DIVESTASI SAHAM BIDANG PERTAMBANGAN PADA KEPEMILIKAN SAHAM PT. FREEPORT INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh: Rudi Hartono 1111048000009
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2015 M/1436 H i
ABSTRAK Rudi Hartono. NIM 1111048000009. Divestasi Saham Bidang Pertambangan Pada Kepemilikan Saham PT. Freeport Indonesia. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1425 H/2015 M. Isi : x + 79 halaman + lampiran, 48 daftar pustaka (1974 – 2015) Skripsi ini menganalisis mengenai kewajiban divestasi saham bidang pertambangan oleh pemegang izin usaha pertambangan yang dikuasai asing khususnya PT. Freeport Indonesia kepada peserta Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif dengan jenis deskriptif dan bersifat kualitatif. Penulis menganalisis antara hubungan penyesuaian kontrak karya di dalam ketentuan peralihan terhadap kewajiban divestasi. Selanjutnya juga mengkaji mengenai besaran divestasi saham yang harus dilaksankan PT. Freeport Indonesia serta hambatan-hambatan untuk tercapainya kewajiban tersebut. Selain itu, penulis menganalisis sanksi yang dapat dikenakan apabila tidak melaksanakan kewajiban divestasi oleh para pihak. Hasil Penelitian menyimpulkan, Berdasarkan ketentuan UU No. 4 Tahun 2009 dan PP No. 77 Tahun 2014 hingga waktu yang ditentukan PT. Freeport Indonesia belum memenuhi kewajiban divestasi saham. Ketentuan mengenai kepastian hukum dan kewajiban penyesuaian kontrak karya tidak jelas dengan kata lain ambigu, sehingga menimbulkanya banyak penafsiran hukum. Kewajiban divestasi saham sulit terealisasi karena lemahnya undang-undang yang mengatur, kurangnya komitmen dari pihak PT. Freeport Indonesia dan pemerintah Indonesia. Maka Perlu adanya perbaikan undang-undang dalam hal peraturan yang mengatur penyesuaian kontrak karya. Sehingga kewajiban divestasi dapat dilaksanakan tanpa adanya benturan dengan kontrak karya.
Kata Kunci
: Divestas Saham, Pertambangan, PT. Freeport Indonesia
Pembimbing
: 1. Burhanuddin, SH., MH. 2. Nur Habibi, SH.I, MH
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak ujian dan cobaan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“DIVESTASI
SAHAM
BIDANG
PERTAMBANGAN
PADA
KEPEMILIKAN SAHAM PT. FREEPORT INDONESIA” ini dengan baik. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MH, dan Arip Purkon, SH.I, MA, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3.
Burhanuddin, SH., MH., dan Nur Habibi, SH.I, MH., selaku dosen pembimbing skripsi I dan dosen pembimbing skripsi II yang dengan sabar telah memberikan arahan kepada penulis.
4.
Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama kuliah kepada penulis, dan tidak lupa kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.
5.
Suryani , ibunda penulis yang sangat penulis cintai, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat, doa, semangat, serta dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
6.
Ismawati, Ismawarni Mariana, Ismawardi, Sitti Safro adalah kakak-kakak yang sangat penulis cintai, terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini.
7.
Andrio, Idham, Lisanul Fikri, Syawal Ritonga, Iliyas Aghini, Rifky Alpiandi, Febyo Hertanto, Kurnialif Triono, Dadan Gustiana, Nevo Amaba, Ian Nurdiansyah, Muhammad Bara, Fadilah Haidar, Mazda, Supandri, serta sahabat-sahabat penulis saat kuliah. Bersama mereka penulis berproses bersama dan menjadi keluarga. Terima kasih atas bantuan, pengalaman, dan kenangan yang indah bersama kalian.
8.
Iman Hermawan, Reza Umri, Muhammad Riyadi, Bang Golam, Bang Omin, Muhammd Suzi Ramadari dan teman-teman lain yang sudah memberikan dukungan moril dan materilnya selama ini.
vii
9.
Teman-teman Anak Rimba Langkat, Keluarga Cemara Lawu, PGI Chapter Jawa Barat, Jungle Ghost. Terima kasih atas waktunya selama ini yang telah menyempatkan waktunya berpetualang bersama penulis.
10.
Serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali doa dan ucapan terima kasih
kepada kalian, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua yang membacanya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Ciputat, 7 Juni 2015
Rudi Hartono
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul Skripsi………………………………………………………………………………i Lembar Pengesahan Pembimbing……………………………………………………….ii Lembar Pengesahan Panitia……………………………………………………………..iii Lembar Pernyataan………………………………………………………………………iv Abstrak…………………………………………………………………………………….v Kata Pengantar…………………………………………………………………………...vi Daftar Isi………………………………………………………………………….……….ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakan Masalah………………………………………………….. 1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah…………………………. 7 C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan……………………………… 8 D. Tinjauan Kajian Terdahulu…………………………………………….. 9 E. Kerangka Teoritis……………………………………………………… 10 F. Kerangka Konseptual………………………………………………….. 13 G. Metode Penilitian……………………………………………………..
16
H. Sistematika Penulisan…………………………………………………... 18 BAB II
HUKUM DIVESTASI A. Pengertian Hukum Divestasi…………………………………………… 19 B. Objek dan Ruang Lingkup Hukum Divestasi……………………………. 21 C. Dasar Hukum Divestasi………………………………………………… 22 D. Asas-Asas Hukum Divestasi…………………………………………… 24 1. Asas Manfaat………………………………………………………… 24 2. Asas Kebebasan Berkontrak…………………………………………. 25 3. Asas Konsensualisme……………………………………………….. 27 4. Asas Pacta Sunt Servanda…………………………………………… 29 5. Asas Akuntabilitas………………………………………………….. 30 E. Manfaat dan Tujuan Divestasi Saham Bagi Indonesia………………… 31 ix
BAB III
SEJARAH KONTRAK KARYA DAN DIVESTASI PT. FREEPORT INDONESIA A. Hukum Penanaman Modal……………………………………………..
37
1. Kontrak Karya………………………………………………………. 39 2. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ……………..48 3. Kontrak Perjanjian dan Pembelian……….………………………… 50 B. PT. Freeport Indonesia…………………………………………………. 51 1. Profil Perusahaan PT. Freeport Indonesia…………………………… 51 2. Sejarah Kontrak Karya PT Freeport Indonesia……………………… 52 C. Kasus Divestasi PT. Freeport Indonesia………………………………… 54 BAB IV
ANALISA KEWAJIBAN DIVESTASI TERHADAP KONTRAK KARYA A. Posisi Kontrak Karya Terhadap Pasal 169 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara………….………… 59 B. Analisa Divestasi PT. Freeport Indonesia………………………………. 63 C. Konsekuensi Hukum Jika PT. Freeport Indonesia Tidak Melaksanakan Ketentuan Kewajiban Divestasi……………………………………….... 68
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………. 73 B. Saran……………………………………………………………………... 74
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………... 76 LAMPIRAN……………………………………………………………………………. 80
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang berlimpah. Diantaranya adalah bahan galian tambang. Bahan galian tambang di Indonesia merupakan bahan galian tambang yang sangat baik dan diminati
oleh negara-negara lain, sehingga
mempunyai nilai jual yang tinggi. Indonesia merupakan negara yang berada pada peringkat 10 dunia dalam produksi emas dan gas alam. Pesatnya penjualan barang tambang dapat menigkatkan pembangunan ekonomi Indonesia. Penjualan tersebut dapat memberikan kenaikan yang cukup signifikan terhadap GDP (Gross Domestic Product) Indonesia. Pendapatan akan naik karena adanya lapangan pekerjaan yang akan di buka untuk menyerap tenaga kerja yang cukup banyak untuk kegiatan pertambangan. Data statistik resmi dari Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa nilai komulatif ekspor Indonesaia dari Januari 2015 hingga Maret 2015 mencapai $ 39,128.000.000 (tiga puluh Sembilan miliar seratus dua puluh delapan juta dollar Amerika Serikat), jumlah tersebut dari ekspor sektor pertambangan memberikan kontribusi terhadap total ekspor Indonesia sebesar 13,26% (tiga belas koma dua puluh enam persen) dengan nilai $ 5,188.439.100 (lima miliar seratus delapan puluh delapan juta empat ratus tiga puluh sembilan ribu seratus dollar Amerika Serikat).1
1
Badan Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Maret 2015, Berita Resmi Statistik No. 36/04/Th. XVIII, 15 April 2015, di akses 30 April 2015.
