BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menghadapi kompetisi yang semakin ketat, rumah sakit dituntut untuk melakukan efisiensi di segala bidang, termasuk pembelian barang. Efisiensi harus dilakukan karena alokasi pembelian barang yang mengalami peningkatan setiap tahun dan pengaruh potensial dari pembelian terhadap kinerja keuangan rumah sakit. Freedonia (2010) melaporkan adanya peningkatan kebutuhan bahan medis habis pakai secara global yaitu rata-rata 5,6% setiap tahun. Efisiensi dalam proses pembelian juga memberikan efek langsung pada Return Of Investment (ROI). Dibandingkan dengan fungsi bisnis yang lain, pembelian memberikan kontribusi yang besar untuk meraih keunggulan dalam kompetisi (Kaufmann, 2002). Efisiensi dapat diartikan sebagai kondisi dimana pencapaian tujuan secara optimal yang dilakukan dengan upaya dan biaya seminimal mungkin (Weele, 1984). Efisiensi dapat dilakukan antara lain dengan mempersingkat waktu pembelian, mengoptimalkan penggunaan personil dan menerapkan otomatisasi sistem serta mengurangi biaya operasional. Dalam aktifitas pembelian barang perlu pengurangan aktifitas yang tidak perlu, karena hanya akan meningkatkan biaya operasional. Efisiensi dapat dimaksimalkan dengan pembelian barang langsung melalui distributor atau pabrikan (Hida, 2012). Dahulu pembelian hanya dipandang secara tradisional dengan ungkapan klasik “everyone can do purchasing”, padahal proses pembelian tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Profesi pembelian juga harus mengenali pasar, kompetisi, harga, produk, supplier, teknologi dan kontribusi pembelian terhadap tujuan organisasi. Kompleksitas proses pembelian mengharuskan pengelolaan secara lebih profesional (Kaufmann, 2002). Perhatian terhadap pembelian sampai saat ini lebih sedikit dibanding pemasaran. Beberapa alasannya diungkapkan oleh Adamson (1980) dalam Weele (1984) sebagai berikut: 1. Pemasaran memiliki masalah lebih banyak dibanding pembelian.
1
2
2. Pembelian memiliki keterisolasian dalam manajemen dan tidak banyak membutuhkan perhatian. 3. Bagian pemasaran lebih glamour dibanding bagian pembelian. 4. Personil pembelian lebih pasif, mereka tidak memiliki kontrol terhadap keputusan strategis organisasi. Selama ini proses pembelian barang di rumah sakit lebih sering dilakukan dengan cara pelelangan, namun metode tersebut memiliki beberapa kelemahan diantaranya: sering ditemukan harga yang cenderung lebih tinggi dibanding pembelian oleh pihak swasta, ketidaksesuaian barang yang dibeli dengan harga yang dibayarkan dan proses pembelian yang lama. Hal ini menjadi indikator bahwa proses pengadaan cenderung menciptakan biaya ekonomi tinggi dan menciptakan biaya-biaya yang menambah harga penawaran. Survei yang dilakukan secara terpisah dan independen diantaranya oleh World Bank, Asian Development Bank dan pemerintah Indonesia, memperkirakan kemungkinan inefisiensi pada proses pengadaan barang/jasa di Indonesia sekitar 10-50% pada tahun 2007 (Jasin, 2008). Regulasi pengadaan barang/jasa bagi rumah sakit yang telah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pasal 20 Ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 berbunyi “Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat” dan pada penjelasannya disebutkan “BLU dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan yang berlaku umum bagi pengadaan barang/jasa pemerintah bila terdapat alasan efektivitas dan atau efisiensi”(PP, 2005). Rumah sakit yang telah berstatus BLU dapat melakukan pembelian langsung sesuai kebutuhan, ataupun mengikuti peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan asal perolehan dana. Efisiensi dalam pembelian dinilai dari harga total kontrak dan total biaya operasional. Biaya operasional sebaiknya tidak melebihi 2% dari nilai kontrak (Kestenbaum & Straight, 1995; NHS, 2000). Optimalisasi jumlah, peningkatan keterampilan serta keahlian personil pembelian melalui pelatihan berkelanjutan
3
100%, disain organisasi, formalisasi aturan pembelian dan sistem informasi (Kumar et al., 2001). RSUD Bangkinang telah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) sejak bulan Januari tahun 2012. Metode pengadaan bahan medis habis pakai dilakukan dengan pembelian langsung. Alokasi dana untuk pembelian bahan medis habis pakai pada tahun 2008 adalah Rp. 653.932.100 dan mengalami peningkatan menjadi Rp. 755.266.600 pada tahun 2009. Belanja terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak Rp. 1.080.181.740 dan mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi Rp. 578.579.000. Tahun 2012 pembelian bahan medis habis pakai meningkat menjadi Rp.994.299.800 (gambar 1).
Gambar 1. Belanja bahan medis habis pakai RSUD Bangkinang tahun 2008-2012 Sumber: (RSUD Bangkinang, 2013) Biaya operasional untuk pembelian bahan medis habis pakai tahun 2008 sampai tahun 2011 menghabiskan dana Rp. 9.500.000 namun mengalami peningkatan drastis sebanyak Rp. 33.700.000 (354,74%) pada tahun 2012 sehingga menjadi Rp. 43.200.000. Peningkatan biaya operasional ini bersamaan dengan perubahan metode pengadaan barang. Pengadaan bahan medis habis pakai sebelumnya dilakukan melalui pelelangan yang diadakan 1 kali dalam 1 tahun.
