131313GAGAK Oleh: Zahratul Wahdati
Aku ingin mengirim burung gagak ke rumahmu, Nek. Burung ituakan menari. Membentuk lingkaran. Berputar-putar riang. Sampai lelah. Sampai puas. Akan tetapi, itu baru keinginan. Aku masih berpikir. Masih menerka-nerka. Apakah cukup seekor gagak untukmu? Aku ragu. Seekor gagakitu tidak mempan. Perlu lebih dari satu. Mungkin tiga ekor? Mendengar itu, kau tak perlu tertawa, apalagi bertanya. Tentang sebab aku ingin mengirimkan burung gagak ini untukmu. Apalagi, bertanya mengenai di mana kudapatkan burung gagak ini. Entah aku tak paham. Terjadi begitu saja. Yang aku ingat. Delapan tahun lalu. Tepat ketika langit kemerahan membenamkan anak laki-lakimu--ayahku. Sejak saat itu kata-katamu mulai pandai menusuk-nusuk dada Ibu hingga terluka. Dari luka di dada Ibu itu keluar air mata. Air mata Ibu membuatku tergelincir masuk ke dadaku sendiri. Terperosok jatuh pada ruang amat gelap. Sunyi. Kelam. Hanya bau amis serta busuk yang menuntunku entah ke mana. Sampai akhirnya aku menemukan lubang penuh nanah. Kepalaku melongok ke lubang itu. Lalu kutemukan sarang kecil terbuat dari ranting-ranting berduri yang masih segar. Di sarang kecil itu ada seekor bayi gagak. Mulut bayi itu terbuka lebar. Menengadah. Menerima air mata Ibu. Nenek, tentu heran kenapa di dadaku ada sarang dan bayi gagak itu, bukan? Itu juga yang kupertanyakan pada bayi gagak ini. Sampai hujan yang
amat berisik berkelahi dengan atap seng terhenti, bayi gagak itu tak mengubis pertanyaanku. Aku lalu tertawa. Tentu, bayi gagak itu tak mampu menjawab. Tubuhnya masih kemerahan. Mulut kecilnya hanya terbuka ketika menengadah menerima air mata Ibu. Aku heran mendapati bayi gagak itu tidur lelap setelah meminum air mata Ibu. Sungguh, aku tak mengerti harus kuapakan gagak ini waktu itu. Melihat tubuhnya yang ringkih, aku sampai tak tega menyentuhnya, apalagi membuangnya. Aku memang tak mengerti cara membesarkan bayi gagak ini, Nek. Namun, kuputuskan untuk memeliharanya. Yang terpenting, bayi gagak ini harus diamankan dari Ibu. Kalau Ibu tahu, ada gagak yang bersarang di dadaku. Pasti gagak ini sudah mati dibunuh Ibu. Aku ingin mengirim burung gagak ke rumahmu sebagai hadiah, Nek. Hadiah. Ya, sebagai hadiah karena aku peduli pada Nenek. Tidak seperti Nenek yang tak peduli pada luka-luka Ibu yang terus memecahkan air mata, meski hampir tak terlihat. Bukan berarti tak bisa dilihat. Bayi gagak di dadaku merasakannya. Ia bangun dan menenggaknya. Aneh! Semakin banyak air mata Ibu yang diteguk bayi gagak ini, tubuhnya menjadi lebih kuat. Bulu-bulunya pun kering dan memperlihatkan warna malamnya. Matanya mulai bisa terbuka dan biji mata merahnya sudah bisa menatapku. Gagak ini juga sudah mulai bersuara. Suaranya amat merdu dan keras. Tetapi, ia belum bisa berdiri, apalagi terbang, Nek. Bukan perkara gampang untuk melatih burung ini terbang, Nek. Juga bukan hal yang sulit. Mudahnya sebab gagak ini cuma butuh meminum air mata Ibu agar tubuhnya semakin kuat dan sayapnya bisa terkepak. Sulitnya, aku harus menemui air mata Ibu.
