Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian
ISSN: 2407-5795 Volume 8, Nomor 2, April-Juni 2016
37
SPS NEWSLETTER
DAFTAR ISI Permentan Transparansi
1
Sidang Reguler Komite SPS ke-65 3
Pemberlakuan Regulasi Uni Eropa 2016/24 Regionalisasi Dalam Perdagangan Internasional 7
5
Notifikasi Indonesia G/SPS/N/IDN/106 4
Mengulas Phytosanitary Treatment: Iradiasi Notifikasi G/SPS/N/IDN/107 8
6
Kerjasama Negara BRICS 8
PENGATURAN IMPLEMENTASI TRANSPARANSI SPS-WTO MELALUI PERMENTAN TRANSPARANSI Setiap negara anggota WTO, termasuk Indonesia memiliki kewajiban dalam mengimplementasikan prinsip Transparansi SPS. Transparansi sangat penting dalam mewujudkan perdagangan internasional yang jujur, adil dan berkelanjutan. Transparansi secara spesifik diatur dalam Pasal 7 Perjanjian SPS yang menyatakan bahwa Negara anggota WTO harus menotifikasi perubahan ketentuan/peraturan SPS-nya dan harus menyediakan informasi ketentuan/peraturan SPS tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Annex B Perjanjian SPS. Transparansi meliputi publikasi, enquiry, dan notifikasi. Setiap anggota WTO harus mempublikasikan ketentuan/peraturan SPS yang telah diadopsi/diterapkan (Publikasi), menjamin adanya enquiry point yang bertangung jawab memberikan jawaban terhadap pertanyaan atau permintaan negara anggota lainnya (Enquiry) dan menotifikasikan rancangan peraturan/ketentuan SPS ke Sekretariat SPS-WTO (Notifikasi). Notifikasi rancangan peraturan teknis (SPS) ke Sekretariat SPS WTO merupakan kewajiban bagi setiap negara anggota WTO. Suatu negara diharuskan menotifikasi rancangan peraturan teknisnya jika tidak terdapat standar, pedoman atau rekomendasi internasional; substansi yang diatur tidak sama atau menyimpang dari standar, pedoman dan rekomendasi internasional yang ada; dan/atau substansi yang diatur mempunyai dampak yang signifikan terhadap kepentingan perdagangan negara lain. Konsekuensi yang muncul jika suatu negara tidak mengimplementasikan transparansi yaitu hilangnya akses pasar potensial, negara tersebut tidak mendapatkan respek dari negara anggota WTO lainnya, dan negara tersebut tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota WTO.
1
Untuk mengimplementasikan ketentuan Transparansi, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian telah ditunjuk sebagai National Notification Body (NNB) yang bertanggung jawab dalam penyampaian ketentuan SPS baik yang akan, sedang atau telah ditetapkan dan/atau diubah oleh Negara Republik Indonesia ke Sekretariat SPS-WTO, dan sebagai National Enquiry Point (NEP) yang bertanggung jawab untuk menerima dan memberikan jawaban terhadap semua pertanyaan mengenai SPS, serta menyediakan dokumendokumen mengenai ketentuan SPS. Dalam membantu tugas NEP tersebut, maka dibentuk Komisi SPS yang berasal dari unsur pemerintah, akademisi, peneliti, pakar dan pelaku usaha. Untuk mengatur implementasi ketentuan transparansi tersebut, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian No. 11 tahun 2016 tentang Pelaksanaan Transparansi Perjanjian Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS). Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dalam melaksanakan transparansi Perjanjian SPS-WTO. Tujuan dari Permentan ini agar pelaksanaan transparansi Perjanjian SPS-WTO yang dilakukan memenuhi kaidah Perjanjian SPS-WTO. Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi Transparansi, Tata Cara Notifikasi, Tugas dan Fungsi National Notification Body dan National Enquiry Point, dan Pembiayaan. Selain itu, untuk mengoptimalkan implementasi transparansi maka Badan Karantina Pertanian selaku focal point SPS akan membuat portal resmi SPS Indonesia. Portal ini selain berfungsi sebagai media publikasi juga difungsikan sebagai media komunikasi antar instansi teknis terkait khususnya dalam proses notifikasi. Melalui portal resmi ini memungkinkan negara anggota WTO melihat dan mengakses peraturan-peraturan teknis SPS (Agus Jaelani).
i k l a n
m i n u m a n
b e r a l k o h o l .
