalah terbuka kesempatan luas bagi mereka karena dibukanya berbagai jawatan yang mengembangkan pendidikan dan kebudayaan bagi mereka. Sehingga mereka bisa meningkatkan derajat pendidikan formal. Bagi mereka, terbuka banyak jalan untuk menuju jabatan structural di birokrasi pemerintahan. Namun pada saat bersamaan, di banyak kasus, mereka terhalang untuk tiba di posisi puncak. Saat itu, di tahun 1970an, pendidikan formal sudah menjadi alat sangat penting untuk pembentukan elite. Jaringan tau matoa, atau pemimpin dalam hubungan patron-klien di Soppeng, sudah banyak diisi oleh orang-orang tamatan perguruan tinggi. Namun, sebagian dari mereka juga adalah bangsawan. Mereka yang tinggal di Makassar atau di tempat lain senantiasa pulang untuk menghadiri pernikahan sebagai tamu terhormat. Dengan demikian jaringan tau matoa membentang sepanjang provinsi. Partai politik menggunakan bentang jaringan ini untuk mendulang suara. Pada dekade 1950an hingga 1960an, tau matoa di tingkat provinsi secara hati-hati memilih tau matoa di tingkat Kabupaten untuk menjadi pengikut partai mereka agar bisa mendulang suara yang banyak. Sehingga blok persekutuan antar tau matoa di tingkat Kabupaten perkembangannya sangat ditentukan oleh persaingan antar tau matoa di tingkat provinsi. Situasi berubah sejak tahun 1971. Secara sistematis Golkar melemahkan partai politik lain. Seluruh pejabat pemerintahan (kebanyakan di antara mereka adalah tau matoa), misalnya, dipaksa menjadi pendukung Golkar atau kehilangan pekerjaan. Hal ini membuat persaingan politik yang terjadi di level Kabupaten maupun provinsi
63
merupakan persaingan internal antar kader Golkar. Ini membuat para tau matoa itu harus bersaing memperebutkan kesetiaan para pemimpin Islam berpengaruh (strategi yang juga digunakan para raja dan Kahar Muzakkar), serta kesetiaan tau matoa lain pada level yang lebih rendah. Sementara itu, posisi penting Muhammadiyah sebagai organisasi mulai menurun di wilayah Bugis pada tahun 1965-1975 (sampai masa penelitian Millar). Hal ini terjadi selain karena banyak mantan anggotanya kini berafiliasi ke Golkar. Selain itu Muhammadiyah sejak tibanya di provinsi ini selalu menjadi alat ekspresi oposisi terhadap kekuatan luar yang datang mendominasi di kawasan ini (misalnya terhadap kekuasaan Belanda dan belakangan dominasi Jawa). Namun setelah banyak orang Sulawesi Selatan sendiri, bangsawan maupun bukan, bisa mendapatkan posisi tinggi secara politis maupun ekonomi, tentu peran ini menjadi kurang relevan lagi, sehingga nilai penting organisasinya pun menjadi surut (Millar, 1989). Akhirnya Millar menyimpulkan bahwa, selama dekade 1970an, terjadi peralihan gagasan tentang status di wilayah Bugis. Sifat dan pencapaian pribadi sudah menjadi faktor yang lebih penting dalam melihat kualitas seseorang ketimbang di masa sebelumnya. Karena kalangan non-bangsawan pada masa itu tidak kekurangan peluang untuk melakukan mobilisasi sosial, maka ketegangan dan persaingan memperebutkan pengaruh di antara tau matoa, lebih spesifik lagi, antara tau matoa bangsawan atau dan tau matoa orang kebanyakan, tetap berlangsung sengit (Millar, 1989). Setelah masa desentralisasi terjadi perubahan yang cukup signifikan. Tesis Gibson bahwa orang Sulawesi Selatan mengaktifkan seluruh sistem kuasa yang ada—tradisional, Islam dan moderen—kembali menemukan konfirmasinya. Bahwa para patron, tau matoa dalam istilah Millar, menggunakan seluruh sistem yang bisa diaksesnya untuk mengklaim kekuasaan kini semakin menguat. Desentralisasi menyebabkan orang-orang kuat di Sulawesi Selatan kembali menelusuri leluhur, menggunakan simbol-simbol Islam, serta klaim dari dunia moderen seperti jabatan formal dan tingkat pendidikan. Penelitian mutakhir Bakti (2008) di Wajo menunjukkan bagaimana sang ‗Puang‘ ketika menjabat sebagai Bupati memasukkan kerabatnya di tempat-tempat strategis di pemerintahan, dan tentu menyuplai mereka berbagai proyek, untuk menjaga loyalitas mereka. Dia
64
menciptakan semacam shadow state yang bekerja dengan efektif di dalam birokrasi. Jaringan patron-klien ini merasuk ke dalam birokrasi yang seharusnya impersonal dan rasional. Mereka mengambil kebijakan secara hibrid, dengan mengikutkan unsur tradisional yaitu membagi kue jabatan ke jaringan kekerabatannya, untuk mempertahankan bahkan menguatkan cengkraman politik sebuah klan, dan mereka mencangkokkannya ke dalam sistem formal pemerintahan. Dengan kata lain, sistem formal yang lugu ini diisi dengan nuansa tradisional yang sudah bertahan lama. 25
2.3 Relasi Simbol, Kuasa,
Uang, Makna dan Wacana
Menurut Barthes (1977), ada dua macam sistem pemaknaan 26; denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota suatu masyarakat dan kebudayaan. Sedangkan
konotasi
adalah
makna
yang
tercipta
dengan
cara
menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas, keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu. Dari suatu tanda tertentu makna terus tercipta sampai tanda itu menjadi penuh dengan beragam makna. Konotasi mengandung nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif dari sebuah urutan (nilai ekspresif yang muncul secara sintagmatis), atau yang lebih umum, dari perbandingan dengan alternatif-alternatif yang tidak muncul atau absen (secara pragmatis). Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi hegemonis, atau dengan kata lain sudah diterima sebagai hal yang ―normal‖ dan ―alamiah,‖ mereka akan
25
Kuasa/pengetahuan dan uang, setelah terbitnya karya-karya Foucault, pengetahuan bukan sesuatu yang netral melainkan selalu terimplikasi dalam persoalan kekuasaan sosial. Kekuasaan dan pengetahuan saling membentuk. Sementara itu, kekuasaan sering dipahami sebagai suatu kekuatan yang digunakan individu atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan atau kepentingan mereka melawan kehendak yang lain. Kuasa dan uang dalam penelitian ini dimaknai sebagai kemampuan elite mengorganisir atau memanipulasi territorial dan material melalui kekuatan pengetahuan (wacana) agar terhegemoni untuk menciptakan seseorang atau kelompok tertentu untuk menempati posisi-posisi sosial dan ruang-ruang kekuasaan yang diinginkan, dalam penelitian ini, ruang-ruang kekuasaan dan posisi-posisi sosial diartikan sebagai elite. 26 Pemaknaan atau signification adalah proses-proses penciptaan makna melalui sebuah sistem tanda (sistem pemaknaan – signification system).
