2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bioetanol Etanol merupakan senyawa kimia dengan rumus C2H5–OH. Strukturnya
serupa dengan air, tetapi satu atom hidrogennya diganti satu gugus etil (Hart 2004). Bioetanol merupakan etanol yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung gula dan pati. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan sumber pati yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioetanol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya sangat tinggi dalam memproduksi pati sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol. Selain itu, pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bioetanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter bioetanol (Nurdyastuti 2005). Secara umum bioetanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran bahan bakar kendaraan. Mengingat pemanfaatan bioetanol beraneka ragam, maka terdapat penggolongan kualitas (grade) bioetanol. Bioetanol yang mempunyai kadar 90-96,5% volume dapat digunakan pada industri, sedangkan bioetanol yang mempunyai kadar 96-99,5% volume dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Bioetanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai kadar sebesar 99,5-100% volume (Nurdyastuti 2005). Etanol memiliki angka oktan lebih tinggi daripada bensin (gasolin), yang dapat mendorong peningkatan bilangan oktan pada saat dicampur, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan bahan aditif beracun seperti benzena. Lebih jauh lagi, etanol menyediakan oksigen, sehingga pembakaran lebih sempurna dan dapat 5
6
mengurangi emisi CO dan hidrokarbon yang tidak terbakar, yang dapat mencemari udara. Karakteristik fisika dan kimia utama dari bioetanol dibandingkan terhadap bahan bakar diesel dan gasolin disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan karakteristik fisika dan kimia bioetanol, diesel, dan gasolin Diesel Etanol Gasolin Low heating value-LHV (MJ/kg) Low heating value-LHV (MJ/l) Viskositas (cSt) Densitas (kg/m3) @ 15oC Bilangan oktan (MON) Tekanan uap @ 38oC (psi) Flash point (oC) Temperatur didih (oC) Panas penguapan (kJ/kg) Suhu Auto-ignition (oC) Flammability limits (oC) Flammability limits (% vol)
42,7 36,4 2,5 830 – 880 0,04 55 – 65 17 – 340 230 – 315 64 – 150 0,6 – 5,6
26,9 21,0 790 96 – 106 2,5 13 78 842 366 13 – 42 3,3 – 19,0
43,7 32,0 700 – 780 79 – 98 7–9 (-40) 33 – 213 300 300 – 371 (-40) – (-18) 1,4 – 7,6
Sumber : Chiaramonti (2007) Etanol dapat direaksikan dengan isobutilen untuk membentuk “ethyl tertiary butyl ether” (ETBE) yang memberikan sifat-sifat yang menguntungkan dibanding penambahan langsung etanol karena menghasilkan tekanan uap campuran yang lebih rendah. Di samping itu, ETBE lebih mudah diintegrasikan ke dalam sistem distribusi gasolin karena memiliki sifat yang sangat mirip dengan gasolin (Wyman 1996). Beberapa keuntungan dari penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar antara lain, (1) Mengurangi pengikisan lapisan ozon melalui penurunan emisi oksida karbon di udara, (2) Sepenuhnya dapat diperbaharui, (3) Menekan laju peningkatan CO2 di udara melalui fotosintesis oleh tumbuhan; sementara jika menggunakan bahan bakar fosil akan terjadi penambahan jumlah karbon di udara akibat pengeluaran sumber karbon yang selama ini ada di dalam perut bumi.
2.2
Dehidrasi Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang
dilanjutkan dengan proses destilasi. Pemurnian bioetanol menjadi berkadar 95% harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut. Peralatan destilasi konvensional untuk fraksinasi kontinyu dari cairan terdiri dari tiga (3) bagian utama :
7
Evaporator yang memerlukan panas untuk menguapkan cairan Kolom destilator yang secara aktual berhubungan dengan sampel cairan selama pemisahan dengan cara destilasi Kondensor untuk pendingin dari produk akhir yang terletak pada bagian atas (Earle & Earle 1983). Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Bioetanol yang mengandung etanol 95% volume lebih dikenal dengan campuran azeotropik etanol-air. Campuran azeotropik tersebut dapat dipisahkan melalui beberapa metode yang telah umum dikenal, diantaranya destilasi azeotropik, dehidrasi melalui adsorpsi dan penyaring molekular (molecular sieve). Destilasi azeotropik melibatkan penambahan bahan kimia ketiga yang disebut entrainer ke dalam sistem selama proses destilasi. Metode ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya : (1) Memerlukan input energi yang tinggi; (2) Memerlukan sistem yang kompleks dari kolom untuk regenerasi bahan pengisi (entrainer); (3) Ada kecenderungan etanol terkontaminasi dengan bahan entrainer pada saat sistem mengalami gangguan (Kohl 2004). Metode lain yang dapat digunakan dan lebih baik daripada metode destilasi azeotropik adalah dengan menggunakan molecular sieve (penyaring molekular). Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat kemurnian lebih tinggi (99% etanol anhidrat), yang biasanya digunakan sebagai campuran “unleaded gasoline” menjadi gasohol (Kurniawan et al. 2005). Proses pemurnian bioetanol menjadi bioetanol dengan kadar 99 – 100 % dinamakan dehidrasi. Hal terpenting pada dehidrasi bioetanol adalah mengeluarkan air yang masih bercampur dengan bioetanol yang dihasilkan dari proses destilasi. Proses destilasi hanya mampu menghasilkan etanol dengan persentase 95% atau secara teoritis < 97,2% (Onuki 2006). Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan bakar (biofuel) perlu dimurnikan hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade ethanol (FGE). Beberapa metode pemisahan telah dilakukan dan dikembangkan untuk mendapatkan alkohol anhidrat, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar.