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM, Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau dengan fermentasi t a n p a d e s t i l a s i . Minuman beralkohol yang beredar di wilayah Indonesia baik yang produksi di dalam negeri maupun impor harus memenuhi standar keamanan dan mutu pangan yang ditetapkan BPOM. Peredaran minuman beralkohol di wilayah Indonesia hanya dapat dilakukan setelah memiliki izin dari Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Perdagangan minuman keras juga dapat diperdagangkan oleh usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan minuman beralkohol dari Menteri Perdagangan. Standar keamanan yang harus dipenuhi meliputi: batas maksimum kandungan Metanol yaitu tidak lebih dari 0,01%v/v, cemaran mikroba, cemaran kimia, dan bahan tambahan pangan. Sedangkan Standar Mutu yang dimaksud meliputi tentang label yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada label minuman beralkohol harus dicantumkan informasi dalam Bahasa Indonesia bahwa minuman tersebut mengandung alkohol dengan kadar ±....%v/v, serta larangan mengkonsumsi bagi yang berusia di bawah 21 tahun dan ibu hamil. Minuman beralkohol juga dilarang untuk diiklankan di media massa apapun. Rancangan Peraturan Kepala BPOM tentang Standar Keamanan Mutu Minuman Beralkohol telah dinotifikasi ke Sekretariat SPS-WTO dengan nomor notifikasi G/SPS/N/IDN/111 tanggal 30 Juni 2016. (Ira)
NOTIFIKASI INDONESIA: G/SPS/N/IDN/111 PERATURAN PEMASUKAN DAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL Dalam rangka mengendalikan dan mengawasi pemasukan dan peredaran minuman beralkohol, Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan Peraturan Kepala BPOM tentang Standar Keamanan dan Mutu Minuman Beralkohol. Dalam peraturan ini diatur mengenai ketentuan standar keamanan, standar mutu, label dan
2
Sidang reguler Komite Sanitary and Phytosanitary
SPS Newsletter, Vol. 8, No. 2, April-Juni 2016, ISSN: 2407-5795
Measures (SPS) yang secara rutin diselenggarakan oleh WTO setiap 3 (tiga) kali setahun, kini telah memasuki putaran Sidang yang ke-66. Sidang Reguler yang ke-66 telah dilaksanakan pada tanggal 30 Juni - 1 Juli 2016 di World Trade Organization (WTO), Jenewa, Swiss. Rangkaian sidang reguler Komite SPS ke-66 dipimpin oleh Ms. Marcela Otero dari Chile dan dihadiri oleh Negara Anggota WTO, observers dan beberapa Organisasi Internasional lainnya (IICA, ITC, IPPC, FAO, CODEX, OIE, ADB, CBD). Pada sidang reguler tersebut Delegasi Indonesia (Delri) dipimpin oleh Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan didampingi oleh wakil dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Badan POM serta PTRI Jenewa. Seperti Sidang Reguler sebelumnya, beberapa negara anggota WTO kembali mengangkat isu-isu terkait perdagangan, diantaranya yaitu: Amerika Serikat menginformasikan mengenai implementasi UndangUndang Modernisasi Keamanan Pangan (Food Safety Modernization Act – FSMA) dan IPPC phytosanitary certificate requirement for processed food products; Uni Eropa (UE) menginformasikan Kajian Maximum Residual Limits (MRLs) untuk pestisida, Undang-undang Kesehatan Hewan yang baru, dan Kriteria ilmiah untuk mengidentifikasi “endocrine disruptors” untuk proteksi produk tanaman dan biosida; Jepang menginformasikan situasi pangan di Jepang paska Peristiwa Fukushima Daiichi Nuclear Power Plant. Pada Sidang Reguler kali ini, dalam Agenda 5 terkait Operation of Transparency Provisions, Indonesia secara khusus menyampaikan bahwa Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, selaku National Notification Authority (NNA) dan National Enquiry Point (NEP) untuk SPS, telah memiliki regulasi nasional untuk transparansi yakni Peraturan Menteri Pertanian No. 11 tahun 2016 mengenai Implementasi Transparansi pada Perjanjian SPS. Pemberlakuan peraturan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerapan kewajiban
