BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Menurut pasal 23 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, tujuan pemanfaatan
hutan adalah untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Manfaat yang diperoleh bukan hanya berupa kayu saja, tetapi dapat juga berupa non kayu. Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) saat ini mulai diperhitungkan karena posisinya yang masih sangat dibutuhkan dan memiliki prospek yang baik. Mengacu pada UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, maka produk-produk HHNK dapat berupa benda-benda hayati (nabati dan hewani), non hayati (fungsi konservasi dan jasa, tidak termasuk barang tambang) dan produk-produk langsung yang diperoleh melalui proses pengolahan. Berdasarkan penjabaran mengenai HHNK yang tertuang dalam UU, HHNK memiliki ruang yang luas untuk kedepan, termasuk didalamnya pengelolaan hutan tanaman kayu putih. Penanaman kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn.) di BKPH Sukun semula ditujukan untuk merehabilitasi tanah-tanah di kawasan hutan Ponorogo Timur yang saat itu dinyatakan kritis. Penanaman kayu putih ini sudah dimulai sejak tahun 1924. Pada saat itu dilakukan percobaan penanaman di BKPH Sukun, BKPH Pulung dan BKPH Bondrang, luas masing-masing 0,25 Ha dengan benih 1
2
kayu putih yang berasal dari Pulau Buru. Pemilihan jenis ini didasarkan atas kemampuan tumbuh kayu putih pada tanah-tanah dengan tingkat kesuburan rendah dan solum dangkal. Setelah tujuan merehabilitasi tanah kritis tercapai, dan melihat potensi hutan yang ada, maka pada tahun 1937 di BKPH Sukun dilakukan percobaan penyulingan minyak kayu putih. Berdasarkan hasil percobaan penyulingan itu
kemudian pada tahun 1939 didirikan pabrik penyulingan di
BKPH Sukun dengan alat yang masih sederhana. Pengelolaannya harus dilakukan secara optimal dan harus selalu berpijak pada asas kelestarian produksi, kelestarian keanekaragaman hayati dan kelestarian fungsi walaupun hanya menghasilkan produk hasil hutan non kayu. Kelestarian produksi diharapkan berdampak positif pada jasa hutan yang lain, seperti perlindungan tanah, air dan lingkungan. Untuk mencegah kerusakan hutan diperlukan sistem pengelolaan hutan yang baik, yaitu sistem pengelolaan hutan yang berlandaskan asas kelestarian. Hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang RI Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan pada pasal 2 yang berbunyi penyelengaraan kehutanan berasakan manfaat dan lestari, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan kertepaduan. Pembukaan wilayah hutan (PWH) sebagai salah satu kegiatan dalam pengelolaan hutan di wilayah Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur, khususnya di KPH Madiun harus direncakan dengan tepat dan sebaik mungkin untuk mewujudkan asas kelestarian hutan. Kegiatan pembuatan sarana pembukaan wilayah hutan sebagian besar terdiri atas pembutan jalan angkutan. Dengan
3
pembukaan wilayah hutan ini maka sarana dan prasarana untuk pengusahaan hutan terutama fasilitas pengangkutan hasil panenan akan tercukupi. Jalan angkutan sangat diperlukan terutama dalam pelaksanaan kegiatan pemanenan, baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan non kayu. Apabila telah keluar dari dalam hutan dan mendapat pengolahan lebih lanjut akan memiliki nilai ekonomis, khususnya hasil hutan non kayu. Pembukaan wilayah hutan yang baik, yaitu adanya jaringan jalan yang optimal dan dapat memperlancar seluruh proses kegiatan pemungutan hasil hutan serta dapat menekan kerusakan yang terjadi terhadap lingkungan dan tegakan tinggal. Jaringan jalan angkutan yang baik akan terwujud melalui perencanaan yang memperhatikan beberapa aspek, yaitu aspek teknis, aspek ekonomis, dan aspek ekologis. Menurut Supriyatno (2004) perencanaan jaringan jalan hutan di areal hutan alam produksi maupun hutan tanaman, aspek-aspek teknis, ekonomis, dan ekologis merupakan faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Pembangunan jalan di areal hutan tanaman di Jawa dilakukan untuk mendukung seluruh kegiatan pengelolaan hutan, mulai dari kegiatan penanaman sampai pemanenan dan kegiatan lainnya. Di samping itu jalan hutan di Jawa biasanya juga dimanfaatkan oleh penduduk sekitar hutan sebagai penunjang sarana transportasi. Pengangkutan daun kayu putih yang bisa dilakukan dengan alat transportasi sampai ke dalam petak akan sangat berpengaruh terhadap jarak pikul. Dengan masuknya kendaraan ke dalam petak pemungutan daun maka jarak pikul
4
akan semakin pendek sehingga dapat mempermudah dan mempercepat pengangkutan daun. Apalagi dalam pemungutan daun kayu putih di BKPH Sukun dialakukan dengan cara dipikul. Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan dan pemeliharaan jalan angkutan harus diperhitungkan dengan pendapatan yang diperoleh Perum Perhutani agar tetap mendapat keuntungan dengan pengeluaran seminimal mungkin. Untuk itu Perum Perhutani harus berusaha meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari semua kegiatan perencanaan dan pengurusan hutan di Pulau Jawa. Kayu dan hasil hutan non kayu yang berupa daun kayu putih merupakan salah satu sumber pendapatan yang digunakan untuk membiayai seluruh kegiatan pengelolaan hutan kayu putih. Dengan demikian potensi hutan kayu putih tetap harus diperhatikan dalam pembutan jalan angkutan. Jaringan jalan angkutan yang optimal dapat diketahui dengan melakukan penilaian/evaluasi terhadap kerapatan jalan, spasi jalan, jarak sarad rata-rata, persen pembukaan wilayah serta spasi jalan dan kerapatan jalan optimal. Melalui evaluasi ini apakah jaringan jalan yang telah dibuat di BKPH Sukun sudah optimal dan telah sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu penelitian terhadap jaringan jalan angkutan di BKPH Sukun ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi jaringan jalan angkutan yang telah dibuat. Penelitian ini dilakukan di salah satu RPH Nglayang di BKPH Sukun. Optimalitas jaringan jalan angkutan dapat tercapai bila biaya pengangkutan sama dengan biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan.
