2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi By-catch diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti hasil tangkap
sampingan (HTS).
Beberapa orang peneliti dan penulis di dalam tulisannya
menggunakan definisi yang berbeda-beda terhadap by-catch. Dalam tesis ini penulis menggunakan definisi by-catch, discards dan insidental catch mengacu pada FAO Fisheries Technical Paper 339, (1996) dan untuk lebih memperjelas, penulis juga mengutip dari Marine Fisheries By-catch and Discards, Published by Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002) berikut:
(1)
Dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), didefinisikan: 1) Target Catch adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau sejumlah spesies yang merupakan sasaran tangkapan utama kegiatan penangkapan ikan. 2) Incidental Catch adalah tangkapan sampingan yang dimanfaatkan 3) Discarded Catch adalah tangkapan sampingan yang dikembalikan ke laut karena pertimbangan ekonomi, peraturan, atau pertimbangan pribadi. 4) By-catch, adalah discarded catch ditambah incidental catch.
(2)
Dalam Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002), didefinisikan: 1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut.
Hasil
tangkapan sampingan yang terangkat ke atas kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded).
Hasil tangkapan sampingan
dapat terdiri
dari satu jenis atau beberapa jenis spesies yang berukuran kecil atau yang berukuran besar tapi bukan merupakan target tangkapan, maupun binatang atau organisme lainnya seperti burung laut, kura-kura, mamalia laut dan lain-lain. 2) Discards, adalah bagian dari hasil tangkapan yang tidak diinginkan karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang (disebut “Buangan”) kembali ke laut baik dalam keadaan hidup atau
7
mati. Buangan ini tidak termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum dimasukkan ke dalam kamar pendingin. 2.2
Dampak Negatif Hasil Tangkapan Sampingan Alverson et al. (1994) menjelaskan, hampir semua kegiatan perikanan
tangkap menghasilkan tangkapan sampingan.
Beberapa jenis alat tangkap
khususnya pukat udang (shrimp trawl), memberikan kontribusi hasil tangkapan sampingan
yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Kondisi ini
dikarenakan shrimp trawl menggunakan mata jaring di bagian kantong (cod-end) yang relatif kecil sehingga banyak jenis-jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan-ikan juvenil. Organisme-organisme lainnya dan ikanikan juvenil tersebut tidak termasuk kedalam tujuan penangkapan utama (nontargeted species). Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002), memberikan penjelasan, untuk mengantisipasi permasalahan hasil tangkapan sampingan
dan
buangan,
beberapa
negara
telah
menerapkan
aturan
penggunaan ukuran mata jaring (mesh size) yang lebih besar, dan berbagai jenis alat pemisah atau penyaring hasil tangkapan sampingan yang dipasang dibagian kantong jaring trawl. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi hasil tangkapan sampingan sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kode tindak perikanan bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries), butir 8.4 dan 8.5, yaitu meminimalkan buangan (discards) dan memaksimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Dijelaskan di dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), pengaruh atau dampak negatif hasil tangkapan sampingan dan buangan bukan hanya terhadap komunitas dan habitat benthic serta dampak biologi dan ekologi, tetapi juga
dampak
ekonomi
yang
pada
gilirannya
dapat
mengimbas
pada
permasalahan sosial. Dampak negatif dari hasil tangkapan sampingan adalah sebagai berikut : (1)
Dampak Terhadap Komunitas dan Habitat Benthic.
Hasil tangkapan
sampingan dan buangan dapat mendorong perubahan struktur komunitas dasar laut (benthic).
Terlepas apakah perubahan habitat tersebut
disebabkan oleh alat tangkap pukat udang dasar (bottom shrimp trawl net), hasil tangkapan sampingan dan buangan mendorong terjadinya kematian.
8
Ketika spesies benthic yang bukan target tangkapan terangkat ke atas permukaan lalu dibuang kembali, sering sekali buangan tersebut dimakan oleh spesies predator yang ada di kolom dan dasar laut. Akibatnya struktur komunitas benthic menjadi berubah, komposisi struktur komunitas tersebut lebih banyak diisi oleh spesies predator, dan pemakan bangkai juga akan berdatangan. (2)
Dampak Terhadap Biologi dan Ekologi.