65
berfungsi sebagai peta-peta yang menunjukkan bagaimana memahami dunia. Konotasi-konotasi hegemoni27 inilah yang disebut dengan mitos.28 Di Sulawesi Selatan, mitos menjadi alat untuk mereduksi atau membangun kekuatan kepemimpinan. Gejala ini misalnya dapat dilihat bahwa pemimpin yang kuat, adil, bijaksana, pintar dan peduli pada rakyatnya, adalah pemimpin yang diturunkan dari dunia atas (langit; Tomanurung). Meski mitos merupakan konstruksi sosial, mereka nampak seperti kebenaran-kebenaran universal yang terberi (pre-given) yang tertanam dalam nalar sehari-hari. Dengan demikian, mitos mirip dengan konsep ideologi yang, konon, bekerja pada tingkat konotasi. Bahkan Volosinov (1973), berpendapat bahwa wilayah ideologi berhubungan dengan medan tanda. Dimana ada tanda, disana ada idiologi. Pada level ini, mitos dan ideologi sengaja diciptakan oleh kepentingan kekuasaan (pemimpin) untuk bekerja dengan cara mengilmiahkan penafsiranpenafsiran yang sebenarnya bersifat kontingen (sementara, tidak tetap), bergantung pada selera kekuasaan, dan secara historis bersifat spesifik. Artinya, mitos membuat pandangan-pandangan dunia tertentu seolah-olah tidak mungkin atau sangat mungkin terhadap sesuatu, karena itulah yang alami atau memang itulah takdir Tuhan. Disini, mitos bertugas untuk memberikan pembenaran alamiah pada suatu intensi historis, dan membuat kesementaraan seolah abadi. Derrida (1976) memandang makna memiliki potensi untuk terus mengalami perubahan secara tak terbatas, sementara Foucault (1972) menyelidiki bagaimana makna, melalui beroperasinya kekuasaan dalam praktik sosial, untuk sementara waktu distabilkan atau diregulasi dalam sebuah wacana. Bagi Foucault, menyatukan bahasa dengan praktek. Istilah wacana mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberi makna pada benda-benda material dan praktek-praktek sosial. Dengan demikian, wacana mengkonstruksi dan memproduksi objek-objek pengetahuan dengan cara yang dapat diterima nalar, sekaligus 27
Hegemoni adalah suatu penetapan makna yang bersifat sementara yang menyokong kelompok penguasa. Proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalam suatu kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti suatu situasi dimana block historis, faksi-faksi kelas penguasa, menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan, ini yang lebih penting persetujuan sadar (consent) 28 Mitos dapat difahami sebagai kisah atau fable yang berperan sebagai panduan atau peta makna simbolis. Setelah terbit karya-karyanya Barthes, mitos berarti pengalamiahan level konotatif makna.
66
menyingkirkan bentuk-bentuk bernalar yang lain. Wacana memiliki wilayah operasi untuk menciptakan identitas-identitas baru, yang lahir dari percampuran dari elemen kultural yang berbeda-beda, konidisi ini disebut dengan hibriditas29. Wacana30 menyediakan bagi kita cara-cara membincangkan suatu topik tertentu secara sama, dengan motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktekpraktek atau pengetahuan-pengetahuan yang diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas. Disinilah kita bisa berbicara formasi diskursif, yaitu suatu pola peristiwa-peristiwa diskursif yang mengacu pada, atau memunculkan keberadaan, sebuah objek di beberapa wilayah. Formasi diskursif merupakan peta-peta makna yang sudah diregulasi atau cara-cara berbicara yang menjadi jalan bagi objekobjek dan praktek-praktek memperoleh makna. Secara khusus Foucault (1977), berpendapat bahwa wacana meregulasi, pada suatu kondisi sosial dan kultural determinatif tertentu, bukan hanya apa yang bisa diucapkan, tapi juga siapa yang boleh mengucapkan, kapan dan dimana. Dengan pendapat ini, Foucault ingin membeberkan penyelidikan historis terhadap kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk dan penentu-penentu ekonomik yang terpusat atau kepada karakter legalnya. Kekuasaan membentuk sebuah kapiler yang terajut dalam sarat-sarat tatanan sosial. Lebih jauh lagi, kekuasaan tidak semata represif, tapi juga produktif, kekuasaan memunculkan subjek-subjek. Kekuasaan berperan melahirkan kekuatan (force), membuatnya tumbuh dan memberinya tatanan; kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat kekuatan, menundukkannya atau menghancurkannya (Foucault, 1980). Foucault berhasil menyusun konsep tentang sebuah relasi setara yang saling membentuk antara kekuasaan dengan pengetahuan, sehingga pengetahuan menjadi tak terpisahkan dari rezim-rezim kekuasaan. Pengetahuan terbentuk dalam pratek-praktek kekuasaan dan turut berperan dalam pembentukan, perbaikan dan perawatan teknik-teknik baru kekuasaan.
29
Sebuah gejala yang terus berkembang yang mencampurkan berbagai elemen kultural sehingga tercipta makna dan identitas-identitas baru. Hibridasi cenderung menggoncang stabilitas dan mengaburkan batas-batas kultural yang mapan lewat proses penggabungan atau kreolisasi. 30 Wacana merupakan artikulasi dari bahasa dan praktek, cara-cara bicara yang teregulasi, yang mendefinisikan, mengkonstruksi, dan menghasilkan objek-objek pengetahuan.
