Aneka No. 31 Th. VIII/1958 MASAALAH KEDUDUKAN SASTRA DALAM FILM (I) ASRUL SANI Menurut surat undangan jang diedarkan, maka tugas jang harus saja pikul hari ini, ialah: membitjarakan “Kedudukan sastra dalam sandiwara pentas, radio dan film”. Sepintas lalu perumusan dari tugas tersebut tidaklah menimbulkan kesulitan, apalagi djika kita berfikir dalam rangka pemikiran jang mengaburkan segala batas-batas. Tapi djika kita hendak beroleh suatu pandangan jang djernih dalam masaalah jang kita hadapi, maka tidaklah dapat dielakkan bahwa kita harus bekerdja dengan batas-batas. Batas-batas ini memang ada bukan sadja dalam fikiran kita tapi djuga dalam kenjataannja. Sekiranja kita masukkan batas-batas ini dalam perhitungan maka akan kelihatanlah dengan segera, bahwa pembitjaraan mengenai kedudukan sastera dalam sandiwara pentas, radio dan film bukanlah suatu kewadjiban jang mudah ditempuh. Sebab setelah memperhatikan sedjarah sastera dan sandiwara jang berabadabad dan film dan radio jang berpuluh-puluh tahun, djelas sudah bahwa pada saat ini kesetiap medium itu telah matang mendjadi medium- medium jang berdiri sendiri dengan hukum- hukum jang tegak sendiri pula. Biarpun barangkali ada benarnja utjapan Menno ter Braak, bahwa sebetulnja “tidak ada estetika film…” karena dalam “perumusan estetika kita tidak bertolak dari bahan atau benda tapi manusia jang mentjipta dan menikmat”…. Jang ada hanja “hanja kemungkinan untuk menggunakan pandangan estetis jang umum mengenai bahan jang disusun setjara artistik, terhadap bentuk jang chas: dalam hal ini film “. Toh keempat medium itu mentjapai tudjuannja dengan ajat-ajat dan tjara-tjara jang begitu berbeda – jang dengan sendirinja menghasilkan hukum- hukum dan kemungkinan-kemungkinan jang berbeda-beda – sehingga keempat mereka tidak bisa kita senafaskan. Karena itu setelah memperoleh tugas tersebut saja seolah-olah beroleh kewadjiban untuk membitjarakan kedudukan “rama-rama dalam susunan tubuh ular sawah”. Saja berharap supaja saudara ketua dan saudara-saudara jang menjelenggarakan symposium ini djangan salah terima. Utjapan saja ini bukanlah sebuah olokolok jang lahir dari sikap jang sinis, atau sebuah tjemooh untuk mengetjilkan arti kerdja saudarasaudara, tapi adalah utjapan- utjapan jang sungguh-sungguh jang lahir dari kehendak untuk memperdjernih persoalan jang hendak dikemukakan. Satu-satunja kemungkin jang tinggal, ialah mentjari maksud sebenarnja dari perumusan tersebut jang dapat kita pakai dalam perbintjangan ini. Karena bukan tidak mungkin bahwa maksud panitia sebetulnja benarnja, tapi tidak dirumuskan dengan betul. Sekiranja kita tjoba merumuskan sastera atau kesusasteraan menurut tjontoh-tjontoh jang sampai sekarang ada, njatalah bahwa seni ini adalah seni dan bahwa “kesatuan komunikasinja jang terketjil terdiri dari kalimat jang dibentuk oleh kata-kata”. Kesatuan komunikasi tersebut tidak bis a kita gunakan baik bagi film, baik bagi sandiwara, baik bagi sandiwara radio. Memang pada film misalnja kita djumpai suatu bentuk jang dinamakan orang screenplay, atau pada sebuah sandiwara sebuah
tjerita drama, tapi kedudukan kedua terachir ini dalam hubungan mediumnja masing- masing sangat berbeda betul dengan kedudukan sebuah roman atau sadjak dalam hubungan kesusasteraan. Hubungan screenplay film misalnja tidaklah lebih dari hubungan sebuah bagan jang dibuat oleh seorang arsitek untuk mendirikan sebuah gedung dengan gedung jang didirikannja. Biarpun bagan itu terdiri dari garis- garis jang barangkali djuga kita temui pada seni lukis, tapi garis-garis ini disini bukan merupakan bentuk terachir dari tjiptaan seorang arsitek seperti halnja sebuah lukisan adalah bentuk terachir dari tjiptaan seorang pelukis. Demikian djuga, biarpun sebuah screenplay menpergunakan kata-kata tapia ia baru hanja pedoman untuk