8
Pada awalnya, Alkohol anhidrat dibuat dengan penyerapan dari 4 – 5% air yang ada di dalam alkohol 95 – 96% menggunakan batuan kapur. Walaupun dapat menghasilkan alkohol anhidrat berkualitas tinggi, tetapi proses ini mahal dan sudah diganti dengan proses yang lain. Etil alkohol (etanol) dan air membentuk suatu azeotrop yang mengandung 95% volume alkohol. Berbagai metode telah digunakan dan/atau disarankan untuk menghilangkan 5% air sehingga menghasilkan alkohol 100%. Tabel 2 menunjukkan sejumlah daftar dari rute pemisahan dan kebutuhan energi dalam penyempurnaan proses penghilangan air di dalam alkohol (Austin 1984). Tabel 2 Beberapa metode pemisahan untuk memperoleh alkohol absolut Tipe Etanol (%) Kebutuhan Proses pemisahan Awal Akhir energi (kJ/l) Sempurna 10 100 Conventional ”dual” distillation Sempurna 10 100 Ekstraksi dengan CO2 Sempurna 10 100 Ekstraksi pelarut Sempurna 10 100 Destilasi vakum 10 – azeotrop 10 95 Destilasi konvensional 10 – azeotrop 10 95 Vapor recompression 10 – azeotrop 10 95 “multieffect” vacuum Azeotrop 95 100 Destilasi azeotrop konvensional Azeotrop 95 100 Dehidrasi melalui adsorpsi Azeotrop 95 100 Penyaring molekular yang lain 3 10 Reverse Osmosis a Gambaran energi termal yang dibutuhkan untuk penyediaan energi proses berlangsung b Destilasi kolom tunggal c Destilasi tiga kolom d Pengeringan dengan CaO
7600 2200 – 2800 1000a 9800b 5000 1800a 2000c 2600 335d 1300 – 1750 140 mekanik selama
Sumber : Battelle Pasific Northwest Laboratories dalam Austin (1984) 2.3
Molecular Sieve (Penyaring Molekular) Molecular sieve adalah material sintetis yang memiliki pori-pori dengan
ukuran yang sama persis dan seragam yang digunakan sebagai adsorben gas dan cairan. Molekul-molekul yang cukup kecil akan diadsorpsi melewati pori-pori, sedangkan molekul-molekul yang lebih besar akan ditolak. Penyaring molekular berbeda dengan penyaring secara umum yang digunakan untuk menyaring molekul pada tingkatan tertentu. Sebagai contoh, adalah molekul air yang mungkin cukup kecil sehingga dapat melewatinya. Oleh karena itu, penyaring molekular sering berfungsi sebagai pengering (dessicant). Penyaring molekular
9
dapat mengadsorpsi air sampai 22% dari berat yang dimilikinya (Gubta & Demirbas 2010). Penyaring molekular biasanya terdiri dari mineral-mineral aluminosilikat, tanah liat, kaca berpori, arang mikroporous, zeolit, karbon aktif, atau senyawa-senyawa sintetis yang memiliki struktur terbuka yang dapat dilalui oleh molekul-molekul kecil, seperti nitrogen dan air. Penyaring molekular sering digunakan dalam industri petroleum, terutama untuk purifikasi aliran gas. Di laboratorium kimia, digunakan untuk pemisahan senyawa-senyawa dan pengeringan bahan-bahan dasar reaksi. Metode untuk regenerasi penyaring molekular meliputi perubahan tekanan (seperti pemekat oksigen), pemanasan dan pembersihan dengan menggunakan gas pembawa (seperti ketika digunakan dalam dehidrasi etanol), atau pemanasan dengan vakum tinggi. Kemampuan adsorpsi penyaring molekular adalah sebagai berikut : 3A (ukuran pori 3Å) : mengadsorpsi NH3, H2O, (tidak C2H6). Baik untuk pengeringan cairan polar. 4A (ukuran pori 4Å) : mengadsorpsi H2O, CO2, SO2, H2S, C2H4, C2H6, C3H6, Etanol. Tidak akan mengadsorpsi C3H8 dan hidrokarbon yang lebih tinggi. 5A (ukuran pori 5Å) : mengadsorpsi hidrokarbon normal (linier) sampai nC4H10, alkohol sampai C4H9OH, merkaptan sampai C4H9SH. Tidak akan menyerap senyawa-senyawa iso dan bercincin yang lebih besar dari C4. 10X (ukuran pori 8Å) : mengadsorpsi hidrokarbon bercabang dan senyawa aromatik. Berguna untuk pengeringan gas. 13X (ukuran pori 10Å) : mengadsorpsi di-n-butilamin (tetapi tidak tri-nbutilamin). Berguna untuk pengeringan hexamethylphosphoramide (HMPA) (Anonim 2006). Beberapa keuntungan menggunakan penyaring molekular pada proses dehidrasi etanol antara lain : (1) Proses yang sangat sederhana, sehingga mudah diotomatisasi, sehingga dapat mengurangi kebutuhan terhadap tenaga kerja, (2) Proses inert, karena tidak menggunakan bahan kimia tambahan yang memerlukan penanganan tertentu yang mungkin dapat membahayakan para pekerja, (3) Penyaring molekular dapat dengan mudah memproses etanol yang mengandung kontaminan. Hal ini merupakan gangguan pada proses destilasi azeotropik, (4) Penyaring molekular yang didesain untuk etanol dapat juga digunakan untuk