Hasil tangkapan sampingan
dan buangan juga memberikan kontribusi terhadap kondisi over fishing dan ketidak seimbangan ekosistem laut. Pengaruh biologi dan ekologi yang disebabkan oleh buangan bervariasi pada masing-masing spesies dan sangat tergantung terhadap jumlah hasil tangkapan sampingan, tingkat buangan yang mati dan yang hidup serta sifat-sifat populasi spesies tersebut. (3)
Dampak Terhadap Ekonomi. Hasil tangkapan sampingan dan buangan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi.
Ikan-ikan yang dibuang
oleh kapal pukat udang adalah bukan merupakan target utama, tetapi ikan buangan tersebut adalah ikan bernilai ekonomis bagi nelayan lainnya, akibatnya mengurangi dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi nelayan lain untuk memanfaatkan ikan yang bagi mereka bernilai ekonomis.
Bagi pengusaha pukat udang sesungguhnya juga terjadi
tambahan biaya dan waktu untuk penyortiran.
Disamping itu kerugian
ekonomi juga ditanggung oleh pemerintah karena harus mengeluarkan sejumlah dana untuk pengelolaan termasuk pengawasan hasil tangkapan sampingan dan buangan. 2.3
Alat Tangkap Pukat Udang Jaring trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk
seperti kantong atau kerucut.
Alat tangkap ini terdiri atas dua lembar sayap
(wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (cod-end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan. Hal ini dilakukan agar ikan maupun udang yang menjadi tujuan penangkapan dapat tertangkap kemudian terkumpul di dalam kantong (Ayodhyoa, 1981). Untuk membuka mulut jaring secara vertikal maupun secara horisontal digunakan otter board dan pelampung dibagian atas mulut jaring.
Otter trawl diperkenalkan sejak tahun 1870 di Irlandia, nelayan
9
Inggris telah memakai alat tangkap ini di perairan Sungai Themmes (Nomura dan Yamazaki, 1977). Diniah (2001) menjelaskan, alat penangkap udang yang paling efektif saat ini masih diakui adalah trawl. Trawl dasar menurut Nedelec and Prado (1990) didefinisikan sebagai sebuah jaring yang mempunyai bentuk kerucut (coneshaped net), terdiri dari sayap (wing) yang membentuk mulut atau bukaan (opening) melebar ke depan, badan (body) yang berbentuk kerucut di tengah dan kantong (cod-end) yang tetutup di bagian belakang, ditarik dengan kecepatan dan selama waktu tertentu di sepanjang dasar perairan. Mulut jaring terbuka melebar (horizontal) oleh papan pembuka-siwakan (otter-boards) yang diikatkan pada sayap, sedangkan mulut jaring terbuka tegak (vertical) oleh pelampung yang diikatkan pada tali pelampung (float rope) di bagian atas dan pemberat pada tali pemberat (ground rope) di bagian bawah. Karena konstruksi dan cara penangkapannya, trawl merupakan alat tangkap yang tidak selektif, dimana saat jaring dioperasikan akan menelan semua benda yang dilewatinya. Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan Barus (1988) didefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device (BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan masuk ke dalam kantong.
Sumber: Sainsburry (1986)
Gambar 1. Bagian bagian pukat udang
10
Pukat udang pada prinsipnya terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali penarik (warp), bridle line dan BED (lihat Gambar 1). (1)
Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting dan belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari masing-masing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada kantong dan terbesar pada bagian sayap.
Badan Jaring adalah
bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baiting dan belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baiting adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bawah sedangkan baitting di atas. 1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri.
Masing-
masing bagian tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian atas dan bawah tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah.
Pada tali ris atas dipasang pelampung (float) agar sayap
bagian atas terangkat pada saat jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan belly. 2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan.
Kantong ini memiliki ukuran
mata jaring kecil dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan tidak terlepas kembali dan juga agar lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak. (2)
Tali ris atas (head rope) dan ris bawah (ground rope), yang dimaksud dengan tali ris atas adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri sampai ujung sayap kanan, dengan melalui bossom sebagai bagian yang terletak di antara kedua sayap tersebut. Pada ris atas ditempatkan pelampung yang daya apungnya lebih besar dari pada bagian yang lain. Tali ris bawah adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri hingga ujung sayap kanan. Tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas sehingga pada waktu jaring dioperasikan tetap tali ris bawah agak ke belakang. Pada tali ris bawah ditempatkan pemberat (sinker).
11
(3)
Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat ini adalah untuk membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal.
