LAPORAN UTAMA
TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 55 | JUNI 2016
7
Masjid Raya
Baiturrahman
dari Masa ke Masa
ILUSTRASI Masjid Baiturrahman sebelum terbakar pada agresi Belanda 1873, dikutip dari buku THE TRAVELS OF PETER MUNDY, IN EUROPE AND ASIA, 1608-1667. Vol. III. Part I. Travels in England, Western India, Achin, Macao, and the Canton River, 1634-1637.
M
ASJID Raya Baiturrahman yang berada di jantung Kota Banda Aceh adalah salah satu dari beberapa masjid legendaris di dunia yang memiliki sejarah panjang. Masjid ini telah melewati tahapan Perang Dunia II serta bencana paling dahsyad di abad moderen, yakni tsunami 26 Desember 2004. Di halaman masjid inilah seorang Jenderal Belanda yang terkenal pada Perang Dunia II, Johan Harmen Rudolf Köhler, tewas bersimbah darah di ujung peluru pejuang Aceh. Köhler terbunuh dalam Perang Aceh I pada tanggal 14 April 1873, saat melakukan inspeksi setelah menduduki kembali Masjid Raya Baiturrahman yang sebelumnya sempat dikuasai oleh
pejuang Aceh. Dengan sejarahnya yang cukup panjang itu, maka pantaslah jika para sejarawan kemudian menyatakan, memahami dengan baik sejarah masjid ini, berarti telah memahami sebagian sejarah perjalanan orang-orang Aceh Dikutip dari Wikipedia.org, Masjid Raya Baiturrahman dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam pada tahun 1022 H/1612 M. Bangunan indah dan megah ini terletak tepat di jantung Kota Banda Aceh dan menjadi titik pusat dari segala kegiatan rakyat Aceh Darussalam. Sewaktu Kerajaan Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada agresi tentara Belanda kedua pada Bulan Shafar 1290 Hijriah/10 April
PRAJURIT KNIL di lokasi masjid Raya Baiturrahman yang sudah terbakar tahun 1874, tampak pohon geulumpang dan dua tiang masjid (sisi kiri foto) | Sumber: media-kitlv.nl
MASJID Raya Baiturrahman, tahun 1895 | Sumber: media-kitlv.nl
MASJID Raya Baiturrahman, tahun 1905 | Sumber: media-kitlv.nl
1873 Masehi, Masjid Raya Baiturrahman dibakar. Kemudian, pada tahun 1877 Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Pada saat itu Kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang merupakan Sultan Aceh yang terakhir. Sebagai tempat bersejarah yang memiliki nilai seni tinggi, Masjid Raya Baiturrahman menjadi objek wisata religi yang mampu membuat setiap wisatawan yang datang berdecak kagum akan sejarah dan keindahan arsitekturnya, di mana Masjid Raya Baiturrahman termasuk salah satu Masjid terindah di Indonesia yang memiliki arsitektur yang memukau, ukiran yang menarik, halaman yang luas dengan kolam pancuran air bergaya Kesultanan Turki Utsmani dan akan sangat terasa sejuk apabila berada di dalam Masjid ini. Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, selain Masjidil Haram di kota suci Makkah, Masjid Raya Baiturrahman ini juga menjadi salah satu pusat pembelajaran agama Islam yang dikunjungi oleh orang-orang yang ingin mempelajari Islam dari seluruh penjuru dunia. Pada tanggal 26 Maret 1873, Kerajaan Belanda menyatakan perang kepada Kesultanan Aceh, mereka mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel Van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira. Namun peperangan pertama ini dimenangkan oleh pihak Kesultanan Aceh, di mana dalam peristiwa tersebut tewasnya Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler yang merupakan Jenderal besar Belanda akibat ditembak dengan menggunakan senapan oleh seorang pasukan perang Kesultanan Aceh. Sebagai markas perang dan benteng pertahanan rakyat Aceh, pada saat itu, Masjid Raya Baiturrahman digunakan sebagai tempat bagi seluruh pasukan perang Kesultanan Aceh berkumpul untuk menyusun strategi dan taktik perang. Sejarah mencatat bahwa pahlawan-pahlawan nasional Aceh seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien turut serta mengambil andil dalam mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman. Terbakar Masjid Raya Baiturrahman terbakar habis pada agresi tentara Belanda kedua pada tanggal 10 April bulan Shafar 1290H/April 1873 M yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Tindakan Belanda yang membakar Masjid Raya Baiturrah-
man yang merupakan masjid kebanggaan milik Kesultanan Aceh Darussalam inilah yang membuat rakyat Aceh murka sehingga melakukan perlawanan yang semakin hebat untuk mengusir Belanda dari Kesultanan Aceh. Pembakaran Masjid Raya Baiturrahman yang dilakukan oleh pihak Belanda ini membuat salah seorang putri terbaik Aceh, Cut Nyak Dhien sangat marah dan berteriak dengan lantang tepat di depan Masjid Raya Baiturrahman yang sedang terbakar, sambil membangkitkan semangat Jihad Fillsabilillah Bangsa Aceh. Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/ Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten dan sebagai permintaan maaf juga untuk meredam kemarahan rakyat Aceh, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu. Kerajaan Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman pada saat Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat masih bertahta sebagai Sultan Aceh yang terakhir. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala negeri di sekitar Koetaraja (Banda Aceh). Di mana disimpulkan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100 persen beragama Islam. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Jenderal Karel Van Der Heijden selaku gubernur militer Aceh pada waktu itu dan tepat pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Masjid Raya Baiturrahman ini selesai dibangun kembali pada tahun 1299 H dengan hanya memiliki satu kubah. Pada tahun 1935 M, Masjid Raya Baiturrahman diperluas bagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Perluasan ini dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (B.O.W) dengan biaya sebanyak F. 35.000,- (tiga puluh lima ribu gulden) dengan pimpinan proyek Ir. M. Thahir dan selesai dikerjakan pada akhir tahun 1936 M. Usaha perluasan dilanjutkan oleh sebuah panitia bersama yaitu Panitia Perluasan Masjid Raya Kutaraja. Dengan keputusan menteri tanggal 31 Oktober 1975 disetujui pula perluasannya yang kedua dan pelaksanaannya diserahkan pada pemborong NV. Zein dari Jakarta. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dekerjakan dalam tahun 1967 M.
Pada tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman melaksanakan perluasan kembali yang disponsori oleh Gubernur Dr. Ibrahim Hasan, yang meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri. Bagian masjid yang diperluas, meliputi bagian lantai masjid tempat Shalat, perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan tempat wudhu. Sedangkan perluasan halaman meliputi, taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret. Sehingga luas ruangan dalam Masjid menjadi 4.760 m2 berlantai marmer buatan Italia, jenis secara dengan ukuran 60 × 120 cm dan dapat menampug 9.000 jamaah. Dengan perluasan tersebut, Masjid Raya Baiturrahman sekarang memiliki 7 kubah, 4 menara, dan 1 menara induk. Dari masa ke masa masjid ini telah berkembang pesat baik ditinjau dari segi arsitektur maupun kegiatan kemasyarakatan. Saat bencana tsunami meluluhlantakan Tanah Rencong pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri dengan megahnya. Ombak tsunami yang mulai membasahi Bumi Aceh sungguh tak mampu menghancurkan rumah Allah ini. Pada saat itu Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat bagi rakyat Aceh berlindung juga sebagai tempat evakuasi jenazah para korban tsunami yang bergelimpangan. Setelah melewati berbagai peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat ini Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri kukuh sebagai simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh. Sekarang dan masa depan Kini, pada masa Pemerintahan Aceh di bawah pimpinan Gubernur Zaini Abdullah, Masjid kebanggaan rakyat Aceh ini kembali mengalami perluasan. Proyek pembangunan landscape dan infrastruktur Masjid Raya ini diresmikan Gubernur Aceh dr Zaini Abdullah, Selasa (28/7/2015). Sebagaimana dikutip dari Serambinews.com, pada tahap awal, akan dibangun 12 unit payung elektrik, basement tempat parkir kenderaan roda 2 dan roda 4, tempat wudhu, dan perbaikan beberapa interior bangunan. Kompleks ini akan menjadi pusat beragam aktivitas yang mendukung fungsi masjid sebagai sentral kegiatan umat Islam di Aceh. Sekolah, klinik, dan televisi Baiturahman termasuk salah satu unit yang tercantum dalam rencana pengembangan masjid kebanggan rakyat Aceh ini. Semua ini ditargetkan selesai pada Mei 2017. Untuk jangka panjang, kegiatan yang akan dilakukan adalah pembebasan lahan dan bangunan sampai ke tepi sungai Krueng Aceh.(zamnur/dbs)
8
LAPORAN UTAMA
TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 55 | JUNI 2016
Santri Membludak, Fasilitas Masih Minim n Sehari di Dayah Perbatasan Subulussalam-Tanah Karo
Santri Pelangi di Minhajussalam
B
Dayah Minhajjussalam, Santri bergotong royong. | Foto: Yayan Zamzami
S
UASANA begitu riuh. Percakapan aneka tema mengalir begitu saja diselingi tawa, walau ada juga yang serius. Serunya lagi, percakapan itu ada dalam beberapa bahasa, Indonesia, Aceh, Karo, hingga bahasa suku Pak-pak. Ini adalah gambaran suasana khataman di Dayah Minhajjusalam, satu dari empat dayah yang dibangun oleh Pemerintah Aceh untuk menguatkan daerah perbatasan Aceh, di Kota Subulussalam. Dan ini adalah khataman perdana (pelepasan lulusan pertama) sejak dayah ini didirikan tahun 2010 lalu. “Selain memang warga di Subulussalam berasal dari aneka suku, dayah ini kan juga berlokasi di perbatasan Aceh dan Karo Sumatera Utara. Jadi wajar saja ada warga berbahasa karo berbicara di sini karena
memang mereka berasal dari sana dan memilihkan dayah ini sebagai tempat anak-anak mereka menuntut ilmu, makanya suasananya jadi ramai sekali,” jelas Abu Syafruddin Al-Yusufi (47) Pemimpin Dayah Minhajjussalam. Sejenak suasana mendadak sepi. Khataman Alquran juz 30 mulai menggema, suasana haru pun menyeruak di kalangan santri, di mana rasa bangga dan syukur berbaur menjadi satu dengan rasa tidak percaya dan haru yang dirasakan oleh para orang tua santri. Air mata para orangtua santri, terutama para ibu pun menetes. Ada 36 santri yang dikhatam sebagai lulusan perdana di Dayah Minhajjussalam untuk tahun 2016 ini. Mereka adalah santri angkatan pertama yang belajar di dayah sejak dayah ini dibuka enam tahun lalu.