transparansi oleh Indonesia dan mendorong seluruh pemangku kepentingan terkait di Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam mematuhi ketentuan Perjanjian SPS. Di samping itu, Indonesia juga akan segera meluncurkan portal SPS Indonesia pada tahun 2016 ini. Disela-sela Sidang Komite SPS-WTO, delegasi Indonesia juga mengadakan pertemuan bilateral dengan beberapa negara anggota WTO, diantaranya: a. Indonesia dan Meksiko: Indonesia mengajukan beberapa pertanyaan terkait penerapan kebijakan Meksiko yang telah menghentikan sementara perizinan impor udang vannamei (penaeus vannamei) dari Indonesia sebagai akibat dari terdeteksinya virus IMNV (Infectious Myonecrosis Virus) pada produk tersebut. b . Indonesia dan Korea Selatan:Indonesia menyampaikan concern-nya mengenai penerapan kebijakan Korea terkait kandungan pestisida yang diijinkan dalam produk makanan yang diekspor ke Korea. Sementara Korea meminta klarifikasi Indonesia terhadap produk ginseng yang saat ini belum bisa didaftarkan di Indonesia. Pihak Korea juga menanyakan mengenai pengujian Angka Lempeng Total (ALT) pada produk hot pepper sauce Korea dan tidak diberlakukannya pengujian yang sama untuk sambal terasi Indonesia, serta persyaratan dan tata cara/prosedur agar laboratorium dan sertifikat dari Korea mendapatkan pengakuan Indonesia, dan importasi produk-produk susu. c. Indonesia dan RRT: Indonesia meminta pihak RRT dapat memberikan informasi detil dan regulasi mengenai kebijakan AQSIQ yang menetapkan produk makanan yang ekspor ke RRT harus disertakan surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi berwenang negara pengekspor, dan ditujukan kepada Departemen Pemeriksaan dan Karantina Pelabuhan Imigrasi ketika mengimpor produk makanan seperti makanan khusus, kue dan biskuit, permen, bumbu makanan, minuman, alkohol dan
SPS Newsletter, Vol. 8, No. 2, April-Juni 2016, ISSN: 2407-5795
3
manisan, buah kaleng ke RRT. Indonesia juga mengajukan permohonan agar AQSIQ dapat menunda pemberlakuan regulasi tersebut bagi Indonesia selama 1 (satu) tahun (sehingga baru akan berlaku pada 1 Januari 2018), mengingat otoritas terkait di Indonesia perlu melakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha dan melakukan persiapan-persiapan lainnya. d. Indonesia dan RRT: Pihak Filipina menyampaikan concern atas lambannya proses rekognisi produk hortikultura (khususnya bawang merah, nanas, dan pisang) dan registrasi laboratorium Filipina. Hal tersebut telah menyebabkan beberapa komoditas Filipina, khususnya bawang merah yang telah memasuki masa panen, tidak dapat diekspor ke Indonesia dan menyebabkan rusaknya produk-produk tersebut. e. Indonesia dan Chile: Pihak Chile menginformasikan mengenai rencana kunjungan delegasi high level Chile ke Indonesia pada tanggal 12 Juli 2016 dengan maksud mendiskusikan beberapa isu penting yaitu: importasi buah-buahan Chile ke Indonesia, peraturan baru keamanan pangan Indonesia, dan pelaksanaan workshop terkait Mediterranean Fruitfly. Pihak Chile juga menginformasikan bahwa beberapa laboratorium Chile telah mendapatkan rekognisi dan telah siap untuk diinspeksi oleh Indonesia dalam rangka pelaksanaan MRA keamanan pangan antara Indonesia-Chile. f. Indonesia dan Turki: Pihak Turki menyampaikan keinginannya untuk memasarkan packaged dried raisin (kismis) di Indonesia dan menanyakan regulasi dan aturan yang perlu diketahui. (Yoek/SPS)