4
Pengadaan bahan medis habis pakai sejak awal tahun 2012 dilakukan melalui metode pembelian langsung dengan waktu pemesanan barang 2 kali setiap bulan (gambar 2).
Gambar 2. Biaya operasional personil pembelian bahan medis habis pakai RSUD Bangkinang tahun 2008-2012 Sumber: (RSUD Bangkinang, 2012) Biaya total persediaan (inventory) pada tahun 2008 adalah Rp. 784.818.520. Pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi Rp. 906.419.920. Biaya persediaan terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak Rp. 1.296.318.088. Pada tahun 2011 biaya persediaan mengalami penurunan menjadi Rp. 694.394.800. Tahun 2012 biaya persediaan meningkat menjadi Rp. 1.194.359.760. Rerata biaya persediaan antara tahun 2008 sampai tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 20% lebih tinggi dari harga pembelian. Tahun 2008sampai tahun2011 sistem pembelian menggunakan metode pelelangan. Pada tahun 2012, setelah menggunakan sistem pembelian langsung biaya persediaan mengalami sedikit peningkatan menjadi 20,1% (gambar 3).
5
Gambar 3. Biaya persediaan bahan medis habis pakai RSUD Bangkinang tahun 2008-2012 Sumber: (RSUD Bangkinang, 2013) Sampai saat ini belum pernah diteliti sejauh mana tingkat efisiensi metode pembelian langsung yang dilaksanakan di RSUD Bangkinang. B. Perumusan Masalah Metode pembelian langsung pada prinsipnya bertujuan untuk memperoleh barang seefisien mungkin, namun dalam pelaksanaannya belum diketahui tingkat efisiensi seperti yang diharapkan. Banyak hal yang harus diketahui lebih dalam mengenai tingkat efisiensi metode pembelian langsung bahan medis habis pakai di RSUD Bangkinang. C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat efisiensi metode pembelian langsung bahan medis habis pakai di RSUD Bangkinang yang diukur melalui variabel personil, manajemen, prosedur dan peraturan serta sistem informasi.
6
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui tingkat efisiensi metode pembelian langsung bahan medis habis pakai di rumah sakit. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat kebijakan dalam meningkatkan efisiensi pada metode pembelian langsung bahan medis habis pakai di rumah sakit. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berhubungan dengan efisiensi pembelian telah dilakukan oleh Ichtiarto (2010) dengan judul penerapan metode pengadaan obat dengan pembelian secara langsung dan konsinyasi di rumah sakit swasta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan obat dengan pembelian secara langsung dan konsinyasi serta pengaruhnya terhadap efisiensi pelayanan obat dan efektifitas penggunaan obat di rumah sakit swasta . Hasil penelitian menemukan bahwa efisiensi pelayanan obat dan efektifitas penggunaan obat dengan pembelian secara langsung dan konsinyasi masih belum tercapai. Apapun metode yang pengadaan yg digunakan, baik konsinyasi maupun bukan, penggunaan obat tetap harus dikendalikan dengan berbagai perangkat manajemen penggunaan obat yang telah lazim digunakan di berbagai rumah sakit. Misalnya pedoman standar pengobatan, formularium rumah sakit dan mekanisme audit peresepan. Persamaan penelitian Ichtiarto (2010) dengan penelitian ini adalah pada tujuan penelitian. Kedua penelitian bertujuan untuk mengetahui efisiensi metode pembelian langsung. Perbedaannya adalah variabel bebas yang diteliti pada penelitian ini hanya pembelian langsung tidak termasuk konsinyasi, lokasi penelitian antara rumah sakit swasta dengan rumah sakit pemerintah dan objek yang diteliti antara obat dengan bahan medis habis pakai. Kelemahan penelitian Ichtiarto (2010) adalah belum memakai standar efisiensi dari institusi tempat penelitian maupun standar efisiensi secara teoritis, sehingga tidak dapat dibandingkan hasil nyata yang ditemui di lapangan dengan
7
standar penilaiannya. Penelitian ini memakai standar efisiensi dari beberapa sumber yang disesuaikan dengan kondisi dan ruang lingkup penelitian. Penelitian serupa juga pernah dilakukan Wicaksono et al. (2010) dengan judul analisis pengukuran kinerja pengadaan menggunakan metode sink's seven performance criteria. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengukur kinerja pengadaan barang yang diukur melalui 7 kriteria yang diadaptasi dari Kusted (1986) dan Sink & Tuttle (1989) dalam Wicaksono et al. (2010). Kesimpulannya adalah efisiensi yang diperoleh masih rendah dari sisi optimalisasi waktu dan jumlah personil. Persamaan dengan penelitian Wicaksono et al. (2010) adalah pada pengukuran efisiensi dalam pengadaan barang, namun terdapat perbedaan pada subjek yang diteliti. Penelitian ini mengukur bukan hanya kinerja personil, tapi juga manajemen, kebijakan dan peraturan serta sistem informasi yang mempengaruhi efisiensi dalam pembelian.
Kelemahan penelitian Wicaksono et
al. (2010) adalah penilaian yang hanya dilakukan dari sisi kinerja tanpa melibatkan sisi finansialnya. Kelebihan penelitian ini adalah menggabungkan penilaian finansial dan non finansial sekaligus dan dilakukan melalui standar efisiensi.