67
Berkaitan dengan proses pertarungan elite politik dan ekonomi di Sulawesi Selatan, relasi antara wacana, uang makna dan kekuasaan beroperasi secara luas, terutama dimaksudkan untuk mendominasi konstruksi sosial antar kekuatan yang berbeda, misalnya antar kekuatan etnis Makassar dengan Bugis. 2.3.1 Spirit dan Etik dalam Pembentukan Elite Sejarah pembentukan kekuasaan politik dan ekonomi di Sulsel, terutama antara etnis Bugis dan Makassar, mengalami pasang surut dari satu era ke zaman yang lain. Karakteristiknya sangat ditentukan oleh spirit dan etik yang dianut oleh masingmasing elite rezim yang menjadi pelaku utama penguasaan politik dan ekonomi. Makna dan nilai atau spirit yang dianut oleh setiap elite rezim akan memberikan kontribusi tersendiri bagaimana para elite membangun pola kekuasaanya. Memahami makna, nilai, spirit dan etik setiap rezim yang berkuasa adalah hal mendasar untuk eksplikasi tindakan manusia pada umumnya, dan para elite pada setiap rezim di Sulsel untuk studi ini. Menurut Weber (1992), manusia didominasi oleh kecenderungan untuk menguasai ekonomi dan kekuasaan, dengan mengakuisisi sebagian tujuan utama hidupnya, dengan memanfaatkan kewajiban moral individu dan karakter budaya. Inilah yang dijuluki oleh Weber sebagai dasar menguatnya spirit kapitalisme modern. Kewajiban moral dan tekanan makna budaya akan menjadi spirit dan etik untuk mencapai tujuan tertentu. Etik protestan misalnya, yang menjadi pemicu kekuatan lahirnya kapitalisme modern (Weber, 1992) di sejumlah negara Eropa dan Amerika (meskipun responnya berbeda-beda) dipandang sebagai bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi individu untuk memenuhi tugas-tugasnya dalam urusan duniawi. Konsep ini jelas sekali berusaha memproyeksikan perilaku relijius kedalam aktivitas keduniaan sehari-hari. Dalam konteks ini, Weber berhasil mengidentifikasi bahwa kemajuan kapitalisme modern di Eropa dan Amerika Serikat, kelahiran dan perkembangannya didorong oleh etik protestan, melalui doktrin Calvinisme tentang taqdir. Menurut doktrin ini, umat protestan sesungguhnya sudah ditentukan taqdirnya jauh sebelumnya oleh Tuhan, siapa yang akan masuk surga dan neraka. Mereka-merka yang masuk surga memiliki tanda kehidupan dunianya lebih baik (sempurna) dari
68
yang lain. Karena semua orang berusaha menghindari kutukan Tuhan, dan memburu surga Tuhan, maka umat protestan bangkit untuk mengejar kehidupan dunia yang lebih baik dan sempurna melalui pendekatan ekonomi. Ekses dari spirit ini menyebabkan semua orang semakin individual memburu keberhasilan ekonomi. Karena hanya dengan ini menemukan keberhasilan ekonomi menjadi tanda atau sinyal utama untuk meraih surga dan menghindari kutukan Tuhan, meskipun keberhasilan ini tidak dipandang sebagai alat untuk mencapai surga Tuhan. Sampai kondisi ini, Calvinisme menurut Weber menyuplai energi dan dorongan moral bagi para usahawan kapitalis untuk terus mengkapitalisasi modalnya. Weber mengungkapkan, Calvinisme memiliki ‘konsistensi besi‘ dalam disiplin habishabisan yang dituntut dari para pengikutnya. Pada posisi ini, Weber sangat jelas membantah tesis Karl Marx yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomilah yang menciptakan produkproduk kebudayaan, seperti agama dan ideologi, sebaliknya menurut Weber, kebudayaanlah yang menciptakan bentuk-bentuk perilaku ekonomi tertentu. Munculnya kapitalisme di Eropa dan Amerika, lanjut Weber, bukan karena kondisi teknologi di sana menguntungkan, namun suatu ‖spirit,‖ atau kondisi kejiwaan tertentulah yang memungkinkan perubahan teknologi itu terjadi. 31 Apa yang ditemukan oleh Weber tentang etik protestan (spirit kapitalisme modern) di Eropa dan Amerika Serikat, memiliki kemiripan (dalam bentuk yang berbeda) dengan spirit dan etik yang dianut dan yang menguasai kehidupan mayoritas kehidupan ekonomi, politik dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel), terutama para elitnya, yaitu Siri dan Pesse. Gerak langkah politik, ekonomi dan budaya masyarakat Sulsel selalu disertai dengan prinsip Siri dan Pacce32. 31
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Fukuyama, meskipun Fukuyama tidak secara langsung memberikan bantahan terhadap penyataan Marx. Pandangan Fukuyama secara utuh tentang ini dapat dibaca pada bukunya yang berjudul; Trust; the Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995). 32
Secara sederhana, Siri dan Pacce dapat diartikan sebagai harga diri yang dibalut dengan rasa malu yang tinggi, kemudian terjadi kristalisasi dan internalisasi membentuk suasana hati seseorang jika terjadi pelanggaran norma dan nilai sosial. Siri dan Pacce memiliki hubungan langsung dengan hal-hal seperti; budaya bersalah (guilt culture); budaya rasa malu (shame culture); dan, budaya takut akhir (fearand culture). Lihat Hamid, dkk (2007). Laica Marzuki (1995) menyebut pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis dan Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri‘. Dua term ini (Siri‟ dan Pacce) adalah konsep tunggal yang mesti berjalan
69
Dalam sejarah sosiologi politik, ekonomi dan budaya Sulsel, Siri ‟ dan Pacce pernah menjadi spirit dan etik yang memiliki nilai dan makna khusus yang
bersamaan untuk disebut sebagai manusia. Siri‘ tanpa Pacce atau sebaliknya akan menjadikan semacam split personality dalam diri orang Bugis & Makassar. Tetapi sering kita mendengar ungkapan pepatah Makassar mengatakan : Punna tena Siri‟nu pa‟niaki paccenu (Kalau sudah tidak memiliki Siri‘ lagi, maka perlihatkan paccemu!). Ini sebagai sindiran untuk orang yang harkat martabatnya jatuh dan sekaligus juga tidak turut merasa pedih atas keperihan orang lain. Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:(i). Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri‘nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Shelly Errington (1977 : 43) : ― Untuk orang Bugis & Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri‘nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri‘) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri‟nya dari pada hidup tanpa Siri‘. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri‟ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna. (ii). Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri‘ itu sendiri, demi Siri‘ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan Bugis “Narekko sompe‟ko, aja‟ muancaji ana‟guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyangaliarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah Siri‘, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara. Ia mengalah dan meninggalkan Gowa hingga berhasil menjadi syahbandar kesultanan Pahang. Daeng Mangalle, saudara seayah Sultan Hasanuddin karena Siri‘ pula pergi ke Jawa Timur. Setelah memperoleh dua orang putera dari putri bangsawan Jawa Timur, Angke‘ Sapiah, Ia pergi bersama keluarga dan pengikutnya karena dicari-cari Belanda menuju Muangthai. Di kerajaan Siam, karena Siri‘nya, ia berhasil menjadi Menteri Keuangan Siam dan bergelar bangsawan tertinggi Oja Pacdi. Sayang, karena pertengkaran Raja Phra Narai dan adiknya, Karaeng Mangalle dituduh bersekongkol dengan adik raja. Dengan pengikut-pengikutnya ia berkelahi hingga titik darah penghabisan melawan kurang lebih 10.000 tentara Siam dan puluhan orang-orang Eropa. Ia gugur karena Siri‘ dan ‗mati diberi santan dan gula‘. Dua orang putranya, masing-masing 14 dan 12 tahun berhasil diselamatkan oleh seorang Perancis dan mereka dibawa ke Paris. Di Paris, Raja Louis XIV sangat tertarik kepada anak itu dan mengambilnya menjadi anak angkat, suatu penghargaan luar biasa bagi orang asing berkulit sawo matang. Melalui pendidikan militer, Daeng Ruru, yang bernama lengkap Louis Dauphin Daeng Ruru de Macassart, dalam usia 20 tahun dilantik menjadi Kapten Kapal Bendera Angkatan Laut Perancis pada 1 Januari 1692. Adiknya, Louis Pierre Daeng Tulolo de Macassart menjadi Letnan Angkatan Darat Perancis dan pada tahun 1712 beralih menjadi Letnan Angkatan Laut Perancis, karena kakaknya gugur dalam pertempuran melawan armada Inggris di depan Havana pada tahun 1708 (Pelras, 1975 : 64-65 ; Gervaise, 1688). Kalau direnungkan kata A. Zainal Abidin Farid, Bagaimana mungkin 500 orang termasuk perempuan dan anak-anak Makassar dapat melawan lebih kurang 10.000 tentara Siam?. Bagaimana mungkin Daeng Ruru dan Daeng Tulolo dapat menjadi anak angkat Raja Louis XIV, penguasa Eropa sekaligus menjadi perwira Angkatan Laut Perancis?. Jawabnya; Karena Siri‘.