5
1.2 Perumusan Masalah Pengamatan terhadap kondisi jaringan jalan hutan yang optimal baik dari segi ekonomis, teknis dan ekologis sulit untuk dicapai. Oleh karena itu dengan metode pendekatan evaluasi jaringan jalan angkutan merupakan hal yang sudah cukup baik bagi kelangsungan pengelolaan hutan yang lestari dari segi PWH. Di dalam perencanaan jaringan jalan angkutan untuk keperluan PWH sering dihadapi permasalahan penentuan kerapatan jalan dan jarak antar jalan yang optimal sehingga mampu memberikan biaya pembuatan jalan yang optimal pula. Tidak dapat selalu dikatakan bahwa jaringan jalan angkutan yang makin rapat dan jarak jalan yang dekat adalah yang paling menguntungkan sebab konsekuensinya adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan Perum Perhutani untuk pembuatan dan pemeliharaan jalan meskipun biaya penyaradannya rendah serta belum tentu jaringan jalan hutan yang dibuat dapat digunakan secara optimal dalam proses pemungutan hasil hutan. Pendekatan yang dilakukan dengan mengevaluasi jaringan jalan yang ada dari segi pembukaan areal hutan dan menentukan kebutuhan jalan yang optimal bila dibebankan kepada hasil hutan berupa daun kayu putih yang dapat dikeluarkan. Prinsip yang dipakai dalam pendekatan permasalahan ini adalah prinsip Break Event Point oleh Matthews (1942), bahwa biaya total minimal apabila biaya pembutan jalan dan biaya penyaradan seimbang. Kerapatan jalan (Road Density/RD) dan jarak antar jalan (Road Spacing/RS) yang optimal dapat dicapai
6
pada saat total biaya pembuatan jalan dan total biaya penyaradan mencapai minimal (Haryanto, 1999). Untuk
mendukung
kelancaran kegiatan pengelolaan
hutan
harus
diperhatikan pula standar jalan yang sesuai dengan kelas jalan. Kondisi jalan yang spesifikasi teknis dalam konstruksi jalannya tidak memenuhi standar, seperti tanjakan dan turunan diperbolehkan, lebar jalan dan radius belokan, menyebabkan kegiatan pengangkutan hasil hutan dan pengelolaan yang lain akan memakan waktu yang lebih lama bahkan dapat meningkatkan resiko pada keselamatan pengguna jalan. 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian terhadap evaluasi jaringan jalan angkutan ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui karakteristik jaringan jalan angkutan di RPH Nglayang BKPH Sukun yang terdiri dari: a. Kerapatan jalan (RD) b. Spasi jalan (RS) c. Jarak sarad rata-rata teoritis (MSDt) d. Jarak sarad rata-rata terpendek (MSDp) e. Jarak sarad rata-rata lapangan (MSDr) f. Persen pembukaan wilayah (E%)
7
2. Mengetahui optimalitas jaringan jalan angkutan yang telah dibuat di RPH Nglayang BKPH Sukun, baik pada PWH untuk RPH maupun pada PWH untuk petak sampel. 1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat
sebagai berikut: 1. Memberikan bahan pertimbangan dalam perencanaan pembukaan wilayah hutan selanjutnya di wilayah KPH Madiun, khususnya BKPH Sukun. 2. Memberikan informasi tentang kondisi jaringan jalan angkutan yang sudah dibuat di RPH Nglayang sehingga mendorong pihak BKPH Sukun KPH Madiun untuk terus meningkatkan optimalitas jaringan jalan angkutan yang akan sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas seluruh kegiatan pengelolaan hutan. 3. Memberikan ragam kepustakaan dalam khasanah keilmuan khususnya dalam bidang kehutanan mengenai kegiatan pemanenan daun kayu putih.