Dongeng Gagak dari Rahmad Oleh: Arrah Yuruta *
Genap sudah sewindu kami tak bertemu, sepuluh menit lagi pesawatku akan terbang ke Indonesia. Seorang pria berkaca mata duduk di sampingku, berbadan kurus dengan jenggot tipis di dagunya. Wajahnya yang tirus, mirip sekali dengan wajah Rahmad, temanku. Pria itu sesekali mengangguk dan tersenyum, lalu pandangannya beralih pada sebuah novel yang sedang dia baca, Animal Farm karangan George Orwell, adalah novel yang sama, yang juga disukai oleh Rahmad. “Sebentar lagi kita akan bertemu, Mad,” aku sempat bergumam dalam hati, mengingat tinggal menunggu jam aku akan kembali ke Indonesia untuk menemui Rahmad, dan tadi pagi sebelum aku berangkat, dia telah mengirimi sebuah pesan bahwa dia yang akan menjemputku sesampai di bandara. “Nanti aku yang jemput di Bandara, Rif”, begitu isi pesan yang dikirim Rahmad untukku. Di kabin pesawat, udara semakin dingin. Di waktu yang sama, beberapa orang pramugari berlenggang-lenggok memperagakan alat keselamatan. Sesaat sosok Rahmad yang tadi selalu kupikirkan menghilang. Hanya saja, setelah beberapa menit pesawat yang kutumpangi take off dan pramugari itu pergi, sosok Rahmad kembali muncul dipikiranku. Pria di sampingku kembali melempar senyum untuk yang ke tiga kalinya. Tak hanya itu, ketika novel yang dia baca ditutup, gambar binatang di sampul depannya menyeret ingatanku kepada binatang-binatang yang menjadi tokoh dalam fabel-fabel yang sering Rahmad dongengkan untukku. Terkadang aku kagum ketika Rahmad sedang bercerita, tapi lebih sering aku dibuatnya tertawa, ketika lakon serta gerak tubuh kerempengnya yang memperagakan kancil, buaya, singa atau burung-burung yang
belum dia beri nama. Pria di sebelahku kembali membaca novel, dan aku mencoba mengalihkan pandangan keluar jendela. Dalam benak masih terbayang akan binatang yang lucu-lucu itu, melintas dan memacu pikiranku untuk kembali memutar memori. Seperti burungburung yang terbang mengudara dan akhirnya bertengger diatas pohon kenangan delapan tahun yang lalu. Ya, waktu itu, delapan tahun yang lalu, ketika aku bersama Rahmad pertama kali menginjakkan kaki di Negeri ini. Menjadi backpacker, berdua, dengan nekat menuju sebuah pulau di ujung selatan India, Negeri Ceylon, Srilanka. “Kita harus mencari penginapan dulu,” katanya tergesa-gesa keluar dari Bandara. Hari masih sore di dekat gereja gotik tua berarsitektur Persia. Kami menemukan ada sebuah bangunan bertuliskan “hotel” yang menarik perhatian kami. Ditariknya tanganku dan kakinya melaju memaksaku menuju bangunan itu dengan buru-buru. Sesampainya di mulut pintu, seorang wanita berbusana sari dengan sopan menyambut kami. “Silakan duduk,” ujar wanita itu sembari menyodorkan sebuah buku menu. Rahmad membacanya dengan seksama. “Kamu mau makan apa Rif?” tatapnya sumringah, lantas kami tartawa karena bangunan yang kami sangka hotel itu ternyata warung kecil yang menjajakan nasi kari. Belum hilang rasa kari yang baru kami santap, Rahmad menyulut sebatang rokok sambil menatap seekor gagak yang sedang berdiri di atas lampu dekat sebuah mobil van berwarna merah muda. “Kau tahu Rif, di kota Colombo ini, orang-orang sudah biasa melihat gagak,” ujarnya. “Di sini orang-orang menganggap gagak adalah simbol kehidupan. Kau tahu kenapa? Karena gagak hidup berbudaya layaknya manusia. Tapi entahlah, kenapa semua itu bertolak dengan mitos-mitos di Negeri kita. Gagak di Negeri kita selalu identik dengan malapetaka bahkan kematian.”