10
dehidrasi bahan-bahan kimia lainnya, (5) Memiliki umur simpan yang lama (lebih dari 5 tahun), kerusakan hanya terjadi karena media yang kotor atau karena destruksi mekanis, dan (6) Dapat diatur sebagai sistem yang berdiri sendiri atau terintegrasi dengan sistem destilasi. Jika sepenuhnya terintegrasi dengan sistem destilasi, akan diperoleh laju penggunaan tenaga yang sangat minimum pada proses pemisahan (Anonim 2002). 2.4
Zeolit Molecular Sieve (ZMS) Zeolit merupakan senyawa kristal alumina silikat dari unsur-unsur golongan
IA dan IIA seperti natrium, kalium, magnesium, dan kalsium. Zeolit dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis (Mortimer & Taylor 2002). Zeolit alam adalah zeolit yang diperoleh dari endapan di alam, sedangkan zeolit sintetis adalah zeolit yang direkayasa dari bahan berkemurnian tinggi, mempunyai jenis kation tunggal, mempunyai ukuran pori, saluran dan rongga tertentu (Mortimer & Taylor 2002). Zeolit secara umum memiliki ukuran pori yang bervariasi tergantung pada jenis zeolit tersebut. Zeolit sintetis (lebih dikenal dengan molecular sieve) memiliki pori yang seragam tergantung pada spesifikasi dari zeolit tersebut. Zeolit telah digunakan secara luas dalam bidang industri maupun pertanian. Penggunaan zeolit dalam bidang pertanian diantaranya sebagai suplemen pakan ternak dan perbaikan (improvers) tanah, sedangkan dalam bidang industri dan lingkungan digunakan sebagai agen penukar ion, adsorpsi katalis, penjernih air dalam kolam renang dan air tercemar lainnya (Mortimer & Taylor 2002). Banyak kristal zeolit baru telah disintesis dan memenuhi beberapa fungsi penting dalam industri kimia dan minyak bumi dan juga digunakan sebagai produk seperti deterjen (Flanigen 1991). Telah diketahui lebih dari 150 tipe zeolit sintetis dan 40 mineral zeolit. Beberapa jenis zeolit berdasarkan rasio Si/Al antara lain, zeolit silika rendah dengan perbandingan Si/Al 1 – 1,5, memiliki konsentrasi kation paling tinggi, dan mempunyai sifat adsorpsi yang optimum, contoh zeolit silika rendah adalah zeolit A dan X; zeolit silika sedang, yang mempunyai perbandingan Si/Al adalah 2-5, contoh zeolit jenis ini adalah Mordernit, Erionit,
11
Klinoptilolit, zeolit Y; zeolit silika tinggi, dengan perbandingan kadar Si/Al antara 10 – 100, bahkan lebih, contohnya adalah ZSM-5 (Flanigen 1980). Pendekatan Barrer’s menyajikan bahan-bahan mikroporous kristalin memiliki ukuran pori dan rongga (channel) yang berada pada kisaran 3 - 10Å dengan presisi kristalografik 0,1 Å (Ozin & Arsenault 2005). Di dalam surat keputusan IUPAC yang ditetapkan pada suatu konvensi bahwa klasifikasi padatan-padatan yang diistilahkan dengan dimensi ukuran pori dan ruang berongga terdiri dari : mikroporous 2 nm, mesoporous 2-50 nm, dan makroporous >50 nm) (Ozin & Arsenault 2005). Jika zeolit didasarkan pada satu unit sel kristal, maka secara kimia zeolit dapat ditulis dengan rumus empiris sebagai berikut : Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].wH2O, dimana : n = valensi dari kation M w = jumlah molekul air per unit sel x, y = jumlah total tetrahedral per unit sel Biasanya y/x bernilai 1 - 5, tetapi zeolit dengan silika tinggi harga y/x dibuat hingga 10 – 100 atau bahkan lebih tinggi. Struktur zeolit adalah kompleks yaitu merupakan polimer kristal anorganik didasarkan kerangka tetrahedral yang diperluas tak terhingga dari AlO4 dan SiO4 dan dihubungkan satu dengan lainnya melalui pembagian bersama ion oksigen (Ulfah et al. 2006). Struktur satuan kerangka SiO4 ditunjukkan pada Gambar 1(Cotton & Wilkonson 1989).