Abu Syafruddin mengatakan, Dayah Minhajjussalam kini mulai dilirik banyak orang. Awalnya dayah hanya menerima 60 santri, namun dari tahun ke tahun jumlah santri terus bertambah, dan kini jumlah santri sebanyak 444 orang termasuk santri baru yang lulus seleksi. “Kalau tantangan tidak usah ditanya lagi, ada banyak sekali tantangan yang dihadapi dayah dalam menghadapai lingkungannya, Alhamdulillah semua itu bisa ditangani dengan baik. Bahkan kini yang belajar di dayah tak hanya santri, tapi warga sekitar dayah pun punya kelas belajar di dayah,” jelas Abu Syafruddin. Untuk laki-laki dewasa, sebut Abu Syaf, dayah membuka kelas pengajian pada malam Jumat. Sedangkan untuk warga perempuan
EBERAPA tas berwarna hitam, ukurannya tak besar, sudah terlihat berjejer rapi. Sang pemilik tas pun berpamitan dengan Ustaz. “Siap-siap pulang kampung libur Ramadhan,” ucap Kamariah. Sambil bersalaman dengan Sang Ustaz Abu Syafruddin Al-Yusufi, ia pun berpamitan bergegas. “Kalau Ramadhan, dayah memang libur, dan para santri pulang ke kampung halaman masing-masing, nanti setelah lebaran mereka kembali lagi. Sambil bersilaturahmi dengan keluarga, para santri juga diberi kesempatan mempraktekkan ilmu yang sudah dipelajarinya di kelas,” ujar Abu Syafruddin. Kamariah pun mengaku selalu senang jika Ramadhan tiba, karena ini adalah kesempatannya bisa kembali berkumpul bersama keluarga setelah hampir setahun belajar di dayah. Wajar saja jika Kamariah menanggung rindu yang mendalam terhadap kedua orangtua dan tiga adiknya. Pasalnya gadis belia usia 17 tahun ini berasal dari Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Jarak yang cukup jauh ini tidak menyurutkan semangat Kamariah me-
dewasa, dayah membuka kelas pengajian pada Jumat pagi. Semua pelajaran yang diajarkan bersumber dari kitab-kitab ajaran agama. Semakin bertambahnya jumlah santri, pihak dayah kini juga semakin kebingungan untuk menambah fasilitas dayah. “Kebutuhan kini bertambah dan harus segera diatasi. Kami berharap pemerintah bisa menambah fasilitas untuk dayah, seperti tempat tinggal para guru, mushalla, kantor guru dan pustaka, serta laboratorium baik science maupun iptek,” jelasnya.
nimba ilmu di Dayah Minhajussalam. “Orangtua saya yang mengantarkan saya ke sini, mereka bilang di sini pelajaran agamanya sangat baik untuk bekal masa depan saya. Saya senang belajar di sini, kini saya sudah kelas 6,” katanya. Kamariah tidak sendiri, masih ada beberapa santri asal Kabupaten Karo yang belajar di Minhajussalam, di antaranya Khairunnisa (17) dan Arita (17). Walau berada di Perbatasan Kota Subulussalam dan Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Dayah Minhajussalam memang kedatangan banyak santri dari luar daerah lain, bahkan ada juga santri yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Selain itu ada pula santri dari Medan, Sumatera Utara. Kedatangan para santri ini memang dengan alasan beragam, namun alasan utama mereka adalah untuk mendapat bekal ilmu agama Islam secara menyeluruh dan mendalam. Tahun ini, Kamariah naik kelas 6, dia berharap selepas dari Dayah Minhajussalam, bisa melanjutkan lagi pelajaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.(yayan)
“Pemerintah harus serius untuk terus memperhatikan dayah-dayah di perbatasan, karena ini menjadi benteng kuat bagi pengembangan masyarakat terutama generasi muda dalam mengembangkan dan mempertahankan kehidupan yang islami,” tegasnya. Abu Syafruddin juga berharap para santri yang sudah lulus dari dayah bisa mendapat lanjutan pendidikan yang signifikan sehingga mereka bisa mengembangkan prestasi-prestasi yang sudah mereka rintis sebelumnya.(yayan)
Mencari Pengalaman Sambil Mengumpulkan Pahala n Kisah Pengajar di Dayah Perbatasan
B
AGI sebagain besar orang, pilihan mengajar di Dayah alias pesantren, apalagi yang lokasinya jauh di pedalaman, bukanlah menjadi pilihan untuk bekerja. Tapi berbeda dengan Ida Safitri Berutu (26), gadis asal Penanggalan, Subulussalam ini. Membangun dan mengabdi di daerah kelahirannya menjadi pilihan Ida. Ia pun memutuskan untuk mengajar di Dayah Minhajussalam, di Kecamatan Penanggalan Subulussalam. “Di sini saya mengajar bahasa inggris, di satu sisi pelajaran ini disukai oleh para santri, tapi di sisi lain, banyak juga santri yang kurang suka, karena sulit mengucapkan kata-katanya,” ujar Ida, menuturkan pengalaman mengajarnya. Namun demikian, tetap saja ada banyak cara yang dilakukan para guru untuk membangkitkan minat para santri untuk belajar bahasa inggris. “Misalnya, kami sering juga mengundang para warga asing, untuk datang ke dayah dan melatih para santri untuk berbicara dalam bahasa inggris,” ujarnya. Caranya, sebut Ida, guru men-
gajak para turis yang sedang transit di Subulussalam, dalam perjalanan ke Pulau Banyak, untuk berkunjung ke dayah dan berdialog dengan para santri. “Ada yang mau ada juga yang tidak, tapi kami senang, dengan cara ini para santri jadi bersemangat belajar bahasa inggris,” ujar Ida. Lain Ida, lain pula halnya Darmi (33). Mencari pengalaman baru dan beribadah menjadi tujuan utamanya memutuskan untuk mau mengabdi dan mengajar di Dayah Minhajussalam. Gadis asal Kabupaten Bireuen ini, mengaku menerima tawaran untuk mengajarkan Pelajaran Kitab Kuning untuk para santri. “Awalnya saya mengajar di Dayah Budi Lamno, kemudian mendapat tawaran untuk mengajar ke sini dari Abu, ya untuk mencari pengalaman dan sekaligus menambah kumpulan ibadah, kenapa tidak, saya putuskan untuk mau mengajar di sini,” ujar Darmi. Mengajar para santri yang tidak punya kemampuan dasar membaca kitab sebelumnya, menjadi tantangan tersendiri bagi Darmi. Apalagi, pelajaran Kitab Kuning ini menjadi
BERSAMA Pimpinan Dayah dan ustad serta santri. |
program unggulan di Dayah Minhajussalam. Dengan kesabaran dan ketekunannya, ia memberikan pelajaran dasar dan pondasi kuat bagi santri sehingga para santri memiliki kemampuan dasar memahami kitab kuning. “Pengalaman-pengalaman ini menjadi penting bagi saya, dan
FOTO: YAYAN ZAMZAMI
ini juga yang membuat saya betah mengajar di sini,” katanya. Selama Ramadhan, Dayah Minhajussalam memberi kesempatan berlibur dan mempraktekkan ilmu yang didapat oleh para santri di kampung halaman masing-masing. Libur juga berlaku bagi para ustaz dan ustazah serta para guru di
dayah. Namun bagi Darmi, libur Ramadhan kali ini tetap ia manfaatkan untuk mengabdi di dayah. “Setengah Ramadhan saya masih di dayah, nanti menjelang Idul Fitri saya akan kembali ke kampung halaman, bersilaturahmi dengan keluarga dan kemudian akan kembali lagi ke dayah,” papar Darmi.(yayan)
LAPORAN UTAMA
TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 55 | JUNI 2016
9
Resmikan PLTMG Arun, Presiden Minta Kawasan Industri Dihidupkan Lagi
PRESIDEN Jokowi didampingi Gubernur Zaini Abdullah dan Dirut PLN Persero, Sofyan Basyir melakukan peninjauan usai peresmian PLTMG Arun di Gampong Meuria Paloh, Muara Satu, Lhokseumawe, Kamis 2 Juni 2016. | FOTO: HUMAS ACEH
