SWA 09/XXI/ 28 April 2005
10 PERINGKAT PERUSAHAAN TERPERCAYA 2005 (GCG)
GCG, Antibiotik yang Ditakuti Perusahaan Halaman: 26
Penerapan good corporate governance diyakini mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan landasan yang kokoh untuk menjalankan operasional perusahaan yang baik, efisien dan menguntungkan. Namun, mengapa banyak perusahaan yang enggan menerapkannya dan menampik sigi CGPI? Benarkah karena mereka takut membuka selubung borok yang telah meruyak? Menyedihkan. Sejak 5 tahun lebih yang lalu, pemerintah telah mencanangkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Bahkan di awal 2003, 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi proyek percontohan penerapan GCG telah memaklumatkan komitmen bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG. Sejumlah konsultan kaliber dunia disambat untuk memberi masukan. Hasilnya? "Boleh dibilang proses bisnis yang kini berlangsung masih sama saja dengan sebelum pencanangan penerapan GCG," ungkap seorang petinggi di sebuah BUMN yang sudah go public. Pengakuan jujur petinggi tadi sejalan dengan temuan survei Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang dilakukan Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG) dan Majalah SWA. Inilah survei tahunan keempat yang dilakukan sejak 2001. CGPI 2004 merupakan survei dan pemeringkatan penerapan GCG pada perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Tahun 2004, survei dilakukan pada emiten yang terdaftar Juni-Desember 2004 secara sukarela. Yang menyedihkan, jumlah perusahaan yang bersedia ikut survei ini dari tahun ke tahun terus menurun. Pada 2001 survei dilakukan
terhadap 52 perusahaan publik yang masuk indeks LQ 45 di BEJ. Dari jumlah itu, hanya pada 22 emiten dapat dilakukan seluruh pendekatan penilaian, sementara 30 emiten lainnya hanya dinilai berdasarkan informasi publik, yang tak jarang sangat minim. Tahun berikutnya survei diperluas kepada semua perusahaan yang tercatat di BEJ per Juni 2002 yang bersedia disigi. Dari 321 perusahaan, hanya 36 yang menyatakan bersedia -- tiga di antaranya hingga akhir batas penilaian tak kunjung menyediakan waktu dan data. Sejumlah 18 perusahaan tegas-tegas menolak, sementara 267 lainnya tak memberikan tanggapan meski telah dihubungi berkali-kali. Pada CGPI 2003, kuesioner dikirim kepada 333 perusahaan publik, tapi hanya 34 perusahaan yang bersedia disurvei, 35 menolak, dan 245 tidak jelas. Belakangan, dari 34 yang bersedia, menyusut menjadi 31 saja yang berpartisipasi. Dalam CGPI 2004 ini, hanya 22 yang bersedia disigi, 34 menampik. Lima perusahaan yang semula menyatakan kesediaannya, sampai tenggat tidak menindaklanjuti dan 262 tidak memberikan tanggapan yang jelas. Fakta ini memang memprihatinkan mengingat pentingnya survei ini. Selain bertujuan memotivasi dan memberikan penghargaan sosial kepada perusahaan yang telah berusaha menerapkan GCG, CGPI bisa menjadi benchmark dalam menilai penerapan GCG bagi perusahaan dan stakeholders. Tak kalah pentingnya, temuan survei bisa menyumbangkan edukasi bagi dunia bisnis secara berkelanjutan. Banyak sekali manfaat penerapan GCG secara benar dan konsisten. Seperti didefinisikan Komisi Nasional GCG Indonesia, GCG merupakan pola hubungan, sistem serta proses yang digunakan organ perusahaan (direksi, komisaris) guna memberi nilai tambah kepada pemegang saham secara bersinambung dalam jangka panjang, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Pola hubungan, sistem, serta proses itu sendiri, berjalan berdasarkan 5 prinsip, yakni: transparansi, independensi, kewajaran (fairness), akuntabilitas dan responsibilitas. Jika kelima prinsip GCG ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, bisa dipastikan perusahaan akan memiliki landasan yang kokoh dalam menjalankan bisnisnya. Secara eksternal, perusahaan akan lebih dipercaya investor, yang berarti nilai pasar sahamnya akan terus membubung. Mitra kerja pun tak ragu mengembangkan hubungan bisnis lebih luas lagi. Para pemasok memiliki pegangan yang jelas dan terpercaya serta yakin akan diperlakukan secara adil sehingga bisa memberikan harga yang terbaik -- yang berarti menciptakan efisiensi bagi perusahaan. Para kreditor pun memiliki kepercayaan tinggi untuk mengucurkan kreditnya yang mungkin kita perlukan buat perluasan usaha.
Secara internal, suasana kerja juga menjadi lebih kondusif. Karena dengan menerapkan GCG secara benar dan konsisten, berarti perusahaan sudah menerapkan sistem pengelolaan perusahaan sesuai dengan pembagian peran masing-masing -- di tingkatan direksi, komisaris, komite-komite, dan lain-lain -- serta aturan main yang baku berdasarkan kelima prinsip GCG tadi. Tak kalah pentingnya, terciptanya keseimbangan kekuatan di antara struktur internal perusahaan -- direksi, komisaris, komite audit, dan lain sebagainya. Sehingga, pengambilan keputusan bisa menjadi lebih dipertanggungjawabkan (accountable), juga hati-hati dan bijaksana (prudent). Bukan rahasia lagi, hingga saat ini praktik korupsi, penggelembungan biaya, kolusi serta nepotisme masih tumbuh subur dan terus dipupuk di banyak perusahaan -- swasta atau pemerintah. Penerapan GCG ini sebenarnya merupakan antibiotik yang sangat ampuh untuk memberantas praktik-praktik yang menciptakan radang yang merongrong perusahaan tersebut -- yang pada gilirannya merugikan konsumen karena adanya praktik biaya ekonomi tinggi. Mengingat manfaatnya itu, para otoritas GCG perlu lebih agresif lagi mendorong penerapan GCG, terutama di perusahaan publik, lembaga keuangan nonpublik dan BUMN. Bagaimana hasil sigi CGPI kali ini dan bagaimana perusahaanperusahaan tersebut menerapkan tata kelola perusahaan yang baik bisa Anda ikuti pada bagian lain rangkaian Sajian Utama kami kali ini, termasuk contoh yang bisa kita pelajari dari luar negeri. Dari pengalaman mereka kita tahu, sebenarnya menerapkan GCG bukanlah hal yang sulit, apalagi mustahil. Percayalah, kita mampu jika kita memang sungguh-sungguh mau melakukannya. Tidak bisa diingkari, masih banyak penerapan GCG yang sekadar untuk kosmetik atau mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang. Karena itu, perlu komitmen yang lebih tinggi lagi terutama dari pimpinan dan pemilik perusahaan. Begitu pula, survei seperti ini pun selalu mempunyai kelemahan -- karena tak bisa sebebas-bebasnya menguak apa yang tersembunyi di balik tameng rahasia perusahaan. Kita ingat, Bank BNI menempati peringkat ke-7 CGPI 2002, yang berarti perusahaan ini cukup bagus menerapkan prinsip GCG. Faktanya, pada 2003 terbongkar kasus skandal Rp 1,7 triliun yang melibatkan pejabat bank ini. Semoga, tim IICG dan SWA semakin cermat dalam menilai implementasi GCG suatu perusahaan sehingga kasus serupa tak akan terulang. Riset: Siti Sumariyati Penulis: Teguh Poeradisastra
Halaman: 28
Terpercaya Dulu, Menuai Manfaat Kemudian Banyak benefit yang dipetik dari konsistensi penerapan good corporate governance. Namun, ketika ada lembaga independen yang ingin menilai seperti apa penerapannya di perusahaan publik di Tanah Air, sebagian besar dari mereka menunjukkan respons negatif. Meski respons perusahaan publik di Tanah Air untuk dinilai implementasi praktik good corporate governance (GCG)-nya memprihatinkan -- hanya 22 dari 334 perusahaan publik yang bersedia, hajatan The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) bekerja sama dengan Majalah SWA tetap mengundang penasaran sejumlah orang. Salah satunya, Agus Martowardojo, Presdir PermataBank. Dengan penuh selidik ia berusaha mengorek informasi posisi bank yang dipimpinnya. “Kami di urutan ke berapa sih. Apa ada bank lain yang GCG-nya lebih bagus dari PermataBank,” tanyanya bertubi-tubi kepada tim SWA yang mewawancarai di kantornya, Gedung PermataBank Tower I Lantai 23. Di mata Agus, masuknya PermataBank dalam peringkat 5 terbaik perusahaan sektor keuangan merupakan kejutan, karena baru pertama kali mengikuti survei independen ini. “Sebetulnya tujuan kami ikut dievaluasi IICG bukan untuk mendapatkan rating bagus, tetapi untuk mencari jawaban apakah benar PermataBank sudah menjalankan semua prinsip yang terdapat dalam GCG. Jadi, motivasinya berangkat dari kebutuhan,” ujar Agus yang membalut tubuhnya dengan seragam kemeja cokelat muda bertuliskan hiasan bordir nilai-nilai inti perusahaan: trust, integrity, service, profesionalism, excellence. Seragam hari Jumat itu untuk mengingatkan pentingnya praktik GCG di semua lapisan bank itu dalam bekerja. Menurut Agus, manfaat penerapan GCG di PermataBank cukup besar. Pengaruh eksternalnya terasa langsung terhadap tumbuhnya kepercayaan masyarakat, nasabah, pemerintah dan investor. Sementara itu, dampak internalnya, antara lain, kinerja keuangan membaik, independensi terjaga, serta lebih transparan dalam perekrutan karyawan dan operasional bisnis. Manajemen Bank Niaga (BN) juga mengakui keampuhan GCG
mendongkrak kinerja perusahaan. “GCG punya andil yang besar dalam meningkatkan performa perusahaan secara keseluruhan, termasuk di mata stakeholders,” C.Heru Budiargo, Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko BN, menandaskan. Bagi bank ini, penerapan GCG membuat pengelolaan bank itu lebih fokus, lebih jelas dalam pembagian tugas, tanggung jawab serta pengawasan. Pun, karena secara persepsi tata kelola perusahaan sudah membaik, harga saham pun terkatrol. Lebih rinci Heru menggambarkan beberapa manfaat GCG di BN, di antaranya pangsa pasar yang melonjak dari posisi 11 pada 2003 menjadi 8 tahun 2004 untuk urutan bank nasional terbesar di Indonesia. Lalu, hasil riilnya tercermin dari pembukuan laba bersih yang naik dari Rp 467 miliar tahun 2003 menjadi Rp 660 miliar pada 2004. Fungsi intermediasi bank juga tidak kalah bagus, karena kredit yang dikucurkan tumbuh dari Rp 14 triliun pada 2003 menjadi Rp 21 triliun tahun lalu. Bahkan, return on asset naik dari 1,9% pada 2003 menjadi 2,8% tahun 2004. Begitu juga return on equity, terdongkrak menjadi 43,8% pada 2004, dibanding tahun sebelumnya hanya 37,5%. Heru mengakui pencapaian sejumlah prestasi tersebut tak luput dari pengaruh luar, seperti membaiknya kondisi ekonomi makro, tingkat suku bunga, nilai tukar Rupiah, plus stabilitas sosial politik. “GCG lebih kepada bagaimana mengelola pekerjaan dan bekerja dengan baik dalam perusahaan,” ia menegaskan. Sementara itu, Bank Bumiputera telah mengimplementasikan pengelolaan perusahaan yang baik lewat prudent banking sejak 1995. Prinsip kehati-hatian yang mengedepankan unsur transparansi, kewajaran (fairness), responsibilitas dan akuntabilitas sudah dijalankan sebelum gaung GCG menggema di Indonesia. Hasilnya? Kendati sempat goyah akibat hantaman krismon, bank itu tak sampai mampir ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional. “Secara nyata manfaat yang telah dinikmati Bumiputera dengan penerapan GCG adalah tidak perlu mengikuti program rekapitalisasi perbankan tahun 1998,” jelas Boing Sudradjad, Direktur Kepatuhan Bank Bumiputera. Selanjutnya, bank itu sukses go public pada 2002 dan beroleh aneka penghargaan atas praktik GCG 2003-04. Tidak kalah pentingnya, keberhasilan bank ini menarik minat investor membeli saham dengan nilai terbaik, ketika salah satu pemegang saham mayoritas melepaskan kepemilikannya.