Rahmad beranjak dari kursi. Diteguknya teh rempah yang masih sisa setengah dan melangkah ke arah jendela. Rokok yang baru ia nyalakan kembali dihisap, lalu bibirnya memonyong seperti bibir ikan, asap-asap yang membentuk lingkaran keluar dari bibirnya. Ia menatap bulatan-bulatan lingkaran asap, seraya mengarahkan jari telunjuk ke tengah lingkaran dan asap itu pun memburai. “Di kampungku juga ada cerita tentang gagak,” ujar Rahmad kembali berucap. “Kisah ini tak pernah ada di buku cerita mana pun, bahkan cerita daerah tak pernah memuatnya. Kisah turun temurun ini biasa didongengkan orangtua kepada anak-anak menjelang tidur atau saat bersantai sepulang kerja. Semasa aku kecil, mendiang kakekku yang menceritakan padaku. Ceritanya tak jauh berbeda dengan mitos legenda orang-orang yunani atau dongeng dari Indian Sioux”, lanjutnya sembari menghisap rokok yang sudah mulai padam apinya. Aku masih terdiam mengamati Rahmad yang berdiri ditepi jendela. Di waktu seperti ini, aku tidak akan pernah mengganggunya, kubiarkan dia mau menceracau seperti apa, sebab dia pasti akan kembali mendongeng dan itu adalah momen yang paling aku tunggu. “Rif, dahulu sebelum gedung-gedung megah berdiri, tempatku hanyalah sebuah hutan belantara. Orang-orang di kampungku percaya, bahwa dahulu di sana hidup sekelompok burung-burung gagak yang berwarna putih, bulunya lebat, bertekstur halus bagaikan sutra. Mereka hidup damai dan selalu bangga dengan warna bulu-bulunya yang putih. Setiap senja sebuah lengkingan suara keras terdengar, seperti pengeras suara mesjid di Negeri kita. Suara itu menggema memanggil gagak-gagak untuk kembali pulang ke sarangnya. Jika sudah malam, di atas rumah-rumah yang terbuat dari ranting pohon beralaskan daun kering, mereka selalu bercengkrama bersama sanak saudara saban senja dengan bahagia.” “Seperti gagak itu.” Rahmad menunjuk ke arah sekelompok gagak
yang sedang berkumpul di atas pohon depan restoran. “Rif, suatu ketika seekor gagak datang melapor kepada gagak tua yang dipercaya menjadi pemimpin kelompoknya. “Gagak tua, saudaraku sudah tiga hari tidak ada di rumah, dia menghilang, tolonglah keluarga kami,” ucap Rahmad berlagak seperti gagak yang sedang mengadu. “Lalu apa yang terjadi, Mad?,” tanyaku. “Gagak tua akhirnya menyarankan supaya gagak-gagak yang lain membantu mencari gagak yang hilang. Semua gagak bergotong royong. Akan tetapi, seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami, usaha yang mereka lakukan berbuah kesia-siaan, gagak muda yang hilang tidak pernah ditemukan.” “Ketika sedikit harapan masih tersisa, tepat di hari kelima, gagak muda yang hilang akhirnya pulang dengan sendirinya, dan kau tahu apa yang terjadi dengan gagak muda yang hilang itu?” Aku menjawab dengan gelengan kepala. “Ada hal yang berbeda dengan penampilan gagak muda. Bulu di kepalanya berwarna merah delima, senyumnya lebih sumringah seperti sedang mendapatkan hal baru yang tidak dia temukan di hutannya.” “Bagaimana dengan gagak tua, Mad?” “Gagak tua memanggil gagak muda untuk menghadapnya,” ujar Rahmad melanjutkan sambil meletakkan kembali gelas ke atas meja. Matanya tajam memanatapku. “Rif, di sarang gagak tua itu, gagak muda menghadap. ‘Dari mana engkau?’ ucap gagak tua bertanya kepada gagak muda. ‘Ada apa dengan rambutmu?’ Gagak muda yang labil tidak menjawab, dia hanya merunduk, merasa bersalah dengan apa yang telah dia lakukan. Diangkatnya sayap kanan untuk menutupi jambul merah yang bertahta di kepalanya. Diam, tidak mengeluarkan sepatah kata. Lalu berjalan mundur dan keluar setelah sebelumnya
dipetuahi oleh gagak tua. “Lantas bagaimana nasib gagak muda itu,” aku kembali bertanya penasaran. “Sehari, dua hari, kepala si gagak muda semakin merah berwarna. Teman-temannya penasaran lantas bertanya tentang pengalaman yang telah dia alami,” kata Rahmad yang akhirnya kembali duduk dihadapanku. “Engkau sekarang terlihat lebih gagah, Kawan. Darimana engkau mendapatkan jambul seindah itu?” tanya seekor gagak, kawannya dengan rasa penasaran. “Dari hutan seberang,” jawab gagak muda. “Seperti apa hutan seberang?” gagak yang lain ikut bertanya antusias. “Gagak muda itu bercerita tentang pengalaman baru yang dialaminya. Tentang hutan seberang yang berisi bermacam-macam jenis burung dengan bulu-bulu yang beraneka warna. Semua beragam tak seperti gagak di hutan itu yang monoton dengan warna putih saja. Di hutan seberang burung-burung itu sangat terbuka dan ingin bersahabat dengan siapapun yang berkunjung kesana. Merekalah yang mengajari gagak muda bagaimana memberi warna pada jambulnya, dan merah adalah lambang persahabatan antara mereka.” “Seminggu sudah berlalu, Rif. Tak disangka, gagak muda itu berencana untuk kembali ke hutan seberang menemui teman barunya. Rencana sudah disusun, pagi sekali bersama sepuluh temannya yang penasaran terbang menuju hutan seberang dan kembali dikala petang dengan oleh-oleh jambul yang beraneka warna. Dada mereka membusung ketika terbang dan berjalan, layaknya para artis ibukota yang menampakkan kesombongan. Gagak tua kembali memanggil gagak muda beserta rekannya. Tapi hanya nasehat yang diberikan.”