Pelampung
menarik atau mengangkat tali ris atas sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus. (4)
Otter board, otter board berfungsi untuk membuka mulut jaring secara horizontal.
Bentuk otter board bermacam-macam dan banyak yang
digunakan adalah tipe rectanguler. (5)
Tali penarik (warp), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali penarik ini biasanya terbuat dari serat-serat baja yang berbentuk cabled yarn.
Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan
tegangan yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus. (6)
Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring. Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang.
(7)
AIat pereduksi ikan, alat pereduksi ikan (API) merupakan alat yang wajib dipasang pada pukat udang. API biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehinga disebut turtel excluder devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh NMFS-NOOA-USA sekitar tahun 1980-an. Sejak ditemukannya, alat ini telah mengalami perubahan konstruksi secara terus menerus, hingga saat ini yang direkomendasikan adalah BED type super shooter yang mempunyai konstruksi lebih simpel dan mempunyai performansi lebih baik didalam
mereduksi
hasil
tangkapan
sampingan
dibanding
yang
diperkenalkan sebelumnya. Gambar 2. (a) menyajikan gambar TED dan (b) BED yang saat ini banyak di pasang pada jaring pukat udang.
12
(a)
(b)
Sumber: NOAA Library Centre (2004).
Gambar 2. (a) Turtle excluder device, (b) By-catch excluder device
.
(b)
(a)
(c)
Sumber: NOAA Library Centre (2004)
Gambar 3. Pukat udang sedang hauling, hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan dan proses pemisahan 2.4
Pengelolaan Sumberdaya Ikan Nikijuluw (2002) mengemukakan bahwa, sumberdaya perikanan harus
dikelola atau ditata karena sumberdaya itu sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia.
Apapun cara atau pendekatan yang dilakukan manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya jika pemanfaatan itu dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya akan mengalami tekanan secara ekologi, bahkan dapat
13
menyebabkan kerusakan permanen.
Oleh sebab itu pengelolaan atau dalam
terminologi yang lebih umum disebut dengan manajemen sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan perikanan dapat tercapai. Dilanjutkan oleh Nikijuluw (2002), setiap negara menetapkan tujuan dan prioritas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung pada latar belakang ekonomi, sosial budaya, teknologi dan tidak jarang karena politik. Indonesia menempatkan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam visi “Mewujudkan usaha perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab”. Code
of
Conduct
merekomendasikan
agar
for
Responsible
pendekatan
Fisheries
pengelolaan
(CCRF)
sumberdaya
article
7,
perikanan
diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut: (1)
kelebihan kapasitas penangkapan ikan,
(2)
ketidak-seimbangan
antara
kepentingan
berbagai
pihak
dalam
memanfaatkan sumberdaya, (3)
kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan turunnya keanekaragaman hayati, serta
(4)
kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai biologinya. CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara didukung hukum dan undang-undang yang secara baik didesiminasikan kepada masyarakat.
2.5 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang Slavin (1981) menjelaskan, pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan perikanan tangkap setempat serta kemampuan industri pengolahan ikan dalam menciptakan dan mengembangkan produk perikanan yang sesuai dengan permintaan pasar. Menurut Alverson et al. (1994), jumlah hasil tangkapan sampingan dan perbandingan hasil tangkapan sampingan dengan target utama udang sangat tergantung pada geografi, wilayah penangkapan dan musim, untuk lebih memudahkan perhitungan digunakan perbandingan antara hasil tangkapan
14
sampingan dan target utama udang di daerah sub-tropis adalah 5 : 1 dan di daerah tropis adalah 10 : 1, yang terdiri dari bermacam-macam spesies maupun ukuran. Ikan-ikan besar pada umumnya banyak diminati dan harganya relatif tinggi, sedangkan ikan-ikan kecil, berduri kurang banyak diminati dan bernilai ekonomi rendah. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola ikan hasil tangkapan sampingan secara efisien dan ekonomis agar tidak terbuang siasia. Slavin (1981) dalam Report of a Technical Consultation on Shrimp Bycatch Utilization di Georgetown, Guyana, tahun 1981, menjelaskan pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Meksiko.
