Daftar Pustaka 1. Abdulharis Rizqi, 2007, Identification of the Customary Land and Area Parcelling thereon in order to Strengthen the Legal Assurance of the Customary Land toward the Sustainable Development : The Case of Kesepuhan Banten Kidul , Indonesia 2. Abdulharis R, Kurdinanto Sarah, S.Hendriatiningsih, and Andri Hernandi, 2007, The Initial Model of Integration of Costumory Land Tenure System into Indonesian Land Tenure System ; The Case of Kasepuhan Ciptagelar, West Java, Indonesia. 3. Asep, 2002. Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat, Master Tesis Program S2, Universitas Padjajaran. 4. Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum , Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 5. Ayatrohaedi, 2003, Komunitas Adat Kasepuhan Banten Kidul : Bawalah Hati Kesini, Dalam Website : http://www.kompas.com/kompas- cetak/0506/20/humaniora/1824113.
6. Badan Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Ringkasan Rencana Pengelolaan Taman Nasional 2007 – 2026 . . 7. Bhumibhakti, Media Komunikasi Pertanahan, Edisi IX No. 09 / 1995 , PT.Cipta Kreasi Sejahtera, Jakarta. 8. Cristiantiowati, 2003 , Swasembada Ala Kampung Abah Anom, Penerbit Majalah Intisari No. 484 TH. XLI November 2003 ( http://www.intisari-online.com) 9. Dale, Peter F. and Mclaughlin, John D. 1988 , Land Information Management, Clarendon Press, Oxford. 10. Danim Sudarwan, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Penerbit Pustaka Setia, Bandung. 11. Harsono Boedi, 1970 , Undang-undang Pokok Agraria Sedjarah Penjusun Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. 12. Harsono, Boedi, 1997 , Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya , Edisi Revisi , Djambatan , Jakarta. 13. Harsono, Boedi, 2003, HukumAgraria Indonesia, Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta. 14. Hutagalung, Arie S, 2005, Tebaran Pemikiran : Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta. 15. Ki Karma, 2007, Komunikasi Pribadi, Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sukabumi. 85
16. Ki Upat, 2007, Komunikasi Pribadi, Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sukabumi. 17. Kuntari R dan Badil, R, 2005, Komunitas Adat Kasepuhan Banten Kidul ; Bawalah Hati Kesini, Dalam website : http//www.kompas.com/kompascetak/0506/20humaniora/ 1824113.htm. 18. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1975 , Rumusan Hasil Seminar Hukum Adat dan Hukum Pembangunan Hukum Nasional, Yokyakarta. 19. Lillesand, Thomas. M. and Kiefer, Ralph. W,. 1993, Penginderaan Jauh dan Interprestasi Citra, Diterjemahkan oleh Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi; Penyunting, Sutanto, Cetakan kedua, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 20. Muhamad B, 1983, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta. 21. Muhtar, 2007, Komunikasi Pribadi, Desa Sirnaresmi Kec. Cikakak, Kabupaten Sukabumi. 22. Nababan Abdon , 2002, Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat Untuk Menghentikan Penebangan Penebangan Hutan Secara Illegal, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Multi-Pihak tentang Illegal Loging Dalam Suatu Tantangan Dalam Penyelamatan Hutan Sumatera di Pekan Baru, Riau 23. Nazir Moh, 2005, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor 24. Parlindungan, AP, 1989
, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria,
Mandar Maju, Bandung. 25. Perum Perhutani Taman Nasional Gunung Halimun, 2000, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Halimun 2000 – 2004 26. Permanasari I dan Amir Sodikin, 2005, Negeri Mandiri di Pojok Negara , Kompas, 23 Agustus 2005
hhtp://www.kompas.co.id/kompas- cetak/0508/24/humaniora/
1998005.htm). 27. Pusat Survey Sumberdaya Alam Darat (PSSDAD), 2005, Ekspedisi Geografi Indonesia Gunung Halimun – Pelabuhanratu 2005, Bakosurtanal, Jakarta. 28. Purwadhi, F.S.H., 2001, Interpretasi Citra Digital, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. 29. Republik Indonesia, 1960 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Sekretariat Negara, Jakarta. 86
30. Republik Indonesia, 1999, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Sekretarian Negara, Jakarta. 31. Republik Indonesia, 1999 ; Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Sekretariat Negara, Jakarta. 32. Ruhiyat, 2005, Upacara Seren Taun, Dalam bahasa –
[email protected]. 33. Saptariani , N, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat Adat dan Lokal di Kawasan Ekosistem Halimun, Disampaikan pada Seminar Sehari tentang Hutan Desa; Alternatif Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Yayasan Damar, Gedung University Centre UGM, 23 April 2003. 34. Saripin Ipin,2003, Identifikasi Penggunaan Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat Thematic Mapper, Buletin Teknik Pertanian Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003, 35. Sihombing, BF, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT Toko Gunung Agung, Tbk, Jakarta. 36. Sucipta, E, 2007 : Komunikasi Pribadi, Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sukabumi. 37. Sugianto, G, 2007, Komunikasi Pribadi, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Parungkuda, Sukabumi. 38. Sugiyono, 2007, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta , Bandung. 39. Sumardjono, S, Maria, 1982, Puspita Serangkum , Aneka Masalah Hukum Agraria, Penerbit Andi Offset, Yokyakarta 40. Susanto,1994, Penginderaan Jauh Jilid 1 dan 2 , Gajah Mada University Press, Yokyakarta. 41. Tim Peneliti dan Pengkaji Masyarakat Hukum Adat Lombok Barat, 2006, Dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan Hutan Adat, Jakarta Juni 2007. 42. Tobing, R, 2007, Eksistensi Masyarakat Adat Dalam Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus Masyarakat Ciptagelar), Prosiding Percepatan Pendataan Potensi Lahan Melalui Peran Teknologi dan Informasi, FIT-ISI, Jakarta 24 Oktober 2007. 43. Wignjodipuro,S, 1995, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, PT Gunung Agung, Jakarta.