membuat sebuah film. Bukan begitu halnja dengan sebuah hasil sastera. Sebuah sadjak bukanlah pedoman untuk mentjiptakan jang lain. Sebuah sadjak adalah sebuah sadjak jang harus dinikmati atau tidak dinikmati sebagaimana adanja. Djadi biarpun kita mempunjai phenomenon jang disebut orang screenp lay djanganlah kita serta merta ingat kepada sastera karena ia mengutarakan diri dengan kata-kata. Seperti djuga kita tidak bergembira, karena telah lahir satu bentuk sastera jang baru, djika kantor padjak mengirimkan tagihannja kepada kita. Biarpun surat kantor padjak itu djuga mempergunakan kata-kata. Tapi ada unsur-unsur dalam kesusasteraan jang kemudian kita temui kembali dalam film, sandiwara atau radio. Unsur itu ialah “unsur bercerita”. Seperti seorang pengarang roman atau novel bertjerita, maka suatu kombinasi dari penulis scenario dan seorang suteradara film djuga menjampaikan suatu tjerita. Sebuah unsur kesusasteraan tentu belum lagi dapat disebut kesusasteraan, seperti djuga halnja garis-garis dan warna belum lagi dapat disebut seni lukis. Karena menurut hemat saja hanja pembitjaraan dari perbandingan unsur-unsur kesusasteraan – dalam hal ini tjerita – jang dapat membawa kita kepada suatu pembitjaraan jang bermanfaat, maka tugas itu saja tafsirkanlah sebagai berikut: jaitu kita akan membitjarakan masalah tjerita atau penjampaian tjerita dalam sandiwara pentas radio dan film, dengan kesusasteraan sebagai titik pertolakan. Saudara ketua, sungguhpun perumusan tugas tersebut telah dipemudah begitu rupa masih djuga ada lagi keberatan-keberatan didalamnja. Jaitu dalam djumlah medium jang disinggung. Demi kepentingan kedjernihan, maka kita harus menggambarkan alat-alat pengutaraan setiap medium. Hal ini tidaklah akan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Karena itu menurut hemat saja, akan lebih baik lagi djika dalam pertemuan ini kita bitjarakan masalah tjerita bukannja dalam hubungan sandiwara pentas, radio dan film sadja. Saja kira dengan mengambil satu medium sadja, kita sudah lebih dari tjukup mengisi waktu kita jang sangat sempit ini. Kalau kita selidiki kesusasteraan dan kita tjari bentuk jang aspek fundamentilnja, adalah “tjerita” maka kita akan memilih bentuk roman atau novel ataupun pendek. Tentu sadja sebuah sadjak djuga dapat menjampaikan sebuah tjerita tapi “menjampaikan kisah” tidaklah dapat dianggap aspek fundamental puisi, apalagi djika kita ingat puisi modern. Setjara mudah sebuah tjerita dapat dianggap sebagai “pengisahan rentetan kedjadian-kedjadiannja dalam waktu atau dalam
perturutan waktu”. Sebagai tjerita ia hanya mempunjai satu tudjuan, jaitu membuat pembatja bertanja: Apa jang terdjadi sesudah itu? Sehingga satu-satunja kesalahan jang dapat diperbuat seorang tukang tjerita, ialah bertjerita begitu rupa sehingga pendengar tidak ingin mengetahui apa jang bakal terdjadi selandjutnja. Biarpun kritik ini adalah sebuah kritik jang paling primitive jang dapat dilantjarkan terhadap sebuah tjerita tapi unsur ini adalah unsur jang azazi sifatnja jang bisa kita temui dalam setiap novel atau tjerita pendek jang baik. Rasa ingin tahu ini rupanja adala h suatu sifat fundamental jang kita temui pada manusia umumnja. Ia begitu rupa kerasnja, sehingga ditjeritakan, bahwa ia telah dapat menjelamatkan njawa puteri Scherazade. Puteri ini, biarpun ia disebutkan orang seorang tukang tjerita jang pandai mempergunakan bunga-bunga kata dan menggambarkan kedjadian-kedjadian jang menarik, sebetulnja telah diselamatkan oleh satu-satunja alat kesusasteraan jang kuat, jang bahkan dapat mendjinakkan orang jang paling liar sekalipun. Alat ini ialah: alat jang menimbulkan rasa ingin tahu apa jang akan terdjadi selandjutnja. Djika semalam- malaman ia telah bertjerita dan sinar pagi kelihatan ditepi langit, maka ia tiba-tiba berhenti dan