Di Meksiko, kapal pukat udang
dilengkapi dengan fasilitas untuk pengawetan seperti fasilitas pembekuan yang mampu menjaga kondisi kesegaran ikan sampai 2 bulan, dan ada yang hanya menggunakan es ataupun refrigerator yang mampu menahan kesegaran ikan sampai 2 minggu. Perbandingan antara hasil tangkapan sampingan dan udang di Meksiko adalah 5 – 10 ton hasil tangkapan sampingan untuk setiap ton udang, dan setiap tahun sebanyak 700x103 ton ikan hasil tangkapan sampingan dihasilkan dari pengoperasian pukat udang. Jumlah ini setara dengan setengah dari seluruh produksi perikanan tangkap Meksiko. Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan memiliki program untuk menganjurkan dan mendorong agar ikan hasil tangkapan sampingan dibawa ke darat dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan.
Pada tahun 1980, telah diawali dengan membangun suatu fasilitas
pengolahan skala proyek percontohan (pilot project) dengan nama Productos Pesqueros Mexicanos (PPM) di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang disebut dengan Pepepez. Spesies ikan-ikan besar dari ikan hasil tangkapan sampingan disalurkan ke pabrik pengolahan PPM yang berada di pelabuhan pendaratan utama, di wilayah Guaymas dan Campeche.
Sementara itu ikan-ikan kecil belum dimanfaatkan
seluruhnya dan sebagian dibuang ke laut (discarded).
Ikan-ikan yang
dimanfaatkan ditangani dengan berbagai cara, ada yang dibekukan langsung di atas kapal, ada yang dipaket dengan es, selanjutnya dibawa dan didaratkan bersama udang (tangkapan utama), dan ada yang didaratkan sebagai ikan segar untuk pangan.
15
Dikutip dari Productos Pesqueros Mexicanos (1981), pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Meksiko sudah menjadi industri. Jenis produkpun terus dikembangkan, selain memproduksi pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi ikan tanpa tulang (deboned fish), ikan kering dan daging ikan lumat asin (salted mince). Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan dan snack ikan. Pemerintah Meksiko terus membantu dan mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan ABK kapal pukat udang. Saisithi (1981) menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu sejak dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (ZEE), berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada perikanan Thailand di perairan negara tetangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat
memenuhi
permintaan
pasar
industri
pengolahan
ikan,
Thailand
meningkatkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia. Kungsuwan (1996) mengemukakan bahwa, di Gulf of Thailand hasil tangkapan pukat udang dikumpulkan oleh kapal pengumpul di laut. Pengusaha penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul. Disamping mengumpulkan hasil tangkapan, kapal pengumpul juga membawa perbekalan dan es untuk diserahkan kepada kapalkapal pukat udang yang berada di laut lebih lama.
Hasil tangkapan utama
udang dipindahkan ke kapal pengumpul, bila masih tersedia ruang maka ikan hasil tangkapan sampingan juga dipindahkan dan dibawa ke darat untuk dipasarkan. Bostock dan Ryder (1995) menjelaskan kondisi perikanan pukat udang di pantai timur India.
Sejumlah kapal pukat udang dengan berbagai ukuran
beroperasi di wilayah penangkapan yang berbeda-beda di Teluk Benggala, itu berarti untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan diperlukan fasilitas preservasi di atas kapal.
Ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang besar dan
berkualitas dikumpulkan dan dibekukan bersama-sama tangkapan utama, sementara hasil tangkapan sampingan yang terdiri dari bermacam-macam ikan kecil umumnya dibuang ke laut, hanya diakhir waktu melaut sebagian ikan-ikan kecil dipilih dan didaratkan. Kapal pukat udang di India mayoritas dimiliki oleh badan usaha milik pemerintah. Pemasaran dan penjualan ikan hasil tangkapan
16
sampingan dilakukan bekerjasama dengan koperasi-koperasi dan koperasilah yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapan sampingan ke pasaran. Allsopp (1981) menerangkan, penanganan dan preservasi di atas kapal merupakan hal yang paling kritis diantara permasalahan penanganan ikan hasil tangkapan sampingan. Volume ikan hasil tangkapan sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan
ikan
menguntungkan.
hasil
tangkapan
sampingan
di
laut
menjadi
tidak
Selama belum ditemukan jalan keluar bagi permasalahan
keekonomisan dan efesiensi operasional pukat udang maka ikan hasil tangkapan sampingan tetap tidak menarik untuk dikelola secara komersial. Allsopp
(1981)
melanjutkan,
penelitian
tentang
pengelolaan
hasil
tangkapan sampingan secara ekonomis terus dilaksanakan, menggunakan BED untuk mengurangi jumlah hasil tangkapan sampingan yang dinaikkan ke atas kapal maupun membawa ikan hasil tangkapan sampingan ke darat dan memanfaatkannya.