1
2
Sumber daya alam yang berlimpah di Indonesia harus diakomodir oleh pemerintah agar dapat di pergunakan bagi kemakmuran rakyat, salah satunya dengan memberikan regulasi aturan yang jelas menyangkut masalah usaha pertambangan. Karena kegiatan usaha pertambangan adalah salah satu sektor yang memberikan masukan pendapatan bagi negara yang cukup besar. Pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memiliki arti, Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kontruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus menganut azas pembangunanberkelanjutan, dan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), yang menyatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mineral dan batubara sebagai kekaayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, oleh karena itu pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, serta berkeadilan. Hak penguasaan negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakannya sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah,
3
untuk itu seluruh elemen harus mempergunakan sumber daya alam tersebut sebaikbaiknya dan menjaganya sesuai dengan kebutuhan. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini diundangkan pada 12 Januari 2009, Terdiri dari 175 pasal dan XXVI bab. Dalam konsideran menimbangnya dikemukan alasan atau dasar-dasar pertimbangan mengapa undang-undang lahir. Pertama, karena mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaanya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.2 Kedua, karena kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan diluar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. 3 Alasan ketiga, karena mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan kemudian sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat
2
Otong Rosadi, Pertambangan Dan Kehutanan Dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila Dialektika Hukum Dan Sosial, Cetakan Pertama, (Padang, Thafa Media, 2012), h. 55. 3
Otong Rosadi, Pertambangan Dan Kehutanan Dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila Dialektika Hukum Dan Sosial, h. 55.
4
mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan berdaya saing, efisien dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.4 Perlu diketahui bahwa hak penguasaan negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus serta mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian. Pengusahaan bahan galian oleh negara
diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah,
meliputi :5 1. 2. 3. 4. 5.
Inventarisi; Penyelidikan dan penelitian; Pengaturan; Pemberian izin; dan Pembinaan dan pengawasan bahan galian di wilayah hukum Indonesia.
negara Republik
Kebijakan yang di amanatkan undang-undang pertambangan mineral dan batubara mengharuskan pemerintah melakukan renegosiasi terhadap pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Renegosiasi tersebut mencakup meliputi luas wilayah pertambangan, penerimaan negara (royalti), kewajiban divestasi, pengolahan dan pemurnian mineral, kelanjutan operasi, serta pemanfaatan barang dan jasa di dalam negeri.6 Ada perbedaan mendasar dari sisi muatan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang lebih baik dari muatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, diantaranya dalam hal meningkatkan pendapatan negara, lebih akomodatif
4
Otong Rosadi, Pertambangan Dan Kehutanan Dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila Dialektika Hukum Dan Sosial, Cetakan Pertama, (Padang, Thafa Media, 2012), h. 55. 5
Salim H.S, Hukum Pertambangan Di Indonesia, cetakan keempat, (Jakarta : Rajawali Press, 2008), h. 48. 6
89.
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, (Jakarta : Gramata Publishing, 2014), h.
5
dengan masuknya aturan berpihak pada kepentingan rakyat dan negara, serta upaya pengelolaan secara integrasi mulai dari eksplorasi sampai pasca tambang.7 Sebagaimana pada negara-negara berkembang, pemerintah Indonesia lebih melakukan penanaman modal melalui sistem modal patungan (joint venture) yang memungkinkan modal nasional ikut berpartisipasi. Keadaan ini lebih mempercepat terlaksananya pengalihan tekhnologi, pengetahuan, keterampilan sekaligus mengurangi bahaya dominasi asing dalam perekonomian Indonesia.8 Joint venture tidak serta merta dapat dilaksanakan, sehingga Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan kewajiban divestasi saham terhadap perusahaan asing kepada peserta Indonesia, dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara hal tersebut diatur dalam pasal 112 ayat (1). Peraturan Pemerintah Nomer 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara kemudian, mengatur mengenai besaran saham yang wajib divestasi sebesar 50%, dengan pengaturan tahapan yaitu pada tahun keenam jumlah saham peserta Indonesia sebesar 20%, ketujuh 30%, kedelapan 37%, kesembilan 44%, kesepuluh 51% dari jumlah seluruh saham.9 Kewajiban divestasi PT Freeport Indonesia diatur dalam pasal 24 ayat (2.a) KK perpanjangan tahun 1991 (Generasi V) sebesar .10 Fakta yang terjadi, PT. Freeport
7
Nanang Sudrajat, Teori Praktek Pertambangan di Indonesia Menurut Hukum, cetakan pertama, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013), h. 53-55. 8
Erman Rajaguguk, Indonesianisasi Saham, cetakan kedua, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994), h.
66. 9
Pasal 97 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomer 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 10
300.
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, (Jakarta : Gramata Publishing, 2014), h.
6
Indonesia yang hingga saat ini masih belum mau melakukan kewajiban divestasi kepada peserta Indonesia hanya sebesar 9,36% (Sembilan koma tiga puluh enam persen).11 Wacana divestasi saham dirasakan susah untuk dilaksanakan mengingat dalam Kontrak Karya Tahun 1991, PT. Freeport Indonesia tidak memasukkan klausul kewajiban divestasi saham perusahaan kepada Pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi catatan penting karena Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara telah mewajibkan badan usaha asing pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang melakukan kegiatan produksinya selama lima tahun untuk melakukan divestasi saham. Namun jika dianalisis dari Pasal 169 terdapat aturan yang bertentangan, ini antara bunyi aturan huruf a dan huruf b. Bunyi Pasal 169 huruf a dan b, pada saat undang-undang ini mulai berlaku:12 a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaanpertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara Menurut penulis, ini akan menyebakan sulitnya menerapkan aturan kewajiban divestasi saham kepada perusahaan pertambangan asing. Mengingat adanya aturan yang mengandung pasal yang bertentangan sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal pasal tersebut merupakan ketentuan peralihan yang bertujuan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum, serta mengatur hal yang bersifat transisional. Sebagai contoh, 11
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, h. 275. Pasal 169 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 12
7
sementara hingga saat ini komposisi porsi kepemilikan saham di PT. Freeport Indonesia sendiri bagaikan bumi dan langit. Pemerintah hanya mendapatkan 9,36% sementara 90,64% menjadi milik Freeport-McMoran Copper & Gold Inc.13 Dengan ketimpangan porsi kepemilikan saham tersebut, Pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan fungsi pengawasan internal secara maksimal. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis mencoba untuk mengkaji dari segi hukum terkait divestasi saham bidang pertambangan di Indonesia dengan studi kasus PT. Freeport Indonesia, mengingat divestasi saham merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak karena dividen yang diterima oleh pembeli saham akan dapat digunakan dalam pembangunan daerah dan pengembangan masyarakat baik. B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang akan penulis bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah maka penulis akan membatasi masalah yang akan di teliti yaitu kepastian hukum divestasi saham bidang pertambangan yang ditinjau dalam Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
13
300.
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, (Jakarta : Gramata Publishing, 2014), h.
8
1. Bagaimana kedudukan hukum kontrak karya terhadap kewajiban divestasi saham sesuai Pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara? 2. Bagaimana divestasi saham yang seharusnya diwajibkan pada PT Freeport Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penulisan Secara umum tujuaan penulisan adalah untuk menjelaskan aspek hukum divestasi saham pertambangan, khususnya setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Tujuan khusus penulisan antara lain : 1. Untuk mengetahui proses divestasi saham terhadap kasus PT Freeport Indonesia. 2. Untuk mengetahui keselarasan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah Nomer 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomer 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam hal kewajiban divestasi saham. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Memberi sumbangan pemikiran berupa khasanah keilmuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pertambangan di Indonesia. Menambah referensi hukum yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian dalam bidang yang relevan dengan penelitian ini dimasa mendatang dalam lingkup yang lebih detail, mendalam dan jelas.
9
b. Manfaat Praktis Memberikan suatu masukan dan pertimbangan bagi perusahaan pertambangan dalam upaya menjalankan kegiatan usahanya serta patuh terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku. Memberikan pendapat hukum mengenai aturan divestasi saham dalam bidang pertambangan.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut: 1. Iwan Dermawan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia menulis skripsi yang berjudul, “KEWAJIBAN DIVESTASI SAHAM PADA PENANAMAN MODAL ASING BIDANG PERTAMBANGAN UMUM (Studi Kasus Pada Perjanjian Kontrak Karya Antara PT. NNT Dengan Pemerintah Indonesia)”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang kewajiban divestasi saham di bidang pertambangan umum khususnya pada PT. Newmont Nusa Tenggara. 2. Dikki Ryandi S dari Program Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menulis skripsi yang berjudul “KETIDAKPASTIAN HUKUM PENANAMAN MODAL DI BIDANG USAHA PERTAMBANGAN”. Pada skripsi ini penulis
10
menjelaskan mengenai bagaimana ketidakpastian hukum dalam penanaman modal bidang pertambangan di Indonesia. Sebagai perbandingan dan untuk membedakan, secara khusus pada skripsi ini penulis menguraikan perihal bagaimana kedudukan atau status hukum yang sebenarnya mengenai kewajiban divestasi serta posisi perjanjian kontrak karya terhadap ketentuan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara serta konsekuensi hukum terhadap pelanggaran kewajiban tersebut. Maka akan ditemukan perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada. E. Kerangka Teoritis Indonesia sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam khususnya mineral menjadi daya tarik untuk mendatangkan investasi modal asing, seperti perusahaan tambang PT. Freeport Indonesia. Besarnya investasi asing masuk ke Indonesia sudah seharusnya memberikan keuntungan bagi negara dan ini menjadi momentum terjadinya divestasi saham perusahaan asing di sektor pertambangan, lebih spesifik menurut Bagir Manan kewajiban negara sebagai stakeholder harus memastikan bahwa :14 1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang di dapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat ; 2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat di hasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat ; 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam. Pembentukan undang-undang didasari usaha untuk menjadikan semua tambang di Indonesia menjadi milik bangsa Indonesia sekaligus keinginan melahirkan peraturan 14
Bagir Manan, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, cetakan pertama, (Bandung : Mandar Maju, 1995), h. 17.