Gambar 1 Susunan heksagonal satuan (unit) SiO4. Struktur kerangka ini mengandung saluran yang diisi oleh kation dan molekul air. Kation aktif bergerak dan umumnya bertindak sebagai penukar ion. Air dapat dihilangkan secara reversibel yang secara umum dengan pemberian panas. Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis
12
besar strukturnya terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang kemudian menjadi unit bangun sekunder polihedral dan membentuk polihendral dan akhirnya unit struktur zeolit (Cotton & Wilkonson 1989). Adanya kation golongan alkali dan alkali tanah yang terdapat pada zeolit disebabkan atom Si dan O dalam strukturnya tidak memiliki muatan, sedangkan atom Al mempunyai kelebihan muatan negatif, maka struktur alumina silika tersebut harus dinetralkan oleh kation (seperti : Na+, Ca2+, K+, H+ dan NH4+) (Oudejans 1984). Zeolit memiliki tiga sifat sehingga membuatnya unik dan digolongkan terpisah dengan tanah liat ataupun SiO2-Al2O3 sintetis. Pertama, zeolit bersifat sangat kristalin dengan struktur yang tertata dengan baik. Kerangka aluminosilikat membungkus rongga yang ditempati oleh ion-ion besar dan molekul-molekul air. Jalan menuju rongga dari berbagai ukuran molekul adalah melalui jaringan terbuka dengan diameter berkisar 0,3 – 1,0 nm yang terdapat dalam dimensi molekular. Bentuk dan ukuran pori menentukan molekul-molekul mana yang masuk ke dalam rongga dan mana yang tidak, sehingga zeolit disebut sebagai molecular sieve. Kedua, ion-ion di dalam rongga mudah dipertukarkan dengan sejumlah besar ion elektrovalen. Ion-ion ini memberikan gaya elektrostatik atau polarisasi yang berlawanan dengan dimensi rongga yang kecil. Ketiga, ion-ion yang masuk ke dalam rongga melalui mekanisme pertukaran ion memiliki aktivitas yang terpisah dengan aktivitas zeolit itu sendiri (Richardson 1989). Berat jenis zeolit berkisar antara 1,9 - 2,2 g/ml dan dapat menjadi lebih tinggi apabila mengandung ion Ba dan Sr, yaitu berkisar antara 2,5 - 2,8 g/ml. Bobot jenis dan warna zeolit sangat dipengaruhi oleh kandungan material yang terdapat pada zeolit itu sendiri (Hurlburt & Klein 1977 di dalam Sastiono 1993). Zeolit mempunyai sifat-sifat meliputi dehidrasi, adsorben, penyaring molekul, katalisator dan penukar ion. Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H2O) apabila dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut, akan tetapi kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan secara nyata. Di sini molekul H2O seolah-olah mempunyai posisi yang spesifik dan dapat dikeluarkan secara reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben dan penyaring molekul, dimungkinkan karena struktur zeolit yang berongga, sehingga
13
zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu, kristal zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang tinggi. Zeolit sangat baik sebagai suatu tempat penyimpanan air, memperpanjang penyediaan kelembaban (kadar air) selama masa-masa kering. Zeolit juga dapat mempercepat proses pembasahan kembali (re-wetting) dan memperbaiki penyebaran lateral air ke dalam sumber irigasi. Hasilnya dapat menyimpan air dalam jumlah yang diperlukan pada irigasi. Lebih lanjut, kapasitas absorpsi yang tinggi membuat zeolit digunakan sebagai pembawa (carrier) dari pestisidapestisida pertanian (Polat et al. 2004). Sifat kimia zeolit yang sering dimanfaatkan di bidang pertanian adalah sifat adsorbsi dan sifat pertukaran kation. Adsorbsi yang terjadi pada permukaan padatan atau cairan dapat melibatkan satu atau banyak molekul, tergantung pada permukaan dan jenis gaya yang terlibat. Pertukaran kation zeolit pada dasarnya adalah fungsi dari derajat substitusi silika oleh aluminium dalam struktur kristal zeolit. Semakin banyak jumlah aluminium menggantikan posisi silika, maka semakin banyak muatan negatif yang dihasilkan, sehingga makin tinggi kemampuan tukar kation zeolit tersebut (Mumpton 1999). Zeolit merupakan salah satu dari banyak bahan penukar kation yang mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (200 - 300 meq/100 g). Kapasitas tukar kation dari zeolit ini terutama merupakan fungsi dari tingkat penggantian atom aluminium (Al) terhadap silikon (Si) dalam struktur kerangka zeolit (Mumpton 1999). Zeolit molecular sieve bersifat kristalin, material dengan porositas tinggi, termasuk dalam kelas aluminosilikat. Kristal ini ditandai dengan sistem pori tiga dimensi dengan diameter pori-pori yang tergambar dengan tepat. Struktur kristalografik yang sesuai dibentuk melalui struktur tetrahedral (AlO4) dan (SiO4). Struktur tetrahedral tersebut merupakan kerangka dasar untuk berbagai struktur zeolit. Zeolit seperti zeolit A dan X paling umum digunakan sebagai adsorben komersial. Gambar 2 menunjukkan struktur kristal zeolit tipe A dan X (Broach 2010).
