Modul ke:
13
Komunikasi Antar Budaya Hegemoni Budaya dan Media
Fakultas
Ilmu Komunikasi Program Studi
Periklanan
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pembuka • DUNIA saat ini seolah sudah tidak berbatas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas antarnegara menjadi samar. Dengan ditemukannya internet dan televisi, jarak antara kita dan orang yang ada di negara lain menjadi seolah tidak berjarak. Ini mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia di masa lampau.
Fenomena Globalisasi
1. adanya pasar bebas, yang membuat modal begitu mudah keluar atau masuk dalam suatu negara 2. Globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia sedunia: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. 3. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Jadi, ia adalah anak kandung kapitalisme.
Kapitalisme awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa lalu kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Di wilayah kebudayaan kita menyaksikan bagaimana kebudayaan Amerika dan Eropa sebagai representasi kekuatan kapitalisme dunia mencitrakan dirinya sebagai kebudayaan adiluhung. Masyarakat dunia ketiga dipaksa mengintegrasikan dirinya ke dalam bagian dari kebudayaan tersebut. Kita dapat melihat bagaimana film dan penyiaran kita hampir seluruhnya berkiblat pada kebudayaan mereka. Bahkan, di televisi kita ada istilah generasi MTV, generasi yang berpola pikir, berperilaku, dan berbusana meniru sistem budaya yang dipraktikkan di belahan dunia sana. Menolak perilaku demikian akan dianggap tidak modern dan kampungan, satu pemaknaan yang salah kaprah!
Hegemoni Budaya Pop •
Dalam pandangan yang optimistik, sebuah gerakan kebudayaan yang tepat bisa menjadi solusi dari terkikisnya martabat manusia dari hari ke hari dalam atmosfir kehidupan masyarakat modern kini. Dalam kehidupan yang materialistik, hedonistik, dan konsumtif, konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga bergerak menuju arah pergeseran yang sama sehingga dalam apa yang disebut sebagai budaya pop, karakter yang menonjol adalah instan, dangkal, egosentris, dan market oriented. Orientasi pada nilai-nilai kehidupan yang bersifat sosial-kemanusiaan, atau idealisme tertentu dalam hubungan sesama manusia atau hubungan antara manusia dan alam, menjadi sesuatu yang asing dalam kebudayaan popular atau budaya pop. Padahal, orientasi budaya seperti inilah yang sebenarnya mampu menjaga harkat dan martabat manusia.
Lebih Lanjut lagi Budaya pop baru berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan ketika misalnya terjadi bencana atau perang. Bentuk orientasinya pun tidak melekat dalam karya, tapi menjadi kemasan belaka, seperti misalnya konser amal. Budaya pop menjadikan kepedulian sebagai sebuah kemasan belaka, meski mungkin sejatinya mereka peduli. Dalam rentetan bencana yang menimpa sebagian rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir ini, hal ini bisa kita lihat dengan jelas. Kepedulian akhirnya bisa terjebak menjadi sekadar sebuah komoditas yang dilekatkan pada produk budaya tertentu. Dalam bencana gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten, para korban gempa bahkan sampai merasa penderitaan mereka dijadikan sebagai objek wisata. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati. Kita melihat orang berbondong-bondong datang mengunjungi desa-desa yang menjadi korban terparah. Sebagian besar yang berniat membantu segera memasang bendera mereka (entah perusahaan, entah LSM, entah Partai Politik, entah lembaga apa lagi) tinggi-tinggi. “Kami peduli”.
Benarkah itu kepedulian? Mungkin benar, tapi mungkin bukan kepedulian yang seharusnya. Kepedulian yang seharusnya terhadap para korban bencana yang menghancurkan kehidupan adalah kepedulian tanpa bendera apapun. Kepedulian yang meniadakan segala kepentingan kelompok, segala macam egosentrisme, dan segala pamrih sekecil apapun. Kepedulian semacam inilah sebenarnya yang harus dibangun dan dihidupkan kembali melalui sebuah gerakan kebudayaan yang membumi dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Alatnya adalah kebudayaan. Karena kebudayaanlah yang mampu menggugah nurani secara tepat dan cepat. Hanya melalui sebuah gerakan kebudayaan dimungkinkan terjadinya rekonsiliasi atau revitalisasi sebuah kehidupan yang hancur, baik dihancurkan oleh manusia dan sistem kekuasaan yang berlaku, maupun dihancurkan oleh peristiwa alam yang sebenarnya juga dipicu oleh keserakahan dan kegilaan manusia.
Dampak Hegemoni Budaya Pop di Media
• • • •
•
masyarakat konsumtif dan hedonis. karya-karya yang dihasilkan cuma bersifat temporer tanpa lantadasan filosofi seperti halnya seni adiluhung atau klasik yang abadi. pola pikir masyarakat sekarang telah jauh berubah dari kultur budaya leluhurnya. Hampir tidak kita dapati ruang untuk menafsir idiometik estetik karena yang terlihat merupakan tontonan kemasan yang serba chick. Globalisasi yang diterapkan oleh sistem kapitalis dalam rangka menyeragamkan pola hidup lewat budaya pop mengakibatkan tradisi warisan leluhur Indonesia kian tersisih. Apresiasi publik pada seni pun mengalami penyeragaman lewat media televisi dan sejenisnya. Orientasi budaya leluhur kita sebenarnya untuk menjaga harkat dan martabat manusia sesuai dengan fitrahnya. Namun karena perkembangannya semakin tersisih oleh budaya pop yang merangsek dari waktu ke waktu, pola pikir masyarakat menjadi berubah menjadi praktis dan pragmatis.
jenis-jenis Kebudayaan • Hidup-kebatinan manusia, yaitu sesuatu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adatistiadatnya,pemerintahan negeri, agama atau ilmu kebatinan • Angan-angan manusia, yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan. • Kepandaian manusia, yaitu sesuatu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah (Dewantara; 1994).
Budaya Tandingan Kaum intelektual organik harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk belajar bersama-sama, dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistemik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap kebudayaan dominan.
Daftar Pustaka • Ransome, Paul (1992), Antonio Gramsci: A new introduction, Harvester Wheatsheaf, Hemel Hempstead, Hertfordshire. • Simon, Roger (1991), Gramsci’s Political Thought: An introduction, Lawrence and Wishart, London. • Strinati, Dominic (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London. • Williams, Raymond (1977), Marxism and Literature, Oxford University Press, Oxford
Terima Kasih Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si