70
berhasil mendorong dinamika masyarakat pada masa pemerintahan raja-raja dan masa perjuangan kemerdekaan. Pada era-era berikutnya, Siri ‟ dan Pacce diterjemahkan oleh setiap rezim dengan pendekatan yang berbeda-beda, sangat bergantung pada kondisi kontekstual masyarakat dan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap rezim yang berkuasa. Perbedaan penafsiran pada setiap rezim sangat dipengaruhi oleh kekuatan eksternal (globalisasi) yang menyerbu kehidupan budaya, politik dan ekonomi Sulsel. Rezim dan elite Sulsel (antara etnis Bugis dan Makassar) sebelum Indonesia merdeka membangun spirit dan etik yang berbasis pada proteksi harga diri sesuai dengan kebudayaan murni etnis Bugis dan Makassar. Pada rezim Orde Lama mengembangkan spirit penyatuan (unity) dan Sulselisme dari etnis-etnis yang ada. Sedangkan rezim Orde Baru tersulut dengan issue perbaikan dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Orde Sekularisme mengusung spirit perubahan. Rezim-rezim ini memiliki cara tersendiri dan berbeda-beda mewacanakan spirit dan makna yang dikembangkannya. Termasuk bagaimana
rezim
mewacanakan ekonomi (uang), kekuasaan (politik), budaya (nilai) untuk memelihara kekuasaanya. Merunut pada prinsip etik dan spirit yang dibangun oleh Geertz (1973), maka rezim dan elite yang ada di Sulsel (etnis Bugis dan Makassar) dalam melakukan pertarungan merebut kekuasaan politik, ekonomi dan budayanya, selalu ditandai dengan karakter, moral, kualitas, dan estetika yang khas dalam mewacanakan dan mengawal kepentingan kekuasaannya. Kondisi ini disebabkan karena spirit dan etik dipahami oleh elite Bugis dan Makassar sebagai sesuatu yang berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana manusia. Spirit dan etik memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan hidup, apakah kehidupan itu dianggap baik, mulia, terpandang, disukai ataukah sebaliknya, buruk, dibenci, tak terpandang, salah atau tak dibanggakan. Spirit dan etik pulalah yang mengantar
pilihan hidup orang Bugis dan Makassar untuk tampil
melakukan peranan-peranan misalnya menjadi sebagai; petani, nelayan, guru, wiraswasta, pengusaha, pemimpin dan sebagainya.
71
Berdasarkan spirit dan etik yang dianut oleh orang-orang Bugis dan Makassar, dikaitkan dengan perilaku politik, ekonomi dan budayanya, Bugis dan Makassar dianggap terlalu luas dan besar untuk dinilai hanya memiliki karakter dan identitas tunggal. Dengan kata lain, etnis Bugis dan Makassar memiliki banyak perilaku politik, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda antara satu komunitas atau kelompok tertentu. Secara sederhana, nampak perbedaan yang sangat jelas antara perilaku politik, ekonomi, dan budaya orang Bugis Bone, Soppeng dan Wajo (BOSOWA) dengan orang Bugis yang menetap di jazirah Luwu Raya (Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur), demikian juga kalau dibandingkan dengan perilaku orang Bugis yang berdomisili pada wilayah Ajatapareng (Sidrap, Pinrang, Pare, Barru). Etnis
Makassar
kemungkinan
memiliki kecenderungan yang sangat berbeda dengan etnis Bugis. Karena secara demografis kedua etnis ini memiliki ciri dan karakter yang berbeda. Identifikasi perilaku diperlukan untuk tidak mencampuradukkan entitasentitas yang memiliki karakter dan kecenderungan ekonomi, politik dan budaya yang berbeda. Dengan cara ini akan ditemukan pola-pola komunitas masyarakat merespon setiap perubahan yang ada, terutama bagaimana mereka merespon perilaku pemimpin dan elitnya. 2.3.2 Simbol Seperti objek sosial lain, simbol digunakan dan didefinisikan sesuai penggunaan dalam interaksi sosial. Simbol mewakili apa pun yang individu setujui. Secara definitif, Shibutani menyatakan pengertian tentang simbol yang lebih khusus sebagai: any objects, mode of conduct, or word toward which men act as if it were something else. Whatever the symbol stand for constitute the meaning" (Shibutani dalam Joel M. Charon, 1989: 39). Dari kutipan di atas, bisa dikatakan bahwa sesuatu merupakan simbol jika ada sesuatu yang lain yang terdapat di dalamnya. Ini berarti ada makna lain yang tidak hanya dipahami secara langsung, tetapi membutuhkan proses interpretasi. Demikian juga, simbol harus memiliki makna-makna yang merupakan representasi sesuatu. Jika sesuatu tidak mewakili apa pun atau hanya memiliki
72
satu makna saja, ia tidak bisa dikatakan sebagai simbol. Misalnya, warna merah mewakili makna berani atau warna biru mewakili makna keagungan. Kita memasak atau makan sate ayam betina, maka pada konteks ini, bisa dikatakan bahwa ayam betina yang dimaksud bukan simbol. Jadi, benar-benar ayam sebagai binatang. Tetapi, seekor ayam betina akan menjadi simbol kalau sekelompok mahasiswa datang dan berdemonstrasi ke Kantor Kejaksaan dan menghadiahi seekor ayam betina kepada kepala kantor kejaksaan tersebut. Simbol bersifat luas, sehingga yang dimaksudkan di sini tidak hanya dihubungkan dengan warna semata, tetapi juga bisa ditampakkan pada bentuk lain yang bersifat beragam, seperti bahasa (language), bahasa tubuh (body language), ekspresi muka (facial expression), keras-lemahnya suara (loud-weak of voice), dan budaya (custom). Mead menyatakan bahwa mengkaji simbol dalam kehidupan manusia menjadi penting, karena disebabkan makna (meaning) yang ditunjukkan. Bentuk-bentuk seperti objek, gagasan, keyakinan, orang, nilai-nilai, dan kondisi sesuatu, semuanya bisa diakui keberadaannya oleh manusia, disebabkan maknamakna yang dimiliki dan terdapat di dalamnya. Apa makna itu? Bagaimana makna bisa tidak sama antara satu individu dengan individu lain? Bagaimana makna bertahan? Bagaimana makna ditransformasikan, hilang, dan didapatkan kembali? Menurut Mead, salah satu bentuk unik dari pikiran manusia (human mind) adalah penggunaan simbol-simbol untuk menunjuk objek-objek dalam lingkungan. Mead menyatakan bahwa mind adalah tindakan yang menggunakan simbol-simbol dan mengarahkan simbol-simbol tersebut menuju self. Sama dengan elemen yang dijelaskan sebelumnya, bahwa mind bersifat sosial. la hidup di luar individu, tetapi juga dimasukkan individu dalam dirinya. Secara jelas, Mead mendefinisikan mind sebagai: ‖dengan mind, simbol-simbol yang beragam bisa dimanipulasi. Aktivitas yang dimainkan mind bisa berupa komunikasi dengan orang lain, tetapi bisa juga merupakan percakapan dengan self, dengan diri kita, atau dengan simbol-simbol yang kita pahami atau akan kita manipulasi. Mengapa mind menjadi sangat penting, sebab ia bisa langgeng atau tidak berdasarkan interaksi sosial yang selalu dialami oleh individu.‖