87
LAMPIRAN Lampiran A Kesimpulan Hasil Wawancara Lampiran A.1 Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Abah Anom (Mantan Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar) Kasepuhan Ciptagelar memiliki lahan bukaan yaitu sebesar 70.000 Ha. Setelah merdeka, warga kasepuhan tidak boleh membuka hutan. Penduduk Ciptagelar sudah mengetahui bahwa tanah yang mereka miliki sekarang, harus didaftarkan agar mendapatkan bukti kepemilikan yang sah atas lahan mereka masing-masing. Tanah adat yang diakui kepemilikannya oleh masyarakat kasepuhan Ciptagelar juga merupakan bagian dari pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Pihak adat dan pihak TNGHS saling mengklaim bahwa daerah tersebut merupakan bagian dari kepemilikan mereka. Tapi jika kita lihat dari segi sejarah, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar jauh lebih dulu memiliki tanah disitu. Dan bila dilihat dari kepentingannya, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar lebih membutuhkannya untuk kelangsungan hidup mereka. Masyarakat Kasepuhan sangat menjaga kelestarian lingkungannya. Hal itu terbukti dengan adanya aturan dalam hukum adat mereka yang tidak membolehkan semua lahan di daerah tersebut untuk digarap. Adapun bagian– bagiannya yaitu : 1. Leuweung Titipan : tidak boleh digarap oleh warga, kecuali untuk keperluan adat. 2. Leuweung Tutupan : tidak boleh digarap oleh warga, maupun untuk keperluan adat. 3. Leuweung Garapan : bisa digarap oleh warga. Aturan – aturan lainnya adalah tidak bolehnya tempat - tempat tertentu untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, yaitu : 1. 2. 3. 4.
Lemah gunting Sirah cai Pamatangan Tempat mahluk gaib (angker)
Dalam aturan adat kasepuhan, kepemilikan atas suatu bidang tanah bukan seperti yang kita lihat seperti biasanya. Masyarakat Ciptagelar tidak mengakui kepemilikan tanahnya, melainkan garapannya, sedangkan tanahnya hanya milik adat. Maksudnya 88
yaitu mereka hanya mengakui garapannya yang bisa berupa sawah atau tempat tinggalnya yang berupa panggung. Sebagai contoh jika ada proses jual beli sawah disana, sebenarnya uang tersebut digunakan untuk membayar biaya, tenaga dan waktu untuk merubah suatu lahan menjadi sawah. Dan jika ada yang ingin membeli rumah, uang tersebut hanya digunakan untuk membayar biaya, tenaga, dan waktu untuk membuat rumah tersebut. Sang pembeli rumah bisa saja memilih lokasi/tempat untuk meletakkan rumah panggungnya tersebut. Di Kasepuhan Ciptagelar terdapat kebebasan dalam memilih lokasi tempat tinggal asalkan tidak melanggar aturan adat, karena tidak ada kepemilikan atas suatu bidang tanah. Jika ada suatu permasalahan, biasanya warga bertanya pada Abah Anom sebagai ketua adat kasepuhan tersebut. Lalu abah memberikan solusi / jalan keluar yang baik untuk kedua belah pihak. Ketika ditanya mengenai sistem pertanahan nasional yang menyangkut dengan proses pendaftaran tanah, ternyata mereka pun ingin segera mendaftarkan tanahnya agar kepemilikan atas tanah mereka menjadi sah dan resmi dengan adanya bukti kepemilikan berupa sertifikat. Dan ketika ditanya mengenai pembayaran pajak, karena setiap tanah yang sudah didaftarkan harus membayar pajak atas kepemilikan tanah tersebut ternyata mereka (diwakili oleh Abah Anom) sanggup untuk membayarnya. Oleh karena itu, Abah Anom sangat menganjurkan warganya agar memilki uang yang cukup agar mudah dalam urusannya. Apalagi mereka juga tinggal di daerah yang juga diakui oleh pengelola Taman Nasional Gunung Halimun. Lampiran A.2 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Pak Muhtar (Ketua RT di Kampung Nangerang) Wawancara 1 Kampung Nangerang masih menganut hukum adat kasepuhan Ciptagelar, namun sudah sedikit memudar mungkin karena adanya modernisasi atau pengaruh dari luar yang membuat aturan adat di daerah tersebut sedikit berbeda. Beberapa hal yang masih dianut berkaitan dengan penggunaan lahan atau tanah yaitu tidak bolehnya tempat-tempat tertentu untuk ditempati, yaitu : 1. Lemah gunting 2. Sirah cai 3. Pamatangan 89
Batas tanah yang digunakan disana yaitu berupa pohon Hanjuang, alasan menggunakan pohon hanjuang yaitu karena walaupun pohon tersebut sudah ditebang sampai habis, suatu saat nanti pasti akan tumbuh kembali. Sehingga batas tanah tersebut tidak akan hilang. Kecurangan yang bisa dilakukan mengenai sengketa batas tanah yaitu dengan memindahkan pohon hanjuang tersebut, sehingga batas tanahnya akan berubah. Tanah-tanah di Nangerang sudah banyak yang sudah didaftarkan dan sudah memiliki surat sah kepemilikan tanah berupa sertifikat. Bukti pembayaran pajaknya berupa Blangko. Warga Nangerang mendaftarkan tanahnya melalui kepala desanya.
Wawancara 2 Di kampung Nangerang, tanah-tanah banyak yang sudah didaftarkan dan memiliki surat sah kepemilikan tanah berupa sertifikat. Bukti pembayaran pajaknya berupa Blangko. Tetapi, di desa ini terdapat 2 orang pemilik asli seluruh tanah Nangerang, yaitu Pak Saib dan Pak Parja. Seiring berjalannya waktu, penduduk Nangerang membeli tanah kepada mereka dan mendaftarkan tanahnya hingga memiliki sertifikat. Mereka mendaftarkan tanahnya melalui kepala desanya. Jadi intinya sebagian besar dari penduduk kampung Nangerang sudah memiliki tanah secara sah dengan adanya bukti berupa sertifikat, tidak seperti kepemilikan tanah di kasepuhan Ciptagelar. Sedangkan penduduk lainnya hanya berperan sebagai penyewa tanah dengan membayar blangko kepada dua orang tersebut sebesar Rp 3000 pertahun. Desa Nangerang terbagi menjadi dua bagian, sebagian di dalam TNGHS dan sebagian di luar TNGHS. Batas yang membedakan kedua bagian tersebut berupa pilar batas TNGHS yang dibuat tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada warga. Saat ini, sebagian besar pilar tersebut sudah banyak yang bergeser posisinya bahkan banyak yang sudah hilang.