Pernyataan Boing memang tidak menga-ada. Survei GCG yang dilakukan McKinsey tahun 2000 menyimpulkan bahwa investor internasional berani membayar premi 27% lebih tinggi terhadap perusahaan Indonesia yang telah menerapkan GCG. Pendeknya, masih kata Boing, dengan GCG, Bumiputera bisa disejajarkan dengan perusahaan yang mempunyai tata kelola yang baik serta mempermudah relationship dan menjaga kepercayaan stakeholders. Bahkan, dalam 5 tahun terakhir keuntungan bank itu membubung. Pantas saja GCG di sana secara tidak langsung merupakan penguatan struktur perusahaan. Dengan regulasi yang makin ketat serta pelajaran berharga dari krismon yang membuat industri perbankan babak belur, bank-bank kini memang sulit mengelak dari keharusan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Mereka harus terus memupuk kepercayaan masyarakat agar eksistensinya makin kuat di bisnis ini. Maklum, matihidupnya bisnis perbankan tergantung pada kepercayaan masyarakat, terutama dalam menempatkan dana. Namun, sejatinya kebutuhan untuk menerapkan GCG tak hanya dirasakan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya. Perusahaan farmasi macam Kalbe Farma pun mengklaim akar praktik GCG sudah dilaksanakan mulai tahun 1980 di perusahaan ini. Simak penuturan Vidjongtius berikut ini: “Manajemen Kalbe Farma sejak dulu diserahkan ke profesional. Tahapan ini paling sulit lho, karena ratarata perusahaan di Indonesia berasal dari perusahaan keluarga.” Direktur Komunikasi Perusahaan Kalbe Farma itu membenarkan manfaat GCG terasa signifikan. Dari sisi manajemen, umpamanya, suasana kerja menjadi lebih nyaman dan teratur. Artinya, segala proses kerja berjalan mulus, terkontrol dan tercipta kerja tim yang solid. Ujung-ujungnya, penjualan bisa di atas pasar, profit meningkat, berbagai penghargaan pun disabetnya. Dan meningkatnya kepercayaan mitra adalah bukti paling kongkret. Ia mencontohkan, dulu pihaknya cukup sulit mengeluarkan fasilitas Letter of Credit, belakangan justru sangat gampang. Begitu halnya dengan perpanjangan jangka waktu kredit yang bisa longgar. “GCG sudah menjadi tradisi perusahaan,” ujar Franky Jamin, Sekretaris Perusahaan PT Unilever Indonesia, menimpali. Lantaran sudah lama mengendalikan perusahaan dengan pola GCG, tidak mustahil perusahaan consumer goods itu menikmati hasilnya. Dengan GCG, Franky menjelaskan, integritas perusahaan lebih dipercaya pihak
luar yang berkepentingan (stakeholders), memacu profesionalisme karyawan, kinerja keuangan yang cemerlang, serta stabilitas harga saham yang jempolan. Sebelum perusahaan menuai manfaat penerapan GCG, mereka melalui proses panjang untuk menjadi terpercaya. BN, misalnya, menanamkan spirit GCG sejak dini. Ini direfleksikan dengan tradisi pantang bagi pemegang saham meminta kredit dari BN untuk kepentingan bisnis pribadi. Barulah tahun 2000 nama GCG dan sistematikanya lebih terarah. PT Astra International (Astra) pun tidak sekonyong-konyong menjalankan GCG yang ideal. Sebelum istilah GCG dikenal, pendiri Astra dan manajemen telah memiliki “roh” yang dinamai Catur Dharma. “Semua perusahaan bertujuan mencapai keuntungan. Tapi bagaimana mencapainya, bagaimana keuntungan itu dimanfaatkan. Nah, Catur Dharma akan menjawab tantangan itu,” jelas Budi Setiadharma, Presdir PT Astra International. Tambahan lagi, pengelolaan bisnis Astra juga dilengkapi dengan 7 prinsip dasar etika bisnis dan kerja (lihat artikel “PT Astra International: Berpijak pada Komitmen”). Walhasil, pencapaian sasaran lebih objektif dengan evaluasi kerja yang bersinambung. Sementara itu, Bumiputera tidak menelan mentah-mentah konsep GCG tanpa harus melakukan internalisasi. Sebab, mereka yakin manajemen puncak berpengaruh besar mewarnai organisasi. Merekalah yang sering mengalami benturan kepentingan keputusan untuk meraih laba atau target kinerja yang konsisten. Selain itu, Boing menjelaskan, corporate governance tidak berdiri sendiri, tetapi berdampingan dengan business governance agar mendatangkan value. Sebab, jika mengacu pada tata kelola perusahaan saja, perusahaan menjadi tidak fleksibel. “Secara umum pelaksanaan GCG Bumiputera tidak terlalu banyak masalah, karena ada keterbukaan dari manajemen,” kata Boing. Rata-rata peserta survei Corporate Governance Perception Index (CGPI) 2004 mengklaim telah menjalankan 9 dimensi GCG dengan baik. ”Semua pilar GCG kami jalankan dan terus dipertajam,” ujar Heru. Untuk menunjukkan keseriusan itu, BN tidak cuma menggunakan standar lokal, tapi juga internasional dengan mengundang Standard & Poor sebagai lembaga penilai. Tidak semua perusahaan mampu melaksanaan GCG secara mulus. Pengalaman Kalbe Farma membuktikan hal itu. Menurut Vidjongtius,
kendala sosialisasi menghadang justru pada saat start GCG diterapkan. Pemicunya: di dalam perusahaan terdapat banyak divisi dengan perbedaan latar belakang pendidikan dan jabatan di antara karyawan. Lalu, perusahaan menyiasati dengan mengubah pembahasan tentang definisi GCG itu sendiri. “Ketika kami turun lapangan, yang disampaikan ke karyawan bukan definisi GCG, melainkan soal program atau standar kerja,” jelasnya. Lantaran perbaikan itu tidak pernah berhenti di satu titik, prosesnya masih berlanjut hingga sekarang. Sejumlah hambatan juga mengganjal pelaksanaan GCG di BN. Heru memaparkan, penilaian kinerja direksi/komisaris bersifat tanggung jawab renteng (tim). Padahal, versi GCG, penilaian itu sifatnya individu. Kendala lain: masalah keterbukaan. Sejauh mana batas keterbukaan itu, apakah soal remunerasi para direksi perlu dibuka luas atau tidak. Nah, untuk mengatasinya, masalah itu harus diperbincangkan secara terbuka pula agar tidak ada pihak yang dirugikan. Entah karena banyaknya hambatan/masalah yang ditemui saat menerapkan GCG atau khawatir rahasia perusahaan diobok-obok, yang jelas jumlah peserta CGPI 2004 sungguh memprihatinkan. Bayangkan saja, tahun 2003 saja sudah merosot dari 33 menjadi 31 perusahaan. Tahun lalu lebih parah lagi karena survei GCG cuma diikuti 22 perusahaan (lihat Tabel 3. Perusahaan yang Bersedia Mengikuti Survei). Bandingkan dengan jumlah total perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Jakarta, yang mencapai 334 emiten. Survei ini dilakukan secara sukarela dengan periode pendaftaran September–Desember 2004. Mengapa animo peserta melorot? Direktur Eksekutif IICG Dadi Krismatono menyoroti tiga alasan. Pertama, ada perusahaan yang menyadari dirinya belum siap karena prinsip GCG belum terlaksana dengan sempurna. Kedua, ada perusahaan yang merasa tidak punya waktu cukup. Ini wajar, karena pelaksanaan survei ini bersamaan dengan persiapan laporan akhir tahun perusahaan. Alasan ketiga, ada perusahaan yang memang belum menerapkan GCG dalam seluruh proses bisnis internalnya. Ricky Korompis, dosen GCG dan etika bisnis di Universitas Bina Nusantara, tidak kaget menanggapi anjloknya jumlah peserta survei. “Soalnya, belum ada budaya self assessment. Di sini kulturnya masih disuruh lembaga kuat. Bahkan kalau perlu tidak hanya survei, tapi diaudit pula, karena hukum saja masih dilanggar,” ujar konsultan independen GCG itu dengan sinis.
Perusahaan yang tahun 2003 berpartisipasi, tetapi pada 2004 absen, antara lain PT Andhi Chandra Automotive, Astra Otoparts, Asuransi Bintang, Bank Negara Indonesia, Bentoel Internasional Investama, Gema Graha Sarana, Humpuss Intermoda Transportasi, Inco, Indosat, Kabelindo Murni, Karunia Kapuas Utama, Multipolar, Pelayaran Tempuran Emas, Semen Gresik, Unilever Indonesia dan United Tractors. “Karena waktunya kurang pas. Insya Allah, tahun depan kami ikut lagi,” tutur Tjandrawati Waas, Sekretaris Perusahaan PT United Tractors. Alasan senada dikemukakan Franky. “Tahun 2004 Unilever absen, mungkin kelewat saja. Tahun ini jika ada lagi kami pasti ikut. Sebab, survei GCG ini bagus untuk mendorong perusahaan menjalankan perusahaan lebih transparan,” katanya. Untungnya, meski ada beberapa peserta yang absen, survei GCG 2004 juga diramaikan oleh pendatang baru. Wajah-wajah baru itu adalah PT Adhi Karya, Apexindo Pratama Duta, PermataBank, Kimia Farma, Tambang Batubara Bukit Asam dan Bank Rakyat Indonesia. Berbeda dari survei sebelumnya, CGPI 2004 mulai dibedakan antara perusahaan keuangan dan nonkeuangan. “Tujuannya supaya lebih fair dan objektif. Kami harus membandingkan apple to apple,” Dadi menjelaskan. Metodologi survei CGPI 2004 berubah dibanding tahun sebelumnya karena disesuaikan dengan kondisi yang terjadi. Menurut Gendut Suprayitno, peneliti senior IICG, penilaian survei ini bertahap. Mulamula dilakukan penilaian kuantitatif. Caranya melalui pengisian kuesioner self assessment oleh responden dengan skala penilaian 0100. Kuesioner ini melibatkan komisaris, direksi, anggota perusahaan, serta pihak-pihak terkait (pemasok, anak perusahaan, serikat pekerja, investor). Tahap kedua, pengujian dokumen yang diserahkan peserta kepada tim peneliti IICG. Terakhir, tahap penilaian kualitatif. Bentuknya: observasi, wawancara dan konfirmasi dokumen langsung terhadap 15 perusahaan berdasarkan penilaian tahap sebelumnya. Gendut menjelaskan, pengujian kesahihan (validitas konstruk) menggunakan analisis faktor. Hanya pertanyaan yang loading factornya memenuhi kriteria yang dihitung dalam pemeringkatan. Sementara pengujian keandalan (reliabilitas) memakai koefisien Alpha Cronbach. Nilai keandalan instrumen menunjukkan tingkat konsistensi jawaban para responden pada pertanyaan yang diajukan dengan skor nilai 0-10. Pertanyaan-pertanyaan itu terkait dengan 9 dimensi GCG: komitmen terhadap GCG, dewan komisaris, komite-komite fungsional, dewan direksi, transparansi, perlakuan terhadap pemegang saham,
hubungan dengan stakeholders, integritas dan independensi. Hasilnya? Komitmen terhadap GCG skornya paling tinggi, 7,98. Sebaliknya faktor independensi skornya terendah, 7,27. (Lihat Tabel 2. Skor Rata-rata Pemenuhan Aspek Good Corporate Governance). Tema spesifik yang diangkat CGPI 2004: “Internalisasi GCG dalam Proses Bisnis”. Untuk itu, dimasukkan unsur integritas dan independensi sebagai variabel yang diukur tersendiri. Selanjutnya, memasukkan faktor observasi dan pemeriksaan dokumen langsung ke perusahaan. Juga, perhatian khusus pada pengembangan SDM dan manajemen risiko. Pertanyaannya, mengapa internalisasi? Dadi mengungkapkan, tema ini dipilih untuk mengukur dan menyebarluaskan pengetahuan tentang upaya dan proses yang ditempuh perusahaan dalam menginternalisasi prinsip-prinsip GCG dalam proses bisnis. Bukankah prinsip GCG harus mewarnai dan menginspirasi proses bisnis? Selain itu, juga bertujuan untuk mengetahui tiga hal. Pertama, dapatkah prinsip GCG direfleksikan dalam visi dan misi perusahan. Kedua, bagaimana pelaksanaan strategi dan kebijakan bisnis (manajemen risiko atau benturan kepentingan) atau yang lebih fungsional (akuntansi, manajemen orang, pengawasan). Ketiga, bagaimana fungsi organisasi yang mendukungnya. Di mata Ricky, terlalu dini menyodorkan tema internalisasi dalam GCG. “GCG itu barang baru. Jadi, kalau temanya internalisasi, itu masih terlalu jauh,” ujarnya. Menurut dia, internalisasi baru pas bila konsepnya sudah diterima di tengah masyarakat. Bukan sekadar perusahaan-perusahaan di Jakarta. “Cobalah datang ke daerah. Mereka tidak banyak yang tahu apa GCG. Bahkan meski punya kantor pusat di Jakarta, ternyata orang di kancabnya pun tak mengerti,” paparnya. Terlepas dari pro-kontra topik internalisasi, yang jelas, setelah dilakukan penyeleksian yang ketat, IICG memutuskan pemenang CGPI 2004 dipisahkan menjadi dua kategori: 5 perusahaan keuangan dan 5 nonkeuangan. Bank Central Asia berhasil menduduki urutan pertama kategori perusahaan keuangan dengan skor 851,39, diikuti BN, PermataBank, BFI Finance dan Bumiputera. Sementara itu, di kelompok nonkeuangan, Astra International nangkring di nomor wahid dengan nilai 858,64, disusul Dankos Laboratorius, Astra Agrolestari, Astra Graphia dan Kalbe Farma. (Lihat Tabel 1. Peringkat Corporate Governance Perception Index 2005).