Bila pilihan adalah tidak mengurangi hasil tangkapan
sampingan (tidak menggunakan BED), maka penyortiran hasil tangkapan sampingan dilakukan diatas kapal, selanjutnya mengolah ikan-ikan berkualitas di atas kapal atau didaratkan meggunakan kapal pengumpul ataupun didaratkan bersama-sama tangkapan utama udang. Dalam Report of Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization , Guyana (Allsopp, 1981), Allsopp menjelaskan tentang beberapa negara yang mengoperasikan pukat udang dan mengelola hasil tangkapan sampingan secara komersial sebagai berikut: Penangkapan udang di North Sea, pemisahan hasil tangkapan sampingan dilakukan di atas kapal menggunakan alat rotating shieve drum, ikan-ikan dipisahkan berdasarkan bentuk dan ukurannya. Dengan alat ini sangat memudahkan ABK dalam penyortiran dan penyimpanan.
Di Baja California
Mexico, penyortiran dilakukan oleh ABK, ruang palka dan ruang pendingin disediakan cukup luas. Cara ini tentunya memerlukan jumlah ABK lebih banyak dan biaya operasi lebih besar, tetapi paling tidak ikan hasil tangkapan sampingan yang didaratkan lebih banyak. Di Suriname dan Mozambique, hasil tangkapan sampingan dibuang ke laut, hanya pada hari-hari terakhir kegiatan penangkapan hasil tangkapan sampingan disortir dan ikan ikan bernilai ekonomis dibawa ke darat. Di Sri Langka dan Malaysia pada umumnya waktu melaut lebih singkat. Hasil tangkapan sampingan ditampung di dalam kantong-kantong jaring yang
17
terbuat dari bahan nylon.
Kantong-kantong yang berisi ikan hasil tangkapan
sampingan dikaitkan dikapal selanjutnya dibawa ke darat dan penyortiran dilakukan di darat yang selanjutnya dipasarkan di pasar tradisional ataupun untuk industri. Menurut Allsopp (1981), sesungguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut, karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda-beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh di atas diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut.
2.6
Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan
ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral kegiatan ekonomi.
Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial. Menurut Allsopp (1981) hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha kapal dan pengusaha pengolahan.
Untuk dapat
mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan secara ekonomis, pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerja-sama dalam mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkapan sampingan menjadi produk yang laku dipasar dengan harga kompetitif, disamping itu untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku, maka harga ikan hasil tangkapan sampingan harus menarik bagi pengusaha dan ABK kapal pukat udang. Tentunya tidak mudah mencapai kondisi tersebut, karena di satu sisi harga produk olahan harus “murah” (competitive) di sisi lainnya harga ikan hasil tangkapan sampingan harus “mahal” (attractive), oleh sebab itu kepedulian dan intervensi pemerintah terhadap pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat diperlukan seperti membuat peraturan dan pemberian subsidi atau kemudahankemudahan yang diperlukan.
18
Lanjut Allsopp (1981), oleh sebab itu mengelola ikan dari hasil tangkapan sampingan perlu dilakukan secara bertahap melalui proyek percontohan (pilot project). Penanganan dan preservasi di atas kapal, transportasi dari kapal ke darat, pengolahan dan preservasi di darat, studi pasar dan promosi serta pengembangan produk-produk komersial dilakukan dalam skala percontohan. Setelah sukses dengan skala percontohan, selanjutnya dapat dikembangkan menjadi skala industri.
2.7
Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu alat analisis dalam
pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel. Metode ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku atau pengambil keputusan. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dua puluh tahun yang lalu, terutama sekali membantu mengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. Saaty menjelaskan (1993), AHP banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber daya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi atau keadaan yang dimiliki pelaku dalam situasi konflik. Desain AHP pada dasarnya untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang disusun untuk sampai kepada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Dengan demikian dapat dianggap sebagai model multi objektif dan multi kriteria. Untuk menggunakan alat analisis ini, suatu masalah yang rumit dan tak berstruktur perlu terlebih dahulu dipecah ke dalam berbagai komponennya. Setelah menyusun komponen-komponen ini ke dalam sebuah urutan hierarki, maka diberikan nilai dalam bentuk angka pada setiap bagian yang menunjukkan penilaian terhadap relatif pentingnya setiap bagian itu. Untuk sampai kepada hasil akhir, penilaian tersebut disintesiskan (melalui penggunaan eigen vektor) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi. Dalam penyelesaian persoalan dengan menggunakan AHP menurut Saaty (1993) terdapat tiga prinsip dasar yaitu : (1) prinsip penyusunan hierarki, (2) prinsip penentuan prioritas, dan (3) prinsip konsistensi logis.