Lampiran A.3 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Bapak Karma Haryono (Kepala Desa Sirnarasa) Kampung Nangerang merupakan sebuah wilayah yang merupakan bagian dari Desa Sirnarasa. Desa Sirnarasa terbagi menjadi dua bagian, yaitu 2/3 wilayah merupakan bagian dari Kasepuhan Ciptagelar dan terletak di dalam kawasan TNGHS, sedangkan 90
1/3 bagian lainnya berada diluar wilayah TNGHS dan menganut prinsip adat lokal. Bidang tanah yang telah disertifikatkan berada di luar wilayah TNGHS, sedangkan 2/3 wilayah adat yang berada di dalam TNGHS sedang diperjuangkan oleh adat untuk mendapat sertifikat tanah. Di dalam wilayah TNGHS, terdapat 4 buah dusun yang terdiri dari Dusun Pangguyangan, Dusun Sirnarasa, Dusun Siangasa dan Dusun Gunung Puntang. Selain itu, di dalam TNGHS terdapat satu-satunya desa yang diakui oleh pemerintah secara hukum. Desa tersebut bernama Desa Sirnagalih. Di dalam desa tersebut terdapat persil-persil yang telah bersertifikat. Padahal seharusnya di dalam taman nasional tidak boleh ada sertifikat tanah karena hak milik perseorangan di dalam taman nasional tidak diakui.
Selain itu, di dalam wilayah TNGHS terdapat pembagian hutan oleh adat yang terdiri dari leuweung tutupan, leuweung titipan dan leuweung garapan. Batas antara hutan tutupan dan hutan titipan berupa arca, pohon hanjuang dan batu. Letak dari batas tersebut jauh di dalam TNGHS, untuk masuk ke dalamnya sangat sulit dan membutuhkan banyak waktu karena letaknya yang jauh di dalam hutan serta perlu mendapat ijin khusus dari pihak Kasepuhan Ciptagelar. Hutan-hutan tersebut menjadi tanda batas wilayah bukaan dan garapan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Batas wilayah adat tersebut sudah ada sejak dahulu awal Kasepuhan pertama kali berdiri dan tidak pernah berubah hingga kini. Tradisi adat Kasepuhan Ciptagelar yang berpindah-pindah tidak mengganggu dan melanggar batas wilayah tersebut, karena lokasi perpindahannya masih di dalam wilayah adat dan perpindahannya pun menuju kampung lain.
Kasepuhan Ciptagelar sangat menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati wilayah hutan di dalam TNGHS. Salah satu perwujudan dari pelestarian lingkungan tersebut yaitu dengan membentuk Pam Swakarsa yang terdiri dari para penduduk Kasepuhan Ciptagelar. Pam Swakarsa memiliki tugas untuk menjaga wilayah hutan dari usaha penebangan liar dan pelanggaran adat. Bila ada yang tertangkap melanggar adat dan menebang pohon, Pam Swakarsa menasehati dan memperingatkan oknum tersebut untuk tidak mengulanginya. 91
Pihak TNGHS memiliki batas-batas wilayahnya yang direpresentasikan di lapangan berupa patok-patok. Tetapi saat ini patok-patok tersebut telah banyak yang hilang sehingga batas TNGHS tidak dapat diketahui secara pasti.
Lampiran A.4 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Ki Karma (Salah Satu Baris Kolot) Hukum adat di Ciptagelar tidak tertulis, tetapi diajarkan turun temurun atau diwariskan kepada anak cucunya atau dalam istilah sunda disebut pajajaran. Seperti yang sekarang ini, Abah Anom menurunkan ajarannya kepada anaknya yaitu Abah Ugi yang sekarang menjadi ketua adat Ciptagelar. Ajaran tersebut diturunkan sampai generasi seterusnya, jangan ada yang dihilangkan. Salah satu ajarannya yaitu, tidak boleh menjual beras, tidak boleh menggiling padi menggunakan mesin, tetapi harus ditumbuk, rumah-rumah jangan terlalu mewah dan harus mengikuti adat. Abah Anom mempunyai 560 perwakilan di setiap kampung nya. Jadi kasepuhan Ciptagelar membawahi 560 kampung yang ada di sekitar gunung Halimun. Setiap ada acara di Kasepuhan Ciptagelar seperti Seren Taun, maka ke 560 perwakilan tersebut harus datang. Jadi Kasepuhan Ciptagelar merupkan pusat pemerintahannya adat Banten Kidul. Di lingkungan Ciptagelar terdapat 60 kepala keluarga, dengan luasnya sekitar 6 Ha (pemukimannya saja). Luas garapannya sekitar ribuan Ha (di luar titipan dan tutupan). Sedangkan luas hutan titipan sekitar ratusan ribu Ha.
Hutan dibagi menjadi 3, yaitu hutan tutupan, titipan dan garapan. Banyak laranganlarangan yang tidak boleh dilakukan di hutan titipan, makanya disebut hutan titipan. Hutan titipan boleh digunakan untuk keperluan umum, tetapi harus tetap dijaga dengan menanam kembali pohon-pohon baru, karena hutan titipan merupakan amanat dari sesepuh adat.
Sebelum Abah Anom pindah ke Ciptagelar, ternyata di daerah Ciptagelar tersebut sudah ada garapan sebelumnya berupa sawah-sawah. Jadi, Abah Anom tidak membuka hutan lagi, melainkan sudah ada sawah. Untuk membuat rumah, warga mengambil kayu dari hutan garapan, tetapi dengan syarat harus menanam kembali pohon – pohon baru, agar alam tetap lestari. Begitu juga ketika Abah Anom membuat 92
jalan, di sepanjang jalan tersebut ditanami kembali oleh pohon-pohon yang baru. Sebelum adanya Perum Perhutani dan Pengelola TNGHS, hutan masih tetap aman dan lestari karena dijaga dan dirawat oleh warga, namun setelah adanya Perum Perhutani dan Pengelola TNGHS hutan sekarang menjadi rusak, karena diambil secara besar-besaran. Contohnya di daerah Cigaronggong, setelah Abah pindah hutan disana jadi habis karena diperjual belikan. Tetap saja warga adat yang disalahkan. Warga adat Kasepuhan Ciptagelar sangat menjaga alamnya, hal ini dibuktikan dengan adanya pam swakarsa yaitu beberapa warga yang ditunjuk oleh Abah untuk mengontrol dan menjaga hutan. Karena mereka merasa persoalan hutan merupakan pertanggungjawaban dari warga, untuk warga dan oleh warga, jadi mereka harus menjaga hutan tersebut sebaik-baiknya. Lampiran A.5 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Ki Upat (Salah Satu Baris Kolot) Hutan titipan adalah hutan yang dititipkan oleh leluhur yang tidak boleh diganggu, dan untuk dijaga. Hutan tutupan yaitu hutan lindung yang di dalamnya terdapat mata air. Hutan garapan yaitu hutan yang sudah dibuka dan bisa digarap oleh warga (hutan produksi). Hutan titipan tidak boleh sama sekali diambil kayunya, bahkan sehelai daun pun tidak boleh diambil, kecuali untuk keperluan umum / keperluan adat. Jika ada seseorang yang melanggarnya, maka hukuman adat datang dengan sendirinya berupa kualat.