73
2.3.3 Penafsiran (Interpretasi) Seperti Mead, Blumer juga menjelaskan arti pentingnya melibatkan pengalaman subjektif atau perilaku yang tersembunyi. Kemampuan menangkap bagian interaksi sosial ini seharusnya dilakukan para sosiolog ketika mereka memahami perilaku yang terobservasi dalam penjelasan ilmiah tentang interaksi manusia. Pendapat ini sama dengan mengatakan bahwa interaksionisme simbolik meletakkan pemahaman mengenai sesuatu dari cara pandang aktor. Sama seperti Mead, untuk menjelaskan kehidupan sosial, Blumer menggunakan konsep yang sangat sederhana, yaitu interpretasi. Jika behaviorisme melihat proses sosial dengan mengikuti hukum: stimulus-respon, maka interaksionisme simbolik lebih dari sekadar itu. Misalnya, A bertindak. B merasakan tindakan A, kemudian memastikan makna dan mencari untuk memastikan maksud itu. B akan melakukan tindakan mengikuti makna atau penafsiran atas tindakan A. A juga akan menanggapi pada makna yang ia lihat dari tanggapan B. Jadi, kalau stimulus saja, ia tidak bisa menjelaskan tindakan B atau tanggapan A pada sesuatu. Interaksionisme simbolik melihat bahwa dalam interpretasi proses tanda diri (self-indication) sangat diperlukan. Pada proses ini, individu-individu meninggalkan stimuli tertentu pada mereka dan kemudian menafsirkan penampilan stimuli untuk mereka itu. Terkait dengan ini, Margaret Poloma menyatakan bahwa self-indication merupakan proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna, dan memutuskan bertindak atas nama makna itu. Blumer (1975), menyatakan bahwa hubungan sosial tidak jarang
yang
mengambil makna di dalamnya. Interaksi bermakna aktor saling mengambil catatan, saling mengkomunikasikan, dan saling menginterpretasi sepanjang interaksi tersebut terus berjalan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hampir semua bentuk interaksi sosial adalah simbolik. Proses interaksi simbolik berarti membuat keputusan dan langsung berkaitan dengan aliran tindakan yang terus menerus atau tidak pernah berhenti. Blumer menyatakan, Interaksionisme simbolik meliputi interpretasi atau memastikan arti tindakan-tindakan atau perkataan orang lain serta definisi atau menyampaikan petunjuk pada orang lain seperti bagaimana ia berlaku.
74
Perkumpulan manusia terdiri atas proses seperti interpretasi dan definisi. Lewat proses ini, para partisipan menjadikan tindakan mereka pada aktivitas yang tidak pernah henti satu dengan lain dan memberi petunjuk orang lain itu untuk melakukan seperti yang dikehendaki. Dengan melihat definisi tersebut, Blumer tidak berbicara dalam konteks makro, tetapi cukup membatasi pada organisasi manusia atau semacam kelompok. Berarti, hubungan sosial bersifat kompleks, dan apabila kita ingin mengerti akibat dari tindakan manusia, maka akan menjadi lebih kompleks pula. Dengan mengutip gagasan Mead, Charon menyatakan lebih lanjut bahwa, ketika manusia melakukan hubungan sosial tidak hanya mengembangkan bahasa-bahasa atau simbol yang dimaknai secara bersama-sama. Tetapi, juga mengambil peran (role taking) dari orang lain dengan tujuan untuk memahami dan komunikasi. Ketika aktor menyatakan bahwa ia bisa menyesuaikan dengan orang lain, kita akan semakin mengerti bahwa aktor tersebut telah mengambil peran secara tetap. Orang lain benar-benar menjadi bagian dari dirinya dalam lingkungannya Charon, 1979: 142). Individu akan menjadikan dirinya dilihat sebagaimana orang lain melihat dirinya itu (Cuff & Payne, 1979: 90). Gagasan Blumer yang tidak kalah penting adalah tentang tiga hal lain, yakni: arti penting makna pada tindakan sosial, sumber-sumber makna, dan peran makna dalam penafsiran. Dari tiga premis tersebut, bisa di pecah dalam tiga penjelasan, yaitu: manusia bertindak atas sesuatu pada dasar makna yang dimiliki benda tersebut. Dari sini dinyatakan bahwa kesadaran merupakan elemen kunci dari tindakan bermakna. Apa pun yang berhubungan dengan kesadaran merupakan sesuatu yang individu sedang memberi petunjuk untuk irama, seperti detak jam, ketukan pintu, wajah teman, teguran dari teman, dan sebuah pengakuan bahwa ia misalnya; pemalu, pemberani dan kejam. Untuk menandai sesuatu dalam melepaskan diri dari rekayasa, selain melindungi, agar bisa memberikan sebuah makna. Pada banyak tindakan yang tidak terhitung apakah minor seperti berdandan untuk dirinya atau mayor seperti mengorganisasi diri demi karir profesional-individu sedang menunjuk objek yang berbeda untuk dirinya, memberikan makna objek-objek itu, menilai kesesuaiannya pada tindakan mereka, dan membuat kesimpulan pada dasar penilaian. Ini yang dimaksudkan
75