11
perundang-undangan yang menyangkut nasionalisasi usaha pertambangan.15 Negara sebagai pembuaat kebijakan juga harus membuat aturan yang baik, dengan kata lain dapat memberikan keuntungan bagi negara dan juga harus memberikan porsi keuntungan yang baik kepada investor. Kebijakan yang berlebihan berpotensi membuat investor takut berinvestasi di Indonesia. Teori yang menganalisis mengenai divestasi saham secara khusus penulis belum menemukannya. Akan tetapi apabila dikaji dari manfaat dari divestasi saham maka dapat dikaitkan dengan teori utilitas, teori ketidaksesuaian antara kehendak. 1. Teori utilitas Jeremy Bentham (1748-1832) Teori utilitas (manfaat) dikemukakan oleh Jeremy Bentham, digunakan untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Jeremy Bentham berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan, sehingga hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi orang banyak (to serve utility.16 Teori utilitas digunakan untuk menganalisis manfaat divestasi baik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada pihak lainnya maupun yang dilakukan oleh badan hukum asing yang bergerak dalam bidang pertambangan kepada Pemerintah Indonesia. Divestasi diatur dalam peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional. Dengan memuat divestasi didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, menjadikan kewajiban tersebut
15
Sajuti Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia, cetakan pertama, Akademi Geologi dan Pertambangan, 1974), h. 12. 16
(Bandung : Penerbitan
Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan) diterjemahkan oleh Nurhadi, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006), h. 26.
12
memiliki kekuatan hukum yang jelas. Teori kemanfaatan sebagai wujud dari tujuan hukum dan keadilan. Kewajiban mengenai divestasi diasumsikan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. 2. Teori nasionalisme dan populisme Stephen Herbert Hymer (1939-1974) Teori yang bersifat nasionalisme dan populisme yang pada dasarnya teori ini berawal dari kekhawatiran akan adanya dominasi penanaman modal asing. Menurut Hymer, “Penanaman modal asing adalah seorang monopolis atau bahkan sering kali oligopolies di pasar-pasar produksi suatu negara dimana ia melakukan usahanya. Oleh karenanya bilaman penanaman modal asing asing benar-benar menghancurkan kekuatan dalam pasar produksi suatu negara, maka pemerintah harus siap melakukan pengawasan pada penanaman modal asing tersebut.”17 Sebab itu menurut paham teori ini bahwa kehadiran penanaman modal asing berakibat adanya pembagian keuntungan yang tidak seimbang yang terlalu banyak ada pada pihak penanam modal asing, sehingga menyebabkan negara penerima modal asing membatasi kegiatan membatasi kegiatan penanaman modal asing yang salah satunya di keluarkannya kewajiban mengenai divestasi saham. 3. Teori ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan Salim HS (1960) Ada tiga teori yang mengkaji tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan. Ketiga teori itu meliputi teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan. Penjabaran Salim HS dari ketiga teori tersebut : a. Teori kehendak berpendapat bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah
17
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 41.
13
yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan kesulitan-kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. b. Teori pernyataan berpendapat bahwa proses bahwa proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi. Praktiknya teori ini menimbulkan kesulitan-kesulitan, seperti contoh bahwa apa yang dinyatakan berbeda dengan yang dikehendaki. c. Teori kepercayaan berpendapat bahwa tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benarbenar dikehendaki. Kelemahan teori ini bahwa kepercayaan itu sulit dinilai. Kewajiban divestasi akan berdampak pada perjanjian didalam pengusahaan pertambangan yang dimiliki badan hukum asing dengan pemerintah Indonesia. Dilihat dari sisi yang berbeda, teori kemanfaatan akan saling bertolak belakang dengan teori ini. Kehendak dari undang-undang
menimbulkan ketidakpercayaan dari pihak yang
melakukan perjanjian sebelum adanya aturan tentang divestasi. Sehingga kebijakan divestasi dinilai sulit dilaksanakan karenata antara kehendak dan pernyataan tidak sesuai. F. Kerangka Konseptual Kewajiban investor asing yang memiliki modal, baik untuk seluruhnya maupun gabungan antara investor asing dan domestik wajib memberikan kesempatan kepada peserta Inonesia untuk memiliki modal atau saham yang dimiliki oleh investor asing. Dengan kebijakan divestasi saham pertambangan maka secara otomatis berpengaruh terhadap isi KK dan PKP2B yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, khususnya
14
untuk studi kasus skripsi ini antara PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia. Maka sepatutnya diperhatikan
oleh para investor asing dan negara penerima
atas
beberapa prinsip International Minimum Standard of Civilization (IMS) dalam melaksanakan kebijakan maupun renegoisasi kontrak. Menurut Nicolaas Jan Schrijiver dalam disertasinya yang dikutip oleh Ahmad Redi, secara garis besar IMS teridiri atas prinsip :18 a. Respect for domestic law of the host state Prinsip ini mengatur bahwa investasi asing harus menerima dan menghormati hukum dan kebiasaan dari negara tempat tujuan investasi, b. No treatment below a minimum international standard Negara tuan rumah dari investasi asing memiliki hak untuk mengharapan standar dalam negri yang berlaku tidak di bawah standar internasional, artinya investasi asing tersebut harus sesuai dengan standar internasional dan memperlakukan negara tuan rumah harus pula sesuai dengan standar internasional, c. Pacta sunt servanda Prinsip Kontrak yang di sepakati harus di hormati oleh para pihak, sehingga tidak ada tindakan dari pihak tertentu yang bertentangan dengan kontrak yang telah disepakati tersebut, d. Due Process of law Bahwa tindakan para pihak investor asing dalam melaksanakan kepentingan bisnisnya harus tunduk pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku di negara tuan rumah yang diambil dari peraturan perundang-undangan termasuk konstitusi, disamping pula bahwa hukum yang berlaku di dalam negara tuan rumah tidak sewenang-wenang di terapkan kepada investor asing. Untuk menghindari agar tidak adanya perbedaan penafsiran atau persepsi atas istilah, maka penulis memberikan beberapa definisi sebegai berikut : 1. Menurut penjelasan dari literatur, investasi asing merupakan suatu kegiatan penanaman modal yang didalamnya terdapat unsur asing (foreign element), unsur asing mana dapat ditemukan adanya kewarganegaraan yang berbeda, asal modal dan sebagainya.19
18
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, (Jakarta : Gramata Publishing, 2014), h.
29. 19
Hulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal Asing, cetakan pertama (Jakarta : IND-HILL.Co, 2003), h. 28.
15
2. Divestasi merupakan penyertaan/pelepasan sebuah investasi, seperti pelepasah saham oleh pemilik
saham lama, tindakan penarikan kembali penyertaan modal yang
dilakukan perusahaa model ventura dari perusahaan pasangannya, perusahaan model ventura dapat dilaksanakan dengan beberapa cara.20 3. Saham adalah bagian penyertaan modal dasar suatu perseroan terbatas. 21 Sedangakan didalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas saham memiliki arti sebagai benda bergerak dan memberikan hak kepada pemiliknya. 4. Divestasi saham adalah pengalihan sejumlah saham dari penanaman modal asing kepada pihak lainnya, baik dilakukan secara langsung maupun lelang, dengan tujuan untuk meingkatkan kesejateraan masyarakat.22 5. Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) yang diartikan sebagai suatu kontrak yan dibuat pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan asing semata-mata atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik dalam bidang pertambangan diluar minyak dan gas bumi sesuai jangka waktu yang di tentukan oleh kedua belah pihak.23 6. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan
meliputimpenyelidikan
dan umum,
pengusahaan eksplorasi,
mineral studi
atau
batubara
yang
kelayakan,mkonstruksi,
20
Muda, Ahmad Toni K, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Gita Press, 2003), h. 117.
21
Iman Sjahputra, Hukum Pasar Modal, cetakan pertama, (Jakarta : Harvarindo, 2011), h. 85.
22
Salim HS, Hukum Divestasi Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 103.
23
Salim HS, Abdullah,Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), cetakan pertama, Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 63.