P
RESIDEN Republik Indonesia Ir. Joko Widodo (Jokowi), Kamis (2/6) lalu, meresmikan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) yang terletak di bekas lahan PT Arun, Desa Meuria Paloh, Muara Satu, Kota Lhokseumawe. Peresmian pengoperasian PLTMG Arun itu dilakukan dengan penekanan tombol sirine dan penandatangan prasasti. Saat peresmian, Presiden Jokowi didampingi Menteri BUMN Rini Soemarno, Dirut PLN Sofyan Basir, dan Gubernur Aceh, dr H Zaini Abdullah. Presiden Jokowi yang mengenakan kemeja putih lengan panjang, bertolak dari Lanud Sultan Iskandar Muda Aceh Besar dengan menggunakan pesawat TNI AU je-
nis CN 235, dan tiba di Bandara Malikussaleh Aceh Utara, sekitar pukul 08.45 WIB. Dari bandara, Presiden bersama Ibu Negara Iriana Jokowi, yang turut didampingi Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki dan Gubernur Zaini Abdullah, langsung menuju ke PLTMG Arun. Presiden Joko Widodo mengatakan pembangunan pembangkit listrik sangat penting dalam upaya mempercepat ketersediaan listrik di daerah-daerah. Dalam kesempatan itu, mantan wali kota Solo ini juga meminta agar kawasan industri di Lhokseumawe harus dihidupkan lagi. Hal ini dimungkinkan setelah diresmikannya Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Arun, di Desa
Meuria Paloh, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, yang berkapasitas 184 Mega Watt (MW). “Karena di sini ada pabrik Kertas Kraft Aceh, ada Pupuk Iskandar Muda, ada juga pupuk AAF, apalagi yang gede-gede? Oh iya, semen juga. Ini harus dihidupkan lagi,” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya. Presiden menjelaskan, sebelumnya ia juga sudah menyampaikan kepada Gubernur Aceh, dan berdiskusi dengan Menteri BUMN agar segera dicarikan solusi dari hambatan-hambatan di lapangan. Sehingga industri-industri di Lhokseumawe bisa hidup kembali, dan terbukanya lapangan pekerjaan. Diakui Jokowi, memang tidak mudah dalam memutuskan hal-hal
yang menghambat di lapangan. Ia memberi contoh misalnya, suplai gas. Sekarang yang ada suplai gas itu dari Tangguh, berarti dari Papua dibawa ke Aceh. “Sangat jauh sekali. Tetapi tidak apa-apa, yang paling penting ada kalkulasinya, yang paling penting ada perhitungannya bahwa secara ekonomi itu bisa visible, bisa masuk,” jelas Presiden. Kejar kekurangan Terkait proyek PLTMG Arun, Jokowi mengemukakan, setiap dirinya datang ke provinsi dan kabupaten di Nusantara ini, selalu keluhannya sama, yakni listriknya yang belum normal. “Listriknya byar pet. Hidup mati. Selalu itu keluhannya. Kemudian kalau kita membangun dengan batu bara itu, memakan waktu 4-5 tahun, waktu yang sangat panjang,” papar Jokowi. Oleh sebab itu, lanjut Presi den, untuk mengejar kekurangankekurangan yang ada di provinsi maupun di kabupaten/kota, salah satunya adalah membangun pembangkit listrik tenaga mesin gas. “Jadi PLTMG ini adalah untuk mempercepat kekurangan-kekurangan listrik di daerah,” ujarnya. Presiden menjelaskan, kalau PLTMG Arun yang berkapasitas 184MW tidak ada, sulit mengharapkan investasi masuk ke Lhokseumawe. “Inilah kecepatan PLN dalam mereaksi, merespon kekurangan-kekurangan listrik yang ada di daerah,” tegas Jokowi, sembari memuji pembangunan PLTMG Arun yang dinilainya cepat sekali, konstruksi hanya memakan waktu 3 bulan. Proyek PLTMG Arun itu berkapasitas 184MW, pembangu-
nan dilaksanakan oleh PT Wijaya Karya, dengan lama pengerjaan 18 bulan. Pelaksanaan pengerjaan proyek PLTMG Arun dimulai pada pertengahan tahun 2014. Usai diresmikan dan mulai beroperasi, Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Arun bisa langsung dinikmati oleh masyarakat Lhokseumawe dan sekitarnya. Manager Proyek, Adi Widyo Nugroho mengungkapkan, PLTMG ini sudah mulai beroperasi sejak Desember 2015, dan sudah beroperasi penuh menghasilkan listrik selama kurang lebih 6 bulan lamanya. “Setelah dikerjakan 22 Desember 2015, tahun lalu PLTMG sudah beroperasi penuh. dan langsung menghasilkan listrik,” katanya. Adapun kapasitas listrik mencapai 184 MW, atau bisa memasok 50% lebih dari kebutuhan listrik di Aceh yang tercatat mencapai 204,5 MW. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) selaku kontraktor pelaksana konstruksi menggandeng perusahaan asal Finlandia. Proyek ini memiliki nilai kontrak pembangunan mencapai Rp 1,3 triliun. “Ada kurang lebih 19 unit mesin yang ditempatkan di bangunan utama PLTMG ini yang menghasilkan kapasitas total 184 MW,” jelas Adi Widyo. Lstrik dengan teknologi Mesin Gas ini adalah yang terbesar di Indonesia. PLTMG lainnya berada di Bangkanai, Kalimantan Tengah, dengan kapasitas 150 MW, tapi belum beroperasi. “Jadi sejauh ini di Indonesia, PLTMG ini yang terbesar di Indonesia,” ungkap Adi Widyo Nugroho.(ridha)
Gubernur: PLTMG Tumbuhkan Kepercayaaan Investor “Keberadaan PLTMG ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan pemenuhan energi listrik kepada rakyat Aceh,” -- d r. H. Zaini Abdullah -Gubenrur Aceh
B
EROPERASINYA Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas atau PLTMG Arun akan memberikan kepercayaan besar bagi Investor ke Aceh, kepastian energi akan memicu investasi di Bumi Serambi Mekkah. Demikian disampaikan Gubernur Aceh, dr H Zaini Abdullah, dalam sambutan singkatnya pada acara peresmian PLTMG Arun, yang berada di komplek bekas PT Arun NGL, Gampong Meuria
PRESIDEN Jokowi didampingi Gubernur Zaini Abdullah berbelanja di Suzuya Mall Banda Aceh Rabu 1 Juni 2016, malam. | FOTO: HUMAS ACEH
Paloh, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, Kamis, (2/6/2016). “Untuk menyukseskan pembangunan berbagai sektor yang ada di negeri ini, termasuk keberhasilan investasi di sebuah daerah sangat ditentukan oleh ketersediaan energi listrik di satu wilayah. Tanpa energi listrik, negeri ini tidak hanya gelap gulita, roda ekonomi juga akan tersendat,” kata Zaini Abdullah. Untuk itu, lanjut Gubernur Zaini, program Pemerintah untuk
membangun 35 ribu MW sumber energi listrik di Indonesia harus didukung oleh masyarakat. Selama ini, memang masih banyak wilayah di Indonesia yang mengalami krisis listrik. Aceh salah satunya. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, nyaris setiap hari terjadi pemadaman listrik secara bergiliran. “Untuk itu, keberadaan PLTMG ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan pemenuhan energi listrik