sebagai penafsiran atau tindakan pada dasar simbol. Contoh yang dikemukakan Wallace dan Wolf bisa menggambarkan ini. Dalam studi tentang suasana kematian (the situation of dying), peneliti mengamati strategi-strategi perawat untuk menghindari pikiran berikutnya tentang suasana kematian. Juga, menghindari shift malam yang mana banyak pasien meninggal. Mereka mengambil waktu liburan atau jatuh sakit pada peristiwa yang krusial. 2.3.4 Wacana, Idiologi dan Hegemoni Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui karya teoretis dan penelitian praktis. Di hampir semua pendekatan analisis wacana, Foucault telah menjadi sosok utama yang dikutip, dihubungkan, dianalisis, dan dimodifikasi. Secara tradisional, karya Foucault terbagi antara fase "arkeologi" awal dan fase "genealogi" akhir, kendati keduanya tumpang tindih, dan Foucault terus menggunakan piranti-piranti dari arkeologinya dalam karya-karya berikutnya. Teori analisis wacananya membentuk bagian arkeologi-nya. Mengapa dia tertarik untuk melakukan kajian "arkeologi" adalah karena adanya kaidah-kaidah yang menentukan pernyataan-pernyataan mana yang diterima sebagai kalimat yang bermakna dan kalimat yang benar dalam epos historis tertentu. Karena itu, Foucault mendefinisikan wacana sebagai berikut: ‖Kita akan menyebut wacana sebagai sekelompok pernyataan yang sejauh ini merupakan milik formasi kewacanaan yang sama terdiri dari sejumlah kecil pernyataan tempat bisa ditetapkannya sekelompok kondisi eksistensi. Dalam pengertian ini wacana bukanlah bentuk tanpa waktu yang ideal, dari awal sampai akhir, wacana bersifat historis-penggalan sejarah yang memiliki batas, pembagian, transformasi, mode khusus temporalitasnya sendiri‖. (Foucault 1972:117). Foucault menganut premis konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rezim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan yang salah. Titik awalnya adalah bahwa meski pada prinsipnya kita mempunyai sejumlah cara yang tak terbatas untuk merumuskan pernyataanpernyataan, pernyataan-pernyataan yang dihasilkan dalam domain tertentu
76
sifatnya agak mirip satu sama lain dan berulang. Terdapat pernyataan yang tak terhitung jumlahnya dan yang tidak pernah diucapkan dan tidak akan pernah diterima sebagai pernyataan yang bermakna, kaidah historis wacana tertentu itu membatasi apa yang mungkin dikatakan. Mayoritas pendekatan analisis wacana kontemporer mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana yakni sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberi makna. Dan pendekatan-pendekatan analisis wacana tersebut membangun ide-ide kebenaran sebagai sesuatu yang paling tidak dalam derajat tertentu, diciptakan secara
kewacanaan.
Namun
demikian,
pendekatan-pendekatan
tersebut
menyimpang dari kecenderungan Foucault yang hanya mengidentifikasi satu rezim pengetahuan pada setiap periode historis. Namun pendekatan-pendekatan itu bekerja menggunakan suatu gambaran yang lebih bertentangan. Di sini wacana-wacana yang berbeda secara berdampingan atau saling berjuang untuk mendapatkan hak untuk menentukan kebenaran. Dalam kerja genealogisnya, Foucault mengembangkan teori kekuasaan. Bukannya memperlakukan agen-agen dan struktur-struktur sebagai kategorikategori primer, Foucault memusatkan perhatiannya pada kekuasaan. Sejalan dengan wacana, kekuatan bukanlah milik agen-agen tertentu seperti individuindividu atau negara atau kelompok-kelompok yang memiliki kepentingankepentingan tertentu, namun kekuasaan tersebut menyebar dalam praktik-praktik sosial yang berbeda. Kekuasaan hendaknya tidak dipahami semata-mata sebagai sesuatu yang bersifat menindas, melainkan produktif
menyusun wacana,
pengetahuan, benda-benda dan subjektivitas. Apa yang membuat kekuasaan tetap langgeng, apa yang membuatnya bisa diterima, adalah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya memberi kita kekuasaan untuk berkata tidak, atau sebaliknya, namun kekuasaan melewati dan menghasilkan sesuatu, menimbulkan kesenangan, membentuk pengetahuan serta memproduksi wacana. Kekuasaan perlu dianggap sebagai jaringan produktif yang melewati lembaga sosial secara keseluruhan, lebih dari sebagai sesuatu yang bersifat negatif yang fungsinya untuk melakukan penindasan (Foucault, 1980).
77
Jadi, kekuasaan menciptakan kondisi yang memungkinkan tercapainya kehidupan sosial itu. Di dalam kekuasaan itulah dunia sosial dihasilkan dan objekobjek dipisahkan satu sama lain dan dengan demikian bisa mencapai karakteristikkarakteristik individu dan hubungan-hubungannya satu sama lain. Misalnya, "tindak kejahatan" secara berangsur-angsur telah diciptakan sebagai bidang yang memiliki lembaga-lembaga tersendiri (misalnya, ‖penjara‖), subjek tertentu (misalnya, "penjahat"), dan praktik-praktik tertentu (misalnya, "resosialisasi"). Dan kekuasaan selalu terikat pada pengetahuan-kekuasaan dan pengetahuan memiliki pra-anggapan satu sama lain. Misalnya, sulit membayangkan sistem penjara baru tanpa adanya kriminologi (Foucault, 1977). Kekuasaan bertanggung jawab atas penciptaan dunia sosial kita dan atas cara-cara tertentu dalam membicarakan dan membentuk dunia ini, dengan demikian mendorong lahirnya cara-cara alternatif pembicaraan dan keberadaan atas sesuatu. Oleh sebab itu kekuasaan bisa merupakan daya yang produktif sekaligus membelenggu. Foucault tidak berhenti sampai pada meletakkan kekuasaan sebagai daya dorong atau daya tarik terhadap realitas dunia, akan tetapi Foucault juga berhasil mengawinkan antara kekuasaan dan pengetahuan. ‖Perkawinan‖ ini memiliki konsekuensi yakni kekuasaan secara erat dikaitkan dengan wacana. Wacana terutama memberikan kontribusi terhadap pemproduksian subjek siapa kita dan objek-objek yang kita ketahui (termasuk kita sendiri sebagai subjek). Konsep Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi lain terhadap konsepsinya tentang kebenaran. Foucault menyatakan bahwa tidak mungkin mendapatkan akses ke kebenaran universal karena mustahil membicarakannya dari posisi di luar wacana; tidak ada jalan untuk lolos dari representasi. Dalam wacana tercipta "efek kebenaran". Dalam fase arkeologi Foucault, "kebenaran" dipahami sebagai sistem prosedur-prosedur untuk pemroduksian, pengaturan dan pendifusian kalimat-kalimat. Dalam fase geneakologinya, Foucault membuat hubungan antara kebenaran dan kekuasaan, dengan menyatakan bahwa "kebenaran" disematkan dalam dan dihasilkan oleh, sistem kekuasaan. Karena kebenaran itu tidak bisa dicapai, akan sia-sia bila menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah. Namun, fokus perhatiannya -
78
hendaknya- ditujukan pada bagaimana efek-efek kebenaran itu diciptakan dalam wacana.