Salah satu larangan lainnya di hukum adat Ciptagelar yaitu tidak boleh menjual beras, tetapi yang masih dalam bentuk padi boleh dijual, dengan ketentuan persediaan beras dia bisa untuk mencukupi makan selama 2 tahun. Di adat hidup selalu bersama sama, saling tolong menolong, saling menjaga, bisa dikatakan di adat tidak bisa jika hidup hanya sendiri. Mereka mengakui bahwa tanah yang mereka tinggali yaitu tanah ulayat, karena sebelum merdeka pun keturunan mereka sudah ada disini.
Awal dari ke -11 kepindahan warga kasepuhan Ciptagelar dimulai dari daerah Bogor lalu ke Banten dan sekarang terakhir di daerah Banten Kidul (Selatan). Namanama daerahnya : Lebak Parang, Lebak Pinoh, Tegal Lumbuh, Pasir Talaga, Bojong 93
Cisono, Cicemet, Cicadas, Ciganas, Linggarjati, Ciptarasa, Ciptagelar. Hukum adat tidak tertulis, tapi turun temurun diajarkan pada generasi penerusnya. Ada istilah di adat yaitu ”saha nu nyabak seuneuh eta nu panas” atau ”siapa yang memegang api itu yang panas”. Batas wilayah adat dari dulu tidak berubah, tetapi tetap dari dulu hingga sekarang.
Sebenarnya dari dahulu warga sudah ada yang menempati wilayah adat Ciptagelar, dan datang beberapa prajurit dari Kerajaan Pajajaran untuk mengurusi masalah pertanian. Ada sekitar 14600 kepala keluarga yang masih memegang teguh adat kasepuhan Ciptagelar. Mereka memanen padi sekali dalam setahun, alasannya yaitu karena mereka sangat bergantung sekali pada alam, oleh karena itu mereka harus menjaga alam untuk tetap subur. Alasan yang kedua yaitu, agar padinya tetap awet, kuat untuk beberapa tahun. Lama panennya yaitu sekitar 6 bulan. 6 bulan yang lainnya, dimanfaatkan warga dengan menjadikan sawahnya kolam dan bercocok tanam. Kepemilikan lahan disana yaitu siapa yang membuka lahan, dia yang memiliki garapannya, biasanya kepemilikan garapannya turun temurun dan jarang sekali diperjualbelikan. Jika lahan garapannya sudah tidak dikerjakan lagi, maka tanahnya kembali lagi menjadi milik adat. Orang luar adat bisa saja membeli garapan tanah disini, tetapi dengan syarat harus mengikuti aturan adat Kasepuhan Ciptagelar. Tidak ada batas antar satu rumah dengan rumah lainnya, karena tidak ada kepemilikan atas suatu bidang tanah, yang ada hanyalah hak menggarap. Tetapi tetap saja, jika ada seseorang yang sedang menghuni sebuah rumah, tidak boleh dihuni oleh orang lain selama orang itu masih betah menghuni rumah tersebut. Jadi antar sesama saling menghargai hak garapannya masing-masing. Tetapi tidak semua lahan disana bisa digarap, ada aturan-aturan yang harus diperhatikan warga. Biasanya mereka meminta pendapat pada ketua adat atau sesepuh.
94
LAMPIRAN B Judul
:
Rubrik Sub rubrik Sumber Edisi
: : : :
SWASEMBADA ALA KAMPUNG ABAH ANOM WARNA MAJALAH NO. 484 TH. XLI NOVEMBER 2003 URL
: http://www.intisari-online.com
Pindah karena wangsit Selain pola tanam tradisional, sekitar 70 kepala keluarga di bawah naungan Abah Anom termasuk masyarakat berpindah. Kampung Ciptagelar yang ditempati saat ini baru berusia tiga tahun, sejak 2001. Sebelumnya, selama 17 tahun - saat itu Abah Anom diangkat menjadi pemimpin pada usia 16 tahun mereka menghuni Kampung Ciptarasa, sekitar 9 km dari Ciptagelar. Dalam sejarah lisan, ada yang menyebutkan bahwa sejak tahun 612 cikal bakal Kesatuan Adat Banten Kidul ini sudah terbentuk di Bogor. Dalam tuturan lain, Kampung Kasepuhan ini selama 1.382 tahun sudah pindah lokasi 10 kali, tergantung wangsit. Sesungguhnya, ini berkaitan dengan menyusutnya sumber air dan kesuburan tanah. Wangsit itu sendiri, ''Bukan seperti mimpi (ilham), tapi hampir seperti suara dari leluhur yang bisa diterima dengan keyakinan dan kepercayaan,'' kisah Abah Anom. ''Perintah'' untuk pindah ke Ciptagelar, menurut dia, sudah muncul sejak 1992. Tapi karena secara pribadi belum bisa menerima, Abah Anom terus bersemedi, berdoa untuk tak pindah. Setelah delapan tahun, muncul wangsit ultimatum, kalau tak juga pindah, mati! Setelah di Ciptagelar pun, ''Rasanya baru tenang 60%, walau segala kebutuhan lahiriah terpenuhi. Sampai tahun 2040 rasanya akan ada wangsit yang memerintahkan pindah.'' Meski berpola