16
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan ialah sebuah penelitian hukum. Dalam sebuah penelitian hukum di perlukan metode-metode ilmiah dalam pengumpulan data untuk di teliti yang berdasarkan pada sitematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gelaja hukum dengan cara menganalisanya.24 Sifat dari penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan matematis, statistik dan lain sebagainya, melainkan menggunakan penekanan ilmiah.25 Penelitian menggunakan metode kepustakaan, bahwa penelitian hukum normatif sama dengan penelitian hukum kepustakaan yang menitikberatkan perhatiannya
pada
data
seunder.26
Studi
literatur
ini
akan
meliputi
pengindentifikasian, penjelasan dan penguraian secara sistematis bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah yang dikaji maka di sebut dengan penelitian yuridis normatif. 3. Pendekatan
24
Soerjono Soekanto, Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cetakan kesepuluh (Jakarta : Grafindo Persada, 2007) h. 43. 25
Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi, (Bandung : PT. Remaja Rosyada Karya, 1997),
h. 6. 26
Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), h. 71.
17
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu27 : pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual.
4. Metode Pengumpulan Data Penelitian hukum normatif menitikberatkan studi kepustakaan atau metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi (documentary method).28 Maka data yang dijadikan bahan penelitian adalah data sekunder yang meliputi ketiga bahan sebagai berikut:29 a.
Bahan hukum primer, penulis peroleh dari beberapa
peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tentang Mineral dan Batubara, serta undangundang lain yang terkait modal asing dan tidak terkecuali peraturan pemerintah. b.
Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari Buku-buku terkait pembahasan hukum pertambangan, divestasi saham, penanaman modal asing, keterangan, kajian, analisis tentang seperti skripsi, makalah seminar,dll.
c.
Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.
5. Metode Penulisan 27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 93. 28 Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), h. 180. 29
Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, h. 78-79.
18
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.” H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual, Metodologi Penelitian, Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. BAB II Konsep Teoritis Hukum Divestasi Pada bab ini akan dijelaskan tentang Pengertian Hukum divestasi, objek ruang lingkup, sumber hukum, asas-asas, dan manfaat serta tujuan divestasi. BAB III Penanaman Modal Dan Divestasi PT. Freeport Indonesia Pada bab ini akan dijelaskan tentang hukum penanaman modal, kontrak yang berkaitan dengan pertambangan mineral dan batubara, sejarah dan studi kasus PT. Freeport Indonesia. BAB IV Analisa Kewajiban Divestasi Terhadap Kontrak Karya Pada bab ini memaparkan analisa terhadap posisi kontrak karya terhadap Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, divestasi PT
19
Freeport Indonesia, analisa konsekuensi hukum jika PT. Freeport Indonesia tidak melaksanakan ketentuan kewajiban divestasi.
BAB V Penutup Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis.
20
BAB II HUKUM DIVESTASI
A. Pengertian Hukum Divestasi Istilah Hukum Divestasi merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris,
yaitu
divestment of law. Hukum divestasi terdiri dari dua padanan kata, yaitu hukum dan divestasi. Guna menjawab arti dari definisi hukum divestasi secara lengkap, maka kita perlu mendefinisikannya secara terpisah lebih dahulu. Terlalu banyak batasan mengenai hukum, semua sangat bergantung pada sisi pendekatan, sisi yang memberi batasan sesuai dengan tujuan dan kepentingannya. Banyak ahli hukum dan ahli filsafat hukum yang mengemukakan pendapatnya mengenai definisi hukum. Ahli hukum belanda J.Van Kan (1939) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Jhering (1818-1892), yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa berlaku dalam suatu negara. 1 Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berprilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro (1983), yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagian, dan tata tertib dalam masyarakat itu.2
1
Teguh Prasetyo, dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat Teori & Ilmu Hukum, cetakan kedua, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012), h. 11. 2
Teguh Prasetyo, dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat Teori & Ilmu Hukum, h. 11.
21
Selanjutnya,
Notohamidjoyo
(1975)
berpendapat
bahwa
hukum
adalah
keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, apa pun batasan dan pendekatan yang dipakai mengenai pemahaman hukum, penulis berpendapat bahwa hukum harus mampu menjaga dan mengatur harkat dan martabat manusia dan kehidupan kemanusiaan dengan mengatur keseimbangan kepentingan semua pihak demi kesejahteraan nilai-nilai kemanusiaan. 3 Pengertian divestasi dapat di temukan dalam kamus ekonomi, divestasi adalah penyertaan/pelepasan sebuah investasi, seperti pelepasan saham oleh pemilik saham lama, tindakan penarikan kembali penyertaan modal yang dilakukan perusahaan model ventura dari perusahaan pasangannya, perusahaan model ventura dapat dilaksanakan dengan beberapa cara.4 Menurut, Miriam Flickinger, yang dikutip oleh Salim HS, divestasi didefinisikan “as a firm’s decision to dispose of a significant portion of its asets, can incrase the strength of a firm by changing its asset structure and its resource allocation patterns.” Divestasi dikonstruksikan sebagai keputusan perusahaan untuk meningkatkan nilai penting asset yang dimiliki perusahaan. 5
Abdul Moin mendefinisikan, “Ialah menjual sebagian unit bisnis atau anak perusahaan kepada pihak lain untuk mendapatkan dana segar dalam rangka menyehatkan perusahaan secara keseluruhan.”6 3
Teguh Prasetyo, dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat Teori & Ilmu Hukum, cetakan kedua, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012), h. 12. 4
Muda, Ahmad Toni K, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Gita Press, 2003), h. 117.
5
Salim HS, Hukum divestasi Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 4.
6
Abdul Moin, Merger Akuisisi & Divestasi ; edisi kedua, (Yogyakarta : Ekonisa, 2007), h. 332.
22
Divestasi saham pada dasarnya merupakan pelepasan, pembebasan dan pengurangan modal terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing secara bertahap dengan cara mengalihkan saham tersebut kepada peserta Indonesia. Ada pula ahli yang memiliki istilah lain dalam penggunaa penyebutan dalam divestasi, seperti Erman Rajagukguk di dalam bukunya menyebutkan istilah divestasi dengan menggunakan istilah Indonesianisasi.7 Definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli tersbut, maka penulis sedikit memberi gambaran kesimpulan awal dengan berlandaskan pada Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. Dalam pasal itu juga mendefinisikan bahwa divestasi
ialah penjualan surat berharga dan/atau
kepemilikan pemerintah baik sebahagian atau keseluruhan kepada pihak lain. Subjek divestasi dalam pasal ini adalah investor asing dan pemerintah atau peserta Indonesia, dan objeknya merupakan saham dari perusahaan bidang pertambangan. Secara keseluruhan, hukum divestasi ialah bentuk peraturan yang mengatur segala bentuk regulasi meyangkut divestasi. Hubungan pembahasan yang akan dibahas lebih jauh dalam skripsi ini ialah yang berkaitan langsung atas kewajiban divestasi saham sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. B. Objek dan Ruang Lingkup Hukum Divestasi Objek dan ruang lingkup divestasi meliputi pelepasan sejumlah saham. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, objek divestasi saham yang dimaksud yaitu saham yang dimiliki perusahaan asing. Sedangkan menurut, Salim HS, menganalisis ruang lingkup dari kajian hukum divestasi meliputi divestasi 7
Erman Rajaguguk, Indonesianisasi Saham, cetakan kedua, (Jakarta : Rineka Cipta,1994), h. 106.
23
saham dan/atau divestasi asset.8 Divestasi saham merupakan pengalihan, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki oleh badan hukum asing. Divestasi asset merupakan ketentuan hukum yang mengatur tentang penjualan asset, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki badan hukum.9 Pemerintah Indonesia dan serta badan hukum asing merupakan subjek dari hukum divestasi. Namun, pemerintah Indonesia memiliki hak utama untuk dapat menguasai dari objek divestasi. Sedangkan jika pemerintah Indonesia menyatakan tidak mengambil hak utamanya sebagai subjek aktif divestasi, maka barulah peserta Indonesia lainya dapat mengambil peran dalam menguasai objek divestasi. Badan hukum asing sebagai penanam modal asing yang sebagai pemilik saham mayoritas pengusahaan pertambangan dapat diartikan perannya hanya sebagai subjek pasif, karena tugas badan hukum asing hanya berkewajiban melepas saham yang di miliki melalui transaksi divestasi. Berbeda pula dengan pemerintah Indonesia sebagai pemegang otoritas penuh dalam memiliki proporsi yang utama untuk menguasai objek divestasi. Pemerintah Indonesia dapat disebut sebagai subjek primer dan peserta Indonesia lain merupakan subjek sekunder.
C. Sumber Hukum Divestasi Kepastian hukum merupakan hal penting dalam tindakan hukum dan penegakan hukum. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum. Namun, undang-undang yang mengatur khusus tentang
8
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Hukum Divestasi Di Indonesia ; Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomer 2/ SLKN-X/2012, edisi revisi cetakan pertama, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), h. 7. 9 Salim HS, Hukum divestasi Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 7.