14
Zeolit A Zeolit X Gambar 2 Struktur zeolit tipe A dan X. Kehadiran alumina di dalam kerangka zeolit menyebabkan zeolit memperlihatkan muatan negatif yang diseimbangkan oleh kation-kation positif yang menghasilkan medan elektrostatik yang kuat pada permukaan internal zeolit. Kation-kation tersebut dapat dipertukarkan untuk memperoleh ukuran pori yang diharapkan atau karakteristik adsorpsi dari zeolit. Sebagai contoh, bentuk natrium dari zeolit A memiliki pori terbuka yang berukuran kira-kira 4 Å yang disebut sebagai penyaring molekular (molecular sieve) 4A. Jika ion natrium dipertukarkan dengan ion kalium yang lebih besar, pori terbuka dari zeolit berkurang sampai sekitar 3 Å (molecular sieve 3A). Pada pertukaran ion dengan kalsium, satu ion kalsium mengganti dua ion natrium yang menyebabkan pori terbuka zeolit menjadi lebih luas sampai kira-kira 5 Ångstrom (molecular sieve 5A). Pertukaran ion dengan kation-kation lain kadang-kadang digunakan untuk tujuan pemisahan zat tertentu. Gambar 3 menunjukkan proses pertukaran ion natrium dengan ion kalium pada molecular sieve 4A.
Gambar 3 Reaksi pertukaran ion Na dengan K pada molecular sieve 4A. Jadi secara umum zeolit molecular sieve memiliki sifat penyerapan yang selektif, karena ukuran pori yang seragam dari struktur zeolit dan kapasitas serapan yang tinggi untuk unsur-unsur polar pada konsentrasi rendah. Berikut adalah beberapa contoh jenis mineral zeolit penting beserta rumus kimianya (Tabel 3).
15
Tabel 3 Contoh jenis mineral zeolit dan komposisi kimianya Mineral V pori Diameter KTK Komposisi zeolit (cm3/g) pori (Å) (meq/100g) Analsim Na16(Al16Si32O96). 16H2O 0,18 2,6 4,54 Kabasit (Na2Ca)6 (Al12Si24O72). 40H2O 0,47 3,7 – 4,2 3,84 Klinoptilotit (Na3K3)(Al6Si30O72). 24H2O 0,34 3,9 – 5,4 2,16 Erionit (NaCa0,5K) (Al9Si27O72). 27H2O 0,35 3,6 – 5,2 3,12 Ferrierit (Na2Mg2)(Al6Si30O72). 18H2O 0,28 3,4 – 5.5 2,33 Heulandit (Ca4)(Al8Si28O72). 24H2O 0,39 4,0 – 7,2 2,91 Laumontit (Ca4)(Al8Si16O48). 16H2O 0,34 4,6 – 6,3 4,25 Mordenit Na8(Al8Si40O96). 24H2O 0,28 2,9 – 7,0 2,29 Filipsit (NaK)5(Al5Si11O32). 20H2O 0,31 2,8 – 4,8 3,31 Na-A Na12(Al12Si12O48). 27H2O 0,29 3,0 – 5,0 7,00 Na-X Na86(Al86Si106O384). 260H2O 0,36 10,0 6,40 Sumber : Mumpton 1999; Rouquerol et al. 1999; Suhala & Arifin 1997; Robson & Lillerud 2001; Treacy & Higgins 2007
Peningkatan kualitas zeolit alam dapat dilakukan dengan mengaktivasi zeolit alam menjadi zeolit aktif. Agar dapat dimanfaatkan zeolit harus mempunyai spesifikasi tertentu berkaitan dengan hal tersebut kualifikasi zeolit ditentukan oleh daya serap, kapasitas tukar kation (KTK) maupun daya katalis. Oleh sebab itu, untuk memperoleh zeolit dengan kemampuan tinggi diperlukan beberapa pengolahan antara lain preparasi dan aktivasi (Suhala & Arifin 1997). Preparasi bertujuan untuk memperoleh ukuran produk yang sesuai dengan tujuan penggunaan meliputi tahap peremukan (crushing), sampai penggerusan (grinding). Aktivasi zeolit bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat khusus zeolit dengan cara menghilangkan unsur-unsur pengotor dan menguapkan air yang terperangkap dalam pori kristal zeolit. Ada dua cara yang umum digunakan dalam proses aktivasi zeolit, yaitu pemanasan dalam tungku putar (rotary kiln) menggunakan hembusan udara panas yang bersuhu 200-400ºC selama 2-3 jam, dan kimia dengan menggunakan larutan NaOH atau larutan H2SO4 dan/atau HCl (Suhala & Arifin 1997). 2.5 2.5.1
Karakterisasi ZMS Fluoresensi Sinar-X dan Energy Dispersive X-Ray Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang
sekitar 100 pm yang dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron tinggi (Atkins 1999). Fluoresensi sinar-X merupakan proses berpendarnya suatu benda bila dikenai sinar-X; bahan benda itu dapat digunakan sebagai detektor sinar-X,
16
misalnya zink sulfida atau kadmium sulfida (EM 2008). Metode ini dapat mengukur komposisi dan ketebalan untuk tiap-tiap lapisan individu dari film dengan lapisan yang banyak (multiple-layer). Batas pengukuran sampel secara normal sampai konsentrasi 0,1% (Brundle et al. 1992). EDX
(Energy
Dispersive
X-ray),
merupakan
karakterisasi
material
menggunakan sinar-X yang diemisikan ketika material mengalami tumbukan dengan elektron. Sinar-X di emisikan dari transisi elektron dari lapisan kulit atom, karena itu tingkat energinya tergantung dari tingkatan energi kulit atom. Setiap elemen di dalam tabel periodik unsur memiliki susunan elektron yang unik, sehingga akan memancarkan sinar-X yang unik pula. Dengan mendeteksi tingkat energi yang dipancarkan dari sinar-X dan intensitasnya, maka dapat diketahui atom-atom penyusun material dan persentase massanya (Rakhmatullah et al. 2007). Penggambaran dan pemetaan sampel yang akan diukur dihubungkan dengan peralatan
Scanning
Electron
Microscopy
(SEM),
Electron