Masuk deretan 10 besar perusahaan terpercaya 2005, bukan berarti mereka sudah puas dengan apa yang dicapai. Vidjongtius mengingatkan,” Jangan bangga kalau Anda jago hari ini. Sebab, boleh jadi dalam hitungan waktu bisa digeser pemain lain.” Pihaknya mengaku masih banyak kekurangan dengan penerapan GCG, khususnya untuk level paling bawah. Adapun Bank Bumiputera bertekad akan lebih konsisten dalam menjalankan GCG. “Saya yakin peringkat adalah hasil dari upaya yang telah kami lakukan. Namun, jika yang kami lakukan lebih baik, tentunya rating-nya pun lebih bagus lagi,” ujar Boing. Tak kalah antusiasnya untuk meningkatkan kualitas penerapan GCG, BN pun bertekad memperbaiki diri. Heru berjanji, ”Yang pasti, hal-hal yang belum maksimal dalam implementasi GCG akan kami perbaiki secara bertahap.” Mayoritas 10 besar pemenang CGPI 2004 mengaku tak memakai jasa konsultan. “Astra tidak menggunakan tenaga konsultan,“ Budi menegaskan. Dalam perjalanannya, Astra pernah menjalankan Management by Objectice (MBO), lalu diperkenalkan Total Quality Control (TQC) yang sebetulnya ada kemiripan dengan MBO. Jujur saja, awal diperkenalkan metode itu mereka skeptis. Sebab, dengan MBO, pakai cara apa saja sah asalkan sasaran tercapai. Tidak demikian dengan TQC, karena lebih mengarah ke how to. “Selain keberanian kami berubah, juga didukung oleh komitmen dan konsistensi manajemen puncak untuk menerapkan GCG,” paparnya. Lagi pula, diungkapkan Bernardus Djonoputro, Direktur Pengembangan Bisnis Pricewaterhouse Cooper, konsultan hanya merapikan dan menjadi rekan diskusi. Keberhasilan GCG tergantung pada direksi dan manajemen. Karena itu, penerapan GCG tidak identik dengan dana besar -- karena harus membayar konsultan mahal. “Awalnya mungkin ya, karena harus membentuk tim ini itu. Lama kelamaan akan menjadi inheren bagian hidup perusahaan,” tambah Budi. Sementara itu, Mas Ahmad Daniri, Ketua Komnas GCG, berusaha menawarkan solusi jika dihadapkan pada tingginya biaya konsultan. “Kalau ada yang takut biayanya mahal, bisa disiasati datang ke Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia -- Red.). Di sana ada semacam Klinik GCG, ada pungutan biaya tapi murah,” ia menambahkan. Tak ada gading yang tak retak. Demikian juga survei GCG kali ini. “Boleh jadi effort yang dilakukan tim survei belum optimal guna mendorong perusahaan berpartisipasi. Padahal, bisa saja tim survei menyebutkan bahwa dengan mengikuti assessment ini, mereka tidak
perlu bayar tim konsultan untuk membenahi perusahaan. Ini audit gratis,” ujar Daniri mengkritik sepinya peserta CGPI 2004. Sementara itu, Ricky mempertanyakan elemen integritas dan independensi sebagai alat ukur survei CGPI 2004. “Bagaimana bisa mengukur secara akurat kalau bicara independensi. Sebab, banyak komisaris dan direktur independen di Indonesia yang justru temanteman manajemen/pemilik perusahaan,” ujarnya sengit. Ia mencontohkan di Amerika Serikat, yang menjadi komisaris independen Boeing adalah CEO Chrysler, dan CEO Citibank dipercaya sebagai komisaris independen Microsoft. Mereka menggunakan orang yang sama sekali berbeda industri. Bandingkan dengan di sini, seringkali mantan auditor justru dijadikan komisaris independen. “Kalau perlu, carilah komisaris independen dari orang yang benar-benar tidak suka dengan perusahaan Anda, agar ada kontrol yang tepat,” Ricky menyarankan. Ricky berpendapat, 50% dari perusahaan di Indonesia yang telah menerapkan GCG masih sebatas make-up atau window dressing. “Sebatas kulit ari saja, supaya di luar tampak bagus. Coba lihat di dalamnya, apa betul ada komite auditnya,” ujarnya. Toh, kecurigaan itu tidak mengendurkan semangat beberapa emiten berpartisipasi tahun depan. “Kami akan ikut lagi, karena misi kami mempromosikan penerapan GCG,” Heru berharap. Maklumlah, BN selama ini aktif -empat kali -- mengikuti survei GCG dan selalu masuk nominasi 5 besar. Tentu, kita berharap di masa mendatang makin banyak perusahaan yang dengan senang hati praktik GCG-nya dinilai oleh pihak independen. Reportase: A. Mohammad B.S., Dedi Humaedi, Dede Suryadi, Darandono, Herning Banirestu, Tutut Handayani Riset: Siti Sumariyati
BOKS SAJUTA Bag.2 9 Dimensi GCG yang Jadi Acuan Penilaian 1.Komitmen terhadap tata kelola perusahaan — sistem manajemen yang mendorong anggota perusahaan menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. 2.Tata kelola dewan komisaris — sistem manajemen yang memungkinkan optimalisasi peran anggota dewan komisaris dalam penyelenggaraan tata kelola perusahaan yang baik. 3.Komite-komite fungsional — sistem manajemen yang memungkinkan optimalisasi peran anggota komite-komite fungsional dalam membantu penyelenggaraan tata kelola perusahaan yang baik. 4.Dewan direksi — sistem manajemen yang memungkinkan optimalisasi peran anggota dewan direksi dalam penyelenggaraan tata kelola perusahaan yang baik. 5.Transparansi — sistem manajemen yang mendorong adanya pengungkapan (termasuk akses) informasi yang relevan, akurat, dapat dipercaya, tepat waktu, jelas, konsisten dan dapat diperbandingkan, tentang kegiatan perusahaan. 6.Perlakuan terhadap pemegang saham — sistem manajemen yang menjamin perlakuan yang setara terhadap pemegang saham dan calon pemegang saham. 7.Peran pihak berkepentingan lainnya — sistem manajemen yang dapat meningkatkan peran pihak berkepentingan lainnya. 8.Integritas — sistem manajemen yang mampu menumbuhkan semangat memegang teguh tata nilai yang disepakati oleh perusahaan. 9.Independensi –— sistem manajemen yang mampu memunculkan semangat kemandirian anggota perusahaan agar mampu memutuskan dan mendahulukan kepentingan perusahaan. Penulis: Eva Martha Rahayu
Tabel 1. Peringkat Corporate Governance Perception Index 2005 * No.
Perusahaan
Skor
Sektor Keuangan 1
PT Bank Central Asia Tbk.
851,39
2
PT Bank Niaga Tbk.
842,26
3
PT Bank Permata Tbk.
833,34
4
PT BFI Finance Indonesia Tbk.
825,49
5
PT Bank Bumiputera Indonesia Tbk.
812,87
Sektor Non Keuangan 1
PT Astra International Tbk.
858,64
2
PT Dankos Laboratories Tbk.
837,18
3
PT Astra Agro Lestari Tbk.
823,15
4
PT Astra Graphia Tbk.
805,20
5
PT Kalbe Farma Tbk.
802,43
Sumber : IICG Catatan : Skala 0 - 1000 * berdasarkan penerapan GCG di perusahaan tahun 2004
Tabel 2. Skor Rata-Rata Pemenuhan Aspek Good Corporate Governance No.
Konstruk
Skor
1 Komitmen terhadap Good Corporate Governance
79,91
2 Dewan Komisaris
83,62
3 Komite-komite Fungsional
82,01
4 Dewan Direksi
87,31
5 Transparansi
84,80
6 Perlakuan Terhadap Pemegang Saham
85,40
7 Hubungan dengan Stakeholders
86,77
8 Integritas
86,49
9 Independensi
83,84
Total Rata-rata Penerapan GCG Sumber : IICG (logo) Catatan : Skala 0 - 100
84,46
Tabel 3. Perusahaan Yang Bersedia Mengikuti Survei Corporate Governance Perception Index 2005 * No.
Perusahaan
1 PT Adhi Karya Tbk. 2 PT Aneka Tambang Tbk. 3 PT Apexindo Pratama Duta Tbk. 4 PT Astra Agro Lestari Tbk. 5 PT Astra Graphia Tbk. 6 PT Astra International Tbk. 7 PT Bank Bumiputera Indonesia Tbk. 8 PT Bank Central Asia Tbk. 9 PT Bank Danamon Tbk. 10 PT Bank Lippo Tbk. 11 PT Bank Mandiri Tbk. 12 PT Bank Niaga Tbk. 13 PT Bank Permata Tbk. 14 PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. 15 PT BFI Finance Indonesia Tbk. 16 PT Bimantara Citra Tbk. 17 PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. 18 PT Dankos Laboratories Tbk. 19 PT Kalbe Farma Tbk. 20 PT Kimia Farma Tbk. 21 PT Medco Energi International Tbk. 22 PT Tambang Batubara Bukita Asam Tbk. Sumber : IICG (logo) * berdasarkan penerapan GCG di perusahaan tahun 2004
Halaman: 37
Astra International : Berpijak pada Komitmen
Jumat sore. Di luar Gedung AMDI, hujan mengguyur rintik-rintik. B.S. Pranoto, CEO PT Astra Otoparts Tbk. bergegas menghampiri Budi Setiadharma, Presdir PT Astra International Tbk. (AI). Tampaknya ada pembicaraan yang penting. Begitulah. Budi selalu berusaha menyediakan waktu untuk direksi anak-anak usaha AI. Ia bukanlah tipe orang yang lebih banyak meluangkan waktu di lapangan golf atau melobi. Sebagai CEO, ia menyadari perlunya mengontrol kinerja semua anak usaha. Dan pertemuan bersama direksi, juga dewan komisaris menjadi salah satu tool penting dalam kerangka good corporate governance (GCG). “BOD dan komisaris melakukan rapat paling tidak tiga bulan sekali,” katanya. Bagi AI, GCG bukanlah barang baru. Sebelum istilah tata kelola atau tata pamong perusahaan itu dipopulerkan di Indonesia, AI, menurut Budi, sudah memiliki nilai-nilai yang mendasari jalannya perusahaan yang bersumber pada empat hal: filosofi perusahaan, prinsip-prinsip dasar, etika bisnis, dan etika kerja. “Ini disebut Catur Dharma,” timpal Aminuddin, Sekretaris Korporat AI. Isinya? Sangat filosofis. Pertama, menjadi milik yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Kedua, memberi pelayanan terbaik bagi pelanggan. Ketiga, saling menghargai dan membina kerja sama. Dan keempat, berusaha mencapai yang terbaik. Selanjutnya, Catur Dharma dijabarkan dalam 7 prinsip dasar AI agar dapat lebih mudah dihayati dan diimplementasi. Ke-7 prinsip dasar itu setidaknya memberi gambaran kepada seluruh karyawan mengenai nilai yang diyakini dan ditanamkan pada tiap individu. Salah satunya berhubungan dengan aspek kewajaran. “Di Astra, kami tak membedakan manusia dari agama, suku, gender ataupun golongan. Semua punya peluang yang sama untuk berkembang,” ujar Budi. Beranjak dari Catur Dharma inilah, maka konsep GCG di AI kelak bersenyawa. Keempat prinsip dalam GCG – kewajaran, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas – menjadi dasar untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang lebih baik buat seluruh stakeholder. Salah satu tool yang digunakan untuk menginternalisasi GCG adalah lewat
President Letter. Ini adalah speech CEO AI yang disampaikan setiap awal tahun, merupakan intisari dari rapat pimpinan yang menjadi pedoman kerja seluruh karyawan Grup Astra. Sebelum sampai pada President Letter yang sudah dilakoni sejak 1991, tahapan itu, prosesnya didahului dengan mendengarkan 2-3 orang pembicara dari luar yang dianggap memahami kondisi makro, baik politik maupun ekonomi. Acara yang diikuti 200-an eksekutif AI ini dilakukan untuk menghimpun berbagai pandangan, yang selanjutnya disusun dalam bentuk rencana bisnis perusahaan. Dalam menyusun rencana itu, jajaran direksi memberi masukan dan ide. Selanjutnya, rencana bisnis dibawa ke rapim yang dihadiri masingmasing direktur yang mengelola anak-anak usaha. Berdasarkan ide-ide yang berkembang di rapim, CEO AI kemudian menyarikannya dalam President Letter. Lalu, para eksekutif AI menerjemahkannya dalam rencana kerja tahunan. “Rencana kerja ini disusun detail sampai ke angka profit dan lose-nya,” katanya. Pada saat itu, masing-masing bagian dapat saling mengevaluasi dan membahas bersama-sama sehingga dicapai kata sepakat. Kemudian, rencana kerja yang telah disepakati dibuat dalam satu lembar Key Performance Index (KPI) dan ditandatangani bersama. Proses ini dianalogikan Budi seperti sebuah kontrak politik di AI. Berikutnya, dokumen yang berisi “kontrak politik” tersebut diserahkan ke dewan komisaris. “KPI ini selanjutnya menjadi bahan evaluasi bulanan tim audit yang dibentuk oleh BOD,” Budi menjelaskan. Yang perlu digarisbawahi, evaluasi rutin bukan semata-mata untuk mencapai target angka, melainkan juga memonitor pelaksanaan environment and social responsibility yang dilakukan anak-anak usaha. Bahkan, laporan bulanan juga ditembuskan ke komisaris. Pertemuan sore itu antara Budi dengan Pranoto adalah salah satu medium melakukan mekanisme pengawasan atas jalannya perusahaan. Sebuah sistem prosedur yang vital dalam kerangka GCG. Contoh lain sistem prosedur yang ketat di AI sebagai bagian GCG adalah dalam hal procurement. Beranjak dari pentingnya transparansi, Budi bukan cuma memiliki Komite Audit dan Auditor Internal, tapi juga Komite Vendor (KV). Sudah 7 tahun terakhir ini, AI menyerahkan proses procurement-nya pada KV yang bertanggung jawab atas seluruh proses tender agar berlangsung terbuka dan fair. “Mantan Presdir Astra, Pak T.P. Rahmat yang punya perusahaan velg sekalipun, harus mengikuti prosedur ini,” ujar Budi mencontohkan. “Komite ini