kepada rakyat Aceh,” sambung Gubernur. Pria yang akrab disapa Doto Zaini ini juga menyampaikan dukungannya terhadap upaya PT. PLN yang sedang menyelesaikan pembangunan proyek PLTA Peusangan yang ditargetkan mampu menghasilkan energi listrik sebesar 88 Mega Watt. “Kami harapkan pembangunan PLTA selesai sebelum tahun 2019 atau pada periode pertama Bapak Presiden Jokowi menjabat. Demikian pula halnya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Seulawah yang berlokasi di Aceh Besar,” terang Zaini Abdullah. Fokus KEK Arun Dalam sambutannya, Gubernur juga menjelaskan, bahwa Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menetapkan kebijakan pembangunan ekonomi Aceh untuk 30 tahun ke depan akan diintegrasikan dengan paket-paket kebijakan ekonomi nasional. “Pemerintah Aceh akan segera mengeluarkan paket kebijakan ekonomi Aceh dalam 2 tahun ke depan difokuskan pada percepatan
pembangunan Kawasan Industri Lhokseumawe dan atau Kawasan Ekonomi Khusus, sejalan dengan optimalisasi fungsi kawasan LNG Arun,” jelas Doto Zaini. Saat ini, lanjut Gubernur, Pemerintah Aceh berencana melakukan revitalisasi pabrik Kertas Kraft Aceh, Pupuk Iskandar Muda, dan Pupuk Asean. Program ini akan menyerap tenaga kerja lebih dari 100 ribu orang, menciptakan lapangan pekerjaan baru mulai dari kelompok masyarakat, sektor UMKM, Perusahaan Daerah, sampai pada perusahaan negara dan privat sektor. Selain itu, Pemeritah Aceh juga akan melakukan pengembangan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas sabang menjadi hubungan utama internasional masyarakat ekonomi Asean. Dalam waktu dekat akan segera dilakukan restrukturisasi sesuai dengan kebijakan pembangunan ekonomi Aceh dan Nasional. “Kebijakan ini bertujuan untuk menjadikan sabang sebagai hubungan utama poros maritim Indonesia berstandar internasional,” tegas Zaini Abdullah.(ridha)
10
LAPORAN KHUSUS
TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 55 | JUNI 2016
Wagub: Ekspor Berdampak ke Semua Sektor --Muzakir Manaf-Wakil Gubernur Aceh
W
AKIL Gubernur Aceh, Muzakir Manaf mengajak kalangan pengusaha dan pelaku dunia usaha Aceh untuk mengambil peran dalam mengembangkan aktivitas ekspor impor supaya produk yang ada di Aceh dapat bersaing di pasar global. Menurutnya, peningkatan ekspor membawa dampak di semua sek-
FOTO: KLIKKABAR.COM
“Ekspor lewat Pelabuhan Krueng Geukueh kita upayakan terus berkesinambungan dan para eksportir tetap menjaga kualitas dan kuantitas produk.”
tor, baik itu pertanian, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya. Pemerintah Aceh, sebut Wagub, telah menyediakan fasilitas yang cukup lengkap untuk kelancaran usaha ekspor impor. Jika mau memanfaatkan jalur udara, Aceh sudah memiliki penerbangan internasional yang terkoneksi ke berbagai wilayah dunia. Jasa pelabuhan laut juga
demikian. Fasilitasnya lebih lengkap lagi, misalnya saja pelabuhan Malahayati dan pelabuhan Krueng Geukuh yang digadang-gadang sebagai gerbang ekpor impor Aceh. “Aceh juga punya pelabuhan Kuala Langsa, Meulaboh, dan Pelabuhan Bebas Sabang. Regulasi yang masih menjadi kendala dalam konteks operasionalnya akan segera dibenahi,” tegas Muzakir Manaf. Jika mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 61 Tahun 2013, Krueng Geukueh merupakan satu-satunya pelabuhan di Aceh yang bisa mengimpor produk-produk tertentu, sama halnya dengan Pelabuhan Belawan, Tanjung Priok, Dumai, atau Tanjung Emas di Semarang. Namun, berbagai kelebihan tersebut tidak tercermin pada menggeliatnya aktivitas ekspor-impor. Mantan panglima GAM ini juga mengatakan, Aceh memiliki potensi industri pengolahan peri-
kanan laut yang besar. Sektor perikanan ini terdiri dari penangkapan, budidaya, pengolahan, dan pemasaran hasil perikanan. Selama ini, sebut Wagub, cold storage di Aceh menerima hasil tangkapan nelayan untuk selanjutnya dikirim ke Medan, Sumatera Utara dan diolah, salah satunya menjadi produk ikan kalengan. “Ke depan, industri olahan akan kita prioritaskan, termasuk membangun fasilitas pendukung dan ketersediaan air bersih, sehingga pundi-pundi rupiah tidak keluar dari Aceh,” kata Muzakir Manaf. Berkembangnya industri berbasis perikanan laut ini, lanjut Wagub, dapat menciptakan pusatpusat pertumbuhan dan pemerataan industri yang selama ini lebih berpusat di Pulau Jawa. Peluang ekspor lewat pelabuhan umum Krueng Geukeuh, sebut Mualem, juga terbuka lebar, apalagi pelabuhan tersebut sudah menjadi
Bappeda Aceh Inisiasi Penyusunan Pergub Tentang CSR “Pemerintah Aceh mengatur dan mengkordinasikan pelaksanaan CSR agar tujuan-tujuan pembangunan semakin cepat terealisir,” -- Dr. Ir. Zulkifi, M.Si -Sekretaris Bappeda Aceh
B
APPEDA Aceh menginisiasi penyusunan Pergub Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP) atau sering disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Pergub bertujuan untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi Program TJSLP yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan dengan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota. “Semangat draft Pergub CSR ini untuk sinkronisasi program saja, tidak lebih dari itu,” kata Sekretaris Bappeda Aceh, Dr. Ir. Zulkifi, M.Si kepada Tabangun Aceh di ruang kerjanya, Jumat (10/6/2016). Dikatakan Zulkifli, Aceh mempunyai permasalahan klasik yaitu kemiskinan dan pengangguran yang tinggi di atas rata-rata nasional, sehingga memerlukan pembiayaan yang besar untuk menangani hal tersebut. “Ini belum lagi masalah kesehatan, pendidikan dan infrastruktur pendukung lainnnya. Karena itulah kita ingin mengsinergikan kegiatan-kegiatan TJSLP tersebut agar lebih produktif dan berkelanjutan,” katanya. Undang-undang tentang pelaksanaan TJSLP tersebut cukup banyak, Pihak-pihak yang diikat oleh ketentuan tersebut cukup luas, mulai Badan Usaha Milik Negara, penanam modal, pemilik usaha, sampai pemegang hak atas tanah. Setiap pihak yang memiliki atau diberikan hak, dibebani kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Di sisi lain, tambah Zulkifli,
TJSLP yang selama ini dilakukan belum memberikan pengaruh yang berarti bagi masyarakat dan membantu pemerintah dalam meningkatkan taraf kehidupan dan kualitas kehidupan masyarakat. “Ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum, tidak berjalannya sistem pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dan mungkin juga tidak ada panduan yang digariskan oleh pemerintah bagi perusahan yang menjalankan program TJSLP,” katanya. Lebih lanjut Zulkifli menjelaskan bahwa secara lebih spesisifik di Aceh, ada dua qanun yang mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk melakukan TJSLP, yaitu Qanun Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara dan Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan. Qanun Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral pada pasal 73 ayat (1) disebutkan bahwa pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) wajib melaksanakan perlindungan terhadap masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan. Pada ayat (5), pemegang IUP operasi produksi atau IUPK operasi produksi wajib melaksanakan pengembangan masyarakat dari setiap transaksi penjualan hasil produksi setiap tahun dan ayat (6), dana pengembangan masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling sedikit 2 persen.