24
divestasi di Indonesia belum ada. Peraturan tentang divestasi tersebar dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain : a. Pasal 79 dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. b. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. c. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. d. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. f. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah Tentang Investasi Pemerintah. g. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham, Serta Perubahan Penanaman Modal di Bidang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara h. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomer 183/PMK.05/2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi Terhadap Investasi Pemerintah. i. Kontrak Karya yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Sebahagian Peraturan Perundang-Undangan yang dicantumkan sudah ada yang tidak di gunakan atau dengan kata lain mengalami perubahan. Namun demikian dapat
25
digunakan sebagai bahan data untuk meneliti perubahan-perubahan dalam hukum divestasi. Sumber hukum ini akan di bahas lebih komprehensif pada bab berikutnya yang membutuhkan analisis yuridis normatif. D. Asas-Asas Hukum Divestasi Istilah asas hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu principle of law. Asas dalam kamus hukum Indonesia, memiliki arti sebagai hukum dasar yang menjadi tumpuan dan pendapat.10 Mengutip kutipan Rchmadi, Sajipto Rahajo menyatakan, “asas hukum merupakan „jantung‟ peraturan hukum. Ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas hukum tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Kalau demikian dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.”11 Asas hukum merupakan suatu kaidah yang menjadi prinsip dasar lahirnya sebuah peraturan. Asas hukum yang berkaitan divestasi harus dianalisis dari berbagai aspek. Asas-asas hukum dalam hukum divestasi meliputi asas manfaat, kebebasan berkontrak, konsesualisme, pacta sunt servanda, itikad baik dan akuntabilitas.12 1. Asas Manfaat Asas manfaat merupakan salah satu asas yang sangat penting, karena kemanfaatan dari divestasi akan dapat dilihat dari asas ini. Hukum pada prinsipnya adalah memberikan manfaat, seperti diungkapkan Jeremy Bentham, itu semua untuk 10
BN Marbun, Kamus Hukum Indonesia ; edisi kedua direvisi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 18. 11
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, cetakan pertama, (Jakarta :Djambatan, 2000), h.7-8. 12
Salim HS, Hukum divestasi Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 11-12.
26
mewujudkan the greates happiness of the greates number (kebahagiaan yang sebesarbesarnya untuk sebanyak-banyaknya orang).13 Divestasi hukum diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan pendapat Mohammad Hatta, “kesempatan yang dibuka bagi bangsa asing untuk menanam modal mereka di Indonesia supaya mereka ikut serta mengembangkan kemakmuran rakyat kita, bangsa Indonesia.”14 Secara konstitusional, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” mengamanatkan bahwa segala bentuk sumber daya yang dimiliki negara harus mampu memberikan manfaat yang besar bagi kemakmuran rakyat. Hukum divestasi yang di wujudkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara berlandaskan prinsip asas manfaat, yang dimana pada pengaturannya komposisi porsi pihak penanam modal asing tidak serta merta dapat menguasai modal mayoritas. Peserta Indonesia diberikan ruang untuk ikut serta didalamnya. 2. Asas Kebebasan Berkontrak Hukum Perjanjian di Indonesi memberikan kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Kebebasan ini memiliki makna bahwa selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan dan kepatutan ketertiban umum setiap orang dapat mengadakan perjanjian. Asas kebebasan berkontrak di temukan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang13
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat Teori dan Ilmu hukum, cetakan kedua, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), h. 111-112. 14
204.
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, cetakan pertama, (Jakarta : Gunung Agung, 1979), h.
27
Undang Hukum Perdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan ini mengandung makna bahwa kontrak yang dibuat oleh para pihak keberlakuannya sama dengan undangundang. Menurut Sultan Remy Sjandeini, “Dari mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.”15 Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:16 a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya. d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. e. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional. Dalam perkembanganya agar mencerminkan keadilan, kebebasan berkontrak yang awalnya digambarkan sebagai arti mutlak kini diberi arti relatif. Menurut Salim HS17, Pengaturan subtansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui 15
Sultan Remy Sjandeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 47. 16
Sultan Remy Sjandeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, h. 47. 17
Salim HS, Hukum divestasi Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 17.
28
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah, terjadi pergeseran hukum kontrak kebidang
hukum
publik.
Melalui
campur
tangan
pemerintah
ini
terjadi
pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak. Negara membuat undangundang dimaksudkan untuk melindungi ekonomi lemah. Campur tangan negara dalam bidang privat atau kontrak, yang dalam kepustakaan hukum, disebut proses sosialisering. Proses sosialisering menurut Sudikno Mertokusumo, “Proses campur tangan yang makin mendalam dari pemerintah maupun masyarakat. Terutama hal ini tampak dari pembatasan atau penggerogotan kebebasan berkontrak dan adanya ancaman hukuman. Ada gejala bergesernya hukum perdata kearah hukum publik. Tujuannya tidak lain untuk lebih melindungi kepentingan umum, sedangkan dari pihak perorangan dirasakan sebagai penggrogotan kebebasan berkontrak. Menurut sejarah, dulu kedudukan yuridis seseorang itu ditentukan oleh status sosialnya.”18 Dalam divestasi saham yang telah diatur Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, kebebasan berkontrak pemegang kontrak karya tidak dapat dilakukan secara mutlak. PT Freeport Indonesia tidak dapat lagi menawarkan saham yang dimiliknya kepada pihak lainnya secara bebas, kecuali kepada peserta Indonesia. Prioritas utama dalam hal membeli saham PT Freeport Indonesia yaitu Pemerintah Indonesia sendiri. Peluang pihak lain agar bisa membeli saham PT Freeport Indonesia harus dengan syarat jika Pemerintah Indonesia menyatakan ketidaksanggupan membeli saham yang ditawarkan. 3. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme menjadi salah satu prinsip dasar dalam divestasi saham. Asas konsensualisme memiliki hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1320 jo 1338 Kitab Undang18
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Hukum Divestasi Di Indonesia ; Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomer 2/ SLKN-X/2012, edisi revisi cetakan pertama, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), h. 20-21.
29
Undang Hukum Perdata. Rujukan utama pada asas ini adalah saat terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak dan bentuk perjanjiannya, apakah dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis.
J.M van Dune dan Gr. Van der Burght menjelaskan
hubungan antara perjanjian dengan asas konsensualisme “Perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal. Ini berarti bahwa perjanjian itu lahir hanya karena adanya kesepakatan/kesamaan kehendak (konsensus) dari para pihak. Asas konsensualisme berkaitan dengan lahir perjanjiannya.”19 Pendapat yang sama kemukakan oleh Salim HS, “Bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.”20 Asas konsensualisme dalam divestasi saham bidang pertambangan tidak terlepas kaitannya dengan kesepakatan antara para pihak, yaitu mengenai harga saham yang dilepaskan oleh badan hukum asing kepada pemerintah atau peserta Indonesia. Apabila dikaji lebih lanjut, kesepakatan para pihak tidak cukup dilakukan secara lisan, tetapi harus dengan kesepakatan tertulis yang tertuang dalam bentuk klausul perjanjian. Dalam perjanjian itu pula harus memenuhi pasal 1320. Asas konsesualisme yang terdapat dalam pasal 1320 angka (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (tentang kesepakatan atau toestemming) bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi sematamata secara gramatikal dan terpaku sekedar mendasarkan pada kata sepakat saja tetapi syarat lain dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.21 19
J.M van Dune dan Gr. Van der Burght, Hukum Perjanjian. Diterjemahkan oleh Lely Niwan, (Yogyakarta : Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987), h. 7. 20 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan keempat, (Jakarta :Sinar Grafika, 2006), h. 10. 21
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ; Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, cetakan kedua, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 122-123.
30
Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan tidak mengikat sebagai undang-undang. 4. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda dapat juga disebut asas kepastian hukum. Pactum sunt servanda merupakan aturan umum dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa perjanjian bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya, sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.22 Asas ini menjadi prinsip hukum yang dijadikan dasar untuk mengukuhkan perjanjian yang mengikat negara penandatangan. Aturan seperti itu perlu diberikan agar masing-masing anggota masyarakat internasional dapat memikul tanggung jawab untuk memelihara perjanjian.23 Dengan begitu kontrak yang telah disepakati para pihak secara otomatis memiliki kepastian hukum yang jelas, dan harus dilaksanakan layaknya undang-undang. Kekuatan mengikat dari sebuah kontrak menjadi faktor penting untuk menganalisis divestasi saham. Penerapan divestasi saham pada bidang pertambangan mungkin dinilai sebahagian ahli akan terhalang dengan adanya asas pacta sunt servanda. Namun dalam melaksanakan divestasi saham, asas pacta sunt servanda masih tetap menjadi pedoman dan dihormati dengan cara renegosiasi kontrak. Walau pada dasarnya terdapat asas pacta sunt servanda dalam kontrak, namun renegosiasi merupakan hal 22
Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan keempat, (Jakarta :Sinar Grafika, 2006), h. 10. 23
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, edisi revisi cetakan pertama, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 213.