juga independen, sangat terbuka, transparan dan kompetitif,” tambahnya. Asal tahu saja, KV merupakan kumpulan orang-orang yang berasal dari Toyota, Daihatsu, Isuzu, Honda Motor dan Astra Otoparts. Sebelumnya, masing-masing anak perusahaan menyimpan informasi tentang vendor sendiri-sendiri. Namun, dengan kehadiran KV, masingmasing pabrik diminta membuka kartu. “Bagaimana bisa tahu harganya kemahalan, kalau tidak ada pembanding dan saling keterbukaan,” cetus Budi. Bukan hanya tendernya yang berlangsung transparan. Astra juga menurunkan tim enjiniring ke perusahaan pemasok komponen. Hal ini dilakukan lantaran Astra tidak menoleransi adanya broker. Tim enjiniring bisa berada di perusahaan pemasok selama berhari-hari demi untuk mengetahui proses, kemampuan produksi, kualitas hingga harga pokok produksi. “Ini bukan untuk menekan mereka, tapi untuk memastikan bahwa perusahaan itu benar-benar efisien,” Budi menjelaskan. Selain sistem yang diupayakan berjalan transparan dan fair, dalam konteks struktur penunjang GCG pun, AI boleh dikata lengkap. KV bahkan boleh dikata sebuah langkah maju karena Bapepam belum secara jelas mengaturnya. Dan untuk urusan yang terbilang menjadi “bahan lelucon” di beberapa perusahaan yakni Komisaris Independen -- sudah bukan cerita baru, banyak Komisaris Independen yang justru datang dari keluarga pemilik perusahaan -- AI terbilang serius. Beberapa orang yang sempat diangkatnya terbilang “cerewet” seperti Juwono Sudarsono dan Mari Elka Pangestu. Melihat hari ini dan menengok ke belakang, Budi melihat bahwa inti dari penerapan GCG adalah keinginan untuk memperbarui sekaligus menyempurnakannya dari waktu ke waktu, setahap demi setahap. Dan itu semua, boleh dikata berpulang pada komitmen para pengelolanya, khususnya CEO sebagai pemimpin puncak. “Dibutuhkan kemauan yang keras untuk menjalankan GCG dengan baik dan benar,” ia menegaskan. Soal dana? Kabarnya butuh dana besar untuk menerapkan GCG? “Awalnya mungkin iya, karena kami harus membentuk tim ini dan itu. Tapi, lama-lama menjadi inheren dengan proses bisnis,” ujar Budi. AI sendiri, lanjutnya, tak menggunakan konsultan khusus. “Tak perlu membayar konsultan untuk melaksanakan tata kelola yang baik. Konsistensi dan komitmen dari manajemen puncak jauh lebih penting,”
kata Budi. Apalagi, dasar-dasar untuk GCG seperti Catur Dharma sudah ada, sehingga AI tak perlu bersusah payah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan dalam GCG seperti diperlukannya pelbagai komite fungsional. Setelah menerapkan GCG selama bertahun-tahun dengan penuh kesabaran, Budi merasa manfaatnya makin terlihat. Umpamanya, anggota direksi dan dewan komisaris lebih mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingan pribadi atau sejumlah pemegang saham tertentu. Juga, adanya komitmen dan aturan main yang jelas dari praktik penyelenggaraan bisnis yang sehat dan beretika. Melalui penerapan GCG yang baik dan benar, baik secara langsung maupun tidak, AI juga memperoleh kepercayaan dari investor ataupun kreditor. Seorang investor yang enggan disebutkan namanya membenarkan, dibanding perusahaan publik lainnya, AI terbilang yang paling responsif dan bersikap terbuka terhadap investor. “Terutama, soal berbagi informasi,” katanya. “Laporan keuangan yang selalu menjadi kebutuhan investor, juga tak pernah telat,” tambahnya seraya menuturkan bahwa perusahaan lain biasanya hanya memaparkan laporan konsolidasi, tanpa disertai laporan keuangan perusahaan induk. Di samping itu, menurutnya, Astra tak pernah membedakan antara investor besar dan investor minoritas. “Semuanya mendapatkan perlakuan yang sama,” tukasnya. Tak heran, saham AI termasuk yang diincar investor dan likuid ditransaksikan di bursa. “Sebagai investor, saya sering menikmati capital gains dari saham Astra,” ia mengakui. Kepuasan juga dilontarkan Andianto. Pemilik Cipaganti Rent Car ini mengaku 75% dari 500 mobil sewaan miliknya merupakan produksi AI, dibeli dari dealer Wijaya Motor Bandung dan Auto 2000 Sudirman Jakarta. Diakuinya, soal layanan, AI lebih unggul dibanding penjual merek mobil lain. “AI betul-betul peduli dengan pelanggan,” katanya serius. Harga mobil buatan AI, dinilai Andianto, juga sudah pasti. “Dengan penjual mobil merek lain, terkadang sales-nya meminta tambahan Rp 2-5 juta agar delivery-nya lancar. Sales Astra tidak demikian,” ujarnya. Hanya saja, Andianto menambahkan, belakangan ini inden mobil AI terbilang lama. “Saya pesan Kijang dari Desember sampai sekarang belum keluar juga. Padahal janjinya bertahap,” katanya jujur. Namun demikian, ia memaklumi cara AI dalam memproduksi mobil yang berdasarkan pesanan dari dealer. “Buat Astra ini lebih menguntungkan
karena tidak ada barang mati. Tapi, ya jangan bikin pelanggan menunggu,” timpalnya. Budi mengakui, AI memang masih memiliki beberapa kekurangan dalam penerapan GCG, terutama ketika sudah turun pada level operasional. Banyak prinsip GCG yang rentan untuk tak dieksekusi secara sempurna. Namun baginya, yang penting adalah perbaikan secara terus-menerus. “Orang itu jangan cuma bisa mengkritik anak buah. Pemimpin pun harus membuka diri untuk mau dikritik. Di sini, saya terbuka terhadap kritikan bawahan,” katanya bersungguhsungguh. Melalui evaluasi dan upaya perbaikan yang terus ditingkatkan, Budi optimistis, pada akhirnya GCG akan menjadi habit yang baik bagi seluruh karyawan AI. Reportase: Abraham Susanto. Riset: Ely Chandra P.
Halaman: 38
BCA: Penerapan GCG adalah Never Ending Journey
Bank Central Asia (BCA) termasuk bank raksasa yang masuk bangsal BPPN ketika krisis meledak pada pertengahan 1997. BCA, yang menelan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia plus bunga mencapai Rp 58 triliun, kemudian dipaksa BPPN untuk menerapkan good corporate governace (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasinya. Meski belum terstruktur, menurut Direktur Kepatuhan BCA Subur Tan, beberapa prinsip GCG sebenarnya telah ada dalam sistem pengelolaan bank eks milik Grup Salim ini. Apalagi dalam undang-undang Perseroan Terbatas juga sudah ada lembaga-lembaga yang harus dibentuk dalam kaitan itu. “BCA sejak sebelum krisis telah memiliki komite-komite seperti yang diwajibkan dalam GCG. Kami memiliki RUPS, dewan komisaris, dewan direksi, komite audit, asset & liabilities committee, dan lain-lain,” tutur pria yang bergabung dengan BCA sejak 1986 itu. “Cuma, sebelum krisis intervensi pemilik memang masih kental, walaupun sebatas level direksi,” sambungnya.
Setelah go public tahun 1999, komitmen untuk menerapkan GCG di BCA semakin besar. Ini dapat dimaklumi, karena penerapan prinsip kewajaran, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas sudah menjadi kewajiban yang inheren. Bank yang 51% sahamnya kini dimiliki konsorsium Farallon dan Grup Djarum (Farindo) ini memang cepat pulih dari sakitnya. BCA tidak saja berhasil membukukan laba bersih di atas Rp 2 triliun setahun setelah dijual oleh BPPN kepada konsorsium Farindo, tapi juga berhasil mempertahankan kepercayaan jutaan nasabahnya. Jajaran manajemen BCA, bahkan ketika masih berada di bawah BPPN, berhasil menjaga independensinya. “Kami ingin perusahaan ini berjalan benar-benar sesuai dengan ketentuan yang ada. Direksi bekerja untuk kepentingan perseroan secara profesional. Tidak ada intervensi-intervensi dari pemilik,” Subur menjelaskan. Dalam kaitan independensi ini, dia menunjuk jajaran direksi yang seluruhnya tidak ada hubungan kepegawaian, afiliasi atau keluarga dengan pemilik mayoritas. Di Dewan Komisaris -- kecuali Preskom Eugene Keith Galbraith dan Tony Kusnadi dari Farindo, serta Raden Pardede dari PPA (BPPN) -- adalah orang independen: Harinowo (mantan pejabat Bank Indonesia yang sudah lama di IMF) dan Renaldo (mantan konsultan teknologi informasi BCA). Penerapan GCG di BCA, lanjut Subur, merupakan never ending journey. Awalnya mereka menggunakan jasa konsultan PriceWaterhouse Coopers. Kini setelah semuanya berjalan baik, BCA dapat berjalan sendiri tanpa bantuan konsultan. Berbeda dari penerapan GCG di perusahaan lain yang umumnya diikuti perubahan kultur, di BCA budaya untuk mengelola perusahaan secara independen dan profesional sudah ada. Meski demikian, penerapannya di dalam perusahaan tidak dilakukan secara serta-merta. Penerapan GCG di BCA berkembang melalui empat tahap. Pertama, membangun kesadaran, yang meliputi segala usaha untuk membangun kesadaran dan keyakinan akan pentingnya GCG, memperkuat komitmen, dukungan komisaris dan jajaran di bawahnya melalui pelatihan, lokakarya dan seminar. Kedua, pengembangan framework melalui kajian bersama lembaga konsultan independen, hingga berhasil menyusun manual GCG. Ketiga, implementasi. Tahap ini merupakan penerapan aspek GCG yang tertuang dalam manual yang meliputi aspek umum (komitmen dan kepatuhan), dewan komisaris, komite-komite, direksi, pemegang saham, hubungan dengan stakeholder, serta transparansi. Untuk menjamin agar GCG dilaksanakan secara konsisten, sesuai dengan
ketentuan dan praktik terbaik (benchmark), diperlukan tahap keempat, yaitu pemantauan (monitoring) dan evaluasi secara periodik. Salah satu caranya dengan self-assessment/monitoring dan checklist. Untuk tujuan ini, manajemen BCA melakukan perbandingan dengan apa yang telah dilakukan perusahaan lain, misalnya Bank Mandiri. Internalisasi GCG memberi energi kepada direksi untuk menolak intervensi dari pihak mana pun. Independensi dan integritas yang tinggi ini, menurut Subur, justru mendorong mereka mematuhi manual GCG. “Contohnya waktu dimiliki BPPN, tidak ada intervensi yang bisa dilakukan terhadap bank ini. Mereka sadar, yang meng-encourage GCG kan mereka juga,” ia menjelaskan. “Begitu juga pemiliknya yang baru konsorsium Farindo. Mereka tidak melakukan intervensi sama sekali.” Bahkan, dipaparkan Subur, kredit yang dikucurkan ke Grup Djarum justru saat ini makin kecil dibanding sebelumnya. “Penurunannya sekitar Rp 200-300 miliar,” katanya. Grup Djarum kini memiliki 9% dari 51% saham yang dimiliki Farindo. Soal kredit terhadap perusahaan asing atau PMA, “Sesuai dengan ketentuan, hanya perusahaan berbendera Indonesia yang boleh mendapat kucuran pinjaman dari BCA,” ungkapnya. Menurut Sekretaris Korporat BCA Lena Setiawati, BCA memiliki unitunit spesifik yang bertanggung jawab terhadap penerapan prinsip kehati-hatian. Contohnya? “Compliance, komite ini yang memastikan kepatuhan BCA atas aturan BI atau Bapepam. Lalu Risk Management, yang memantau bagaimana risiko BCA secara keseluruhan, termasuk kredit. Merekalah yang teriak, mana yang sudah melanggar batas, misalnya bila kredit US$ terlalu besar, dan lain-lain,” Lena menuturkan. Secara umum, menurut Lena dan Subur, keinginan menerapkan GCG di BCA datang atas tekanan pihak luar setelah krisis dan desakan internal. Sebagai contoh desakan internal, mereka menunjuk Kode Etik Bankir yang telah dimiliki BCA sejak 1995. “Kode Etik Bankir itu bahkan sudah dilembagakan, disosialisasi dan dibuat buku sakunya yang juga ditandatangani karyawan,” ujar Subur. “Tiap karyawan menandatangani surat pernyataan untuk tidak melakukan pelanggaran, misalnya konflik interes, sanksinya dikeluarkan. Pelanggaran material Rp 50 juta saja sudah dapat sanksi berat. Kami pernah mengeluarkan seorang kepala cabang karena melakukan kesalahan prosedural sehingga BCA dirugikan seorang nasabah lama yang nakal Rp 7 miliar,” Subur memaparkan.
Di samping hal-hal tersebut, Subur mengatakan, BCA sangat peduli terhadap money laundering. Untuk mencegahnya, BCA membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. “Kami sudah sosialisasikan hingga ke level bawah apa saja trik pencucian uang, agar BCA tidak dijadikan alat oleh pihak mana pun,” Subur berujar. Soal hubungan BCA dengan Grup Salim, menurutnya, sejak dulu tidak ada hubungan sama sekali dalam pengelolaan. “Andre Halim yang mengelola BCA. Anthony Salim tak pernah cawe-cawe. Begitu juga kedua saudaranya yang lain. Sejak BCA dijual, Andre tidak pernah datang ke BCA meski Grup Salim masih memiliki 1,88% saham. Tapi karena Grup Salim termasuk grup usaha bonafide, sayang dong kalau kami tidak punya hubungan bisnis dengan mereka,” sambungnya. Meski boleh dibilang BCA sudah berada on the right track dalam penerapan GCG, tidak semua orang puas. Beberapa investor kecil di BCA justru menilai manajemen kurang terbuka. Satu di antara mereka adalah Sutino, Dirut Dana Pensiun Jasa Marga (salah satu fund manager). “Saya tidak pernah diundang public expose BCA. Seharusnya investor diundang, jika terjadi perubahan strategis dalam perusahaan. Ini kan masalah keterbukaan. Masak kami hanya bisa lihat lewat Internet?” katanya. Beberapa nasabah bahkan melihat gejala penurunan kualitas pelayanan. ATM di Tanah Abang II, juga di Pasar Duren Sawit misalnya, sering kehabisan kertas dan tidak berfungsi. Di beberapa tempat malah dibatasi waktunya cuma sampai pukul 22.00. Antrean di teller kerap dibiarkan meliuk-liuk kepanjangan, seperti dikeluhkan Agus Aryanto (29 tahun). Pengusaha kecil bidang elektronik ini mengaku dirinya adalah nasabah loyal BCA, tapi sering kesal karena harus berdiri antre lama di teller. Terlepas dari keluhan di atas, Subur mengklaim penerapan GCG di BCA setidaknya telah membawa 6 manfaat. Pertama, BCA bisa mencapai target keuangan tahunan dan mempertahankan kondisi perusahaan tetap sehat. Kedua, sejak 2001 BCA secara konsisten bisa membagikan dividen tiap tahun. Ketiga, likuiditas saham BCA tinggi, termasuk LQ45. Keempat, hubungan kerja manajemen-karyawan menjadi lebih baik, antara lain dicapainya kesepakatan Perjanjian Kerja Bersama. Kelima, BCA bisa konsisten menunjukkan tanggung jawab dan kepedulian sosialnya. Ke-6, mendapat pengakuan dari lembaga nasional dan internasional sebagai perusahaan yang bonafide. Reportase: Herning Banirestu.