Beruntung, kau membantuku menemui air mata Ibu.Dimulai dari dongeng yang Nenek ciptakan tentang Ibu. Lantas Nenek siarkan cuma-cuma pada penduduk desa, orang-orang pasar, bahkan pasangan yang kautemui di bus ketika pulang dari pasar. Aku yakin otak Nenek meski tua tidak akan berkarat, bukan? Aku saja masih ingat jelas dongeng-dongeng Nenek yang teramat balada dan berlebihan. Ada yang berjudul: Dongeng Seorang Menantu Tak Berbakti, Dongeng Menantu yang Berhutang, Dongeng Menantu yang Tak Tahu Diri, Dongeng Menantu yang Menjauhkan Cucunya dari Neneknya, dan masih bisa kusebutkan lagi. Jika Nenek masih pura-pura lupa. Dongeng-dongengmu berhasil mengakibatkan tangan Ibu tak membawa sepeser pun uang dari menjual salak di pasar. Sukses juga membuat perutku seperti hatimu yang kosong. Ibu memelukku.Air mata Ibu dan air mataku menyatu. Bayi gagak terjaga, menengadahkan mulutnya lebar-lebar. Perutnya sampai menggelembung menampung air mata Ibu dan air mataku. Sayapnya mulai terkepak. Ia terbang memutari sarangnya. Burung gagak ini sudah siap untuk terbang ke rumahmu, Nek. Sewaktu burung gagak ini hampir kulepaskan. Kulihat seekor burung gagak sudah menari di atap rumahmu. Aku tak tahu siapa yang mengirimnya. Tarian lingkaran gagak itu seperti angsa berenang di danau. Tetapi ternyata, seekor gagak itu tidak membuatmu melirik ke atap rumahmu. Atau menarikmu ke mana-mana. Hanya mengakibatkan kau tertabrak motor. Dan anehnya tanpa luka-luka. Tanpa darah. Aku tak berhasrat sama semacam burung gagak entah milik siapa itu, yang sia-sia dikirimkan kepadamu, Nek. Aku menunda melepaskan burung gagak
ini dari dadaku. Gagak ini ngambek. Terbang ke sana-kemari. Menabrak sudutsudut dadaku sampai aku merasa nyeri. Aku memintanya untuk bersabar. Dan lebih bersabar lagi. Kuhibur dia dengan memperbaiki sarangnya. Kubuat agak lebih besar. Kucuri ranting-ranting berduri dari dada Ibu untuk membuatnya. Gagak ini bersuara semakin keras sambil duduk di atas sarang barunya. Kutatap ia baik-baik. Kuteleti tubuhnya. Aku ingin tahu gagak ini jantan atau betina. Tetapi, ciri-ciri mana burung gagak jantan dan betina, aku tak tahu. Kudengar-dengar kalau gagak betina ukuran tubuhnya lebih besar. Tetapi, sebesar apa aku tak paham. Burung gagak ini hanya satu. Tak ada yang jadi pembeda. Maka kuputuskan burung gagak ini betina. Ya, walaupun kuputuskan burung gagak ini betina tetap saja otakku tak punya cara, bagaimana membuat gagak ini bertelur? Tetapi, ternyata bayi gagak ini tak butuh kawin, Nek. Tahun kelima ketika kembali kau memaksaku untuk meninggalkan Ibu. Dan dongeng-dongeng tentang Ibu kau ceritakan padaku. Gagak ini bertelur. Ada tiga telur. Telur itu menetas beberapa detik setelah keluar. Aku ingin mengirim tiga burung gagak ke rumahmu, Nenek tersayang. Burung itu akan menari. Membentuk lingkaran. Berputar-putar riang. Sampai puas. Sampai lelah. Akan tetapi, itu masih saja keinginan. Aku masih berpikir. Masih menerka-nerka. Apakah cukup tiga ekor gagak untukmu? Aku ragu. Tiga ekor gagak itu tidak mempan. Perlu lebih dari tiga atau lebih dari tiga belas ekor? Aku yakin kau sedang tertawa keras Nenek. Kau pasti mengejekku yang tak juga mengirim gagak-gagak itu padamu. Sabar Nenek. Gagak-gagak itu juga sabar. Paham kalau aku tidak akan tergesa-gesa mengirimkan mereka padamu.