31
yang logis sebagai suatu teknik untuk menghindari perselisihan serta untuk memastikan bahwa hubungan tetap layak dalam konteks situasi yang telah berubah.24 5. Asas Akuntabilitas Asas akuntabilitas dijadikan asas dalam hukum divestasi. Asas ini nantinya akan melihat pada pertanggungjawaban atas divestasi yang telah dilakukan oleh pemerintah atau badan hukum asing kepada masyarakat. Asas ini juga dikenal dalam penyelenggaraan negara, menjadi dasar sebuah penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Di dalam Penjelasan UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjelaskan asas-asas umum dalam penyelenggaraan negara yang diantaranya adalah asas akuntabilitas. Penjelasan asas akuntabilitas pada undang-undang tersebut, bahwa asas akuntabilitas merupakan asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil kegiatan penyelenggaraan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas akuntabilitas penyelenggaraan negara dijadikan asas hukum dalam pelaksanaan divestasi saham dalam pertambangan, karena dalam asas ini akan mengharuskan pemerintah untuk dapat mempertanggungjawabkan segala sesuatu proses yang berkaitan divestasi kepada masyarakat. Selain itu, asas akuntabilitas
24
80.
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, (Jakarta : Gramata Publising, 2014), h.
32
berbanding lurus dengan asas lainnya pada penyelenggaraan negara yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan hukum divestasi. Asas-asas itu, meliputi :25 a. b. c. d. e. f.
Asas kepastian hukum Asas tertib penyelenggaraan negara Asas kepentingan umum Asas keterbukaan Asas proporsionalitas Asas Profesionalitas Saham yang nantinya akan dilepas oleh badan hukum asing berupa divestasi
saham kepada pemerintah Indonesia, butuh pengelolaan uang negara yang transparan. Prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang telah terkandung dalam asas-asas tersebut, yang nantinya diharapkan mampu mewujudkan kebijakan negara yang berkeadilan. E. Manfaat dan Tujuan Divestasi Saham Bagi Indonesia Kewajiban divestasi saham pada bidang pertambangan yang dimiliki badan hukum asing adalah suatu amanat yang diperintahkan oleh undang-undang. DPR dan Pemerintah Indonesia bersama-sama menyusun beberapa Peraturan Perundang-Undangan untuk mengatur mengenai divestasi. Dengan telah diaturnya hukum divestasi, selayaknya pemerintah segera mengenakan kewajiban divestasi dan memaksa badan hukum asing yang bergerak dibidang pertambangan secepatnya melakukan kewajiban tersebut. Divestasi merupakan suatu upaya pemerintah Indonesia agar dapat menjaga kedaulatan negara dan menguasai sumber daya alam di Indonesia. Menurut Salim HS, “Kedaulatan atas sumber daya alam merupakan hak dasar untuk menentukan nasib sendiri atas potensi sumber daya alam yang dimilik oleh sebuah negara. Sumber daya alam merupakan unsur penting bagi sebuah negara untuk dapat meningkatkan 25
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Hukum Divestasi Di Indonesia ; Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomer 2/ SLKN-X/2012, edisi revisi cetakan pertama,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), h. 31.
33
prekonomian dan pembangunannya, sehingga penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam secara bijak merupakan syarat penting bagi eksistensi sumber daya alam yang memiliki manfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara.”26 Pembentukan undang-undang didasari oleh usaha untuk menjadikan semua tambang di Indonesia menjadi menjadi milik bangsa Indonesia sekaligus keinginan melahirkan beberapa peraturan perundang-undangan yang menyangkut nasionalisasi usaha pertambangan.27 Meskipun begitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan belum mengatur mengenai divestasi saham bagi kepentingan nasional, padahal pada prinsipnya negara merupakan penguasa sumber daya alam pertambangan dalam setiap kegiatannya yang berkaitan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara haruslah memberikan kontribusi yang besar bagi kepentingan nasional. Namun, baru sejak tahun 2009 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, divestasi saham terkait pertambangan kepada peserta Indonesia barulah diatur didalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dengan peraturan pelaksana yang terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah Indonesia diberi hak oleh undang-undang untuk menguasai saham yang telah dimiliki badan hukum asing sebersar 51 % melalui transaksi divestasi saham.28 Oleh sebab itu, dapat pula diartikan ketika pemerintah memiliki saham mayoritas maka secara otomatis Indonesia dapat mengambil peran penting dalam setiap kegiatan pelaksanaan 26
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, (Jakarta : Gramata Publising, 2014), h.
18. 27
Sajuti Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia, cetakan pertama, (Bandung : Penerbitan Akademi Geologi dan Pertambangan, 1974), h.12. 28
Pasal 97 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
34
operasi pertambangan di Indonesia. Pertimbangan lain dari divestasi saham jika di tinjau dari konsep Indonesianisasi ada dua hal yang menjadi tujuannya, yaitu :29 a. Mendapat keuntungan ; dan b. Pengalihan kontrol terhadap jalannya perusahaan. Dengan demikian, perangkat peraturan yang mendasari dibentuknya aturan dalam hal penguasaan negara dibidang sektor tambang selain dalam rangka pencapaian untuk memperoleh sasaran yang lebih tinggi, kewajiban divestasi diharapkan dapat memberikan manfaat yang jelas yaitu keuntungan bagi pemasukan negara. Menganlisis manfaat dari divestasi yang dilakukan badan hukum asing yang bergerak di bidang pertambangan kepada pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, dan badan hukum yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia sangat erat hubungannya dengan teori ultilitas. Konsep teori yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham ini menjelaskan bagaimana hukum dan kebijakan dapat menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hubungan antara divestasi dan teori utilitas tidak dapat terbantahkan. Peraturan mengenai keharusan divestasi sebagai bentuk usaha dalam mencapai pemanfaatan sumber daya alam yang optimal. Melalui peraturan perundang-undangan dan negara sebagai pemangku kebijakan, tentu divestasi diformulasi sebagaimana tujuan konsep teori utilitas. Faktor yang menjadikan divestasi harus dikenakan kepada badan hukum asing. Menurut Salim HS, ada dua alasan yang dapat di jadikan rujukan untuk mengemukakan alasan-alasan badan hukum asing untuk melakukan divestasi saham, meliputi alasan :30
29
30
Salim HS, Hukum Divestasi Di Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta :Erlangga, 2010), h. 102.
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Hukum Divestasi Di Indonesia ; Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomer 2/ SLKN-X/2012, edisi revisi, cetakan pertama (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), h. 136.
35
a. Yuridis Alasan yuridis merupakan alasan-alasan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan menggunakan kata wajib melakukan divestasi. Ini berarti bahwa badan hukum asing harus melakukan divestasi saham yang dimilikinya kepada pemerintah Indonesia, warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia b. Non-yuridis Alasan non-yuridis merupakan alasan yang tidak ada hubungannya dengan undang-undang. Ada empat alasan non-yuridis, badan hukum asing melakukan divestasi saham yang dimilikinya kepada pemerintah Indonesia, warga negara Indonesia, atau badan hukum yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia atau pihak lainnya. Keempat alasan itu, meliputi : 1) Meningkatkan pendapatan negara ; 2) Meningkatkan pendapatan daerah ; 3) Meningkatkan kesejateraan masyarakat ; 4) Mengurangi peran badan hukum asing dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tambang di Indonesia. Dilihat dari sudut pandang mengapa badan hukum asing melakukan divestasi saham kepada peserta Indonesia, setidaknya memiliki dua sebab. Kedua sebab tersebut, yaitu karena keterpaksaan dan sukarela. Sebab keterpaksaan tidak dapat dipisahkan dari alasan yuridis, sebagaimana yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara menjadi sebab yang memaksa bagi badan hukum asing untuk melakukan pelepasan sahamnya kepada peserta Indonesia secara langsung. Badan hukum asing dimungkinkan dapat melakukan divestasi secara sukarela. Divestasi secara sukarela dilakukan tanpa ada tekanan dari pihak manapun, dengan kata
36
lain divestasi adalah kemauan dari perusahaan itu sendiri. Alasan-alasan divestasi yang dilakukan secara sukarela, meliputi :31 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Kembali ke kompetensi inti (core competence) Menghindari sinergi yang negatif Tidak menguntungkan secara ekonomis Kesulitan keuangan Perubahan strategi perusahaan Memperoleh tambahan dana Mendapatkan uang kas dengan segera. Urgensi divestasi saham di bidang pertambangan adalah bentuk dari kebutuhan
negara dalam mengembalikan fungsinya sebagaimana mandat Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai momentum terjadinya divestasi saham di Indonesia, khususnya kewajiban divestasi terhadap kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan mineral dan batubara (PKP2B). Filosofi dari divestasi merupakan cita-cita dasar bagi kepentingan dan kemajuan nasional. Kepemilikan saham oleh peserta Indonesia, maka akan berdampak pada manfaat ekonomi, sosial, dan manfaat lainnya. Melalui partisipasi pemerintah dan pemerintah daerah dalam kepemilikan saham di perusahaan pertambangan mineral dan batubara asing maka prinsip tata kelola (governance) yang lebih baik menciptakan iklim bisinis dan mekanisme kerja sama pengelolaan pertambangan di Indonesia yang kondusif, adil, dan juga memberikan manfaat yang besar bagi negara dapat terwujud. Tujuan pengenaan kewajiban divestasi saham bagi kepentingan nasional Indonesia :32
242-268.
31
Salim HS, Hukum Divestasi Di Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 35-36.
32
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, (Jakarta : Gramata publishing, 2014), h.