Halaman: 40
Dankos Laboratories: Terbiasa Menerapkan Nilai-nilai GCG
”Membuang sampah di taman, pot, selokan, jalan, toilet, bukanlah karyawan dan tamu Dankos Laboratories.” Demikian kalimat yang tertera di belakang pintu toilet PT Dankos Laboratories Tbk. Di samping tulisan itu, tertera pamflet berisi tulisan ”5R: Rapi, Rawat, Resik, Ringkas dan Rajin” yang menjadi nilai-nilai perusahaan. Selain itu, juga ada tempelan mengenai jadwal piket petugas kebersihan plus bel, sehingga jika fasilitas toilet ini rusak atau kotor, si pengguna bisa menghubungi petugas. Begitulah pemandangan yang kita jumpai ketika memasuki toilet perusahaan yang berada di Jl. Rawa Gatel III Kav.36-38, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Utara ini, selain kondisi bersih, kering, wangi dan apik. Tampaknya, bagi Dankos, nilai perusahaan tak hanya dimulai dari hal-hal besar, tapi juga menyentuh ruangan kecil yang sering disepelekan: toilet. Kalau Dankos memperhatikan hal-hal yang terkesan kecil semacam itu, apalagi untuk hal yang lebih besar seperti praktik penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG), Toh, di mata Herman Widjaja, Presiden Direktur Dankos, GCG bagi awak Dankos juga sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Alasannya, nilai-nilai dalam GCG seperti mematuhi etika bisnis, memperlakukan karyawan secara adil, bekerja sama dengan kalangan serikat pekerja, serta menjalankan komunikasi dan transparansi informasi, sudah dilakukan Dankos sejak lama. ”Jadi, nilai-nilai GCG sendiri sudah diterapkan dari dulu,” katanya mengaku. Herman berpendapat, penerapan GCG butuh proses panjang. Tak bisa dijalankan sekaligus, harus tahap demi tahap. Sebab, menurutnya, hal ini menyangkut banyak faktor, mulai dari komitmen sampai kesiapan pemegang saham, manajemen puncak dan karyawan. Komitmen ini tampak dari nilai (value) dan aturan perusahaan yang dikodifikasi dalam Dankos Quality Excellence. Isi DQE cukup komprehensif, mencakup berbagai dokumen, antara lain CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) yang juga dikenal dengan istilah Good Manufacturing Process, ISO 9001, ISO 14001, SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja), OHSAS 18001 (juga tentang keselamatan dan kesehatan kerja), serta Best Practices yang
terdiri dari 5R, Internal Customer Satisfaction, Toll-in Toll-out Customer Satisfaction, Total Productive Maintenance dan Dankos Customer Care. ”DQE sudah menjadi budaya di Dankos,” ujar Herman bangga. Nah, ketika GCG dilembagakan sebagai suatu konsep formal, menurut Herman, Dankos tak canggung lagi menerapkannya. Boleh dibilang, pada 2001 Dankos mulai menerapkan GCG walaupun belum mengikuti acuan formal dan standar. Sebutlah kelembagaan Komisaris Independen, yang sudah dirintis pada tahun itu. Baru pada 27 November 2002 Dankos membuat Pedoman GCG yang dijalankan hingga kini. Dengan pembuatan dokumen tertulis ini, Dankos ingin menunjukkan komitmen yang lebih besar pada penerapan GCG. Istimewanya, Dankos tidak menggunakan konsultan, baik dalam penerapan maupun dokumentasi praktik GCG. Manajemen Dankos, menurut Herman, mengembangkan konsep pelaksanaan GCG dari hasil belajar di luar, seperti mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Indonesian Institute for Corporate Governance. Yang tak kalah penting, perusahaan induknya, PT Kalbe Farma Tbk., mendukung pelaksanaan GCG di Dankos. Meskipun merancang sendiri, Dankos memiliki kelengkapan struktur yang cukup memadai bagi penerapan GCG. Selain fungsi komisaris independen dan sekretaris perusahaan, produsen Fatigon ini memiliki beberapa komite fungsional. Namun, dalam struktur organisasi Dankos tak ada direktur kepatuhan (compliance director) yang kini bisa ditemukan di perbankan. ”Untuk perusahaan semacam kami, direktur compliance tidak umum,” ujar Justian Sumardi, Direktur Keuangan yang juga merangkap Sekretaris Korporat Dankos, memberi alasan. Di jajaran direksi Dankos, setelah presdir, hanya dikenal tiga direktur, yaitu direktur keuangan, direktur produksi (plant director), dan direktur (tanpa bidangnya karena bersifat umum — Red.). Adapun bidang pemasaran dan pengembangan SDM dipimpin asisten direktur pemasaran dan manajer pengembangan SDM, yang bertanggung jawab langsung kepada presdir. Dari ketiga direktur tersebut, dua direktur tak ada keterkaitan dengan pemegang saham. Jadi, hanya seorang direktur yang berasal dari pihak pemegang saham terbesar Dankos (Grup Kalbe), yakni Joseph Angkasa yang saat ini merangkap sebagai Presdir PT Bintang Toedjoe, anak perusahaan Dankos. Itulah sebabnya, posisi direktur yang ia pegang di Dankos tak disebutkan bidangnya, karena lebih bersifat formalitas.
Saat ini posisi sekretaris perusahaan juga dirangkap oleh direktur keuangan. Menurut Herman, perangkapan ini masih dimungkinkan karena pekerjaan sekretaris korporat dekat dengan direktur keuangan yang banyak membahas masalah keuangan perusahaan dan samasama banyak berperan mewakili perusahaan dalam berhubungan dengan pihak lain/luar. ”Kami sedang mengader seseorang untuk jabatan ini. Jika hasilnya positif, tahun depan atau dua tahun lagi posisi ini bisa dipisah,” ujar Justian. Sekretaris perusahaan berfungsi membantu dewan direksi melihat sejauh mana implementasi GCG dijalankan. Namun, Justian mengaku sejauh ini tak mengalami konflik kepentingan. Untuk posisi komisaris independen, sosok yang dipilih benar-benar independen. Dalam arti, mereka bukan anggota keluarga pemilik Dankos, tapi dinilai punya reputasi baik. Saat ini Dankos memiliki dua orang komisaris independen. Mereka adalah Sri Arum Soetoepobroto (pensiunan apoteker senior) dan Slamet Soesilo (mantan Dirjen POM). Soal pemilihannya, menurut Herman, disesuaikan dengan peraturan BEJ. Tugas komisaris independen adalah melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penerapan GCG. Mereka juga berkewajiban memberi perlindungan bagi pemegang saham minoritas dan memberi masukan bagi direksi. Peran penting lainnya: menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam pengelolaan perusahaan. ”Kehadiran mereka diharapkan untuk menghindari campur tangan pemegang saham pengendali,” ujar Herman. Selain komisaris independen, yang tak kalah penting adalah komite fungsional. Di Dankos, komite fungsional yang sudah ada adalah Komite Audit, Komite Nominasi, Komite Remunerasi dan Komite Asuransi. Yang pertama terbentuk adalah Komite Audit pada 10 Desember 2001. Komite ini diketuai seorang komisaris independen. Anggotanya terdiri dari seorang komisaris serta dua profesional yang independen dan berasal dari luar. Profesional ini disyaratkan memiliki pengetahuan di bidang akuntansi dan keuangan. Di Dankos pihak profesionalnya adalah Ernst & Young. Komite ini bertanggung jawab pada dewan komisaris. Tujuannya, supaya pekerjaan mereka tidak dipengaruhi direksi. Peran Komite Audit cukup banyak. Antara lain, memberikan penilaian apakah sistem yang berjalan mencerminkan fungsi pengawasan
internal. Lalu, komite juga menilai apakah perusahaan taat kepada hukum, peraturan perundangan dan kebijakan internal. Yang tak kalah penting, komite ini juga memberi penilaian apakah perusahaan dikelola dengan manajemen risiko yang memadai. Adapun Komite Nominasi berperan menyusun pedoman tentang proses penunjukan dan penilaian terhadap calon dewan komisaris dan direksi. Komite ini juga melakukan proses penunjukan dewan komisaris dan direksi sesuai dengan pedoman yang ditentukan. Lainnya adalah Komite Remunerasi, yang bertugas menyusun sistem penggajian dan pemberian tunjangan, serta remunerasi bagi dewan komisaris dan direksi secara wajar. Adapun Komite Asuransi memberikan persetujuan atas nilai pertanggungan asuransi atas aset perseroan yang diusulkan direksi. Menurut Justian, komite fungsional berdiri sendiri-sendiri dan masingmasing ada ketuanya. Tujuannya, masing-masing komite tersebut bisa bekerja secara profesional dan independen. Ia mencontohkan dalam hal pencalonan komisaris independen. Di sini ada satu proses seleksi yang dilakukan oleh komite nominasi. Memang, dalam pemilihan komisaris independen, jajaran direksi dilibatkan untuk urun rembuk. Namun, keputusan akhir tetap di tangan komite. Selanjutnya, ”Supaya ada fairness, transparansi, dan lain-lain, kami kembalikan lagi kepada Rapat Umum Pemegang Saham untuk diputuskan,” ujarnya. Di Dankos, dewan komisaris juga terbagi dua, yakni dewan independen dan non-independen. Mekanisme penunjukan komisaris ini dituangkan dalam suatu pedoman. Dalam pelaksanaan tugasnya, tiga bulan sekali diadakan rapat antara direksi dan dewan komisaris. Di sini direksi akan menjelaskan kinerja perusahaan. Adapun dewan komisaris melakukan penilaian apakah perusahaan sudah melakukan prinsip-prinsip GCG. Justian mengungkapkan, di Dankos dimungkinkan dilakukan review meeting yang melibatkan komisaris dan direksi. Isinya, tentang hasil yang dicapai bulan lalu, dan rencana perusahaan bulan depan. Soal independensi tampaknya juga menjadi kepedulian Dankos. Hal ini tampak dari aturan, bahwa dewan komisaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dipengaruhi pemegang saham pengendali. Dewan komisaris juga harus terlepas dari hubungan afiliasi dengan direksi. Dankos juga sudah melihat pentingnya transparansi, misalnya tentang
perkembangan kinerja perusahaan. Transparansi ini tak hanya berlaku pada pemegang saham dan kreditor, tapi juga pihak lain yang berkepentingan. Untuk memudahkan hal ini, termasuk untuk para investor asingnya, Dankos meluncurkan website www.dankoslabs.com. Isinya, profil perseroan, produk, laporan keuangan tahunan audit, hingga berbagai berita tentang Dankos. Bagaimana perlakuan perusahaan ini terhadap stakeholder lainnya seperti karyawan? Saat ini, Dankos telah membuat model job competency. Model ini berlaku untuk tiap level dan jabatan yang ada di perusahaan. Bagi karyawan yng belum memiliki kompetensi akan dilakukan pelatihan untuk mengembangkan kemampuannya. Adapun penilaian prestasi kerja dilakukan dua kali setahun. Nah, agar seluruh karyawan mau menjunjung tinggi nilai-nilai perusahaan yang tertuang dalam DQE, Dankos berusaha menciptakan suasana kerja yang kondusif, dan bebas dari berbagai bentuk tekanan. Di sini, karyawan bebas mengungkapkan pendapatnya tentang pekerjaan. Begitu juga sebaliknya, atasan melakukan coaching kepada bawahannya untuk terus mengomunikasikan nilai-nilai tersebut. Kini setelah sekian lama menerapkan GCG, Herman dan Justian mengaku telah merasakan sejumlah manfaatnya. Pertama, Dankos bisa meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan karyawan terhadap perusahaan. Sebab, ada keterbukaan dan akuntabilitas. Kedua, para pemegang saham minoritas – total sahamnya mencapai 28,5% – merasa dihargai haknya secara proporsional. Ketiga, harga saham Dankos dari tahun ke tahun semakin membaik. Keempat, dengan penerapan GCG secara baik, cara kerja dan kinerja perusahaan juga semakin baik. Karena perusahaan semakin efisien, produk-produk yang dijual perusahaan juga makin kompetitif. Imbasnya buat konsumen, mereka bisa mendapatkan harga yang terbaik. Imam, staf penjual di Apotek Rini di Rawamangun, mengungkapkan bahwa proses order produk Dankos di Enseval (distributornya) relatif cepat. Jika pada pukul 09.00 dipesan, pada pukul 12.00 pesanan sudah tiba. Tenggang waktu pembayaran juga tak berbeda jauh dari yang lain, bisa dikredit selama 30 hari. Sebagai perusahaan farmasi, Dankos memproduksi 76% produk over the counter, 20% produk ethical, dan sekitar 4% sisanya produk untuk memenuhi order pihak lain (toll manufacturing). Seorang sumber SWA mengungkapkan, Dankos terbilang cukup fair