Adapun Qanun No. 7/2014 tentang Ketenagakerjaan pasal 64 menyebutkan: Dalam menjalankan fungsi hubungan industrial untuk menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha dan memperluas kesempatan kerja, Perusahaan wajib melaksanakan program sebagai bagian dari CSR. Selanjutnya pada pasal 65: (1) Program/kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 sebelum dilaksanakan harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota. (2) Besaran nilai CSR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diatur dalam Qanun tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan. “Berdasar qanun itu, maka setiap perusahaan di Aceh wajib melaksanakan CSR dalam rangka menjalankan fungsi hubungan industrial, sementara Pemerintah Aceh mengatur dan mengkordinasikan pelaksanaan CSR agar tujuan-tujuan pembangunan semakin cepat terealisir,” sebut Zulkifli. Malah pada 65 ayat (2) mengamanahkan untuk membentuk dan melahirkan Qanun khusus tentang CSR. Dasar itulah Bappeda berinisiasi menyusun Pergub Pedoman Pelaksanaan program TJSLP di Aceh sehingga terkoordinasi dengan perencanaaan pembangunan Pemerintah Aceh dan mendukung satu dengan yang lainnya. Pergub itu berisi penggunaan dana CRS misalnya pembangunan sekolah untuk menunjang sektor pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana kesehatan untuk menunjang sektor kesehatan, pembangunan jalan dan penghijauan kembali lahan-lahan gundul. Kebijakan ini dapat dimulai dari BUMN atau BUMD yang merupakan milik pemerintah sehingga pemerintah memiliki kewenangan mutlak untuk mewajibkan setiap BUMN ataupun BUMD untuk melakukan TJSLP. Dengan terintegrasinya program TJSLP dengan program Pemerintah Aceh, maka diyakini TJSLP akan memberikan peran yang besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. (cekwat)
pelabuhan internasional. Diharapkan, pelabuhan umum Krueng Geukeuh menjadi pintu gerbang perekonomian masyarakat di pesisir utara dan timur Aceh. Wagub menambahkan, jika melihat sumber bahan baku, pelabuhan Krueng Geukueh sangatlah strategis. Dataran Tinggi Gayo punya beragam komoditas unggulan yang menjadi potensi utama untuk ekspor. “Ekspor lewat Krueng Geukueh kita upayakan terus berkesinambungan dan para eksportir tetap mempertahankan kualitas dan kuantitas produk,” terangnya. Mualem memberi contoh produk yang pernah diekspor ke Malaysia lewat Penang Port di antaranya pupuk organik dari Aceh Besar, daun nipah dari Aceh Utara dan Aceh Timur, kelapa dari Aceh Utara dan Lhokseumawe, serta minyak kelapa dari Aceh Besar dan Banda Aceh. Selain itu juga ada komoditas lainnya berupa kulit manis dan pinang.(ridha)
BRI Realisasikan Kredit KUR Sudah Rp 548 Miliar “Pelaku usaha yang ingin memanfaatkan pembiayaan dipersilakan menghubungi kantor BRI terdekat, dengan persyaratan usaha tersebut sudah berjalan minimal 6 bulan, ada izin usaha dari kepala desa atau keuchik setempat.” -- Ahmad Agustia -Kepala Bagian Bisnis Mikro BRI Kanwil Banda Aceh
K
UCURAN Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengalami peningkatan tajam pada tahun ini. Hanya dalam lima bulan (JanuariMei 2016), jumlah KUR yang disalurkan sudah mencapai Rp. 548 miliar dengan jumlah debitur 29.185 pelaku usaha. Bandingkan dengan tahun 2015, di mana jumlah pengusaha mikro yang mengambil KUR dari BRI sebanyak 20.067 orang, dengan nilai pinjaman Rp 306,6 miliar. Di satu sisi, kondisi ini cukup menggembirakan karena menunjukkan perkembangan pesat pelaku usaha kecil dan menengah di Aceh. Namun di sisi lain, BRI juga kewalahan untuk memenuhi tingginya permintaan tersebut. Kepala Bagian Bisnis Mikro BRI Kantor Wilayah Banda Aceh, Ahmad Agustia mengatakan, dalam rangka meningkatkan peran BRI untuk menyalurkan kredit kepada UMKM, tentunya diimbangi dana yang tersedia. Saat ini, kata Ahmad Agustia, kredit disalurkan dibandingkan dana simpanan yang dihimpun lebih besar atau Loan to Deposit Ratio (LDR) di atas 100%. Sehingga untuk memenuhi target penyaluran Rp 1 triliun pada tahun 2016 ini, BRI Kanwil Banda Aceh
meminta kepada BRI pusat untuk menutupi kekurangan tersebut. Ahmad Agustia menyarankan kiranya instansi Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota, swasta, maupun masyarakat Aceh (perorangan) yang mempunyai dana lebih, dapat menempatkan dananya di kantorkantor BRI terdekat. Sehingga percepatan program pemberdayaan para UMK yang dicanangkan bersama semakin cepat tercapai. Ahmad Agustia menjelaskan, KUR dibagi dalam dua jenis, yaitu KUR Mikro yang besarannya Rp 25 juta dan KUR Ritel dengan besaran Rp 25 sampai Rp 500 juta, dengan bunganya 9 persen. “Pelaku usaha yang ingin memanfaatkan pembiayaan tersebut dipersilakan menghubungi kantor BRI terdekat, dengan persyaratan usaha tersebut sudah berjalan minimal 6 bulan, ada izin usaha dari kepala desa atau keuchik setempat. Fasilitas tersebut boleh diajukan oleh suami istri dalam sebuah keluarga dengan usaha yang berbeda, jangka waktu pengembalian 3-4 tahun,” katanya. Kepada debitur dia bepesan agar loyal dan fokus kepada usahanya, serta bekerja keras untuk meningkatkan jaringan usahanya seluas mungkin.(cek wat)
LAPORAN KHUSUS
TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 55 | JUNI 2016
11
Nilam Woyla Rambah Eropa
Mereka sudah punya link dan pasar sendiri di luar negeri dan rutin melakukan eksport,”
“Minyak nilam biasanya kami pasarkan ke Singapore dan Malaysia. Beberapa waktu lalu pernah kami eksport ke Ceko sebanyak 1 ton. Harganya 670 ribu per kg,”
-- Cut Titi Herawati -Kabid Perindag Disperindagkop Kabupaten Aceh Barat
P
ETANI nilam di Kecamatan Woyla Barat, Kabupaten Aceh Barat, pantas bangga dan tersenyum. Minyak nilam produksi mereka mendapat tempat di berbagai negara, termasuk di benua biru Eropa. Para petani nilam itu tergabung dalam wadah Koperasi Industri Nilam Aceh (KINA). “Koperasi itu dibentuk oleh NGO dan BRR setelah tsunami, dan kini menjadi salah satu binaan Disperindagkop Aceh Barat. Mereka sudah punya link dan pasar sendiri di luar negeri dan rutin melakukan eksport,” kata Cut Titi Herawati, Kepada Bidang Perindag Dinas Perindustrian, Industri, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Aceh Barat, kepada Tabangun Aceh, di ruang kerjanya, Rabu (1/6/2016). Ungkapan senada juga diutarakan Fauzi, Ketua KINA. Ditemui di lahan perkebunan dan mesin pengolah nilam (ketel) milik kelompok Cahaya Tani di Kecamatan Woyla Barat, Fauzi mengatakan, KINA terdiri dari 5 kelompok. Setiap kelompok mempunyai anggota, lahan perkebunan dan ketel tersendiri. “Totalnya ada 87 orang anggota di bawah KINA. Khusus di kelompok Cahaya Tani ada 27 anggota. Mereka memiliki lahan dan dua unit ketel di Desa Kulam Kaju, Woyla Barat,” kata Fauzi didampingi M. Yunan, pengelola aset KINA. “Minyak nilam biasanya kami pasarkan ke Singapore dan Malaysia. Beberapa waktu lalu pernah
kami eksport ke Ceko sebanyak 1 ton. Harganya 670 ribu per kg,” lanjut Fauzi. Biasanya eksport dilakukan dengan menggabungkan produksi dari berbagai daerah lain. “Sekali eksport sekitar 200-300 kg dan dilakukan via Pelabuhan Belawan,” lanjut Fauzi yang siap melayani diskusi tentang nilam melalui HP. 085276800896. Ditambahkannya, untuk sekali produksi sebanyak 150 kg nilam kering. Untuk dua unit ketel artinya 300 kg daun nilam kering sekali naik. “Setiap 150 kg bahan baku menghasilkan 5 kg minyak nilam,” katanya. Bantuan Caritas KINA adalah koperasi yang dibantu pendiriannya oleh Caritas, salah satu NGO internasional yang bekerja untuk pemulihan