19
Selanjutnya Mulyono (1996) menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan persoalan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah : (1)
Decomposition (dekomposisi), merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin diuraikan lagi. Akhirnya akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun terstruktur sebagai suatu hierarki.
(2)
Comparative
judgement
(perbandingan
berpasangan),
melakukan
perbandingan kepentingan relatif antar dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat di atasnya. (3)
Synthesis of priority (sintesa dan prioritas), merupakan langkah untuk mencari vector eigen pada setiap matrik berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas lokal. Berdasarkan nilai prioritas lokal dari berbagai matrik perbandingan berpasangan itu akan dapat diperoleh nilai prioritas global. Dengan demikian prosedur menentukan sintesis berbeda menurut hierarki.
(4)
Logical consistency (konsistensi), mengandung dua arti, yaitu : pertama konsistensi yang menyangkut pengelompokan obyek-obyek berdasarkan keseragaman dan relevansinya. Kedua, menyangkut hubungan antar obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Jika penilaian tidak konsisten maka proses harus diulang untuk memperoleh nilai yang tepat. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty (Saaty, 1993) mulai dari bobot
1 (satu) sampai 9 (sembilan). Nilai bobot satu menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya satu, sedangkan nilai bobot
sembilan
menggambarkan
kasus
atribut
yang
penting
absolut
dibandingkan lainnya. Tabel 1 dibawah ini menyajikan skala banding secara berpasangan. Tabel 1. Skala banding secara berpasangan (Saaty, 1993) Intensitas Pentingnya
Definisi
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu
3
Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting ketimbang yang lainnya sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya
5
Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat dari elemen yang lainnya disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktik
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
20
Intensitas Pentingnya
Definisi
9
Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya
2, 4, 6, 8 Kebalikan
Penjelasan
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan ter tinggi yang mungkin menguat Nilai-nilai antara di antara dua Kompromi diperlukan antara dua pertimbanagan yang berdekatan pertimbangan Jika untuk aktivitas i mendapat angka 1 bila dibanding aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Menurut Saaty (1993) beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah : (1)
AHP memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan yang tak terstruktur.
(2)
AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
(3)
AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
(4)
AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
(5)
AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.
(6)
AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
(7)
AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.
(8)
AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
(9)
AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
(10) AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
21
2.8
Analisis SWOT Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threat) adalah
identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta kesempatan dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapkan suatu sektor (Rangkuti, 2000). Analisis SWOT digunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif yang paling tepat dilaksanakan pada pelaksanaan suatu kebijakan seperti kebijakan dalam pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength)
dan
peluang
(opportunity)
namun
secara
bersamaan
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat).
dapat
Berdasarkan
pengaruhnya terhadap pencapaian suatu tujuan, strength dan opportunity merupakan faktor pendorong (positif) sedangkan weakness dan threat adalah faktor penghambat (negatif). Analisis SWOT diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan dan kelemahan internal sistem, serta faktor-faktor peluang dan ancaman eksternal sistem. Selanjutnya faktor-faktor tersebut dikombinasikan dalam sebuah matriks SWOT.
Analisis matrik akan menghasilkan prioritas strategi berdasarkan
kekuatan, kelamahan, peluang dan ancaman yang ada. Tabel 2. Matriks SWOT Internal
Strength (kekuatan)
Weakness (kelemahan)
Opportunity (kesempatan)
Strategi SO
Strategi WO
Threat (ancaman)
Strategi ST
Strategi WT
Eksternal
Sumber: Rangkuti (2000)
Matriks SWOT dapat menghasilkan 4 kemungkinan strategi, yaitu: 1. Strategi SO (Strength- Opportunity) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada. 2. Strategi ST (Strength-Threat) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi. 3. Strategi WO (Weakness-Opportunity) yaitu berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada dengan mengatasi kelemahan yang ada 4. Strategi WT (Weakness-Threat) yaitu berusaha meminimumkan kelamahan dan menghindari ancaman yang ada