hidup ''ladang berpindah'', Abah Anom menolak bila kesatuan adat ini dituding sebagai perambah hutan dan perusak lingkungan. ''Ingat, kita sudah merayakan Seren Taun selama 635 tahun. Selama itu pula hutan di kawasan Gunung Halimun ini tetap terjaga. Hidup kami tergantung alam. Bila hutan ditebang sembarangan, tanah dan sawah akan kering, kami mati.'' Secara tradisional, mereka punya falsafah sendiri tentang hutan, yang dijalani secara ketat. Meliputi leuweung (hutan) titipan, tutupan, dan garapan. Leuweung titipan tak boleh diganggu manusia, merupakan amanat dari karuhun (leluhur) dan Gusti Nu Kawasa (Tuhan) untuk dijaga keutuhannya dan dipertahankan dari segala usaha dan ancaman dari pihak luar. Biasanya berada di daerah atas pegunungan sebagai leuweung sirah cai (daerah resapan air) dan penjaga keseimbangan ekosistem. Hutan tutupan dicadangkan untuk permukiman masyarakat adat Kasepuhan di masa mendatang (awisan) dan lahan garapan. Perpindahan permukiman ini dilakukan berdasarkan wangsit yang diterima Abah. Umumnya dalam kurun waktu 30 - 40 tahun, suatu batasan dukungan alam memenuhi kebutuhan hidup manusia dan kemampuan memulihkan kembali daya dukungnya. Hutan itu diibaratkan pintu yang dapat dibuka dan ditutup untuk diolah. Letaknya di bagian tengah hutan adat. Hanya boleh diambil secukupnya seperti kayu bakar, kayu untuk bangunan, rotan, damar, buah, umbi, obat, serat. Tiap menebang satu pohon, harus diganti dengan menanam pohon, dengan izin ketua adat. Hutan garapan dibuka menjadi lahan yang dapat diusahakan untuk bersawah, berladang, atau berkebun. Pengaturan letak garapan ditentukan. Pengelolaan ladang dilakukan berputar minimal tiga tahun sekali. Untuk daerah tertentu bahkan penanaman padi ladang tak boleh dilakukan pada tempat sama untuk kedua kalinya, seperti pada huma serang (suci). Ucapan Abah Anom tadi benar adanya. Meski sudah sekitar tujuh bulan tak turun hujan, sawah tetap subur. Pipa-pipa bambu masih penuh mengalirkan air. Memang, Kampung Ciptagelar masuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (kini luasnya bertambah dari 40.000 ha menjadi 110.000 ha dengan masuknya kawasan Gunung Salak). Tapi, kalau kawasan itu dirusak, tentu tak sesubur itu. Kearifan model masyarakat Ciptagelar, bagaimanapun, harus diakui layak ditiru.
95
[Urang Sunda] Kampung Adat Ciptagelar Artikel 4 Tue, 03 Aug 2004 08:18:15 -0700 Kompas. Nusantara. Senin, 4 September 2000 Sidang Tanpa Rasa Dengki dan Benci ABAH Anom memasukkan ikatan padi pertama ke dalam leuit atau lumbung komunal warga Kampung Ciptarasa.Sekitar 50 orang lain yang berada di dalam arena upacara, semua duduk atau berlutut dalam deretan yang rapi. Semua menunjukkan roman muka takzim. Suasana hening. Suara yang terdengar cuma dentingan kecapi dan tembang Sunda mendayu-dayu, berisi puja-puji pada Nyi Pohaci alias Dewi Sri, sang Dewi Padi. Aroma asap bakaran dupa tercium ke mana-mana. Demikianlah puncak upacara Seren Taun di Kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat). Setelah Abah Anom,semua ikatan padi lain juga dimasukkan ke dalam lumbung tersebut. Ikatan-ikatan padi itu merupakan hasil panen sumbangan setiap warga kasepuhan Ciptarasa. Dalam upacara tahunan (pernah tertunda tahun 1999 gara-gara pemilu) setiap warga wajib menyetor dua gedeng atau dua ikat padi, kepada pimpinan kasepuhan untuk disimpan sebagai persediaan padi bersama. Sesuai kebiasaan lama, selain tiap warga menyumbangkan dua ikat padi, warga Kasepuhan juga diwajibkan menyumbangkan uang logam. Nilai uang itu dulu Rp 10, namun belakangan ini menggunakan juga uang logam bernilai Rp 100. Dari jumlah keping uang logam ini,masing-masing sesepuh lembur atau sesepuh kampung atau juga kokolot kampung, dapat menghitung dan mengetahui seluruh populasi warga Kasepuhan yang mencapai lebih dari 25.000 jiwa. "Tradisi menyetor uang logam itu, dulunya setiap sesepuh menyetor sebatang lidi. Acara Seren Taun ini sudah kesekian kami hadiri, untuk mengikuti perkembangan warga Kasepuhan dan perkembangan yang terjadi," ujar Adang Afandi dari Forum Ki kelompok peduli masyarakat adat di Jawa Barat.