-- Fauzi -Ketua Koperasi KINA Aceh Barat Aceh pascatsunami, tepatnya pada 2011. Salah satu program Caritas di Aceh Barat adalah bekerja untuk pemulihan ekonomi masyarakat. Mereka yang mempunyai minat di bidang perkebunan nilam dibantu dan diarahkan untuk membentuk usaha bersama melalui koperasi. Pada awal pendiriannya, Caritas menyediakan berbagai kebutuhan untuk koperasi ini. Selain memberi pelatihan, Caritas juga menyediakan 1 gedung kantor, mobil operasional (Panther pick up), hand tractor, genset listrik, komputer dan laptop dan 1 set alat pengolah nilam. Khusus pelatihan diadakan selama 2 tahun. Setelah koperasi ini mapan dan berjalan Caritas pun pergi meninggalkan Aceh. Hasil kerja relawan Caritas masih membekas hingga saat ini. (hasan basri m.nur)
Fauzi (2 kiri) dan M Yunan (2 Kanan) memperlihatkan kebun nilam milik Koperasi KINA Aceh Barat. | FOTO: HASAN BASRI M NUR
Kendala Petani Nilam Woyla “Kalau lagi nggak ada bahan baku ya ketel milik kami menganggur. Padahal usaha ini sangat menjanjikan secara ekonomi,” -- M.Yunan -Pakar tanaman Koperasi KINA Woyla, Aceh Barat
S
EMENTARA itu, pengelola asset dan pakar tananam KINA, M.Yunan, mengatakan, pihaknya mengalami kendala dalam hal ketersediaan lahan kebun yang cocok untuk menanam nilam. Lahan yang dimiliki hanya seluas 0,5 ha. “Lahan yang kami miliki hanya setengah hektar. Sementara lahan lainnya tidak sesuai struktur tanahnya. Telah kami coba di lahan yang agak rendah tapi mengalami gagal panen setelah 4 bulan. Waktu panen untuk tanaman ini adalah antara 6-7 bulan,” kata M. Yunan. Konsekuensi kecilnya lahan adalah sedikitnya hasil produksi. Ujungnya, ketel pun sering menganggur. “Kalau lagi nggak ada bahan baku ya ketel milik kami menganggur. Padahal usaha ini sangat menjan-
jikan secara ekonomi,” sambung dia. Untuk itu, kata Yunan, pihaknya akan menggarap serai (sereh) dalam waktu dekat. “Saya sudah sarankan pada ketua koperasi untuk menanam serai wangi agar ketel tetap bekerja. Kami sudah lakukan studi banding ke Gayo Lues tentang ini,” kata Yunan. “Kami bahkan telah melakukan ujicoba tanaman serai di sini dan mengolahnya. Sampelnya kami kirim ke laboratorium di Banda Aceh dan ternyata hasilnya minyak atsiri produksi kami paling bagus kualitasnya,” katanya. “Harganya memang jauh di bawah nilam, hanya di kisaran Rp. 200 ribu per kg. Tapi minyak atsiri dari serai lebih mudah bahan bakunya,” pungkas M.Yunan optimis. (hasan basri m.nur)
Sri Dewi Sulap Enceng Gondok Menjadi Kursi Tamu S
RI Dewi (37) bersama ibu, “Kursi tamu dan kursi santai adalah yang suami dan adiknya tergolong paling banyak peminat. Biasanya kami jual kreatif. Betapa tidak, tumbudengan harga Rp. 4 per set. Sementara untuk han enceng gondok yang dianggap wabah oleh petani berhasil mereka kursi santai tunggal Rp 2 juta per unit,” sulap menjadi aneka souvenir, tas
-- Mawaddah -Perajin Enceng Gondok di Nagan Raya
MAWADDAH (kiri), Sri Dewi (kanan) duduk di kursi yang terbuat dari enceng gondok dan memegang tas dari enceng gondok | Foto: Hasan Barsri M Nur
hingga kursi tamu. “Usaha mengolah enceng gondok ini kami lakukan setelah adanya pembinaan oleh NGO yang bekerja dalam pemulihan Aceh pascatsunami,” kata Sri Dewi, ibu tiga anak kepada Tabangun Aceh, di rumahnya di Desa Kuala Tuha, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Rabu (1/6/2016). Saat itu NGO menawarkan berbagai program pengembangan ekonomi kepada masyarakat korban tsunami. Sri Dewi bersama 11 temannya memilih kerajinan tangan berupa pengolahan enceng gondok menjadi benda-benda bermanfaat. Mereka membentuk koperasi Bungong Seulanga. “Awalnya pihak NGO mendatangkan perajin dari Yogyakarta. Kami dilatih dasar-dasar kerajinan khususnya tentang pemanfaatan
enceng gondok selama dua minggu,” kata Sri Dewi didampingi ibu dan adik kandungnya yang juga perajin enceng gondok. Kini, Sri Dewi menjadikan enceng gondok sebagai salah satu sumber ekonomi dalam mengasapi dapur keluarga. Batang enceng gondong dikeringkan, diberi warna, lalu dikepang dan selanjutnya diolah menjadi berbagai buah tangan hingga kursi tamu. Sementara adik Sri Dewi, Mawaddah (18), mengatakan, proses pembuatan kursi tamu memakan waktu hingga dua bulan per set. “Untuk satu set kursi tamu yang terdiri dari dua kursi single, satu kursi panjang dan satu meja butuh waktu dua bulan menyiapkannya,” ujar Mawaddah yang tamatan SMKN 2 Blang Pidie jurusan Tata Busana. “Kursi tamu dan kursi santai adalah yang paling banyak peminat. Biasanya kami jual dengan harga Rp. 4 per set. Sementara untuk kursi santai tunggal Rp 2 juta per unit,” sambung Mawaddah yang siap melayani pemesanan melalui
HP. 082273090668. Ditanya tentang kendala, Sri Dewi dan Mawaddah menyebut lima hal, yaitu: n Modal kerja. Selama ini pekerjaan dilakukan sesuai pemesanan. Ini disebabkan tidak adanya modal kerja. n Mesin pengering. Pengeringan dilakukan secara manual dengan menjemur. Ketika musim hujan maka tidak dapat dilakukan pengeringan. n Anti jamur. Enceng gondok yang tidak betul-betul kering dapat berjamur. Mereka butuh obat anti jamur. n Campuran pewarna. Enceng gondok yang telah dikeringkan perlu diberi warna sesuai selera. Campuran pewarna belum tersedia di Nagan. Mereka membelinya di Yogyakarta. n Angkutan produk. Banyak pemesanan dari luar Aceh, tapi terkendala pengiriman yang terlalu mahal sehingga pembeli cenderung membatalkan pesanannya karena tingginya ongkos kirim. (hasan basri m.nur)
12
LAPORAN KHUSUS
TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 55 | JUNI 2016
Pentingnya Regulasi Halal di Serambi Mekkah “Kita tentu berharap qanun yang mewujudkan sistem jaminan halal ini menjadi prioritas Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, agar lahir tahun ini juga.” -- Tgk H Faisal Ali -Wakil Ketua MPU Aceh
S
EBAGAI daerah bersyariat Islam, Aceh idealnya menjadi pelopor dalam melaksanakan sistem jaminan sertifikasi makanan halal yang dikeluarkan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Pemerintah Aceh, diharapkan secepatnya mengeluarkan regulasi untuk mewujudkan makanan halal bagi masyarakat. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali mengungkapkan, dalam pandangan Islam, makanan yang dikonsumsi oleh manusia juga
berpengaruh dalam hal ibadah. “Makanan halal merupakan tuntunan agama dan salah satu cara mustajabah do’a adalah makan yang halal. Mengnsumsi sesuatu yang halal adalah wajib bagi setiap muslim dan kehalalan makanan bukan saja dilihat dari sisi zatnya, tetapi juga cara prosesnya. Selain itu juga memenuhi unsur gizi dan higenis,” kata Tgk Faisal Ali, kepada Tabangun Aceh, Senin (30/5/2016). “Umara dan ulama, berkewajiban melindungi masyarakatnya
terkait sertifikasi kehalalan sebuah produk. Untuk itu kita berharap Pemerintah Aceh perlu secepatnya mengeluarkan regulasi untuk mewujudkan makanan halal bagi masyarakat Aceh,” ungkap Pemimpin Dayah Mahyal ‘Ulum AlAziziyah Sibreh, Aceh Besar ini. Apalagi, lanjut Tgk Faisal Ali, Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam telah memerintahkan pentingnya implementasi sistem jaminan halal. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan, “Pemerintah Aceh berke-
wajiban melaksanakan sistem jaminan halal terhadap barang dan jasa yang diproduksi dan beredar di Aceh.” Sementara ayat (2) “Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan sistem jaminan halal diatur dengan Qanun Aceh.” “Kita tentu berharap qanun yang mewujudkan sistem jaminan halal ini menjadi prioritas Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, agar lahir tahun ini juga. Jangan sampai sia-sia kita beribadah setiap hari, jika ternyata makanan yang kita konsumsi itu ternyata tidak halal, bahkan mengarah kepada yang diharamkan dalam agama kita,” tegas ulama yang akrab disapa Abu Sibreh ini. Menurutnya, dalam rangka memenuhi kewajiban pelaksanaan syariat Islam di Aceh, persoalan makanan halal harus mendapat perhatian khusus sehingga jangan sampai masyarakat Aceh memakan makanan yang jauh dari kriteria halal. Ia mencontohkan di Malaysia, sudah sangat jelas mengatur