37
a. Memastikan kepatuhan (compliance) perusahaan dalam pembayaran pendapatan negara dan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) b. Menjaga kepentingan nasional berdasarkan prinsip-prinsip best mining practice c. Membangun tata kelola (governance) dan pengawasan yang lebih baik bagi pelaksanaan pengusahaan pertambangan di Indonesia d. Meningkatkan tranparansi dan akuntabilitas perusahaan pertambangan mineral dan batubara e. Mendorong perusahaan pertambangan mineral dan batubara asing di Indonesia untuk lebih mematuhi ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup f. Menjadi pola pengawasan kegiatan investasi di industry ekstraktif yang mengelola sumber daya alam, termasuk untuk mendorong renegosiasi KK dan PKP2B g. Mendapatkan harga saham khusus h. Memperoleh dividen i. Memperoleh jatah kursi komisaris j. Pengembangan wilayah k. Alih teknologi, keterampilan, dan pengetahuan l. Pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negri m. Pengembangan tenaga kerja Indonesia Manfaat yang besar itulah divestasi saham di harapkan dapat dilaksanakan sesuai undang-undang yang berlaku. Regulasi divestasi saham bidang pertambangan yang terbaru diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, kewajiban divestasi saham masih sulit untuk dilaksanakan secara total dikarenakan ada sejumlah hambatan. Penyebab hambatan tersebut berasal dari faktor tidak adanya klausal mengenai divestasi di dalam kontrak karya, serta tidak jelasnya bunyi Pasal 169 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya akan dikaji lebih dalam pada bab berikutnya.
38
BAB III SEJARAH KONTRAK KARYA DAN DIVESTASI PT. FREEPORT INDONESIA
A. Hukum Penanaman Modal Untuk memahami arti dari penanaman modal, maka perlu diberikan batasan dan konsep yang jelas terhadap pengertian apa yang dimaksud dengan penanaman modal. Hal tersebut agar persepsi dan pemahaman tentang penanaman modal menjadi lebih baik, ini agar tidak terjadi salah persepsi khususnya pada penanaman modal asing. Mempertegas pengertian dari penanaman modal khususnya penanaman modal asing, pemahaman dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970, maka pengertian penanaman modal asing lebih ke equity, suatu fresh capital yang datang dari luar negri.1 Pengertian penanaman modal asing dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang sudah tidak berlaku lagi disebutkan bahwa : Pengertian penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut.2 Sedangkan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan yang baru tentang penanaman modal menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
1
2
Todung Mulya Lubis, Hukum Ekonomi, (Jakarta : Sinar Harapan, 1992), h. 23.
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, edisi revisi cetakan keempat, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 53.
39
Penanaman Modal Asing, penanaman modal asing dijelaskan pada Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal bahwa penanaman modal asing yaitu kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negri.3 Dalam ketentuan penanaman modal sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan penanaman modal, khususnya yang terdapat dalam ketentuan undang-undang tentang penanaman modal Indonesia sebagai dasar dan landasan bagi pemerintah untuk mengatur dan mengarahkan serta mengembangkan potensi investasi di Indonesia. Ditetapkannya ketentuan penanaman modal melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang mengatur penanaman modal asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 yang mengatur dalam hal penanaman modal dalam negri, telah menyatukan dua hal penanaman modal yang berbeda kedalam satu peraturan perundang-undangan. Terbitnya undang-undang ini akan memberikan kemudahan kepada investor dan mempertegas arah kebijakan pengaturan penanaman modal di Indonesia. Keinginan pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan kehadiran penanaman modal, khususnya modal asing di Indonesia merupakan suatu langkah yang strategis. Dengan peraturan perundang-undangan yang jelas berarti Pemerintah serius dalam mengelola potensi sumber daya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil. Terlebih dalam hal pengelolaan sumber daya alam khususnya mineral dan batubara yang memerlukan
3
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
40
tenaga skill, teknologi, serta modal yang besar maka tidak terbantahkan Indonesia harus menarik minat investor untuk melakukan penanaman modal. Perlu untuk diketahui penanaman modal ini akan berimplikasi kedalam berbagai bentuk kerjasama. Dengan kata lain antara penanam modal, khususnya penanam modal asing dan pemodal nasional akan melakukan bentuk kerjasama patungan (joint venture). Dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya mineral dan batubara terdapat dua jenis kerjasama, antara lain Kontrak Karya
(KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B). Pada sub berikutnya akan dibahas mengenai dua bentuk kerjasama tersebut, dan ditambah satu kontrak yang berkaitan dengan kewajiban pada penanaman modal asing terhadap ketentuan divestasi saham di bidang pertambangan, yaitu kontrak Sales and Purchase Agreement. 1. Kontrak Karya Secara terminoligi pengertian kontrak karya adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pihak penanam modal asing yang memuat persyaratan teknis, finansial dan persyaratan lain untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan bahan galian Indonesia, kecuali minyak bumi dan gas bumi, batubara, uranium.4 Definisi Kontrak Karya (KK) juga dikemukakan Salim HS dkk, “Sebagai suatu kontrak yang dibuat pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan asing semata-mata atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik dalam bidang pertambangan diluar minyak dan gas bumi sesuai jangka waktu yang di tentukan oleh kedua belah pihak.”5 Ahli hukum lain juga memaparkan mengenai definisi kontrak karya, Ismail Sunny mengartikan kontrak karya yaitu, 4
5
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, cetakan kedua, (Jogjakarta : UII Press, 2004), h. 146.
Salim HS, Abdullah,Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), cetakan pertama, Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 63.
41
“Kerjasama modal asing dalam bentuk kontrak karya (contract of work) terjadi apa bila modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerjasama dengan satu badan hukum yang mempergunakan modal asing.”6 Berdasarkan pengertian kontrak karya diatas diadakan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme terhadap kontrak memiliki makna bahwa kontrak dibuat atas dasar kemauan para pihak. Menurut pendapat Salim HS, bahwa perjanjian yang dibuat dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.7 Hukum kontrak termasuk dalam hukum perdata, maka jika ada perubahan terhadap isi kontrak itu hanya dapat terjadi apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Berlandaskan pada asas pacta sunt servanda, apa yang disepakati oleh para pihak dalam kontrak memiliki kekuatan yang mengikat bagi para pihak sebagaimana layaknya undang-undang.8 Selai itu kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.9 Dalam konteks pengelolaan dan pengusahaan bahan galian, penempatan negara sejajar dengan lembaga swasta. Adanya dukungan atas pelaksanaan sistem kontrak karya pengelolaan bahan galian berasal dari pandangan bahwa investor adalah pemilik modal yang secara finansial mampu melakukan pengelolaan bahan
6
Erman Rajaguguk, dkk, Hukum Penanaman Modal, (Depok : FHUI, 2007), h. 186.
7
Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan keempat, (Jakarta :Sinar Grafika, 2006), h. 10. 8
Ridwan Khairandy, Disertasi : Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), h. 38. 9
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, edisi pertama, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007), h. 3.
42
galian sehingga kemudian diberika porsi sejajar dengan negara. Departemen kehakiman (sekarang Kementerian Hukum & Ham), dalam Lokakarya Nasional tahun 1985 merumuskan delapan asas perikatan nasional yang salah satunya adalah asas keseimbangan.10 Asas keseimbangan adalah suatu asas yang menghendaki bahwa dalam pelaksanaan pertambangan mineral dan batubara harus mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang setara dan seimbang antara pemberi izin dan pemegang izin.11 Namun menurut pandangan Sunaryati Hartono, “Negara tidak menjadi pemilik dari pada bumi dan air serta kekayaan alam Indonesia akan tetapi hanya mempunyai hak untuk menguasai dan sejalan dengan pendapat Aminuddin Ilmar bahwa dalam kontrak karya itu juga pengawasan (control), management, marketing dan tindakan lain yang berhubungan dengan pengambilan, pengelolahan, distribusi, dan penjualan barang yang diproduksi di Indonesia itu sepenuhnya ada di tangan pihak asing dan bahkan boleh memindahkan hak-haknya itu kepada seseorang subkontraktor dengan berdasarkan ketentuan dan hukum yang berlaku di Indonesia.”12 Pendapat lain juga dikemukakan Nanang Sudrajat, “Bahwa tidak cukup alasan untuk menyejajarkan negara dengan lembaga setingkat perseroan, kalau kemudian modal finansial dijadikan alasan pembenaran untuk menyejajarkan kedudukan negara. Harus dipahami bahwa negara pun dalam ikatan kerja sama melalui kontrak tersebut bukan tanpa disertai modal, karena justru bila dihitung secara proporsional maka negara mempunyai modal yang jauh lebih besar, yaitu modal potensi atau deposit bahan galian yang dikerjasamakan, karena secara yuridis berada dalam penguasaan negara.”13 Perdebatan mengenai proporsional penulis merujuk pada asas keberpihakan kepada kepentingan bangsa yang merupakan salah satu asas yang disebutkan dalam 10
Nanang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, cetakan pertama, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013), h. 61. 11
Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara, edisi satu cetakan kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), h. 23. 12
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, edisi revisi cetakan keempat, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 104-105. 13
Nanang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, cetakan pertama, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013), h. 62.