“Kenapa gagak tua tidak memarahi gagak muda, Mad?” tanyaku karena terbawa arus cerita yang Rahmad dongengkan. “Ujar kakekku, gagak tua itu adalah sosok gagak yang bijaksana. Tak ada niat memarahi atau memberi hukuman kepada gagak-gagak muda. Jika pun hukuman diberikan kepada mereka, gagak tua sadar bahwa gagak-gagak muda pasti akan semakin membangkang, mereka adalah gagak-gagak yang labil dan sangat besar keingintahuannya. Lagipula gagak tua juga sadar bahwa dirinya hanyalah seekor gagak sepuh yang umurnya sudah senja, memberi nasehat lebih baik daripada harus menimbulkan kericuhan baru di hutan mereka. Dengan nasehat, gagak muda bisa memilih apa yang terbaik untuk mereka, tak perlu ada hukuman, dan pilihan bukan karena paksaan”. “Kau tahu Rif, apa yang dikatakan gagak tua ketika menasehati gagak-gagak muda?” tanyanya kembali. Aku menjawab dengan gelengan kepala. “’Aku hanya ingin mengingatkan bahwa putih adalah identitasmu, tak perlu kalian mengubah warna bulu itu. Putih adalah gagak,’” ucap Rahmad terbatuk-batuk menirukan Gagak Tua. “Layaknya manusia, nasehat yang diberikan oleh gagak tua tidak pernah dihiraukan oleh gagak muda. Kian hari semakin menjadi, kebebasan yang dipercayakan mereka manfaatkan. Saban pagi gagak-gagak muda itu mengajak teman-teman yang lain untuk mengubah warna bulunya. Di bawanya ke hutan seberang, setelah pulang dikala senja, jambul, sayap, ekor, bahkan bulu-bulu di dada mereka ikut bercorak warna. Tak hanya itu, mereka di sana juga belajar sendiri bagaimana cara mewarnai bulu. Akhirnya, sudah puluhan bahkan ratusan gagak-gagak muda bangga dengan warna warni di bulu-bulu mereka. Gagak-gagak kecil yang beranjak dewasa juga tak kalah antusias mengikuti fenomena yang lagi ngetren di kalangan mereka. Sebagian yang beranjak tua pun juga sama, memberi warna pada bulu-bulu mereka supaya terlihat lebih muda. Ada yang membuat belang-belang, ada pula yang memberi warna keseluruh tubuhnya seperti pelangi. Sangat
indah bahkan warna putih tak lagi nampak terlihat. Gagak-gagak itu telah bermetamorfosis menjadi cantik. Semakin lama berkomunikasi dengan burung-burung di hutan seberang, gagak-gagak itu ada yang menetap di sana, ada pula pula yang mendapatkan pasangan hidup lalu membawa ke hutan mereka. Walaupun bukan burung gagak yang dipersuntingnya, gagak-gagak di hutan itu sudah tidak mempermasalahkan. Tak hanya itu, sarang-sarang dari ranting kayu juga mereka ganti dengan jerami yang dilapisi serat kapas, hal ini ditujukan supaya anak-anak mereka tidak tergores dan terluka jika sedang bermain di sarang. Peradaban semakin maju dan cara berpikir sudah semakin terbuka.” “Lantas bagaimana nasib gagak tua itu, Mad?” “Pada suatu malam di awal bulan, gagak tua termenung di atas sarang ranting kayu yang mulai lapuk. Dicobanya mengepakkan sayap sekuat tenaga, sesekali melengking keras karena tidak kuasa menopang tubuh rentanya. Gagak-gagak yang berwarna sinis menatapnya. Gagak renta yang setia dengan bulu warna putih terlihat aneh dan asing di mata mereka. Dikepakkan sayapnya berkali-kali, seolah ada tenaga besar yang mengalir di pembuluh darah. Ranting-ranting sarangnya yang lapuk berguguran. Gagak tua terbang, ditatapnya tanah kelahirannya yang telah berubah. Dari ketinggian nampak seolah-olah tubuh gagak-gagak di hutan