ada tiga jenis makanan yaitu, yang dijamin halal, dijamin haram serta tidak dijamin halal. “Jangan sampai kita yang mengaku daerah bersyariat Islam, justru tertinggal dari negeri tetangga, hanya gara-gara kita tidak peduli halal haram makanan yang kita makan,” ujarnya. Ia juga menegaskan, selama ini MPU Aceh sudah berupaya menerapkan konsumsi makanan halal dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, hanya mau ambil katering pada makanan yang sudah jelas ada sertifikasi halal. "Ini harus juga diikuti oleh lembaga-pemerintahan lainnya di Aceh. Utamakan kehalalan makanan yang dikonsumsi pada saat suatu kegiatan atau rapat digelar Balai POM juga harus sering razia makanan, untuk memastikan kehalalannya, jangan hanya saat menjelang hari raya saja. Terutama saat menjelang bulan Ramadhan dan makanan untuk buka puasa,” jelas Ketua PWNU Aceh ini.(ridha)
Urus Sertifikat Halal tidak Dikenakan Biaya “Label halal tidak boleh dibuat sendiri oleh pihak pengusaha. Sertifikasi halal hanya sah jika dikeluarkan oleh LPPOM MPU Aceh. Untuk mengurus sertifikasi ini sama sekali tidak dikenakan biaya alias gratis.” -- Azhari Hasan -Asisten II Sekda Aceh
S
OSIALISASI tentang konsep dan strategi pemasaran Wisata Halal, diharapkan dapat memacu seluruh pemangku kebijakan di Aceh untuk mempersiapkan diri sedini mungkin untuk menjadikan Aceh sebagai tujuan wisata halal di Indonesia dan dunia. Asisten Sekda Aceh Bidang Keistimewaan, Pembangunan, dan
Ekonomi, Azhari Hasan SE, M.Si mengatakan langkah untuk memacu usaha pariwisata Islami dan halal di Aceh akan terus berkembang, karenanya perlu label halal untuk semua produk makanan. “Label halal tidak boleh dibuat sendiri oleh pihak pengusaha. Sertifikasi halal hanya sah jika dikeluarkan oleh LPPOM MPU. Untuk
mengurus sertifikasi ini sama sekali tidak dikenakan biaya alias gratis. Label halal itu nantinya akan dicantumkan pada produk atau tempat usaha yang dikembangkan,” kata Azhari Hasan. Azhari juga mengimbau seluruh pengusaha restoran, rumah makan, café, pengusaha produk makanan/ minuman, perhotelan dan tempat-
tempat wisata serta usaha wisata lainnya, agar segera mengurus sertifikasi halal di LPPOM MPU Aceh. Selain mengurus sertifikat halal, para pengusaha juga diharapkan memberikan pelayanan yang menggambarkan wisata Islami sesuai Syariat Islam. “Semoga upaya kita untuk mendeklarasikan wisata halal dan Islami di Aceh dapat segera berkumandang ke seluruh dunia,” harapnya. Mantan Kadis Pendapatan dan Keuangan Aceh ini juga menegaskan, bahwa saat ini Pemerintah Aceh telah membentuk kelompok kerja untuk memastikan status halal bagi pelayanan di restoran, rumah makan, café dan lainnya. Di samping itu, lanjut Azhari Hasan, ada juga pokja halal bagi hotel, paket-paket wisata serta pemben-
tukan Tim Koordinator Percepatan Realisasi Label Halal di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar sebagai proyek percontohan untuk Aceh. Azhari menyebutkan, saat ini Lembaga Pengkajian Pangan, ObatObatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Permusyawaratan Ulama telah mengeluarkan puluhan sertifikat halal kepada produk makanan/ minuman, termasuk rumah potong hewan di Kota Banda Aceh. “Inilah yang menjadi salah satu ukuran sehingga pengertian tentang wisata halal mendapat pengakuan secara nyata dari lembaga resmi yang ditunjuk. Semua akan menjadi pelengkap bagi fasilitasfasilitas utama lain yang akan terus kita kembangkan guna menegaskan status sebagai daerah dengan wisata Islami,” pungkas Azhari. (ridha)
70 Perusahaan Pangan Sudah Bersertifikat Halal
K
“Dijumlahkan seluruh Aceh, maka pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikat halal kira-kira 10 hingga 15 persen.” -- Deni Chandra -Kepala Laboraturium LPPOM MPU Aceh
EPALA Sekretariat MPU Aceh Saifuddin Puteh mengatakan, hingga tahun 2015 lalu, sebanyak 70 perusahaan pangan di Aceh sudah memiliki sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Permusyarakatan Ulama (MPU) Aceh. Pemberian sertifikat halal kepada 70 perusahaan itu sudah melalui audit yang dilakukan LPPOM MPU Aceh. Dijelaskannya, audit yang dilakukan meliputi bahan, proses pembuatan, fasilitas, izin usaha, dan sanitasi. “Jika dari kelima itu sudah terpenuhi baru kita keluarkan sertifikat halal,” kata Saifuddin Puteh di Banda Aceh.
Diakuinya, untuk memberikan sertifikat halal saat ini sifatnya sukarela. Artinya, hanya perusahaan-perusahaan yang mau diaudit kehalalannya saja yang diberikan sertifikat halal setelah melalui berbagai proses. Namun, pada tahun 2019, berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, maka perusahaan wajib memiliki sertifikat halal. Perusahaan yang tidak memiliki sertifikat halal, bisa dikenai sanksi mulai dari sanksi administrasi hingga pidana. Kepala Laboraturium LPPOM MPU Aceh Deni Chandra, merincikan, dari 70 sertifikat halal yang dikeluarkan tersebut didominasi oleh pelaku usaha pengola-
han makanan, satu rumah potong hewan (RPH), dan dua katering. Sertifikat halal yang sudah dikeluarkan dan masih berlaku itu umumnya di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Bener Meriah. “Dijumlahkan seluruh Aceh, maka pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikat halal kirakira 10 hingga 15 persen,” jelasnya. Menurut Deni, masih banyaknya pelaku usaha yang belum memiliki sertifikat halal karena beranggapan bahan baku dan proses yang dilakukan sudah halal. Padahal, untuk memperoleh kehalalan ada beberapa penilaian, yaitu bahan-bahan baku yang digunakan harus ada logo halal semua. Selain itu proses pengolahan, pencucian
dan penjemuran, serta fasilitas yang digunakan juga harus halal dan sesuai ajaran Islam. Deni Chandra menambahkan agar bahan baku yang digunakan para pelaku usaha di Aceh bersertifikat halal semua, maka Disperindag Aceh harus mengatur tata niaga barang-barang dari distributor agar barang yang digunakan masyarakat bersertifikat halal. “Hal ini juga perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak agar restoran dan rumah makan di Aceh bersertifikat halal semua, sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke Aceh,” kata Deni.(ridha)
LAPORAN KHUSUS
TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 55 | JUNI 2016
Walau Produk Lokal, Jangan Lupa Cek Reg BPOM
Ini dia Prosedur Sertifikasi Produk Halal
S
ERTIFIKAT halal saat ini telah menjadi syarat dalam bisnis produk halal. Tidak hanya sebagai penanda terhadap produk yang sudah dijamin kehalalalnya, tetapi sudah menjadi indikasi untuk produk berkualitas tinggi. Ketentuan halal yang melekat padanya, membuat produk memiliki keamana dan kebaikan untuk dikonsumsi. Seiring meningkatnya kompetisi bisnis produk halal di pasar regional dan global, Pemerintah Aceh kemudian bergerak cepat dalam upaya meningkatkan minat pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Selain intens dalam melakukan penyuluhan produk halal, Pemerintah juga mendanai pelaksanaan sertifikasi halal. Pengurusan sertifikat halal di Aceh tidak dipungut biaya alias gratis. Sertifikasi halal dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dengan lembaga pelaksana Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Kosmetika, dan Makanan (LPPOM). “Ini telah menjadi komitmen Pemerintah Aceh untuk menciptakan masyarakat sadar halal,” terang Kepala Sekretariat MPU Aceh, Saifuddin Puteh.
Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, pelaku usaha dapat mengajukan permohonan ke LPPOM MPU Aceh. Adapun persyaratan yang harus disiapkan oleh pelaku usaha sebagai pemohon, antara lain; photo copy KTP, profil perusahaan, matrik bahaan baku dan diagram alir proses produksi. Tata cara sertifikasi halal dimulai dengan menyampaikan pengajuan permohonan sertifikasi halal, melengkapi persyarakat yang diminta dan penjadwalan audit. Pemeriksaan mencakup menajemen produsen dalam menjami kehalalan produk, pemeriksaan dokumen spesifikasi yang menjelaskan asal usul bahan, komposisi dan proses pembuatannya. Begitu juga dengan observasi lapangan, yang mencakup proses produksi secara keseluruhan mulai dari penerimaan bahan, produksi, pengemasan dan penggudangan serta penyajian untuk restoran/catering/outlet. Selanjutnya, laporan hasil audit akan dibahas dalam siding komisi fatwa MPU Aceh. Sidang komisi ini dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.(ridha)
Syarat-Syarat Pendaftaran Sertifikasi Halal (Restoran & Katering)
• Surat permohonan sertifikasi halal yang ditandatangani oleh pemilik/ pimpinan perusahaan di atas materai Rp 6000; • Pas photo pemilik/pimpinan perusahaan ukuran 3x4cm 2 lembar; • Copy KTP pemilik/pimpinan perusahaan 1 lembar; • Copy KTP auditor halal internal 1 Lembar; • Daftar bahan baku untuk seluruh produk yang disertifikasi halal; • Matriks bahan baku untuk setiap menu yang disertifikasi halal; • Copy sertifikat halal atau label halal yang masih berlaku dari setiap bahan baku yang dipergunakan; • Copy sertifikat halal sebelumnya (untuk sertifikasi pengembangan/ perpanjangan); • Manual Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk perusahaan baru atau revisi manual SJH untuk perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal; • Copy status SJH atau sertifikat SJH (untuk perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal); • Diagram alir proses produksi produk yang disertifikasi; • Copy sertifikat halal atau komposisi bahan pada produk konsinyasi yang dibuat oleh produsen; • Daftar alamat (baik milik sendiri maupun sewa); • Peta lokasi dan tata letak, jika perusahaan, dapur, gerai, gudang dan maklon merupakan bagian dari sebuah site/komplek, maka lampirkan juga lay out site secara keseluruhan. • Surat Keputusan Pengangkatan Auditor Halal Internal (AHI) oleh pemilik/pimpinan perusahaan; • Surat pernyataan pemilik/pimpinan perusahaan bahwa fasilitas produksi bebas dari unsur-unsur haram dan najis. (Sumber: MPU Aceh)
KATA MEREKA
Lebih Nyaman dalam Memasarkan PADA prinsipnya saya pribadi sangat mendukung pemberlakuan sertifikat halal pada JACKY (Pemilik Nozy Juice) produk makanan dan minuman. Produk kami sendiri, Nozy, yang merupakan produk minuman kemasan sari buah tanpa pengawet sudah memiliki sertifikat halal dari MPU Aceh sejak produk ini beredar di pasaran. Proses pengurusannya pun sama sekali tidak dipungut biaya. Sejak produk kami memiliki logo halal, kami pun merasa lebih nyaman dalam memasarkannya, hal ini dikarenakan ada beberapa konsumen yang peka, meskipun kadangkala ada yang kurang peduli juga. Oleh karena itu, kami mendukung penuh upaya pemerintah untuk mengkampanyekan pentingnya sertifikat halal pada produk makanan dan minuman.Sebagai produk lokal asli Aceh, kami juga sangat berharap masyarakat Aceh mau membeli produk kami Nozy Juice sehingga mampu membangkitkan ekonomi kita secara tidak langsung. [medi]
SERTIFIKASI Halal menjadi sesuatu hal yang wajib dimiliki oleh suatu produk baik itu berupa makanan ataupun NURHASANAH minuman, (Ibu Rumah Tangga) mengingat bahwa sebagian besar masyarakat di Aceh adalah Muslim yang sangat sensitif terhadap makanan haram. Mengkonsumsi pangan haram akan memberikan banyak dampak yang tidak baik bukan hanya menimbulkan penyakit secara fisik melainkan juga penyakit secara mental/spiritual. Konsumsi pangan tidak halal merupakan dosa pertama yang dilakukan oleh nenek moyang manusia (Nabi Adam AS) yang menyebabkannya dikeluarkan dari surga. Selain itu, konsumsi pangan tidak halal mengakibatkan doa tidak diterima, ibadah ditolak Allah SWT, dan susah taat serta senang maksiat. Dengan adanya pencantuman label halal, kami sebagai ibu rumah tangga merasa lebih aman dalam mengolah, mengkonsumsi dan menghidangkan makanan tersebut untuk disantap bersama keluarga. [medi]
13
“BPOM sendiri juga harus meregister produk-produk itu demi keamanan dan keselamatan konsumen, karena itu adalah hal utama dan prioritas yang menjadi tugas BPOM.” -- Syamsuliani -- Kepala BPOM Aceh
G
AYA hidup masyarakat saat ini, sangat mempengaruhi pola konsumsinya. Sementara itu, pengetahuan masyarakat akan memilih dan menggunakan suatu produk secara tepat, benar, dan aman belumlah memadai. Di lain pihak, iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan terkadang tidak rasional. Hal tersebutlah yang meningkatkan resiko yang luas mengenai kesehatan dan keselamatan konsumen. Maka, salah satu cara untuk mencegah hal tersebut adalah seperti yang tercantum dalam PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap peredaran porduk pangan olahan di seluruh Indonesia adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI. Badan POM adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah, dan mengawasi produk-produk dengan tujuan melindungi keamanan, keselamatan
dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk Badan POM yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibelitas profesional yang tinggi. Demikian pula halnya dengan aneka produk yang dihasilkan oleh industri rumah tangga (IRT) di Aceh. Kepala BPOM Aceh Syamsuliani, mengatakan saat ini cukup banyak produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dari Industri Rumah Tangga (IRT) bermunculan di Aceh. Meski produk lokal dan dihasilkan oleh rumah tangga, konsumen tetap harus waspada dalam mengkonsumsi aneka produk tersebut. “BPOM sendiri juga harus meregister produk-produk itu demi keamanan dan keselamatan konsumen, karena itu adalah hal utama dan prioritas yang menjadi tugas BPOM,” ujar Syamsuliani. Apalagi untuk saat ini, sebut Syamsuliani, proses untuk melakukan registrasi produk sudah jauh lebih mudah, karena UMKM bisa melakukan e-register, dan langsung akan terkirim ke BPOM Pusat. Setelah itu, maka akan dilakukan verifikasi oleh BPOM Aceh. Kalau semua sudah
Fungsi Badan POM Antara Lain
1. Pengaturan, regulasi, dan standarisasi. 2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan “Caracara Produksi yang Baik”. 3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar. 4. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum. 5. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk. 6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan. 7. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.
memenuhi syarat, maka nomor register BPOM pun akan dikeluarkan. “Salah satu syaratnya juga adalah izin dari dinas kesehatan,” katanya. Selain itu, dengan melengkapi syarat pendataan produk, seperti ijin kesehatan, register BPOM, sertifikat halal, ini akan menjadikan produkproduk UMKM siap untuk menjajal pasar yang ada. “Apalagi di era pasar terbuka yang sudah di depan mata, yakni era MEA alias Masyarakat Ekonomi Asia, di mana barang-barang dari luar negeri akan mudah masuk ke tempat kita, jangan sampai kita kalah saing dengan produk luar,” tegas Syamsuliani. Produk lokal, tambahnya, harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Demi bisa bersaing di pasar, diharapkan semua produk UMKM bisa memenuhi syarat-sayarat kelayakan sebuah produk, sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat juga bisa bersaing di pasar global.(yayan)