dalam memberikan hak dividen pada investornya. Di Dankos, dividen bagi investor -- seberapa pun besarnya -- biasanya diberikan setiap tahun. Ia menambahkan, manajemen cukup gamblang melaporkan kinerjanya. Bahkan, penjualan tiga bulan terakhir yang biasanya jarang dimasukkan dalam Laporan Tahunan, ternyata juga disampaikan. Ia mengaku, pihak persero juga cukup memberi kesempatan bagi investor mengajukan pertanyaan serinci mungkin. Penulis: Yuyun Manopol & S. Ruslina
Halaman: 44
PermataBank: Bintang Baru yang Serius Terapkan GCG
Sebagai wajah baru di industri perbankan, PermataBank (PB) tak bisa dipandang sebelah mata. Bank yang berdiri tahun 2002 – hasil merger lima bank: Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Express, Bank Artamedia dan Bank Patriot – ini pernah mendapatkan penghargaan sebagai bank terbaik (peringkat pertama) dalam hal customer satisfaction (berdasarkan survei Institute Service Management Studies) dan service excellency (survei PT Market Research Indonesia & Majalah InfoBank). Ketika penerapan good corporate governance (GCG) PB disurvei oleh Indonesian Istitute of Corporate Governance (IICG), ternyata juga menunjukkan hal yang bagus. PB tampil sebagai The Best Three di kategori perbankan – di urutan ketiga setelah Bank Central Asia dan Bank Niaga. Tentu saja kenyataan ini merupakan fenomena menarik. Pasalnya, tak sekadar merupakan wajah baru, PB dibangun dari bank-bank bermasalah, sehingga diputuskan dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Maka, kami cukup bangga kalau kini terpilih sebagai yang punya nilai GCG terbaik di sektor perbankan, karena sebelumnya ini merupakan kumpulan bank-bank yang insolvent," tutur Agus D.W. Martowardojo, Dirut PB. Prestasi tersebut tentu bukan sebuah kebetulan atau tanpa kesengajaan. Setidaknya hal ini nampak dari informasi bahwa sejak awal manajemen PB mendesain dan berusaha mengimplementasi tata kelola perusahaan yang baik. Malahan, ketika awal terbentuknya PB
dari proses merger, BPPN sebagai lembaga yang membidani dan mengelola kelima bank tersebut, juga telah berinisiatif dan menginginkan diterapkannya prinsip GCG. Saat itu BPPN menunjuk perusahaan konsultan Ernst & Young untuk memperkenalkan prinsip GCG di bank yang kini sahamnya dimiliki Grup Astra dan Standard Chartered Bank itu. “Jadi, keinginan untuk menerapkan GCG bahkan sudah ada sebelum manajemen baru PermataBank,” Agus yang dikenal sebagai bankir "didikan" Robby Djohan itu menegaskan. BPPN kala itu mungkin telah menyadari bahwa krisis ekonomi yang beberapa tahun sebelumnya terjadi, selain disebabkan faktor eksternal, juga dipicu kondisi internal perusahaan yang umumnya tidak dikelola berdasarkan prinsip GCG. Dan, sejak terbentuk tahun 2002, manajemen PB langsung melakukan konsolidasi dan pembenahan organisasi, termasuk penerapan GCG. “Keinginan menerapkan GCG berangkat atas dasar kebutuhan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa itu memberi nilai tambah bagi perusahaan,” tutur mantan Dirut Bank Bumiputera ini. Atas dasar itulah, tutur bapak dua anak kelahiran Amsterdam 24 Januari 1956 ini, sejak awal implementasi GCG di PB tidak berorientasi temporer. Salah satu wujudnya, agar GCG betul-betul dijalankan kemudian dibuat sistem supaya betul-betul melembaga, serangkaian kebijakan terkait GCG pun kemudian diambil, misalnya melengkapi semua struktur kelembagaan agar sesuai dengan tuntutan GCG. Saat ini, PB telah memiliki semua komite yang dibutuhkan GCG, baik komite tingkat dewan komisaris seperti Komite Nominasi dan Komite Remunerasi maupun komite di tingkat direksi seperti Komite Manajemen Risiko, Komite Liabilitas Aset dan Komite SDM. Selain itu, pihaknya menekankan keberadaan manual GCG agar menjadi juklak dan kemudian membagikannya ke seluruh karyawan. "Di sini organorgan yang dibutuhkan untuk GCG semuanya sudah ada. Sudah kami bentuk dari awal," ujar Agus. Bila dirunut ke belakang, upaya pertama PB ketika itu adalah menyusun kebijakan dan prosedur mengacu pada prinsip utama GCG (kewajaran, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas). Selanjutnya, memikirkan upaya "masuk" ke people (karyawan) yang akan mengimplementasi kebijakan dan prosedur. Nah, tahap internalisasi inilah yang merupakan titik krusial proses implementasi GCG. Dalam hal ini, secara umum internalisasi GCG dilakukan melalui dua pendekatan: formal dan informal. Pendekatan formal, misalnya dengan membuat manual GCG,
kemudian juga melalui instrumen legal seperti dimasukkan dalam anggaran dasar, kode etik, dan sebagainya. Masih terkait dengan pendekatan formal, juga dilakukan melalui instrumen SDM, misalnya sistem reward and punishment, balance scorecard, dan sebagainya. Sementara itu, pendekatan informal dilakukan dengan membangun komunikasi dan edukasi tentang pentingnya GCG, komitmen dan kultur perusahaan yang sesuai dengan prinsip GCG. Menurut Agus, nilai-nilai budaya perusahaan yang tertuang dalam 8 Perilaku PermataBanker, prinsipnya merupakan turunan nilai-nilai GCG. Bila dijabarkan, sebenarnya implementasi GCG di PB dibagi empat tahap, dimulai dari tahap pengembangan awareness hingga audit oleh pihak independen. Tahap awareness diawali dengan workshop direksi dan dewan komisaris guna menyamakan persepsi dan menyatakan komitmen bersama. Tahap kedua, agar komitmen manajemen sampai ke karyawan, dibuat manual GCG sebagai pedoman implementasi. Ketiga, tahapan implementasi, di mana komunikasi berperan sangat penting karena dari sinilah prinsip GCG dimengerti karyawan di semua level. Keempat, tahapan audit oleh pihak independen, di mana dilakukan kajian soal manual, kebijakan dan implementasinya untuk pengembangan di kemudian hari. Agar pelaksanaannya efektif, lanjut Agus, pihaknya menunjuk beberapa change agent supaya bisa memahami GCG dengan efektif. Namun yang terpenting, sekali lagi, dari waktu ke waktu terus dilakukan evaluasi dan di dalamnya dilibatkan pemberian reward and punishment. “Satu sistem hanya akan efektif bila dievaluasi secara berkala. Dan kepada karyawan diyakinkan bahwa kalau baik akan diberi apresiasi. Sebaliknya, kalau salah ada hukuman. Kalau tidak ada reward and punishment, keberadaannya pasti akan hilang dalam waktu dekat,” kata Agus bersemangat. Agus menilai implementasi GCG di PB bukan sesuatu yang jauh. Soal transparansi dan kewajaran misalnya, antara lain, dilakukan PB dengan mengoptimalkan peran sekretaris perusahaan (corporate secretary). Bertanggung jawab kepada direksi, sekretaris perusahaan mengembangkan jalur komunikasi dan citra perusahaan. Juga, menjalin hubungan dengan masyarakat investor, khususnya di pasar modal. Pihaknya juga mengusahakan supaya penyampaian laporan (keuangan) kepada regulator (Bank Indonesia dan Bapepam) dan publik bisa tepat waktu, termasuk kegiatan corporate action lainnya seperti Rapat Umum Pemegang Saham. Bahkan di tahun 2005, PB merupakan bank pertama yang menyampaikan laporan keuangan 2004 yang telah diaudit. “Ini menunjukkan administrasi PermataBank
rapi dan prosesnya cepat,” kata Agus seraya tertawa. Tak hanya itu, "Kami juga punya unit Capital Market Compliance. Jadi kami bentuk timnya sendiri sebagai wujud keseriusan kami," tutur Agus bersemangat. Tujuannya, meyakinkan bahwa PB patuh pada aturan dan mekanisme pasar modal, termasuk memberi perlakuan sama kepada pemegang saham minoritas. "Hak-hak mereka dijaga sesuai dengan aturan yang berlaku. Kalau ada RUPS, semua pemegang saham memiliki hak yang sama untuk hadir dan menyampaikan suara." Agar investor tahu kinerja PB, 45 hari sebelum tenggat (batas waktu), investor diundang baik secara langsung maupun melalui media. Dalam laporan keuangan, transparansi juga ditegakkan. "Laporan keuangan kami sangat lengkap. Termasuk remunerasi direksi pun disebutkan,” lanjutnya. Tentang keberadaan komisaris independen, dijelaskan Agus, di PB peran dan tugas mereka selama ini jelas. "Mereka menjalankan tugas secara profesional dan independen. Mereka bekerja untuk kepentingan perusahaan, tetapi bertindak secara independen dan profesional,” ujar Ketua Umum DPP Institut Bankir Indonesia itu. Jadi keberadaan mereka bukan semata-mata sebagai simbol. Bagaimanapun, semua keberhasilan implementasi GCG di PB tak lepas dari peran penting karyawan. Kode Etik (Code of Conduct) kini dipatuhi 6.600 karyawan PB, buku Kode Etik dibuat dalam bentuk manual dan handbook. Dalam buku itu dijelaskan secara rinci perilaku yang mesti dipatuhi karyawan. Semua karyawan diwajibkan membaca buku dan harus membubuhkan tanda tangan sebagai pernyataan bahwa mereka sudah membaca, siap melaksanakan, dan bersedia mendapatkan hukuman bila melanggar. “Tetapi Kode Etik hanya sebagian dari infrastruktur yang kami miliki. Itu pun masih ada hal yang tak tertulis. Maka, di PermataBank ada yang dinamakan Core Values, sebagai hasil kajian mendalam dan sesuai dengan visi ingin menjadi perusahaan yang profesional dan outstanding,” Agus memaparkan. Mantan Dirut BankExim ini memastikan bahwa ke-9 dimensi yang ada dalam GCG sudah dijalankan secara bertanggung jawab di PB. “Jika disebutkan ada 9 dimensi untuk GCG, kami memiliki lebih dari itu,” Agus mengklaim. Mengenai perlakuan terhadap pemegang saham, misalnya, pihaknya telah memperlakukannya secara baik. Ada komitmen dan manualnya mengenai hal itu. Termasuk soal kelengkapan kelembagaan untuk GCG. “Di sini semua lembaga lebih dulu kami adakan sehingga dari awal ada desain organisasinya. Padahal, hal seperti itu tidak ditekankan dalam ketentuan GCG. Tetapi
kami tahu ini adalah sistem governance yang sehat. Adanya pemisahaan antara bisnis risk management, operation dan finance. Kami tidak berjalan semata-mata atas apa yang diatur dalam prinsipprinsip GCG. Tetapi kami sudah mencapai tahap best practice,” pria yang pernah memimpin Maharani Holding ini menguraikan. Sudah pasti, terlaksananya GCG secara baik di PB juga tak lepas dari kemauan kuat tim manajemen puncak. "Bagaimanapun baiknya kebijakan dan manual, jika top manajemen tidak menunjukkan keinginan yang kuat, tidak akan ke mana-mana,” kata Agus. Dalam hal ini pemimpin memberi contoh. Tiap hari Jumat misalnya, mereka mau memakai pakaian seragam khas PB yang di belakangnya bertulisan Core Values PB yang meliputi lima aspek sesuai dengan prinsip GCG: trust (kepercayaan), integritas, pelayanan, profesionalisme dan excellence (kesempurnaan). Jadi, pemimpin memperlakukan dirinya sama dengan bawahan. Diakui Agus, sejauh ini penerapan GCG telah berpengaruh langsung terhadap tumbuhnya kepercayaan masyarakat, pemerintah dan investor. “Kami ikut dievaluasi IICG karena ingin memperoleh kajian GCG kami dari pihak independen. Tujuannya bukan untuk mendapatkan rating bagus, tapi mencari apakah benar PermataBank sudah menjalankan semua prinsip GCG. Berangkat dari kebutuhan. Bahwa kemudian dipakai sebagai dasar untuk seleksi dan dinyatakan masuk kategori bagus, ya kami bersyukur,” ungkapnya. Agus sendiri tak setuju pendapat bahwa budaya penerapan GCG di Indonesia lebih di-drive regulasi pemerintah. “Di dunia bank ada yang disebut sebagai market discipline. Jadi tidak bisa semua yang dilakukan pelaku pasar harus diatur pemerintah. Justru pelaku pasar yang mengatur dan mendisplinkan dirinya sendiri,” bantahnya. Sementara itu, seorang investor PB mengungkapkan kepada SWA, sejauh ini dirinya tak merasa disepelekan PB. Kendati hanya menjadi pemegang saham minoritas -- tidak mau menyebutkan jumlah kepemilikan sahamnya -- ia mengaku cukup puas dan kepentingannya terakomodasi. “Mungkin ini karena ada aturan bahwa semua perbankan dan institusi keuangan lainnya, terutama yang sudah go public harus mempraktikkan prinsip GCG. Termasuk PB yang juga bank rekap harus mengikuti aturan itu,” ujar investor itu. Penulis: Sudarmadi/A. Mohamad B.S.