lembur kalinya melihat Sunda,
"Salah satu inti acara ini, sebenarnya acara pertemuan seluruh sesepuh lembur, sekaligus laporan tahunan dari Abah Anom sendiri. Tetapi, sudah beberapa tahun ini, Seren Taun lebih dikenal dengan acara hiburannya saja," katanya lagi. Menurut kisah lama, kelompok masyarakat yang setahun hanya sekali menanam padi lokal, sebagian dari mereka masih menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Ngahuma atau berladang, merupakan akitivitas utama masyarakat Kasepuhan. Mereka memiliki tata cara ritual untuk ladangnya. Dari kisah lisan, warga Kasepuhan sudah ada di Bogor sejak tahun 612. Sejak itu mereka sudah mengenal pimpinan. "Abah Anom sendiri baru menjabat sebagai pemuka masyarakat, sejak masih muda, mungkin baru berumur 16 tahunan," tutur Adang asal Bandung yang mengenal pimpinan Kasepuhan, mulai masa kepemimpinan
96
Abah Ajo, ayahnya Abah Anom. *** SEREN Taun di Kampung Ciptarasa yang digelar setahun sekali seusai masa panen, selalu sekalian dipakai warga kasepuhan untuk menyelenggarakan sidang tahunan melalui pimpinan kampung masing-masing. Abah Anom sebagai sesepuh Kasepuhan, meski masih muda menyebut warganya itu dengan sebutan incu putu anak pibudakeun.Sebutan yang bermakna sebagai bapak yang melindungi dan mengasihi anak cucunya. Usai upacara Seren Taun yang berlangsung di pelataran di depan lumbung adat, Abah Anom berpidato di hadapan puluhan sesepuh lembur. Dalam kesempatan itu Abah Anom menyampaikan semacam laporan, mengenai berbagai kegiatan dan peristiwa penting yang terjadi dalam setahun terakhir, di wilayah Kasepuhan Ciptarasa. Antara lain tentang pembangunan jalan selebar enam meter dan panjangnya 14 kilometer, antara Sirnaresmi dan Cicemet. Juga pembangunan jalan selebar lima meter yang panjangnya tiga kilometer, antara Lebaklarang dan Cicarucub. Dalam kesempatan sama, Abah Anom melaporkan pula telah selesainya pembangunan jembatan kayu, sepanjang 18 meter dan lebar 1,5 meter, yang menghubungkan Cisarua dan Sirnarasa, dua kampung tetangga Sirnarasa dan sebagian penghuninya juga warga Kasepuhan. Abah Anom mengumumkan pula, warganya telah membangun kembali 60 buah bangunan yang hancur di makan api,dalam musibah kebakaran yang terjadi di Kampung Cicemet beberapa bulan lalu. Dalam kebakaran itu 53 keluarga telah kehilangan tempat berteduh, serta sejumlah harta benda pun musnah. Para sesepuh lembur semua berbusana adat, berupa jas Sunda warna putih, berkain dan destar batik khas Kasepuhan. Mereka duduk bersila, berderet rapi di bale bambu besar yang khusus diperuntukkan baginya. Sementara itu Abah Anom duduk di bale lain di hadapannya, bersama para pejabat pemerintah yang diundang, seperti mulai dari Wakil Camat Cisolok,Kapolsek, Komandan Rayon Militer, sampai Kepala Kantor Pariwisata dan Seni Kabupaten Sukabumi. Di saatnya berpidato, bapak (abah) yang muda (anom) ini, duduk di atas bale kecil yang khusus disediakan sebagai mimbar. *** DALAM sidang tahunan Majelis Adat Pancer Pangawinan,Abah Anom bukan cuma menyampaikan laporan. Kepada para sesepuh kampung yang disebut baris sepuh dan baris olot ia juga memberi arahan, petuah. Ia, misalnya,mengingatkan, dalam melakoni hidup kaum kasepuhan tak boleh mengabaikan faktor rasa. "Boga rasa, rumasa, ngarasa. Ulah rek paluhurluhur tangtungan,pagirang-girang tampian. Kudu sareundeuk sigeul,sabobot sapiharean..." (Memiliki rasa, sadar, merasa.Jangan mengadu tinggi tempat berdiri, jangan mengadu kegembiraan...") Selain itu Abah Anom mengingatkan juga tentang makna leuweng titipan (hutan titipan), leuweng tutupan (hutan tutupan), dan leuweng garapan (hutan garapan)."Hutan titipan adalah hutan yang dititipkan oleh leluhur kita. Tak boleh dibuka sebelum ada wangsit," katanya, tanpa latah menyebut kalimat populer "gitu aja kok diurusin". Tak seperti beberapa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terhormat, arena gedung MPR/DPR Senayan kini mirip menjadi pangkalan politisi bawel,rewel dan tukang "towel". Wakil "pilihan" rakyat dan masyarakat kelas legislatif ini, beberapa orang sudah terkenal sebagai tokoh kebelinger, asal ngablak dan mengganggu sidang.
97
Sebagian lagi ada yang begitu rewel, suka menyebar isu protes ini-itu demi nama dan kepentingan kelompoknya,tanpa mau tahu urusan rakyat banyak. Bahkan ada beberapa warga terhormat itu, katanya memang tukang "towel" alias usil mengusik seseorang lain.Di podium sederhana Ciptarasa, tokoh kasepuhan yang statusnya "wakil" warga, boro-boro ngacungin telunjuk dan teriak hiteris interupsi, semuanya menerima dengan khusuk isi laporan atau "pidato" Abah Anom. Acara "pertanggungjawaban" ini lancar mengalir, tanpa ada suara miring interupsi, kalimat lisan protes, atau kasak-kusuk menyebar rasa dengki dan sirik.Di gelanggang perhelatan masyarakat adat Kasepuhan itu, terasa sesama sesepuh sepertinya tahu kalau sesama manusia itu, pasti memiliki perbedaan sifat satu sama lainnya. Makanya mereka berusaha saling menghargai dan mengakui, serta menjauhi sifat buruk yang sedapat mungkin dihindari, yakni perasaan dengki dan benci, sirik pidik iren pinastren. Lagi pula di saat berharga Seren Taun yang setahun sekali, kayaknya dimanfaatkan betul sebagai tempat temu jumpa sesama warga Kasepuhan, serta tamu undangan lainnya. Makanya tidaklah aneh, kalau pendatang yang tidak mengenakan destar batik khas Kasepuhan, akan ditegur sapa baik-baik dan sopan, serta ditanyakan apakah sudah makan-minum dan di mana bermalamnya.Yang menonjol di sini justru sikap dan perilaku hangat, sesuai ungkapan ka lembur loba batur ka kota loba baraya, ke kampung banyak kawan ke kota banyak saudara. Itulah perbedaannya ST "Majelis Kasepuhan" Ciptarasa dengan ST MPRI di Senayan. Yang satu di kampung,lainnya di kota. Tetapi, jangan lupa, yang kampong tidaklah mesti kampungan. Lha yang kotaan, apakah tidak bisa kampungan? Lha iya aja lagi! (muk/jpe/bd)
Taman Nasional Gunung Halimun
peta TNGH 98