Apa
yang
harus dianalisis adalah proses kewacanaan untuk
mengkonstruk wacana-wacana dengan cara yang sekiranya bisa memberikan kesan bahwa wacana-wacana itu memberikan gambaran-gambaran benar atau salah tentang realitas. Ideologi Ideologi, bagi Fairclough, merupakan "makna yang melayani kekuasaan" (Fairclough 1995b: 14). Lebih tepatnya, dia memahami ideologi sebagai pengonstruksian makna yang memberikan kontribusi bagi pemroduksian, pereproduksian dan transformasi hubungan-hubungan dominasi (Fairclough 1992b: 87; cf. Chouliaraki dan Fairclough 1999: 26f). Ideologi tercipta dalam masyarakat-masyarakat. Di sinilah hubungan dominasi didasarkan pada struktur sosial seperti kelas dan gender. Menurut definisi Fairclough, wacana bisa kurang lebih bersifat ideologis, wacana ideologis yang memberikan kontribusi bagi usaha untuk mempertahankan dan mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan. Pemahaman wacana tentang ideologi sebagaimana yang disisipkan dalam praktik kewacanaan bergantung pada pandangan yang menyatakan ideologi sebagai praktik yang beroperasi dalam proses pemroduksian makna dalam kehidupan
sehari-hari,
sebaliknya
makna
dimobilisasikan
agar
bisa
mempertahankan hubungan-hubungan kekuasaan (Thompson, 1990). Fokus ini bertentangan dengan konsepsi ideologi pada banyak pendekatan Marxist. Marxist tidak tertarik pada struktur ideologi-ideologi tertentu, atau pada bagaimana ideologi diartikulasikan dalam konteks-konteks sosial khusus. Namun mereka telah memperlakukan ideologi sebagai sistem nilai abstrak yang berfungsi sebagai perekat sosial, yakni mengikat orang-orang secara bersama-sama dan dengan demikian mengukuhkan keruntutan tatanan sosial. Selaras dengan Thompson dan banyak teoretisi kultural dan sosial lain yang telah merumuskan pendekatan-pendekatan pada praktik ideologis, Fairclough menggunakan karya Althuser dan juga dalam derajad tertentu karya Gramsci. Kedua teoretisi itu menggambarkan bentuk-bentuk penting perspektif Marxist kultural dan keduanya menganggap pemroduksian makna dalam kehidupan sehari-hari itu memiliki peran penting dalam mempertahankan tatanan sosial.
79
Fairclough juga mematuhi konsensus yang dibuat dalam kajian-kajian kultural kritis dengan menolak bagian-bagian teori Althuer dengan dalih bahwa Althuser menganggap orang sebagai subjek ideologis pasif dan dengan demikian meremehkan kemungkinan mereka untuk melakukan tindakan. Dalam kajian kultural dan komunikasi, sekarang ini ada konsensus bahwa makna teks sebagian diciptakan dalam proses interpretasi. Fairclough memiliki posisi konsesus yang sama. Teks mempunyai beberapa potensi makna yang mungkin bertentangan satu sama lain dan terbuka bagi beberapa interpretasi yang berbeda. Ada kemungkinan timbul penolakan kendati orang-orang tidak harus sadar akan dimensi ideologis praktiknya: Subjek diposisikan secara ideologis, tapi subjek juga mampu bertindak secara kreatif untuk menciptakan hubungan antara praktik-praktik dan ideologi-ideologi yang beragam tempat dipajangkannya subjek tersebut dan menata kembali posisi praktik dan struktur itu (Fairclough 1992b: 91). Fairclough juga menolak pemahaman Althuser tentang ideologi sebagai keseluruhan entitas. Fairclough percaya bahwa orang-orang bisa diposisikan dalam ideologi-ideologi yang berbeda dan saling bersaing dan bahwa kondisi semacam ini bisa menggiring ke arah rasa ketidakpastian, yang efeknya bisa menciptakan kesadaran akan efek ideologis (Fairclough 1992b). Sudut pandang ini didasarkan pada gagasan Gramsci bahwa "akal sehat" berisi beberapa unsur yang saling bersaing yang merupakan hasil negosiasi makna tempat berproses keterlibatannya semua kelompok sosial (Gramsci 1991). Hegemoni tidak hanya merupakan dominasi namun juga proses negosiasi yang melahirkan konsensus tentang makna. Keberadaan unsur-unsur yang saling bersaing seperti itu menaburkan benih-benih perlawanan karena unsur-unsur yang menantang makna dominan membekali orang-orang dengan sumberdaya untuk melakukan perlawanan. Akibatnya, hegemoni tidak pernah stabil namun senantiasa berubah dan tidak selesai dan konsensus selalu berkaitan dengan masalah derajad "keseimbangan yang saling bertentangan dan tidak stabil" (Fairclough 1992b). Menurut Fairclough, konsep hegemoni memberi kita alat yang bisa kita gunakan untuk menganalisis bagaimana praktik kewacanaan menjadi bagian dari praktik sosial yang luas yang melibatkan hubungan kekuasaan: praktik kewacanaan
80
bisa dipandang sebagai aspek perjuangan hegemonis yang memberikan kontribusi bagi reproduksi dan transformasi tatanan wacana yang merupakan bagiannya (dan akibatnya juga hubungan kekuasaan yang ada). Makna kewacanaan terjadi bila unsur-unsur kewacanaan diartikulasikan dengan cara-cara baru. Hegemoni Konsep "wacana" yang diajukan Laclau dan Mouffe tidak hanya memberikan pedoman kepada bahasa namun juga semua fenomena sosial. Wacana mencoba menata tanda, seolah semua tanda memiliki makna yang tetap dan tidak taksa dalam suatu struktur secara keseluruhan. Logika yang sama juga berlaku pada bidang sosial yang utuh; kita bertindak seolah "realitas" yang ada di sekitar kita itu mempunyai struktur yang stabil dan tidak taksa; seolah masyarakat, kelompok tempat kita berada, dan identitas kita secara objektif merupakan faktafakta yang memang telah ditetapkan. Namun seperti halnya struktur bahasa yang tidak pernah sepenuhnya bisa tetap, begitu pula masyarakat dan identitas, dan entitas yang fleksibel dan bisa diubah tidak pernah sepenuhnya bisa tetap. Meskipun Marxisme menduga adanya struktur sosial yang objektif yang harus diungkap oleh analisis, titik awal teori wacana Laclau dan Mouffe adalah bahwa kita meng-konstruk objektivitas melalui pemroduksian makna kewacanaan. Laclau dan Mouffe mengubah tradisi Marxist tersebut dengan menggunakan tiga cara. Pertama, Laclau dan Mouffe meniadakan pembagian antara dasar dan superstruktur dan memahami semua formasi kemasyarakatan sebagai produk proses kewacanaan. Kedua, mereka menolak konsepsi Marxist tentang masyarakat: bahwa masyarakat bisa diuraikan secara objektif, sebagai suatu totalitas yang disusun oleh kelas-kelas tertentu. Menurut Laclau dan Mouffe, masyarakat tidak pernah bersifat taksa sebagaimana yang dikemukakan materialisme kesejarahan. Menurut mereka, "masyarakat" merupakan usaha kita untuk memberikan makna masyarakat, bukan fenomena yang ada secara objektif. Ketiga, dan sebagai hasil pandangan terhadap fenomena sosial ini, Laclau dan Mouffe menolak pemahaman Marxist tentang identitas dan formasi kelompok. Bagi Marxisme, orang memiliki identitas (kelas) yang objektif kendati tidak menyadarinya. Bagi Laclau dan Mouffe, identitas tersebut tidaklah bisa ditentukan sebelum lahirnya kelompok-kelompok apa yang secara politik relevan. Identitas