Halaman: 50
Dari Mana Memulai Ge Se Ge? Sejatinya, tidaklah sulit menerapkan GCG. Bahkan tanpa bantuan konsultan sekalipun. Kuncinya: komitmen, konsisten dan kontinyu. Tak bisa dipungkiri, masih banyak pihak didera kebingungan ketika akan mencoba menerapkan good corporate governance (GCG). “Dari mana mesti memulai? Dan, sulitkah?” Begitu tanya mereka. “Semestinya tidak sulit,” ujar Mas Ahmad Daniri, Ketua Komnas GCG. Yang pasti, lanjut mantan Direktur BEJ ini, sebelum menuju tahaptahap implementasi, perusahaan harus punya modal dasar yang amat penting. Uang? Bukan. Itikad yang kuat dan dukungan penuh dari pemilik perusahaan. “Kalau dukungan itu ada, proses selanjutnya sangat mudah,” katanya. Peran pemilik menjadi penting karena sedari awal, sukses-tidaknya penerapan akan bergantung pada komitmen yang bersangkutan. Maklum, salah satu hakikat GCG (tata pamong perusahaan) adalah perimbangan (check balances) yang harmonis antara pemilik dan pengelola perusahaan (eksekutif) bersandar pada empat prinsip utama: kewajaran (fairness), transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Bila dukungan itu kuat, komtimen pun akan kuat dan tak pernah bermain-main dengan aturan. Sebaliknya, kalau pemilik tak mau adanya iklim perimbangan dan saling kontrol dengan eksekutif, sejak dini katakan adios pada GCG. Akan sangat menyakitkan buat eksekutif yang mencoba serius menerapkan tapi di kemudian hari berhadapan dengan pemilik yang berkata tak acuh, “GCG? Emangnye gue pikirin!” Namun, ditegaskan Daniri, pihak eksekutif pun mesti berkomitmen penuh. Ibarat menari, it takes two to tango. Tak akan ada GCG bila hanya satu pihak yang bersungguh-sungguh menerapkannya. Malah, banyak pihak menyoroti bahwa aspek directorship terbilang vital manakala keseriusan dan komitmen pemilik telah ditunjukkan. Sebab setelah itu, di tangan esekutiflah perusahaan dipamongi (governed). Adapun mengenai directorship, lihat: Ketika Pamong Dituntut Lebih. Setelah dukungan dan komitmen itu ada, maka langkah selanjutnya melengkapi struktur organisasi seperti yang disyaratkan dalam GCG, dengan sepatuh-patuhnya sesuai dengan aturan yang ada. Misanya, Komisaris Independen yang benar-benar independen, bukan tempelan
(formalitas) dan bisanya cuma menganggukkan kepala tanda setuju. Lalu, komite-komite fungsional sepeti Komite Audit, Remunerasi, dan Nominasi. Bahkan kalau perlu, melangkah lebih maju dari yang digariskan Komnas GCG dan Bapepam, seperti yang dilakukan PT Astra International Tbk. (AI) lewat pembentukan Komite Vendor yang tugasnya mengawasi tender agar berjalan lurus. Muncul pertanyaan, apakah semua struktur yang ada harus dibuat secara serempak? Tidak harus. Kecuali Dewan Direksi dan Komisaris yang lazim ada, perusahaan bisa bertahap membuat -- dengan agenda dan timeframe yang jelas kapan akan dibuat -- kelengkapan struktur GCG, seperti pada komite-komite fungsional. Hanya, kalau memang bisa dilakukan secara serentak, mengapa mesti ditunda? Yang terpenting -- serentak ataupun bertahap -- kepatuhan pada aturan merupakan hal yang tak bisa ditawar. Contoh, dalam komite-komite fungsional, maka komposisi anggotanya haruslah sesuai dengan aturan yang ada. Bila struktur telah ada dengan kelengkapan aturan yang melingkupinya, langkah berikutnya menurut Daniri adalah sosialisasi ke seluruh level yang ada di perusahaan. “Supaya tujuan yang ingin dicapai manajemen bisa dipahami sepenuhnya oleh semua karyawan,” ia menegaskan. Setelah itu, maka... action dengan komitmen penuh. Silakan perusahaan memburu target yang ditetapkannya. Silakan menggapai impian setinggi langit. Yang pasti, dengan GCG, semua struktur yang ada akan mengendalikan dan saling mengawasi jalannya perusahaan dengan tanggung jawab dan penuh etika. Mudah kan? Di atas kertas, ya. Namun, seperti kata si Burung Merak, Rendra, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Dari langkah-langkah di atas, aspek pelaksanaan menjadi hal yang teramat krusial. Di sinilah komitmen akan diuji. Di sini pula, internalisasi GCG menghadapi tantangan yang sebenarnya: apakah hanya formalitas baku menyangkut seperangkat struktur dan aturan main, atau benar-benar diterapkan sebagai bagian dari proses bisnis sehari-hari? Dalam konteks ini, Budi Setiadharma, Presdir AI, mengakui bahwa tantangan terbesar dalam GCG bukan pada pembuatan struktur, tapi justru komitmen untuk menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Apalagi buat perusahaan besar dengan awak organisasi yang jumlahnya juga banyak. Kebengkokan-kebengkokan atas empat prinsip (kewajaran, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas) amat rentan terjadi di level operasional.
Menimbang hal itu, tak heranlah Bernardus Djonoputro, Direktur Business Development PriceWaterhouseCoopers, mengungkap bahwa selain struktur dan aturan main yang jelas (hak serta tanggung jawab tiap struktur), ada sejumlah elemen kunci yang mesti diperhatikan ketika menjalankan GCG. Di antaranya, pengukuran kinerja berikut efektivitas, dan pemantauan aspek kepatuhan (compliance) dari proses yang berjalan. Dengan kontiyu memonitor kepatuhan, maka setidaknya ada harapan GCG bisa berjalan dengan baik, dan perusahaan bisa segera mengembalikan ke rel manakala ada praktik bisnis yang dikategorikan melanggar empat prinsip GCG. Cara yang paling baik dalam pemantauan kepatuhan ini, timpal G. Suprayitno, Peneliti Senior Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG), adalah dengan tidak menyerahkan pada Direktur Kepatuhan semata, atau pada komite yang kerjanya memelototi jalannya perusahaan seperti Komite Audit. Maklum, mereka manusia biasa yang bisa alpa. Yang terbaik, menjalankan prinsip untuk saling mengingatkan satu sama lain, sebelum praktik perusahaan keluar dari rel yang sebenarnya. Kalau implementasi GCG akan sangat bergantung pada komitmen pemilik dan pengelola perusahaan, muncul lagi pertanyaan di sebagian kalangan: haruskah melibatkan orang luar, atau konsultan dalam seluruh langkah di atas? “Itu sangat bergantung pada perusahaannya,” jawab Daniri. Kalau ada resource yang cukup, lanjutnya, tentu tidak perlu merekrut konsultan. Sebaliknya, jika tidak ada, salah satu solusinya menggunakan konsultan. “Biasanya kalau mau cepat, pakai konsultan,” katanya. Namun, bukankah biayanya amat mahal (bisa mencapai Rp 1,2 miliar)? “Kalau ada yang takut biayanya mahal, perusahaan bisa menyiasatinya dengan mendatangi Kadin,” ungkap Daniri. Di Kadin, ada semacam klinik GCG yang diperuntukkan sebagai tempat konsultasi perusahaan yang berminat menerapkan tata kelola/tata pamong perusahaan. “Memang ada pungutan biaya, tapi terbilang murah dibanding lewat konsultan,” katanya tanpa merinci biayanya. Perihal penggunaan konsultan yang mahal, diamini Dadi Krismatono, Direktur Eksekutif IICG. Akan tetapi, sebanding dengan biayanya, ia menilai penggunaan konsultan amat berpotensi memberi nilai tambah dibanding mencoba menerapkannya secara sendiri. Keuntungannya, menurut Dadi, dengan knowledge yang dimiliki -- yang besar
kemungkinan dikumpulkan dari pelbagai best practises di seluruh dunia --, konsultan dapat mengetahui dengan lebih baik dan detail bagaimana menjalankan tata pamong perusahaan yang baik dan benar. Mereka juga bisa menjadi pemandu dan penunjuk arah. “Tetapi, semuanya kembali pada niat awal jajaran komisaris dan direksi,” Dadi menegaskan. Maklum, sehebat apa pun konsultan mendesain struktur untuk menjalankan GCG, pada akhirnya semua akan muspra ketika implementasinya tidak dilakoni sungguh-sungguh. Budi membenarkan Dadi. “Sebab, kunci implementasi GCG pada akhirnya komitmen,” ujarnya seraya mencontohkan AI yang tak menggunakan konsultan buat penerapan GCG. Selain komitmen, Budi juga mengingatkan bahwa GCG adalah proses yang membutuhkan kesabaran dan continous improvement yang tak mengenal kata akhir. Tak ada kata berpuas diri dalam memonitor pelaksanaan tata pamong perusahaan. “Setiap ada yang lemah atau kurang, kita perbaiki terus,” katanya. Benar. Yang mesti dihayati, GCG memang bukan proses yang singkat. Tak ada simsalabim di sini. Tata pamong perusahaan membutuhkan kesabaran plus komitmen untuk menjalankannya dengan sebaik mungkin. Dan jelas, pada akhirnya itu semua berpulang pada niat pemilik serta pengelola perusahaan -- akan dikelola seperti apa perusahaan ini? Jadi, kalau ada pertanyaan dari mana GCG dimulai, jawaban hakikinya adalah pada hati pemilik dan jajaran eksekutif perusahaan. Ilmu dan pengetahuan tentang cara penerapan GCG telah tersebar di banyak tempat dan bisa dicari, tapi hati yang tulus hanya bersemayam pada diri mereka yang benar-benar tak ingin merugikan stakeholder-nya. _______________________________________________ Reportase : Dedi Humaedi, S. Ruslina, Tutut Handayani Riset : Ely Chandra P.
BOKS: Ketika Pamong Dituntut Lebih Boards must be the guardians of integrity. (Herbert Allison Jr.) Skandal keuangan Enron, Worldcomm, dan Tyco (di bawah Dennis Kozlowsky), telah membuat geram banyak pihak, dan meninggalkan luka yang begitu dalam bagi para investor. Namun, ada sisi positifnya. Salah satunya, gaung tentang directorship yang kian kencang menderu. Bukan berarti selama ini aspek itu terabaikan. Hanya, setelah aneka skandal di Wall Street yang melibatkan banyak jajaran direksi dan pemilik perusahaan, wacana directorship kian mengemuka. Bahkan, untuk urusan kompensasi para direktur pun menjadi perdebatan seru. Terakhir, eks CEO Wall Street, Dick Grasso yang menjadi sorotan karena bergaji gila-gilaan sementara skandal keuangan terjadi di depan matanya. Lantas, apa yang dimaksud dengan directorship? Menurut Tony Silitonga, Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Corporate Directorship, sederhananya directorship adalah pengarahan dan pengendalian perusahaan. Tentunya, directorship berkaitan dengan kinerja para direksi. Directorship, lanjut Tony, memiliki sejumlah elemen yang bisa mengacu pada rumusan yang dikeluarkan beberapa lembaga internasional. National Association of Corporate Directors, misalnya. Lembaga ini menyimpulkan bahwa kompetensi inti directorship adalah financial literacy, proven track record, industry knowledge, strategic vision, dan law/regulation observance. Sementara itu, Institute of Directors menyatakan bahwa kompetensi inti direksi adalah full understanding on the role of company directorship & the board, financial literacy, strategic business direction, board decision making, dan leading & managing change. Masih banyak lagi institusi yang memberi panduan seputar kompetensi yang mesti dimiliki direksi agar bisa mengendalikan perusahaan dengan baik dan benar. “Namun, bicara tentang tolok ukur directorship yang baik dan benar, maka semakin baik kompetensi direksi, semakin baiklah directorship-nya,” ujar Tony. Lalu, apa hubungannya directorship dengan GCG?Jelas sangat terkait. GCG adalah tata pamong perusahaan. Directorship berkaitan dengan kemampuan
mengendalikan perusahaan secara baik dan benar. Dapat dikatakan, directorship adalah bagian vital buat direksi yang notabene merupakan pamongnya perusahaan. Tanpa directorship yang baik, bisa jadi GCG berjalan sempoyongan karena pamongnya tak kompeten. Untuk mendapatkan kompetensi directorship yang baik, lanjut Tony, para direksi mesti rajin menimba ilmu. Pelatihan salah satunya. Cara lain, meningkatkan knowledge secara terus-menerus di pelbagai kesempatan lewat pelbagai media. Memang melelahkan. Toh, inilah konsekuensi dari posisi sebagai pamong yang sekarang kian dituntut untuk memaksimalkan nilai tambah buat stakeholder dengan tanpa mengabaikan etika. Pasca Enron, sorotan pada direksi memang kian membesar. Lihat saja liputan-liputan media asing, posisi CEO kini terus disoroti. Alhasil, di Amerika Serikat dan Eropa, posisi direksi semakin “panas”. Pasalnya, mereka kian diminta berkontribusi pada good governance, bukan cuma terima gaji besar dan fasilitas menggiurkan. Di Indonesia, wacana tentang directorship terus bergema -- sekalipun perlahan dan belum masif -- berbarengan dengan isu GCG. Menurut Tony, dari beberapa pelatihan yang digelarnya, banyak direktur yang aktif mengikuti. Lembaganya bahkan sudah memiliki sejumlah alumni yang mengendalikan beberapa perusahaan papan atas di negeri ini. Ini jelas hal yang positif bagi dunia bisnis. Asumsinya, kalau saja para alumni itu benar-benar menjalankan directorship-nya dengan baik, tentunya kita boleh berharap akan banyak perusahaan Indonesia yang tumbuh di atas etika. Namun, tampaknya harapan ini juga mesti dibarengi proses pengawasan yang ketat, termasuk dari para punggawa hukum. Kasus CEO Bank Mandiri, Neloe, atas kredit macet di sejumlah perusahaan, menjadi salah satu test case atas directorship yang baik. Sebab, sudah semestinya, dewan direksi termasuk juga komisaris, bertanggung jawab atas pengelolaan yang telah dijalankannya. “The frst line of control and accountability is always the board.” Begitu kata David W. Johnson, Chairman dan Direktur Emeritus Campbel Soup Co. Reportase: Dedi Humaedi Penulis: Teguh S. Pambudi
Halaman: 54