43
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kepentingan bangsa harus lebih didahulukan dibandingkan kepentingan pihak investor, karena pada dasarnya penerima hak yang utama dari sumber daya alam di negaranya adalah bangsa itu sendiri. Kewajiban dasar pemegang kontrak karya adalah mengutamakan kebutuhan di dalam negri, apabila hasil produksinya diperlukan di dalam negri.14 Bentuk kerjasama penenaman modal asing atau patungan (joint venture) dalam wujud kontrak karya antara perusahaan badan hukum asing atau perusahaan domestik dengan Pemerintah Indonesia adalah bersifat tertulis. Kontrak disiapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam dengan pihak penanam modal. Kerjasama kontrak karya ini terdapat dalam perjanjian kerjasama antara badan hukum asing dengan peserta Indonesia, seperti perjanjian antara PT Freeport Indonesia yang merupakan anak perusahaan Freeport McMaron Copper & Gold Inc dengan peserta Indonesia. Hal ini memperjelas bahwa kontrak karya berbentuk perjanjian dimana perjanjiannya tidak dimuat dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata sehingga kontrak karya merupakan perjanjian yang bersifat innominaat.15 Kontrak innominaat (tidak bernama) adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dimasyarakat. Termasuk dalam kontrak ini ialah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, produvtion sharing, dan lain-lain.16 14
Nanang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, h. 67.
15
Toni Rico Siahaan, Penyesuaian Isi Kontrak Karya terkait Dengan Penggunaan Jasa Pertambangan, (Depok : FHUI, 2012), h. 53. 16
Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan keempat, (Jakarta :Sinar Grafika, 2006), h. 28.
44
1) Prosedur dan Syarat Permohonan Izin Kontrak Karya Memperoleh legalitas dalam pengusahaan pertambangan pihak investor harus lebih dahulu melakukan perjanjian kontrak karya. Mekanisme pengurusan atau prosedurnya adalah sebagai berikut :17 a. Perusahaan mengajukan permintaan pencadangan wilayah kepada Unit Pelayanan Informasi Pencadangan Wilayah Pertambangan (UPIPWP) b. Perusahaan pemohon memperoleh peta dan formulir permohonan KK dari UPIPWP c. Perusahaan pemohon menyetor uang jaminan ke bank yang ditunjuk, bukti setoran dijadikan lampiran dengan dokumen dan persyaratan lain; d. Perusahaan mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jendral Pertambangan Umum (DJPU), berikut lampiran/dokumen yang harus dipenuhi kepada Direktorat Pembinaan Pengusahaan (DPB) melalui sekretariat Dirjen Jendral Pertambangan Umum; e. DJPU menyampaikan hasil pemrosesan DPB kepada perusahaan pemohon, apakah pengajuannya diterima atau ditolak; f. DJPU membentuk dan menugaskan tim perunding, yang bertugas melakukan perundingan dengan perusahaan pemohon KK; g. Direktur DPB bersama perusahaan pemohon, menyampaikan hasil perundingan kepada DJPU; h. DJPU menyampaikan draf KK kepada menteri untuk dilakukan pemrosesan lebih lanjut; i. Menteri menyampaikan draf KK kepada DPR RI untuk dikonsultasikan dengan BKPM (Badan koordinasi Penanaman Modal) untuk mendapat rekomendasi; j. DPR menyampaikan tanggapan kepada menteri atas draft KK yang disampaikan sebelumnya; k. BKPM menyampaikan rekomendasi atas draft KK yang disampaikan menteri kepada presiden; l. Presiden memberikan persetujuan, yang dalam pelaksanaanya didelegasikan kepada menteri, untuk dan atas nama pemerintah menandatangani KK; m. Menteri melaksanakan penandatanganan KK dengan perusahaan pemohon. Setelah memenuhi prosedur dan melengkapi syarat dari kontrak karya, maka bentuk dari subtasnsi kontrak karya yang dimaksud dalam rincian berikut ini :18 1. Tanggal persetujuan dan tempat dilakukannya kontrak karya; 17
Nanang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, cetakan pertama, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013), h. 67-69. 18
Toni Rico Siahaan, Penyesuaian Isi Kontrak Karya terkait Dengan Penggunaan Jasa Pertambangan, (Depok : FHUI, 2012), h. 64-65.
45
2. Subjek hukum; 3. Definisi; 4. Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan; 5. Modus operandi; 6. Wilayah kontrak karya; 7. Periode penyelidikan umum; 8. Periode eksplorasi; 9. Laporan dan deposi jaminan (security deposit); 10. Periode studi kelayakan (feasibility studies period); 11. Periode konstruksi; 12. Periode operasi; 13. Pemasaran; 14. Fasilitas umum dan re-ekspor; 15. Pajak dan kewajiban lain perusahaan; 16. Pelaporan, inspeksi, dan rencana kerja; 17. Hak-hak khusus pemerintah; 18. Ketentuan-ketentuan kemudahan; 19. Keadaan kahar (force majeure); 20. Kelalaian (default); 21. Penyelesaian sengketa; 22. Pengakhiran kontrak; 23. Kerjasama para pihak; 24. Promosi kepentingan nasional; 25. Kerjasama daerah dalam pengadaan prasarana tambahan; 26. Pengelolaan dan perlindungan lingkungan 27. Pengembangan kegiatan usaha setempat; 28. Ketentuan lain; 29. Pengalihan hak; 30. Pembiayaan; 31. Jangka waktu kontrak; 32. Pilihan hukum Tahapan yang dilakukan setelah penandatanganan kontrak karya kemudian perusahaan memulai kegiatan di lapangan pada area yang telah ditentukan di dalam kontrak karya.Wilayah, luas dan titik koordinat yang telah sesuai dengan wilayah hukum kontrak karya tersebut. Secara teknis, perusahaan pemegang KK melakukan kegiatan lapangan sebagai berikut :19 a. Melaksanakan penyelidikan umum, dengan jangka waktu pelaksanaan 1 (satu) tahun ditambah kesempatan perpanjangan selama 1 (satu) tahun; 19
Nanang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, cetakan pertama, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013), h. 69.
46
b. Melaksanakan kegiatan eksplorasi, dengan jangka waktu pelaksanaan selama 3 (tiga) tahun, dengan diberikan kesempatan 2 (dua) tahun masa perpanjangan waktu; c. Tahapan studi kelayakan (Feasibility Study) selama 1 (satu) tahun, dengan masa perpanjangan selama 1 tahun; d. Tahapan konstruksi atau pekerjaan persiapan selama 3 (tiga) tahun; e. Masa eksploitasi selama 30 (tiga puluh) tahun, ditambah masa perpanjangan selama 2 x 10 tahun (dua kali sepuluh tahun) Sejarah kontrak karya dikenal pertama kali muncul pada masa Hindia Belanda yaitu dalam Pasal 5a Indische Mijnwet yang dikenal dengan 5a contract.20 Terhadap ketentuan Pasal 5a, pada tahun1918 dilakukan perubahan, yaitu kontrak hanya mencakup kegiatan eksplorasi saja tidak perlu disahkan dengan undang-undang.21 Pembaharuan dasar hukum yang mengatur tentang regulasi kontrak kontrak karya telah memberikan perbedan-perbedaan, ini disesuaikan dengan kebutuhan serta kepentingan dari negara. Kontrak karya antara pemerintah atau perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan dilakukan dengan kontraktor dimulai sejak generasi pertama tahun 1967, sekarang kontrak karya sudah generasi kedelapan dari tahun 2004 sampai saat ini. Sejak Indonesia merdeka peraturan perundang-undangan yang mengatur kontrak karya mengalami perubahan. Perubahan ini dinilai memiliki pengaruh positif, dengan semakin mudahnya peserta Indonesia untuk berpartisipasi dalam pengusahaan pertambangan, salah satunya dalam hal ketentuan divestasi saham. Adapun perbedan subtansi pengaturan mengenai kontrak karya dari tahun 1967 hingga sekarang, antara lain akan dimuat pada table berikut ini.
20
21
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, cetakan kedua, (Yogyakarta : UII Press, 2004), h. 65.
Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum Keperdataan), Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No. 2 April-Juni 2008, h. 206.
47
Tabel 1.1 Perkembangan Kontrak Karya Di Indonesia Tahun 1967-1986 Subtansi Kontrak karya
Generasi. I (1967-1968)
Generasi. II (1968-1976)
Generasi. III (1976-1985)
Generasi. IV (1985-1986)
Posisi kontrak karya
Pemegang KP atas izin pemerintah
Dapat kerjasama dengan pihak lain pemegang KP
Pemegang KP atas izin Pemerintah
Pemegang atas Pemerintah
1
Pajak pendapatan perusahaan
Tahun 1-3 : bebas Tahun 4-10 : 35% Tahun 11dst : 41,75%
Tahun 1- 10 : 35% Tahun 11 dst :42%
Y