Taman Nasional Gunung Halimun merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan sub-montana dan hutan montana di Jawa. Hampir seluruh hutan di taman nasional ini berada di dataran pegunungan dengan beberapa sungai dan air terjun, yang merupakan perlindungan fungsi hidrologis di Kabupaten Bogor, Lebak, dan Sukabumi. Beberapa tumbuhan yang mendominasi hutan di Taman Nasional Gunung Halimun antara lain rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima wallichii). Sekitar 75 jenis anggrek terdapat di taman nasional ini dan beberapa jenis diantaranya merupakan jenis langka seperti Bulbophylum binnendykii, B. angustifolium, Cymbidium ensifolium, dan Dendrobium macrophyllum. Taman Nasional Gunung Halimun merupakan habitat dari beberapa satwa mamalia seperti owa (Hylobates moloch), kancil (Tragulus javanicus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), macan tutul (Panthera pardus melas), dan anjing hutan (Cuon alpinus javanicus). Terdapat kurang lebih 204 jenis burung dan 90 jenis diantaranya merupakan burung yang menetap serta 35 jenis merupakan jenis endemik di Jawa termasuk burung elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Selain itu terdapat dua jenis burung yang terancam punah yaitu burung cica matahari (Crocias albonotatus) dan burung poksai kuda (Garrulax rufifrons). Burung elang Jawa yang identik dengan lambang negara Indonesia (burung garuda), cukup banyak dijumpai di Taman Nasional Gunung Halimun. Dengan iklim yang basah, taman nasional ini merupakan sumber mata air dari beberapa sungai yang alirannya tidak pernah kering sepanjang tahun, dan delapan buah air terjun yang indah serta potensial untuk kegiatan pariwisata alam/rekreasi. Masyarakat di sekitar taman nasional merupakan masyarakat tradisional Kasepuhan. Masyarakat tersebut memiliki pola kehidupan sangat unik dan kearifan dalam mengelola kawasan hutan di sekelilingnya selama puluhan tahun. Taman Nasional Gunung Halimun merupakan tempat rekreasi/pariwisata alam yang sangat menarik, karena beragamnya obyek dan daya tarik wisata alam yang dimilikinya. Keheningan hutan yang terkadang terdengar suara kicauan burung dan satwa lainnya, merupakan obyek pengamatan hidupan liar yang menarik. Taman nasional ini memiliki fasilitas canopy trail untuk berjalan dari pohon ke pohon, mengamati kehidupan burung dan satwa liar lainnya yang tinggal di tajuk pohon. Keindahan alam dengan kehidupan liar, gemuruh air terjun dan gemericik aliran sungai kecil yang jernih; kesemuanya merupakan peristiwa alam yang dapat memberi pengalaman yang mungkin tidak akan terlupakan terutama bagi wisatawan dari kota-kota besar.
99
ORIGINAL POST BY KEPALA_AYAM
Jalan-jalan ke Kasepuhan Ciptagelar SUKABUMI – Punya minat berkunjung ke Kasepuhan Ciptagelar? Tenang saja, tak perlu khawatir bagi yang pertama kali. Ada dua jalur alternatif yang bisa dicapai lewat Jakarta. Pertama, yang biasanya lebih dipilih adalah lewat desa Cicadas, Pelabuhan Ratu. Pertama tentulah kita harus menuju ke terminal Pelabuhan Ratu bila ingin mencobanya. Dengan ongkos Rp 5.000,- kita bisa melanjutkan perjalanan menuju desa Cicadas. Pilih mobil yang menuju Cikotok bila ingin menemui desa ini. Setelah melewati jalur berkelok-kelok selama satu setengah jam lamanya baru kita akan menemui desa Cicadas yang merupakan pintu masuk menuju kawasan Kasepuhan Ciptagelar. Dari Cicadas perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek motor dengan biaya sampai 25.000,- rupiah. Jalur kebanyakan berbatu-batu dan banyak yang curam. Jalur lainnya adalah melalui Parung Kuda dengan melewati desa Pamengpeuk. Dari Bogor, daerah Parung Kuda bukan hal yang sulit untuk dicapai. Bila kita naik mobil menuju jurusan Sukabumi, maka kita akan menemukan daerah tersebut tepat sebelum daerah Cibadak. Kemudian kita bisa melanjutkan perjalanan dengan mengendarai mobil colt L-300 menuju terminal Cipeteuy, dengan biaya Rp5.000. Setelah itu terserah Anda mau melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki atau memilih naik ojek hingga Ciptagelar dengan biaya jauh lebih mahal daripada melalui Cicadas. Tapi buat Anda yang suka trekking santai melewati hutan, tak ada salahnya mencoba jalur ini dengan berjalan kaki
serentaun
100
PEGUNUNGAN HALIMUN
Taman nasional gunung Halimun terletak lebih kurang 100 km arah baratdaya Jakarta. Secara Geografis berada diantara 106°21' - 106°38' BT dan 6°37' - 6°51' LS, dan secara administratif wilayah itu termasuk dalam Kabupaten Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat) serta Lebak (Banten). Saat ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada 1992, luasnya mencapai 40.000 ha. Tapi saat ini luas tersebut telah menyusut 10.000 hektar dan menjadi 30.00 hektar. Kawasan yang mempunyai curah hujan rata-rata 4000 - 5000 mm / tahun dan kelembaban berkisar 80%. Suhu udara minimum dengan kelembaban sekitar 21° C, minimum suhu 12° C dan maksimum 33° C. Kawasan yang berada antara 500 2.000 m dpl ini, hampir boleh dikatakan selalu tertutup kabut sepanjang hari. Hutan hujan pegunungan terluas di Jawa Barat, merupakan ekosistem hutan alam yang masih tersisa dan berfungsi sebagai pengatur tata air dan iklim mikro. Serta perlindungan flora dan fauna, penelitian serta sarana pendidikan. Kondisi alam yang berbukit-bukit menjadikannya sebagai benteng pelindung puncak Gunung Halimun. Ada tujuh puncak gunung bukit yang memagari Halimun, yaitu Gunung Sanggabuana, Kencana, Botol, Pareang, Halimun Selatan, Pananjoan, dan Gunung Kendeng. Sedangkan gunung dengan puncaknya tertinggi yaitu Gunung Halimun Kaler (1.929 m). musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai April, musim kemarau berlangsung bulan Mei sampai September. Karena itu, kunjungan terbaik ke TNGH pada bulan Juni sampai Agustus. Dari iklim yang basah dikawasan ini mengalir beberapa sungai yang tak pernah kering dan mensuplai air ke wilayah sekitarnya, termasuk untuk kebutuhan masyarakat Jakarta. Sungai-sungai tersebut antara lain Ciberang, Ciujung, Cidurian, Cisadane dan Cimandur. Karena tempatnya masih berupa hutan perawan dan berada di ketinggian dengan kemiringan sampai 45 derajat, maka dapat ditemui beberapa air terjun yang sangat eksotik yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa air terjun yang dapat dikunjungi yaitu Air Terjun Cimantaja dan Cipamulaan yang terdapat di sekitar Cikiray, Air Terjun Piit dan Cihanjawar yang terdapat di sekitar Nirmala Tea Estate, Air Terjun Citangkolo dan Ciraksamala yang terdapat di sekitar Mekarjaya, dan Air Terjun Ciberang yang terdapat di dekat Cisarua. Pemandangan hutan alam yang indah dan Perkebunan Teh Nirmala yang terdapat di dalam kawasan taman nasional, merupakan potensi wisata alam yang menarik untuk dinikmati. Selain itu, pendakian dan Rafting (di Sungai Citarik) sudah menjadi agenda rutin para pecinta kegiatan alam bebas. Banyak satwa liar dan langka yang di lindungi di TNGH ini. Diantaranya Macan tutul, Kucing hutan, Landak , Trenggiling serta Elang Jawa yang juga merupakan symbol atau lambang dari TNGH ini. Dan juga di TNGH ini merupakan habitat terbaik bagi populasi Owa jawa, yang dapat di jumpai di sekitar Cikaniki, G Botol, G Andam, Cisarua. Kawasan ini juga menyimpan berbagai jenis serangga. Diantaranya adalah Kupu-kupu. Untuk flora, ada berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh disini yaitu sekitar 1.000, dan tebagi dalam tiga zona : 101