4
Notifikasi Indonesia G/SPS/N/IDN/106
Kontrol Penyakit Hewan Regionalisasi memungkinkan suatu negara melakukan pengendalian penyakit hewan dengan lebih baik. Penerapan konsep regionalisasi bergantung pada beberapa aspek yaitu epidemilogi penyakit, faktor lingkungan, surveilan, tindakan biosekuriti yang memadai dan dapat diaplikasikan, kualitas pelayanan veteriner atau otoritas kompeten lainya, dan kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta. Dalam implementasi konsep regionalisasi perlu disiapkan kemampuan teknis mulai dari SDM, kapasitas laboratorium, dan surveilan. Hal yang penting selain kemampuan teknis adalah adanya regulasi. Regulasi sangat penting karena pada kenyataannya dalam pengendalian penyakit melibatkan banyak pihak (stakeholders) lintas sektor. Oleh karena itu adanya regulasi sangat penting dalam melibatkan semua komponen untuk ikut terlibat dalam program pengendalian penyakit. Menurut Fujita (2008) prosedur yang diperlukan untuk menyatakan zona bebas dari penyakit memerlukan beberapa elemen yaitu (1) sistem pelaporan penyakit hewan nasional yang transparan; (2) sistem surveilan yang efektif; (3) penyakit harus dilaporkan; (4) lembaga veteriner dengan akses yang memadai dan laboratorium yang efektif untuk sistem surveilan yan baik; (5) otoritas veteriner untuk menggambarkan zona secara spesifik akurat, untuk menggambarkan bagaimana batasan akan dikontrol, dan (6) lengkah-langkah pengaturan pencegahan dalam zona bebas.
SPS Newsletter, Vol. 8, No. 2, April-Juni 2016, ISSN: 2407-5795
Pemberlakuan Regulasi Uni Eropa (EU) 2016/24 Pada kenyataannya sejak dulu Indonesia telah menerapkan prinsip regionalisasi dalam pengendalian penyakit. Seperti pada program pembebasan suatu wilayah dari penyakit hewan tertentu dan juga yang saat ini dikembangkan adalah pembebasan penyakit pada suatu peternakan/establishment dengan program biosekuriti yang ketat yang biasa disebut dengan kompartementalisasi. Fasilitasi Perdagangan Internasional O r g a n i s a s i Pe r d a g a n g a n D u n i a ( W T O ) mengeluarkan aturan yang sangat progresif dalam mencoba memfasilitasi perdagangan antar negara. Langkah ini diambil dalam rangka menciptakan perdagangan yang lebih halus, jujur dan berkeadilan. Salah satu instrumen yang diatur oleh WTO adalah konsep regionalisasi yang tertuang dalam Perjanjian Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS). Konsep ini memungkinkan suatu negara yang memiliki wilayah/zona bebas penyakit dapat mengekspor produknya ke negara lain. Ketika negara pengimpor mengakui adanya status/situasi penyakit hewan yang berbeda pada wilayah yang berbeda maka pembatasan yang mereka lakukan terhadap produk dari area tersebut tidak dapat diterapkan untuk seluruh negara. Artinya sebagai negara pengimpor tidak boleh melarang importasi hewan atau produknya yang berasal dari area bebas penyakit. Kebijakan ini telah mendorong perdagangan antar negara menjadi lebih transparan dan adil. Kebijakan ini juga memungkinkan setiap negara untuk memperbaiki status kesehatan hewannya dikarenakan potensi pasar/ekspor yang besar. Indonesia harus mampu memanfaatkan instrumen regionalisasi yang telah diatur dalam standar internasional yaitu oleh OIE dan WTO. Pemanfaatan prinsip regionalisasi tidak hanya difokuskan pada pengendalian penyakit tetapi juga potensi ekspor.
Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) mengenai Tata Cara Pengiriman Media Pembawa Hama Penyakit Hewan Karantina Melalui Penyelenggara Pos. Rancangan Permentan ini disusun sebagai upaya pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa hama penyakit hewan karantina (HPHK) yang dilalulintaskan melalui penyelenggara pos, serta sebagai pedoman pelayanan bagi petugas dan pengguna jasa karantina hewan yang melakukan pengiriman MPHPHK, dan untuk memberi kejelasan prosedur bagi penyelenggara pos dalam mengirimkan barang yang termasuk dalam MPHPHK. Rancangan Permentan ini mengatur mengenai: (1) Persyaratan karantina yang harus dipenuhi untuk pemasukan media pembawa berupa Bahan Asal Hewan (BAH) dan Hasil Bahan Asal Hewan (HBAH) ke dalam wilayah Indonesia, termasuk hewan kesayangan; (2) Tanggungjawab dan kewajiban Badan Karantina Pertanian dan Penyelenggara Pos terkait pengiriman media pembawa HPHK melalui penyelenggara Pos; (3) Tempat pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa HPHK yang dilalulintaskan melalui penyelenggara pos, yaitu dilakukan di Tempat Pelaksanaan Tindakan Karantina Hewan (TPTKH); (4) Tindakan karantina yaitu berupa pemeriksaan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan/atau pembebasan. Termasuk Pelaporan dan penyerahan media pembawa HPHK. Rancangan Permentan ini telah dinotifikasi ke Sekretariat SPS-WTO dengan nomor notifikasi G/SPS/N/IDN/107 pada tang gal 4 Januari 2016.(Kartini Rahayu) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Per tanian Nomor 300/Kpts/KP.150/6/2003 tentang Pembentukan Tim
SPS Newsletter, Vol. 8, No. 2, April-Juni 2016, ISSN: 2407-5795
5
Koordinasi Sanitary and Phytosanitary Measures (SPSWTO), dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/OT.140/8/2007 tentang Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian, sepanjang yang mengatur Notification Body dan Enquiry Point, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam rangka membahas penguatan kerjasama antara Sekretariat IPPC dengan negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) terutama Brasil, pada tanggal 14 Januari 2016, Sekretariat IPPC mengadakan pertemuan dengan Perwakilan Brazil untuk FAO. Sekretariat IPPC diketuai oleh Mr. Craig Fedchock dan didampingi oleh Mr Jingyuan Xia (staf sekretariat IPPC), Mr. David Nowell (staf petukaran informasi), Ms. Adriana Moreira (staf penyusun standard untuk pertanian), sementara perwakilan Brazil diketuai oleh H. E. Ms. Maria Laura da Rocha (duta besar Brazil untuk FAO) dan Ms Larissa Mari Lima Costa (petugas perwakilan Brazil untuk FAO). Pada pertemuan tersebut, Sekretaris IPPC menguraikan peran, proses tata kelola dan misi IPPC, dan juga menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi IPPC dan Sekretariat. Sekretariat IPPC mengidentifikasi ada 5 (lima) bidang yang berpotensial dikerjasamakan, yaitu: a) kerjasama sumber daya manusia; b) kerjasama SelatanSelatan; c) Kerjasama teknis; d) pertukaran Informasi; dan e) Promosi Internasional untuk Tahun Kesehatan Tanaman (IYPH) yang direncanakan diselenggarakan pada tahun 2020. Perwakilan Brasil merespon positif dan setuju untuk melanjutkan diskusi ini dalam waktu dekat (Heppi Tarigan)
6
Bertempat di Best Western Bogor Icon, Bogor, pada tanggal 26-28 Oktober 2015, Badan Karantina Pertanian (Barantan), Kementerian Pertanian menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) Peran Badan Karantina Pertanian dalam Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian Indonesia. Forum yang dihadiri oleh kurang lebih 50 (lima puluh) peserta yang mewakili Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dan asosiasi pelaku usaha ini diselenggarakan dalam rangka untuk membangun suatu sistem ketelusuran balik (traceability system) SPS berbasis teknologi informasi yang nantinya diharapkan dapat memudahkan ketelusuran balik (traceability) komoditas pertanian yang mengalami hambatan perdagangan di negara tujuan ekspor dan