Probe
X-Ray
Microanalysis (EPMA), dan Scanning Transmission Electron Microscopy (STEM)
Batas pengukuran sampel secara normal sampai konsentrasi 100 – 200 ppm untuk atom dengan Z >11, 1-2% untuk atom dengan Z rendah dan terbatas pada lapisan tunggal (monolayer) (Brundle et al. 1992). 2.5.2 Difraksi Sinar-X Prinsip dari X-ray Diffractometer (XRD) adalah difraksi gelombang sinar X yang mengalami penghamburan (scattering) setelah bertumbukan dengan atom kristal. Pola difraksi yang dihasilkan merepresentasikan struktur kristal. Dari analisis pola difraksi dapat ditentukan parameter kisi, ukuran kristal, dan identifikasi fasa kristalin. Jenis material dapat ditentukan dengan membandingkan hasil XRD dengan katalog hasil difraksi berbagai macam material. Metode yang biasa dipakai adalah memplot intensitas difraksi XRD terhadap sudut difraksi 2θ. Intensitas akan meninggi pada nilai 2θ yang terjadi difraksi, intensitas yang tinggi tersebut dalam grafik terlihat membentuk puncakpuncak pada nilai 2θ tertentu. Pelebaran puncak bisa diartikan material yang benar-benar amorf, butiran yang sangat kecil dan bagus, atau material yang memiliki ukuran kristal sangat kecil melekat dengan struktur matrix yang amorf. Dari lebar puncak pada grafik XRD, ukuran kristal yang terbentuk dapat dihitung menggunakan persamaan Scherrer :
17
Lave =
kλ Bo cos θ
Lave merupakan ukuran kristal, k merupakan konstanta, Bo merupakan lebar puncak pada setengah maksimum (Full Width Half Maximum, FWHM) dan θ merupakan sudut difraksi. Persamaan Scherrer diperoleh dengan asumsi puncak kristal memiliki profil Gauss dan merupakan kristal kubus yang ukurannya kecil. Gambar 4 menunjukkan alat difraksi sinar-X (Rakhmatullah et al. 2007).
Gambar 4 Diagram alat difraksi sinar-X. Pelebaran yang terjadi pada XRD disebabkan tiga hal, yaitu efek dari instrumen, ukuran kristal yang kecil, dan regangan kisi (latttice strain). Pelebaran puncak karena efek instrumen, biasanya dapat diketahui pada saat karakterisasi yang dicampur dengan bubuk standar yang proses annealing-nya dilakukan dengan baik, sehingga ukuran butirnya sangat besar. Dengan demikian, pelebaran puncak pada bubuk standar ini dipastikan terjadi akibat efek dari instrumen. Contohnya adalah bubuk silikon dengan ukuran sekitar 10 μm. 2.5.3
Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM merupakan pencitraan material dengan menggunakan prinsip mikroskopi.
Mirip dengan mikroskop optik, namun SEM menggunakan elektron sebagai sumber pencitraan dan medan elektromagnetik sebagai lensanya. Elektron diemisikan dari katoda (elektron gun) melalui efek foto listrik dan dipercepat menuju anoda. Filamen yang digunakan biasanya adalah tungsten atau lanthanum hexaboride (LaB6). Scanning coil, akan mendefleksikan berkas elektron menjadi sekumpulan array (berkas yang lebih kecil), disebut scanning beam dan lensa obyektif (magnetik) akan memfokuskannya pada permukaan sampel. Elektron kehilangan energi pada saat tumbukan dengan atom material, akibat scattering dan absorpsi pada daerah interaksi dengan kedalaman 100 nm sampai 2 μm. Ini membuat material akan meradiasikan emisi meliputi sinar-X, elektron Auger, back-scattered electron dan secondary
18
electron. Pada SEM, sinyal yang diolah merupakan hasil deteksi dari secondary electron yang merupakan elektron yang berpindah dari permukaan sampel.
Gambar 5 Berkas elektron yang dideteksi SEM. SEM dipakai untuk mengetahui struktur mikro suatu material meliputi tekstur, morfologi, komposisi dan informasi kristalografi permukaan partikel. Morfologi yang diamati oleh SEM berupa bentuk, ukuran dan susunan partikel (Rakhmatullah et al. 2007).
2.5.4 Analisis Distribusi Pori Zeolit Penentuan luas permukaan dan ukuran pori dari zeolit berhubungan dengan sifat adsorpsi maupun desorpsi dari material zeolit yang akan digunakan pada proses penghilangan bahan-bahan tertentu yang tidak diinginkan di dalam suatu proses purifikasi. Adsorpsi adalah akumulasi dari atom-atom atau molekulmolekul pada permukaan suatu material padat. Proses adsorpsi terjadi pada permukaan zat padat yang disebut adsorben yang berfungsi sebagai penghilangan partikel-partikel tertentu yang terikat pada permukaan partikel adsorben, baik yang berinteraksi secara fisik maupun interaksi kimia. Istilah adsorpsi berbeda dengan absorpsi. Absorpsi merupakan proses pengumpulan dan penghilangan substansi tertentu dengan melewati pori suatu bahan padatan. Physisorption lebih dikenal dengan adsorpsi secara fisik yang meliputi interaksi antar molekul (gaya van der Waals) antara adsorben dengan bahan-bahan tertentu. Chemisorption atau adsorpsi secara kimiawi adalah adsorpsi yang dihasilkan dari pembentukan ikatan kimia (interaksi yang kuat) antara adsorben dan adsorbat di dalam suatu monolayer pada permukaan (IUPAC 1997).