pendengarnja begitu ingin tahu apa jang akan terdjadi selandjutnja sehingga diundurkanlah pembunuhannja, karena mau mendengar apa jang akan terdjadi selandjutnja. Saja kira inilah salah satu tulang punggung dari kekuatan Tjerita Seribu satu malam. Tapi tjerita tentu sadja bukan hanja rentetan kedjaian dalam waktu. Karena waktu sadja berjumlah akan membuat tjerita itu berarti. Dalam kehidupan kita sehari-hari disamping waktu terdapat lagi apa jang orang katakana nilai, sesuatu jang tidak diukur dengan djam ataupun menit tapi dengan intensiteitnja. Kehidupan sehari- hari praktisnja terdiri dari dari dua kehidupan. Jang pertama kehidupan dalam waktu dan kehidupan dengan nilai. Cerita mengisahkan kehidupan dalam waktu. Tidak ada pengarang roman jang dpat dikatakan berhasil, djika ia mentjoba mendjadikan unsur waktu. Pengarang Amerika Gertrude Stein misalnja, pernah mentjoba untuk tidak menghiraukan faktor waktu dan hanja mengumumkan nilai. Saja kira usahanja tidak dapat dikatakan berhasil, karena pokok utama jang harus ada pada sebuah tjerita tidak ia penuhi sama sekali. Untuk memberikan sebuah tjontoh singkat dari unsur waktu dan nilai tersebut saja ambil dibawah ini sebuah nukilan pendek dari roman Utuy Tatang Sontani “Tambera”: “Dengan sendirinja Gapipo! Dengan sendirinja!” Djawab Imbata dengan suara agak menggetah bawang. “Bahkan boleh kau lihat nanti” Hening seketika. Kemudian Lambaru memetjah kesunjian dengan perkataan jang demikian bunjinja: “Biarlah kita tidak membitjarakan orang Inggeris itu. Memang dimana- mana ia membawa kerewelan. Sekarang marilah kita menghadapi orang-orang Belanda jang datang kesini resmi atas nama kepalanja. Kesana pikiran kita dihadapkan”.
“Apa pula jang harus kita pikir itu, Lambaru?” tanja Imbata dengan suara seperti bisaa lagi. “Sebab pada pendapat saja sebagai orang tua, orang-orang Belanda berbeda dengan orang Inggeris jang datangnja berbeda pula dengan orang-orang Sepanjol atau orang-orang Portugis jang duluan datang disini terutama mengemukakan pedangnja kepada bangsa kita. Tidakkah orang-orang Belanda itu mengemukakan persahabatan dan hadiah kepadamu? Inilah, perbedaan inilah jang menarik pikiran kita”. Belum habis Lambaru berkata, Imbata sudah menjela…dsbnja”. Dalam tjontoh ini djelas bagaimana rentetan kedjadian dikisahkan dalam rentetan waktu. Djika kita boleh memakai gambaran jang lebih plastis, maka saja ingin memakai perumpaan sebuah sungai dimana kedjadian-kedjadian mengalir terus-menerus dari saat ke saat. Aspek lain dari sebuah novel jang berhubungan dengan pengisahan sebuah tjerita ialah aspek dari “para pelakunja”. Dan karena umumnja dalam roman-roman jang kita djumpai sebagai pelaku adalah manusia, maka dapatlah dikatakan: manusia- manusia dalam tjerita. Dalam soal “waktu” kita telah bertanja: apakah jang terdjadi selandjutnja? Maka dalam soal “manusiamanusia dalam tjerita” ini kita bertanja: Atas diri siapakah hal- hal itu terdjadi? Salah sebuah dari manfaat sebuah roman, demikian para pengeritik tertentu menjatakan, ialah karena roman dapat memberikan kepada kita pengalaman-pengalaman dari berbagai manusia. Pengalaman mana tidak dapat kita alami sendiri, semata karena tidak mungkinnja seorang manusia mengalami segala kedjadian jang terdapat didunia ini. Djadi ia memberikan kepada kita suatu kekajaan jang tidak bisa kita peroleh dengan djalan lain. Buku-buku lain jang membitjarakan suatu pengalaman tidak mungkin akan memberikan effek jang sama kepada kita, karena perbedaan dari tjara bekerdja seorang pengarang roman dan seorang penulis teori, ialah karena jang pertama tidak mengemukakan kepada kita pendapat-pendapat dengan langsung, tapi membangunkan bagi kita kembali satu dunia dimana pengalaman-pengalaman itu berlangsung sehingga kita dapat mengukur sendiri apa artinja pengalaman atau