SPS Newsletter, Vol. 8, No. 2, April-Juni 2016, ISSN: 2407-5795
Dampak Ekonomi Penyakit Hewan Oleh : drh. Agus Jaelani, M.Si Medik Veteriner Muda Badan Karantina Pertanian
meningkatkan daya saing ekspor komoditas pertanian yang sesuai dengan persyaratan negara mitra. Nara sumber pada acara FGD yang berasal dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, BPOM; PT. BISI International, Tbk.; dan Barantan memaparkan mengenai peluang dan hambatan ekspor produk pertanian, serta mekanisme dan sistem ketelusuran yang selama ini telah dilakukan di masing-masing K/L dan asosiasi pelaku usaha. Pelaksanaan FGD dilatarbelakangi oleh masih banyaknya permasalahan hambatan perdagangan komoditas pertanian Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan SPS negara tujuan, serta kurang memiliki daya saing yang tinggi dibanding dengan negara lain, misalnya Thailand dan China. Komoditas pertanian yang ditawarkan kepada negara mitrapun masih belum memiliki nilai ekspor yang tinggi, sehingga jika dipertukarkan dengan komoditas pertanian negara lain menjadi tidak seimbang. Untuk itu, Barantan sebagai focal point SPS bermaksud membangun suatu sistem yang membantu meningkatkan daya saing ekspor komoditas pertanian yang sesuai dengan persyaratan negara mitra. Sistem tersebut harus melibatkan beberapa aspek yang menangani market akses, mulai dari hulu ke hilir. Barantan juga berencana untuk membuat jejaring sistem informasi mulai dari hulu (penanganan GHP, GAP, kebun teregistrasi, packing house teregistrasi, dan lain-lain) sampai ke hilir (sertifikasi karantina) sehingga menjamin produk pertanian yang diekspor aman untuk dikonsumsi dan bebas dari hama dan penyakit karantina (HPHK dan OPTK). Informasi tersebut dapat diakses melalui barcode (QR code) yang tercantum dalam sertifikat karantina. Hal ini selain untuk memberikan informasi lengkap kepada negara tujuan dan juga untuk menciptakan mekanisme ketelusuran balik (traceability) yang baik, sehingga jika terjadi penolakan di negara mitra dapat segera ditindaklanjuti untuk perbaikan ke depan. FGD menghasilkan beberapa rekomendasi, diantaranya yaitu: a. Melakukan identifikasi komoditas dan negara tujuan ekspor. Kegiatan ini sejalan dengan implementasi Keputusan Menteri Keuangan No. 988/2015 dimana Barantan mewakili Kementerian Pertanian sebagai anggota Komite Penugasan Khusus Ekspor/PKE). b. Menyusun mekanisme Ketelusuran Balik di Lingkup
Kementerian Pertanian dengan membentuk Tim melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian. c. Menentukan pilot project untuk komoditas yang akan di ekspor. d. Membuat sistem ketelusuran balik dalam rangka harmonisasi sistem yang telah ada di setiap unit. Sistem ketelusuran ini nantinya akan dihubungkan dengan Portal SPS yang akan dibangun Badan Karantina Pertanian pada tahun 2016. e. Jangka waktu (timeline) pelaksanaan adalah 2016-2017. (Kartini Rahayu)
Kerjasama ASEAN-Hong Kong Free Trade Area (AHK-FTA) pertama kali terbentuk pada ASEAN Economic Ministers Retreat pada bulan Maret 2013 di Hanoi, Vietnam, dimana pada saat itu AEM memutuskan untuk bernegosiasi secara bilateral dengan Hong Kong dalam bentuk FTA ASEAN-Hong Kong (AHKFTA). Sebelumnya Hong Kong menunjukkan minatnya untuk bergabung dalam Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Pada Pertemuan AEM tersebut, ASEAN dan Hong Kong sepakat untuk memulai negosiasi pada awal 2014. Pertemuan First ASEAN-Hong Kong, China Trade st Negotiation Committee (1 AHKTNC) diselenggarakan di Hong Kong, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tanggal 10-11 Juli 2014. Pada pertemuan pertama ini disepakati pembentukan 7 (tujuh) Working Group (WG), yaitu: (1) WG on Rules of Origin (WG-ROO); (ii) WG on Custom Procedures and Trade Facilitation (WG-CPTF); (iii) WG on Sanitary and Phytosanitary Measures (WG-SPS); (iv) WG on Stardars, Technical Regulations and Conformity Assessment Procedures (WG-STRACAP); (v) WG on Legal and Institutional Issues (WG-LII); (vi) WG on Trade and