Aku harus tepat memperhitungkan jumlah gagak-gagak itu. Agar bisa memecahkan cincin merah di jarimu yang sudah teramat keriput itu, Nek. Aku pun memperbaiki sarangnya agar lebih besar. Kuperbanyak lagi. Tak hanya kutaruh di dada. Kutaruh juga di jantung. Di mata. Di hati. Di semua sudutsudut tubuhku. Ku taruh juga beberapa di dada kawanku.Sarang-sarang itu akan menjadi tempat bercinta gagak. Menampung ribuan telur. Ribuan bayi-bayi gagak. Aku hanya mengulang dongeng-dongengmu agar gagak dimulutku dapat terlihat. Agar kau bisa mengintip hadiah yang akan dan pasti kukirimkan ini. Namun, ternyata kau malah membuat dongeng-dongeng baru. Dongeng itu seperti makanan sehat untuk kawanan gagak peliharaanku. Mereka menjadi berkali-kali lipat jumlahnya. Kuhitung lagi jumlahnya. Bukan tiga belas. Tetapi sampai 1313 ekor gagak. Nenek pasti tertawa sampai perut Nenek ingin memuntahkan seluruh isinya. Hadiah ini bukan lelucon, Nenek. Aku sungguh tidak akan tergesa-gesa mengirimkan hadiah untuk Nenekku sayang. Agar tidak sia-sia. Bahkan ketika kawanan gagak mulai berbicara padaku. Protes. “Kapan kau kirim kami ke Nenekmu?” “Nanti!” “Apa kau tidak tega mengirimkan kami?” “Aku akan mengirim kalian. Sebentar lagi!” “Akan? Akan dan akan! Akannya kapan?” “Nanti ketika jumlah kalian lebih banyak lagi.” “Sebanyak apa? Dulu kau bilang tiga, lalu 1313, lalu berapa lagi. hah!”
“Mungkin ketika jumlah kalian 131313ekor!” “Mungkin? Kenapa selalu mungkin? Kau takut atau kau benar-benar tak tega? Jujurlah!” “Aku tak tahu sebanyak apa!” “Sebenarnya kau berniat atau tidak mengirim kami ke Nenekmu?” “Baiklah kalau jumlah kalian13131313. Akan kukirimkan kalian untuk meramaikan atap rumah, Nenek.” “Benarkah?” “Atau kuternakan lagi agar berlipat-lipat jumlahnya. Kalau kalian tak sabar. Aku memunuh kalian satu per satu!” “Itu tidak mungkin!” “Ya, itu tidak mungkin. Aku janji akan mengirim kalian ketika jumlah kalian 13131313 ekor. Aku janji.” Malam teramat berisik oleh suara kawanan gagak. Menenggelamkan suara hewan-hewan malam. Bahkan suara angin. Kugelar tikar di belakang rumah. Tepat di antara pohon pisang. Kurebahkan diri di tikar itu. Kunikmati aroma tanah yang sangat merindukanmu Nenek. Kututup mata dalam-dalam. Mengingat kenangan sebelum ada sarang gagak di dadaku, Nenek. Tepat saat langit menjadi sehitam kopi. Kau merebahkan tubuh kecilku pada tikar yang kau gelar di belakang rumah. Tepat di bawah pohon randu, seuukuran dua rentangan orang dewasa. Kau rebahkan tubuhmu juga. Memintaku untuk menutup mata dalam-dalam. Memerintahkan untuk mencium aroma tanah bulan Maret yang kering.
Kemudian, kau mulai bercerita, ”Tanah itu jahat, Cucuku. Ia bisa menenggelamkanmu. Membuatmu sendirian. Membuatmu dilupakan. Sebentar lagi Tanah akan jahat pada Ayah dan Ibumu. Tetapi tenang, Cucuku. Tanah tidak akan melalukannya padamu. Juga tidak akan melalukannya pada Nenek.” Nenek tunggu sebentar lagi. Gagak milikku akan ganjil: 13131313. Ketika itu, kuharap tanah juga jahat kepadamu, Nenek tercinta. ***