kedjadian tersebut. Sedangkan jang terachir hanja memberikan ulasan tentang suatu kedjadian. Jang pertama mengadakan appealnja terhadap seluruh tubuh, sedangkan jang terachir terutama mengadakan appealnja terhadap fikiran dan timbangan sadja. Tentu sadja tokoh-tokoh jang dilukiskan seorang pengarang tidak usah identik dengan tokoh-tokoh jang kita temui setiap hari. Pertama karena tokoh seorang pengarang lahir dari penjaksian tokoh itu sendiri dalam kehidupan ditambah dengan sedjumlah temperamen jang terdapat dalam diri pengarang. Dan karena tokoh jang dikemukakan dalam sebuah roamn adalah tokoh jang lebih lengkap. Dalam kehidupan seharihari suatu perasaan tersembunji hanja dapat kita arifi djika ia diutarakan dengan lahir. Djika hal ini tidak terdjadi, maka tidak akan kita kenali perasaan tersebut. Sedangkan dalam roman, dari seorang tokoh tidak ada jang tersembunji. Toh, dalam roman-roman jang baik semua tokohtokoh ini dilahirkan dari kehidupan sehari- hari. Dan djika kita mau mempergunakan kata
“chajalan” bagi sebuah roman, maka jang “chajal” dalam roman itu bukanlah tjeritanja, tapi adalah tjara fikiran berkembang mendjadi tindakan, suatu tjara jang tidak dapat kita lihat dengan mata dalam kehidupan sehari-hari. Suatu aspek lain dari roman, ialah apa jang orang sebutkan “plot”. Ada bermatjam- matjam perumusan jang diberikan mengenai “plot” ini, tapi dalam tjeramah ini saja akan me makai pengertian seperti jang dikemukakan oleh Forster. Menurut dia, seluruh plot adalah sebuah pengisahan dari kedjadian-kedjadian dengan tekanan pada sebab- musabab. Demikian “Baginda mangkat dan permaisuripun mangkat” adalah tjerita. Tapi “Baginda mangkat, lalu permaisuripun mangkat karena dukatjita” adalah sebuah plot. Faktor rentetan waktu dipertahankan, tapi pertanjaan kepada sebab lebih menekan disini. Dari itu sekiranja dalam soal tjerita kita bertanja “sesudah itu apa?” dan dalam apa tokoh-tokoh kita bertanja “siapa mereka” mengenai plot ini kita bertanja “mengapa”. Plot menghendaki ketjerdasan jang lebih tinggi dari pada pembatjanja dan djuga kesanggupan untuk mengingat apa jang telah terdjadi. Sebuah plot tidak akan berhasil djika jang membatja sudah lupa sama sekali apa jang terdjadi sebelumnja. Ia harus sanggup menimbulkan pertanjaan dalam dirinja mengapa kedjadian-kedjadian sebelumnja itu terdjadi. Ketiga aspek jang saja kemukakan diatas tadi adalah aspek-aspek fundamental diatas mana sebuah roman bisa didirikan. Tentu penambahan dari ketiga aspek tersebut: djadi adanja tjerita, waktu dan plot, belum lagi membentuk sebuah hasil jang dapat dianggap hasil seni atau hasil kesusasteraan. Ada lagi sesuatu jang belum masuk, tapi jang tidak dapat kita rumuskan. Dalam seni sering-sering kita harus memadjukan pertanjaan-pertanjaan jang sangat memusingkan. Dalam ilmu hitung misalnja kita merasa puas djika seorang mengatakan “dua mangga dan dua mangga sama dengan empat mangga”. Itu betul. Tapi dalam seni hal itu tidak betul. Dalam seni “dua mangga dan dua mangga bukan sama dengan empat mangga, tapi sama dengan empat mangga ditambah dengan “dan”. “Dan” ini adalah faktor jang tidak kita ketahui, tapi ia bersifat menentukan, bagi tinggi rendahnja nilai sastera dari sebuah roman. Paling djauh kita hanja dapat mengemukakan kumpulan-kumpulan dari penamaan sifat-sifat jang kita temui dalam romanroman jang baik, seperti keaslian fantasi pengarang, kedalaman analisanja, kelintjahan tokohnja, irama penulisannja jang sedap dan sebagainja. Pendeknja dalam hal ini kita sampai pada suatu daerah jang sangat nisbi jang ukuran-ukurannja tidak dapat dipakai dengan setjara mutlak bagi setiap roman. Tapi bagaimanapun djuga faktor tambahan ini, ketiga aspek pertama selalu ada dalam sebuah roman. Djadi mereka adalah tulang punggung dari sebuah phenomenon sastera jaitu novel.