SPS Newsletter, Vol. 8, No. 2, April-Juni 2016, ISSN: 2407-5795
7
Services (WG-TIS); dan (vii) WG on Investment (WGI). Sejak dibentuknya ASEAN-Hong Kong FTA, Working Group on SPS (WG-SPS) telah melakukan 3 (tiga) kali pertemuan. Pertemuan 1st WG-SPS diselenggarakan pada tanggal 11-12 Maret 2015 di Hong Kong, Republik Rakyat Tiongkok (RRT); Pertemuan 2nd WG-SPS tanggal 22-23 Juli 2015 di Singapura; dan Pertemuan 3rd WG-SPS pada tanggal 2-3 Desember 2015 di Hong Kong, Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam Pertemuan WG-SPS, kesepuluh negara ASEAN dan Hong Kong membahas mengenai structure, elements dan proposed text AHKFTA Chapter on Sanitary and Phytosanitary Measures. Terdapat 10 (sepuluh) Artikel dalam draf Chapter SPS, yaitu: (i) Article 1: Definition, 3 Pasal; (ii) Article 2: Objective, 5 Pasal; (iii) Article 3: Scope, 1 Pasal; (iv) Article 4: General Provision, 2 Pasal; (v) Article 5: Equivalence, 3 Pasal; (vi) Article 6: Regionalisasi, 2 Pasal; (vii) Article 7: Transparency, 3 Pasal; (viii) Article 8: Technical Cooperation, 3 Pasal; (ix) Article 9: Technical Consultation, 2 Pasal; dan (x) Article 10: Implementation, 4 Pasal. Setelah melalui pembahasan dan negosiasi sebanyak 3 (tiga) kali Pertemuan, pada Pertemuan WGSPS ke-3, akhirnya disepakati untuk menghilangkan dan membersihkan semua permasalahan di tiap-tiap Artikel SPS Chapter, dengan catatan menunggu hasil WG lainnya yang mengatur kerjasama di dalam AHK-FTA agar tidak tumpang tindih. Kesepuluh negara ASEAN dan Hong Kong selanjutnya akan mengkonsultasikan kembali Draf SPS Chapter tersebut untuk aspek hukum dan bukan lagi merupakan perubahan substansi. Diharapkan pada Pertemuan WG-SPS ke-4 di Kamboja pada tahun 2016 merupakan pertemuan final bagi WG-SPS. (Kartini Rahayu)
Notifikasi Indonesia G/SPS/N/IDN/107
Kerjasama Negara BRICS dengan IPPC
Perjanjian Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) merupakan salah satu perjanjian dalam WTO yang mengatur masalah perdagangan barang. Banyak negaranegara anggota WTO memanfaatkan instrumen SPS Salah satu yang menjadi concern dunia terhadap penyakit hewan adalah dampak ekonomi yang ditimbulkan. Beberapa penyakit hewan memiliki dampak ekonomi yang sangat besar. Sebagai contoh penyakit hewan seperti bovine spongiform encephalopathy (BSE) menyebabkan kerugian melalui ancaman terhadap sektor pemasaran produk hewan dan dampak ekonomi yang luas (Pritchett et al, 2005). Dampak penyakit mulut dan
Redaksi menerima tulisan maupun saran dan kritik untuk SPS Newsletter TIM REDAKSI Pelindung : Kepala Badan Karantina Pertanian Penasehat : Kepala Pusat Kepatuhan, Kerjasama, dan Informasi Perkarantinaan Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi : Dr. Ir. Arifin Tasrif, M.Sc Sekretaris : Dr. drh. Sophia Setyawati, MP Editor : Kartini Rahayu, SIP
8 8
Redaktur Pelaksana : drh. Agus Jaelani, M.Si Sekretariat : Kemas Usman, SP, M.Si Heppi S Tarigan, SP
Sekretariat : Bidang Kerjasama Perkarantinaan Jl. Harsono RM. No. 3, Gedung E Lantai III, Ragunan, Jakarta Selatan 12550 Tel: +(62) 21 7821367, Fax: +(62) 21 7821367 Email:
[email protected]
SPS Newsletter, Vol. 8, No. 2, April-Juni 2016, ISSN: 2407-5795