itu menyala seperti lampion tergantung di pohon yang beraneka warna. Kembali ditatapnya hutan itu, dilihatnya kelap-kelip cahaya dari tubuh-tubuh gagak yang samar berbaur dengan bias hitam yang merah kekuningan. Gagak tua terbang semakin tinggi, meninggalkan sejumput hutan yang sudah dikelilingi gedung-gedung kota. Ditatapnya kembali untuk terakhir kalinya, Dia sudah tak bisa membedakan yang mana cahaya gagak-gagak yang mana pula cahaya lampu-lampu kota, karena keduanya sudah serupa. Dipikiran gagak tua itu hanya terbang semakin tinggi, menuju bintang kemukus dan tak pernah kembali. Setelah itu karena banyaknya percampuran warna, menjadikan bulu-bulu gagak menjadi hitam. Dan hitam adalah
identias baru mengakhiri.
mereka.
Sampai
sekarang,”
ucap
Rahmad
*** Pesawatku sudah mendarat dua jam yang lalu. Pesannya, aku disuruh untuk menunggu di bandara karena ia akan menjemputku. Sekarang sudah pukul empat sore, aku sudah berada di sebuah taksi menuju rumahnya. Pikirku, mungkin ada urusan mendesak, sehingga dia mengurungkan niat untuk menjemputku, mungkin pula sengaja dia menelantarkanku karena ada kejutan yang akan dia perlihatkan. “Mad.. Rahmad.. Kamu orangnya selalu tak bisa ditebak,” gumamku. Selama perjalanan tak bisa lepas mataku menatap gedung-gedung megah yang telah menggantikan hutan. Udaranya lebih panas dari apa yang aku pikirkan. Tadi sempat pula aku melihat seekor gagak yang terbang melintas dan bertengger di atas spion taksi yang kutumpangi, di saat aku bertanya perihal alamat di perempatan ketiga setelah bandara. Nampak warna gagak itu hitam legam. Dan sekarang, taksiku masih melaju menuju rumah Rahmad di jalan Kamboja, dadaku berdegup tak karuan karena tak sabar ingin bertemu dengannya. Kembali aku berandai-andai jika sesampai di rumahnya nanti, kami akan duduk bernostalgia di halaman rumah, di bawah pohon ketapang yang masih rindang, dan aku akan minta supaya dia kembali bercerita tentang dongengdongeng yang belum pernah aku ketahui. “Maaf Pak, Bapak tahu rumahnya Mas Rahmad? Alamatnya Jalan Kamboja, Gang Remaja nomor 505.” “Mas, terus saja. Dua ratus meter dari sini ada gang kanan jalan. Itu gang Remaja, rumahnya mas Rahmad berpagar putih,” ujar bapak tua yang kutebak umurnya kisaran 70 tahunan itu. Kakiku sudah sampai di mulut gang, dikejauhan banyak orang berkumpul di depan rumah berpagar putih sebagian duduk di
bawah pohon ketapang yang rindang, sebagian lagi berdiri di depan pagar. “Maaf, Pak. Benar ini rumahnya Mas Rahmad?” “Iya benar, Mas.” “Mas Rahmadnya ada?” Bapak itu hanya terdiam, menatapku seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi mulutnya seperti tersumpal, bungkam. Lama dia menatap dan aku menunggu apa yang akan dia jawab. “Rahmad sudah berpulang, Mas,” kata bapak itu menunjuk pada sebuah mobil putih bertahta lampu biru yang baru tiba di mulut gang. Semua orang berdiri, semakin mendekat semakin jelas terdengar suara serine berbaur dengan isak tangis. Mata bapak itu berair, begitu juga mataku. “Katamu gagak adalah simbol kehidupan, Mad. Bukan kematian,” rintihku setelah aku teringat bahwa aku di Negeriku, bukan di negeri tempatku berpetualang bersamanya.
Yogyakarta 2013
* Penulis dalah angkatan Bengkel Menulis GLI ketiga
[icon icon=’Icomoon/icomoon-calendar||size:16px’]26 September 2014