19
2.6
Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit Alam dan Zeolit A Sintetis Penggunaan zeolit meningkat tiap tahunnya sebesar 1,6 juta ton/tahun.
Jumlah sebesar 1,1 ton merupakan zeolit A yang merupakan hasil sintesis di laboratorium (Pfeninger 1999). Zeolit sintetis (Zeolit A) digunakan sebagai deterjen “builders” dalam industri deterjen yang mencapai 40% berat deterjen (Mortimer & Taylor 2002; Pfeninger 1999), untuk melembutkan air sadah (hard water) terutama dalam menghilangkan ion kalsium yang ada di dalam air (Mortimer & Taylor 2002). Sementara itu, zeolit A juga berperan besar dalam bidang adsorpsi dan dehidrasi terutama menghilangkan kelembaban dan substansi asing dari campuran gas atau cairan (Pfeninger 1999). Penggunaan zeolit A secara lebih luas dalam bidang adsorpsi, diantaranya adalah pada proses pembuatan etanol anhidrat dengan memisahkan campuran azeotrop etanol-air (95,57 % berat etanol) (Taherzadeh & Karimi 2008) menggunakan zeolit sebagai adsorben. Zeolit A yang dapat digunakan pada proses dehidrasi atau pengeringan etanol adalah zeolit 3A, 4A dan 5A (Al-Asheh et al. 2004). Proses sintesis zeolit A di laboratorium masih mengacu pada metode yang digunakan oleh Richard Barrer melalui metode hidrotermal pada kisaran temperatur antara 100 – 250oC dengan nilai pH yang tinggi (Mortimer & Taylor 2002). Sebagian besar peneliti melakukan sintesis zeolit A pada temperatur di bawah 100oC seperti yang dilakukan oleh Leonard (1981), Sun (1983), Vaughan (1985), Kuznicki et al. (2002), dan Diaz et al. (2010). Zeolit tipe A diperoleh melalui sintesis menggunakan sumber silika dan alumina maupun menggunakan zeolit alam jenis klinoptilolit (Leonard 1981; Sun 1983) dengan penambahan sumber alumina dan larutan NaOH sebagai promotor dengan kadar 10 – 20 %. Sumber silika yang digunakan antara lain silika gel, asam silikat (silicic acid), aqueous colloidal silika sols, dan Na/K-silikat, sedangkan sumber aluminanya berupa Al2O3.3H2O, kaolin, halloisit, metakaolin, aluminium sulfat, dan yang sejenis. Natrium atau kalium aluminat yang dibuat dengan melarutkan Al2O3.3H2O dalam larutan KOH atau NaOH pada 60 – 100oC menjadi pilihan utama (Vaughan 1985). Proses sintesis zeolit 3A dapat dilakukan melalui pertukaran ion terhadap zeolit A (zeolit 4A) ataupun sintesis langsung tanpa tahap pertukaran ion dengan perbandingan kompisisi Na dan K yang sesuai
20
(Vaughan 1985). Proses dilakukan secara hidrotermal dengan kondisi proses diatur pada rentang temperatur 80 – 100oC dan lamanya proses berkisar antara 4 jam sampai dengan 6 hari (Diaz et al. 2010; Kuznicki et al. 2002; Vaughan 1985). Zeolit A yang dihasilkan dari proses di atas memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk digunakan pada proses separasi (pemisahan) campuran etanol-air (Diaz et al. 2010). Beberapa metode yang digunakan dalam mensintesis zeolit A dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Metode sintesis zeolit A sebagai molecular sieve Bahan baku Kondisi proses Klinoptilolit alam, Hidrotermal 1 (satu) tahap, sodium aluminat (1) kondisi optimum (95oC, 4 jam; 15% berat NaOH) Klinoptilolit alam, Hidrotermal 2 (dua) tahap, sodium aluminat (2) kondisi optimum (95oC, 1 jam; 20% berat NaOH) Na-silikat dan KHidrotermal, suhu awal 10 – silikat (3) 40oC, proses pemanasan pada 80 – 100oC, sintesis Z3A secara langsung tanpa pertukaran ion Zeolit (Y, L, ferrierit, Perlakuan asam dan kalsinasi, mordenit) (4) Hidrotermal 80oC, 16 jam (pH slurry 10,5 – 12). Gismondin Al tinggi, Hidrotermal dengan kondisi gel aluminosilikat lingkungan mengandung silika kering atau bubuk tinggi, pH di atas 12, range suhu gibbsit, kaolin, 90 – 100oC, pemanasan awal larutan silika pekat (5) dengan basa pada 50-85oC minimal 30 menit sodium aluminat dan Hidrotermal, 100oC dengan sodium silikat (6) interval waktu 1 – 6 jam, waktu pengeringan 12 jam pada 70oC. Aktivasi pada 300oC. Keterangan :