81
orang-orang (baik secara kolektif atau individu) merupakan hasil proses yang bersifat kewacanaan dan mungkin terjadi seperti itu merupakan bagian dari perjuangan kewacanaan. Untuk memperkuat argumentasinya, Laclau dan Mouffe memandang konflik atau antagonisme dengan konsep hegemoni Gramsci. Konsep hegemoni Gramsci menjelaskan, dasar material merupakan titik awalnya dan superstruktur ditentukan oleh dasar material tersebut. Gramsci mengemukakan dialektik antara dasar dan superstruktur; kondisi dasar material mempengaruhi
superstruktur,
namun
proses
politik
yang
terjadi
pada
superstruktur juga bisa berbalik ke arah dasar material itu. Sedangkan menurut Laclau dan Mouffe, proses politiklah yang paling penting: politik memiliki keunggulan (Laclau 1990: 33) Artikulasi politik menentukan bagaimana kita bertindak dan berpikir, dan dengan begitu, tergambarlah bagaimana masyarakat tercipta. Oleh sebab itu, proses penentuan perekonomian sepenuhnya ditiadakan dalam teori wacana. Akan tetapi tidak serta merta bahwa segalanya adalah soal bahasa atau bahwa materi itu tidak memiliki signifikansi. Pernyataan tersebut akan jelas bila kita memandang bagaimana Laclau dan Mouffe memahami dua konsep yakni wacana dan politik. Reproduksi dan perubahan perolehan makna, dalam istilah umumnya, merupakan tindakan politik. Politik dalam teori wacana tidak harus dipahami sebagai, misalnya, politik ke-partai-an, yang sebagian besar hanya membicarakan representasi politik dan kekuasaan. Akan tetapi, politik dilihat sebagai konsep yang luas yang mengacu pada bagaimana cara kita menyusun fenomena sosial dengan cara-cara yang meniadakan cara-cara yang lain. Laclau dan Mouffe memahami politik sebagai organisasi masyarakat dari sisi tertentu dengan cara tertentu yang meniadakan semua kemungkinan adanya cara yang lain. Oleh sebab itu, politik tidak hanya merupakan permukaan yang merefleksikan realitas sosial yang lebih luas, melainkan organisasi sosial yang merupakan hasil proses politik yang terus menerus. Sebagai misal, bila terjadi suatu perjuangan antara wacanawacana tertentu, maka terlihat dengan jelas bahwa para aktor yang berbeda sedang berusaha mempromosikan cara-cara yang berbeda dalam mengorganisasikan masyarakat. Pada posisi seperti ini, konsep hegemoni muncul antara "objektivitas" dan "politik". Sama seperti sesuatu yang objektif yang bisa menjadi bersifat
82
politik, dengan berjalannya waktu, konflik yang mencuat bisa menghilang dan memberi jalan munculnya objektivitas karena satu perspektif dinaturalisasikan dan lahirlah konsensus. Perkembangan dari konflik politik ke objektivitas akan selalu melewati garis intervensi hegemonis. Konsep kekuasaan dalam pendekatan Laclau dan Mouffe erat kaitannya dengan konsep politik dan objektivitas (Laclau 1990). Kekuasaan tidak dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki orang-orang dan dilaksanakan terhadap orang lain, melainkan sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan dunia sosial. Mungkin kelihatan aneh bila menggunakan kata "kekuasaan" untuk menggambarkan kekuatan dan proses yang bisa menciptakan dunia sosial kita dan membuat dunia sosial tersebut bermakna bagi kita. Tapi yang utama adalah bahwa pemahaman tentang kekuasaan ini menekankan adanya ketergantungan dunia sosial. Kekuasaanlah yang menciptakan pengetahuan kita, identitas kita dan bagaimana kita berhubungan satu sama lain sebagai kelornpok atau individu. Pengetahuan, identitas, dan hubungan sosial semua tergantung: pada waktu tertentu, ketiganya melahirkan suatu bentuk tertentu, namun bisa saja - dan bisa menjadi - berbeda. Oleh sebab itu, kekuasaan itu sifatnya produktif maksudnya bisa menghasilkan dunia sosial dengan cara-cara tertentu. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang bisa dibuat menjadi tidak ada: tapi sangat tergantung pada kehidupannya berada dalam suatu tatanan sosial dan tatanan sosial selalu tercipta dalam kekuasaan. Namun kita tidak tergantung pada kehidupan pada tatanan sosial tertentu, dan peniadaan tatanan-tatanan sosial yang lain juga merupakan salah satu efek kekuasaan. Di satu sisi, kekuasaan menghasilkan dunia yang bisa dihuni yang memang diperuntukkan bagi kita dan di sisi lain kekuasaan bisa menghalangi kemungkinan-kemungkinan alternatif. Karena itu dalam pandangan ini, objektivitas merupakan kekuasaan yang terendap. Di sinilah jejak-jejak kekuasaan telah terhapus dan telah terlupakan. Dunia ini memang dikonstruk secara politis (Laclau 1990: 60). Pemahaman kita terhadap teori Laclau dan Mouffe adalah bahwa kekuasaan dan politik merupakan dua sisi mata uang yang sama. Kekuasaan mengacu pada pemroduksian objekobjek seperti "masyarakat" dan "identitas", sementara politik mengacu pada ketergantungan yang selalu ada pada objek-objek tersebut. Dengan demikian
83
objektivitas mengacu pada dunia yang keberadaannya dianggap lumrah, dunia yang telah kita "lupakan" tapi selalu tersusun oleh kekuasaan dan politik. Satu hal yang menjadi point penting dari konsep Laclau dan Mouffe adalah bagaimanakah mengkonseptualisasikan para aktor yang berproses keterlibatan dalam perjuangan mencari definisi dan pembentukan realitas? Seperti tesis yang dibangun oleh Laclau dan Mouffe terhadap teori Marxist, mereka
menolak
pendapat bahwa identitas kolektif (dalam teori Marxist, terutama kelas-kelas) ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi dan materi. Menurut Laclau dan Mouffe, identitas individu dan kolektif keduanya diorganisasikan menurut prinsip-prinsip yang sama seperti dalam proses kewacanaan yang sama pula.
84