Zona colline Zona ini terdapat pada ketinggian dibawah 1.000m dpl, dan didominasi oleh pohon Rasamala yang sangat dikenal oleh kalangan penggiat alam bebas di Indonesia sebagai salah satu tumbuhan survival. Zona sub-montana Zona ini berada pada ketinggian diantara 1.000 - 1.500m dpl, daerah ini didominasi oleh tumbuhan Puspa dan jenis Fagaceae. Zona Montana Zona yang berada pada ketinggian diantara 1.500 -2.000m dpl, daerah ini juga didominasi oleh tumbuhan Fagaceae. Selain itu pada kawasan hutan gunung Halimun ini juga bisa dijumpai 12 jenis Bambu, serta Rotan dan juga Anggrek. Akses Transportasi untuk mencapai taman nasional ini. Tapi sangat dianjurkan untuk memakai kendaraan 4x4 jenis Jeep atau SUV. Karena kondisi jalan yang tidak baik untuk ditempuh oleh kendaraan jenis sedan. Ada tiga arah untuk menuju ke taman nasional gunung halimun yaitu: Dari Selatan dengan jalur: Pelabuhan Ratu - Sukawayana - Ciptarasa. Jalur ini membentang sepanjang 30km. Dari Timur dengan jalur: Parung Kuda - Sukawanayana - Ciptarasa. Jalur ini berjarak 30km. Dari Utara dengan Jalur: Cigudeg - Cisarua, sepanjang 30km. Jika tidak membawa kendaraan sendiri, anda juga bisa mencapainya dari Jakarta sebagai berikut: Jakarta - Pasar Parung Kuda (Sukabumi) Naik bis jurusan Sukabumi dari terminal Kampung Rambutan dan turun di pasar Parung Kuda. Parung Kuda- Desa Kabandungan (pos TNGH) Dari Parung Kuda lebih baik mencater kendaraan jenis colt. Ada angkutan umum pedesaan yang beroperasi akan tetapi anda harus berganti-ganti beberapa kali dan kemungkinan untuk kesasar lebih tinggi, serta memakan waktu yang lama. Desa Kabadungan - Cikaniki Carter kendaraan angkutan pedesaan sejenis L300 Rp.200.000,- (Banyak mangkal di terminal pasar Parung Kuda). Bisa juga dengan menggunakan jasa ojek motor dengan tarif Rp.25.000 - 35.000/orang tergantung waktu dan cuaca. Perijinan Disini anda juga bisa mendapatkan data yang lengkap tentang kawasan ini. Pengurusan ijin tidaklah terlalu berbelit-belit. Untuk kelengkapan, sebaiknya anda juga mempersiapkan photocoy KTP. BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN Jl Raya Cipanas - Kabandungan, PO. Box 02 Parung Kuda - SUKABUMI JAWA BARAT - INDONESIA. Telp / Fax +62- 266- 621256 / 621
102
LAMPIRAN C Lampiran C . 1
103
Pasal 10 . . . . . . .dst. 104
105
Lampiran C.2 MENTERI NEGARA AGRARIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL Menimbang : a.
bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (selanjutnya disebut Undang- Undang Pokok Agraria); b. bahwa dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui pleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya; c. bahwa akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut, baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya; d. bahwa sehubungan dengan itu perlu diberikan pedoman yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-nasalah yang ada dan melaksanakan urusan pertanahan pada umumnya dalam hubungannya dengan hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut di kemudian hari; e. bahwa pedomnan tersebut perlu diperiksa dalam bentuk Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepla Badan Pertanahan Nasional, Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan; 3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan; 4. Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang; 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1966 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah; 7. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional; 8. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan; 9. Keputusan Presiden Nomor 101 tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
106
MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud denagn : 1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari mesyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. 3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. 4. Daerah adalah daerah ototnom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. BAB II PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT Pasal 2 1. Pelaksanan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. 2. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apanbila : a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Pasal 3 Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhada bvidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaiman dimaksdu Pasal 6 : a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UndangUndang Pokok Agraria; b. merupakan bidang-bidang tabnah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, bahan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku. Pasal 4 1.Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagiaman dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan : a. oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
107
b.Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. 2. Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakuakn oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. 3. Dalam hal sebagiamana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan. BAB III PENENTUAN MASIH ADANYA HAK ULAYAT DAN PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI TANAH ULAYAT YANG BERSANGKUTAN Pasal 5 1. Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulaya sebaiamana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertaka n para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. 2. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan. BAN IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. DITETAPKAN DI : JAKARTA PADA TANGGAL : 24 JUNI 1999 MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL HASAN BASRI DURIN
108
Lampiran C.3
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat; c. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional; d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
109
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839). Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. 2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. 6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. 7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 12. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
110
13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. 14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 15. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. Bagian Kedua Asas dan Tujuan Pasal 2 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Pasal 3 Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pasal 4 . . . . . . . . . dst. Bab IX Masyarakat hukum adat Pasal 67 (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
111
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pasal 68 . . . . . . dst. Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 83 Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku: 1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63; 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823). Pasal 84 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, Pada tanggal 30 September 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. MULADI
112