(1)
Zeolit A dengan formula : Na12(AlO2)12(SiO2)12.27H2O Zeolit A dengan formula : Na12(AlO2)12(SiO2)12.27H2O Zeolit 3A yang dapat digunakan langsung sebagai bahan pengering Terjadi peningkatan kandungan Al dalam kerangka zeolit Zeolit dengan kadar alumina tinggi
Zeolit A yang sesuai untuk proses separasi campuran etanol-air
Leonard (1981); (2)Sun (1983); (3)Vaughan (1985); Kuznicki et al. (2002); (6)Diaz et al. (2010)
(5)
Hasil
(4)
Narayana & Murray (1992);
Proses dehidrasi bioetanol dapat dilakukan menggunakan zeolit molecular sieve melalui metode adsorpsi (Tabel 5). Sistem adsorpsi yang digunakan meliputi batch adsorption (Carmo & Gubulin 1997; Ivanova et al. 2009), kolom perkolasi (Igbokwe et al. 2008), membran pervaporasi (Ling et al. 2008; Zhan et al. 2009), Pressure Swing Adsorption (Pruksathorn & Vitidsant 2009), maupun Vacuum Swing Adsorption (Wahyudi 2010). Waktu berlangsungnya proses atau waktu kontak antara zeolit dengan bioetanol berkisar antara 30 menit sampai 7 hari. Terdapat beberapa tipe zeolit yang digunakan pada proses adsorpsi, diantaranya
21
zeolit alam jenis klinoptilolit (Ivanova et al. 2009), ZSM-5 (Zhan et al. 2009), zeolit sintetis 3A (Carmo & Gubulin 1997) maupun zeolit alam hasil modifikasi (misal sampel zeolit dari PT. BPE) (Wahyudi 2010). Bentuk zeolit yang digunakan dapat berupa bubuk (powder), pelet (silinder), atau pun butiran (bulat). Secara rinci, kondisi proses dehidrasi dari beberapa literatur yang telah disebutkan di atas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Proses dehidrasi etanol menggunakan zeolit molecular sieve Jenis zeolit Zeolit sintetis 3A (bentuk bulat dan silinder)(1)
Zeolit sintetis 3A, 4A, dan 5A(2) Zeolit pelet (dari kaolin) dan kaolin(3) zeolite-clay powder(4)
ZSM-5, PDMS(5)
Klinoptilolit alam(6) Zeolit 3A dan ZAM PT. BPE(7) Zeolit A (Z4A)(8) (1)
Kondisi proses
Hasil
Uji kinetis, sistem batch, rasio massa zeolit : EtOH = 1 : 3, Proses adsorpsi 4 taraf (25, 40, 50, dan 60oC), pengadukan selama ± 7 hari, aktivasi zeolit pada 300oC, 24 jam, penyimpanan dalam desikator vakum
Kapasitas adsorpsi air sama (bulat dan silider), T >>>, maka kapasitas adsorpsi air <<<, laju difusivitas >>>, diameter partikel zeolit >>, kapasitas adsorpsi air <<<, tetapi laju difusi tetap (konstan) Persentase air dalam larutan 5%-12% Zeolit 3A memiliki berat, fixed bed adsorber kemampuan tertinggi dalam mengadsorpsi air Kolom perkolasi, aktivasi zeolit Kapasitas adsorpsi air dari sebelum digunakan pada 500oC kaolin lebih efektif jika dibandingkan dengan kaolin kasar PVA Membran Pervaporasi, Membran relatif hidrofil dan konsentrasi etanol (10, 30, 50, 70, sesuai untuk separasi 90% berat), temperatur proses (30, campuran etanol-air, Kadar 40, 50, 60, dan 70oC) dan T pengumpanan >>>, selektivitas >>> tetapi kapasitas adsorpsi air <<< Membran Pervaporasi, proses Performa pervaporasi yang pervaporasi pada 40oC – 80oC sangat bagus pada konsentrasi dengan tekanan 100 Pa, kadar etanol etanol rendah. Faktor 5 – 90%. pemisahan turun drastis dengan meningkatnya kadar etanol. Adsorpsi skala lab, waktu kontak 24 Memungkinkan untuk jam, rasio zeolit/EtOH = (± 1 : 3), pengeringan etanol dari aktivasi termal 2 jam pada 200oC campuran larutan dengan air Vacuum Swing Adsorption, tekanan Kadar EtOH >>>, kapasitas minimal 20 cmHg, rasio adsorpsi air Z3A sintetis relatif zeolit/bioetanol = 5 kg/ 5l tinggi, tetapi tingkat selektifitas (mendekati 1 : 1), suhu kolom 80oC terhadap senyawa pengotor lebih rendah Proses dehidrasi pada suhu 30oC Terjadi peningkatan kadar Etanol yang digunakan 80, 85, dan etanol 90% berat
Carmo & Gubulin (1997); (2)Al-Asheh et al. (2004); (3)Igbokwe et al (2008); (4)Ling et al. (2008); (5)Zhan et al. (2009); (6)Ivanova et al. (2009); (7)Wahyudi (2010); (8)Diaz et al. (2010)