Pelajaran Corporate Governance dari Sang Kampiun Menerapkan GCG lebih dari perusahaan lain, Pfizer berhasil berkibar sebagai kampiun industri farmasi terakbar di dunia. Apa saja yang dilakukan produsen Viagra ini sehingga aturan yang mengikat diri sendiri justru membuatnya bisa lari kencang? Pfizer Inc. adalah perusahaan yang luar biasa. Dan percayalah, itu bukan hanya disebabkan kampiun industri farmasi asal Amerika Serikat ini telah menjadikan jutaan pria dan pasangannya -- yang tetap ataupun sementara -- lebih bahagia. Lebih dari itu, Pfizer luar biasa karena dari 25 obat terlaris di dunia, 9 berasal dari pabrik-pabrik mereka: Celebrex, Diflucan, Lipitor, Neurontin, Novasc, Zithromax, Zoloft, Zyrtec, dan tentunya Viagra, si biru yang membuat hidup lebih berwarna. Setiap obat blockbuster tersebut adalah pemimpin di kategori terapetiknya. Dikatakan blockbuster karena masing-masing produk mendatangkan penjualan lebih dari US$ 1 miliar/tahun ke brankas perusahaan. Lalu, karena penjualan masing-masing yang sudah besar ini setiap tahun tumbuh dua digit pula, produk paten yang mendatangkan 85% penjualan obat perusahaan tersebut dipastikan mampu menopang posisi Pfizer di peringkat puncak, setidaknya sepanjang dasawarsa ini. Dominasi Celebrex dan lain-lain itu di kategori terapetik yang berbeda membuat produk Pfizer menguasai tiga area besar, masing-masing terkait dengan penyakit kardiovaskuler, sistem saraf pusat, dan inflamasi. Sukses inilah yang membuat mereka berhasil mendigesti Pharmacia, yang mereka caplok pada Juli 2002 dalam akuisisi senilai US$ 60 miliar. Dengan kapitalisasi pasar mendekati US$ 200 miliar, perusahaan farmasi terakbar di bumi ini mampu berkibar di jajaran puncak Fortune 500 -- nilainya hanya kalah dari Microsoft, General Electric, Exxon Mobil, dan Wal-Mart. Ketika pada awal 2003 Pentagon ingin mendapatkan advis strategis bagaimana cara menjadi besar tetapi tetap gesit, salah satu yang mereka datangi adalah Pfizer. Para petinggi Departemen Pertahanan AS itu agaknya yakin bahwa perusahaan gajah ini punya kiat unik sehingga bisa terus tumbuh besar walau telah meraksasa. Waktu itu, CFO David Shedlarz memberikan presentasi tentang jurus-jurus sakti perusahaannya: Promote delegation, empower all workers, obliterate
vertical hierarchies. Jurus yang biasa-biasa saja? Benar sekali. Tak sedikit perusahaan lain mengayun langkah yang sama dan nyatanya tidak bisa sehebat Pfizer. Justru keberhasilan memanfaatkan jurus biasa untuk menghasilkan sesuatu yang besar inilah yang membuat Pfizer tampak makin luar biasa. Jurus yang intinya mengandalkan kepercayaan kepada seluruh jajaran untuk memberikan yang terbaik itu bisa membuat Pfizer demikian sakti, karena ia menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, good corporate governance, jauh sebelum istilah GCG dikenal. “One of the reason we’re a leader is that we got involved with corporate governance before anyone knew what it was,”ujar Peggy Foran. Sekretaris Korporat Pfizer merangkap VP Corporate Governance ini tentu tak sekadar omong besar. Kenyataannya, di awal 1990-an Pfizer memang perusahaan pertama yang mengangkat seorang vice president untuk urusan corporate governance. Tahun 1992 itu, Chairman dan CEO William C. Steere Jr. mengangkat Terry Galagher, ahli hukum lulusan Harvard, sebagai Chief Governance Officer (CGO) pertama Pfizer. Jabatan yang lebih dari sekadar chief GO ini membuat Galagher cukup punya otoritas terlibat di aktivitas pasar dan memiliki rentang kendali lebih luas dalam urusan yang menyangkut enterprise risk dan responsibilitas korporat, bukan sekadar terfokus pada masalah regulatory compliance. Penempatan seseorang pada posisi eksekutif untuk urusan GCG inilah agaknya yang membantu Pfizer terjaga dari skandal yang menimpa perusahaan-perusahaan besar pada 1990-an. Kalau hanya menempatkan chief GO -- pejabat pengawas GCG dengan “c kecil” -- menurut Galagher, sebuah perusahaan melakukan kesalahan besar. Pendekatannya pasti akan kelewat sempit, hanya bagaimana memenuhi Sarbanes-Oxley Act (SOX). Padahal, masih menurut mantan CGO yang sejak pensiun pada 2000 menjadi konsultan di Merrill Lynch dan beberapa perusahaan lain ini, “Posisi CGO seharusnya pada titik simpul yang mengatur bagaimana board berhubungan dengan manajemen dan bagaimana kedua entitas itu berhubungan dengan para pemegang saham, terutama institusi besar.” Memang, pekerjaan seorang CGO juga menyangkut aspek ketaatan terhadap aturan main seperti SOX, yaitu mengupayakan penciptaan struktur corporate governance. Namun, peran strategis yang signifikan
dari seorang CGO berasal dari aspek hubungan dari posisi yang menjalankan proses corporate governance. “Buat membangun kepercayaan investor, adalah vital mengikutkan proses ataupun struktur dalam segala upaya guna meningkatkan corporate governance,” ujar Galagher. “Sayang, dalam banyak kasus baru-baru ini, kami menemukan bahwa strukturnya mungkin sudah memadai tetapi prosesnya tidak ada atau kurang.” Saat ini, penempatan eksekutif tinggi, tingkat CGO, dalam struktur organisasi perusahaan setidaknya memberikan nilai yang intangible berupa poin ekstra pada peringkat GCG yang semakin penting. Salah satu alasan mengapa Institutional Shareholder Service Inc. memberikan peringkat di jajaran puncak pada S&P 400 “Mid-Cap Index” untuk GCG pada IndyMac Bancorp Inc., misalnya, adalah karena saving and loan terbesar di Los Angeles, Kalifornia ini memiliki seorang CGO, yaitu Stephanie Irey. Adanya seorang CGO juga memberikan benefit yang tangible, walau tak gampang mengukurnya, karena adanya orang yang berfungsi sebagai point guard — penjaga tim eksekutif yang ada agar tak kebobolan salah. Bagi para eksekutif itu, waktu adalah komoditas langka, dan kalau tak ada yang membantu menjaga, mengurusi masalah governance akan makan banyak waktu yang langka itu. “Dalam kebanyakan board, waktu yang dihabiskan untuk memastikan masalah compliance dan governance 20%-30%,” ujar James R. Ukropina. “Waktu yang dihabiskan ini lebih dari dua kali lipat yang biasa dibutuhkan beberapa tahun lalu.” Maka, Direktur Independen IndyMac ini memuji Irey, sang CGO yang bekerja sama erat dengannya, yang membantu board menjaga waktu yang diperlukan buat compliance dan governance tak bertambah lagi. Adanya seorang CGO bahkan dapat memberikan keuntungan yang lebih luas. “Sebuah perusahaan dapat menciptakan keunggulan kompetitif dari governance dan transparansi strategis,” ujar Tim Russi. Bos DHR International, perusahaan yang mencarikan posisi CGO, ini menyitir hasil penelitian McKinsey & Co. pada 2002 yang menunjukkan bagaimana terjaganya GCG memberikan pasar premium terhadap nilai saham sebuah perusahaan dan menurunkan suku bunga pinjamannya. “Hanya masalah waktu sebelum dunia usaha melompat dari tingkat compliance-reactive ke tingkat branding-competitive advantage,” Russi meyakinkan. Dalam hal ini, Pfizer yang merupakan pelopor GCG menjadi contoh kasus yang nyata.
Pada November 1999, Warner-Lambert Co. dan American Home Products Corp. mengumumkan rencana merger. Jika merger terjadi, posisi Pfizer yang melisensi Lipitor -- obat blockbuster pertama yang penjualannya menemus angka US$ 10 miliar -- dari Warner-Lambert tentu terancam. Maka, Pfizer langsung merespons ancaman itu dengan hostile takeover bid terbesar dalam sejarah: US$ 82,4 miliar untuk membeli Warner-Lambert. Pada perang bisnis tersebut, tak ada yang bisa memastikan siapa yang bakal memenangi hati kalangan investor institusional yang menguasai sejumlah besar saham di semua perusahaan yang terlibat: Pfizer, American Home Products dan Warner-Lambert yang jadi rebutan. Toh, salah satu pihak yang terlibat perang, punya sedikit kelebihan dari yang lain dalam bentuk ini: Punya seseorang yang selama bertahuntahun secara khusus menangani hubungan intensif ke para pemegang saham intitusional yang besar dan kelompok aktivis. “Waktu itu saya diminta mengontak pemegang saham institusional kami yang juga menguasai sejumlah besar saham Warner-Lambert buat membujuk para petinggi Warner-Lambert ketemu dengan board kami dan bernegosiasi dengan Pfizer,” tutur Galagher, sang CGO yang berperan besar. “Hubungan bertahun-tahun yang saya jalin dengan para pemegang saham itu ternyata menjadi kunci keberhasilan kami. Mereka benar-benar mengontak Warner-Lambert.” Ketika Steere menciptakan posisi CGO, dia yakin betul bahwa itu sesuai dengan nilai-nilai yang dianut perusahaan walau sejawatnya tak ada yang mendukung. Dan, ketika Galagher membuktikan peran pentingnya dalam memenangi perang memperebutkan WarnerLambert sehingga Pfizer menguasai pangsa pasar obat lebih besar ketimbang perusahaan farmasi mana pun, mata orang pun menjadi terbuka akan pentingnya posisi itu ketimbang sekadar menjaga compliance terhadap aturan main yang ada. Sebagai pengakuan terhadap standar GCG yang tinggi, The Wharton School (salah satu sekolah bisnis paling bergengsi) dan Spencer Stuart (perusahaan executive search internasional) pada 2002 menganugerahi Board Excellence Award kepada Pfizer. Perusahaan asal New York ini mengalahkan 7 finalis lainnya karena telah membuktikan bahwa dengan komuikasinya yang transparan dengan semua pihak selama seluruh fase merger berhasil membuat akuisisi terbesar yang mereka lakukan membukukan sukses.
Perlu dicatat, dari M&A yang ada tak sampai 25% yang mampu mencapai tujuan finansial yang direncanakan. Pfizer bukan saja berhasil, melainkan dapat mengintegrasikan kedua perusahaan yang sama-sama sedang berkembang cepat itu dalam tempo tercepat dalam sejarah M&A. Pada tahun pertama saja, penghematan dari operasional telah mencapai US$ 430 juta, lalu jadi US$ 1,4 miliar pada 2001, dan US$ 1,6 miliar pada 2002. Integrasi R&D menghasilkan investasi sebesar US$ 5 miliar pada 2001, meliputi 156 proyek dalam 19 area terapetik. Kendati demikian, tak otomatis membuat para petinggi perusahaan lain mengikuti jejak Pfizer. Kebanyakan mereka justru ogah gerak dan wewenangnya dibatasi. Arogansi dan keserakahan inilah yang membuat banyak CEO dan petinggi perusahaan lain tersandung, bahkan di tahun-tahun pascaskandal Enron yang memicu lahirnya Sarbanes-Oxley Act pada Juli 2002. Setelah Martha Stewart diseret ke pangadilan karena kasus insider trading, Maurice “Hank” Greenberg dilengserkan dari AIG, raksasa asuransi kelas dunia itu. Di Morgan Stanley, pemberontakan manajemen memaksa Philip Purcell yang diktator melakukan berbagai kampanye untuk menyelamatkan kursinya. Di Boeing, Harry Stonecipher yang dipanggil kembali dari rumah pensiunnya untuk memimpin perusahaan yang dilanda skandal dan meningkatkan standar etis itu, dipulangkan karena tertangkap bertindak tidak etis — mengirim e-mail cinta kepada pacar yang adalah pegawainya. Carly Fiorina yang beberapa minggu lalu masih menjadi the most powerful woman in corporate America, sekarang menjadi pariah setelah terbukti kepemimpinanya yang keras tak mampu memberikan Hewlett-Packard (HP) kinerja baik yang dijanjikannya. Setiap kasus tersebut, tampaknya bermuara pada satu kesimpulan: Ketidakseimbangan corporate power pada 1990-an, ketika para CEO bertindak seperti monarki absolut, kini telah dikoreksi habis-habisan. Menurut The Economist, walau semua itu merupakan tanda-tanda kemajuan, tak satu pun membuktikan bahwa krisis yang melanda dunia bisnis AS telah berakkhir. “Kenyataannya, setiap kasus itu merupakan contoh kegagalan, bukan keberhasilan, governance,” tulis majalah bergengsi itu dalam opininya. Mengapa? Setidaknya, board di Morgan Stanley dan HP kelewat lambat menangani ketidakmampuan para bosnya. Catatan prestasi board di Boeing dalam memilih petinggi yang lemah etika sudah kelewat panjang untuk dianggap sebagai kebetulan. Sementara itu, jatuhnya Greenberg menegaskan berkembangya peran pemerintah, terutama
jaksa penuntut masalah kriminal, dalam memaksa para bos korporasi untuk bertanggung jawab — suatu hal yang dalam keadaan terbagus merupakan mixed blessing. “Board honor code among CEOs didn’t work. Board oversight didn’t work. Self-regulation was a complete failure,” tulis Eliot Spitzer. Dalam tulisan di Wall Street Journal itu, jaksa dari New York ini menunjukkan board AIG yang mendiamkan praktik akunting Greenberg yang curang dan konflik kepentingan karena penggunaan perusahaan offshore milik pribadi sebagai contoh soal. Karena ketidakmampuan board mengawasi bosnya inilah, Presiden George W. Bush lalu menandatangani SOX pada pertengahan 2002. Dengan beleid baru ini, didirikan The Public Company Accounting Oversight Board, lembaga swasta nirlaba yang bertugas memastikan bahwa laporan keuangan perusahaan diaudit sesuai dengan standar independen. Beleid baru ini juga mewajibkan CEO dan CFO bertanggung jawab langsung atas akurasi laporan keuangan perusahaannya. Ancaman hukumannya: denda sampai US$ 5 juta, 20 tahun penjara, atau keduanya. Tujuan diberlakukannya aturan main yang ketat ini? Pada ujungnya, buat mencegah konflik kepentingan yang membuat analis sekuritas kurang objektif dan memberikan komite audit — bukan CEO ataupun CFO — kontrol penuh terhadap auditor. Sejauh ini SOX telah memberikan hasil positif. “Pada 2000, hanya 1% laporan analis yang merekomendasi investor untuk jual,”ujar Lynn E. Turner, profesor akunting Universitas Negeri Colorarado, dan mantan kepala akuntan Securities and Exchange Commission(SEC). “Pada 2002 porsi rekomendasi jual mencapai 20%.” Selain itu, persentase pemegang saham yang memenangi proxy fight juga meningkat. Gerakan para pemegang saham untuk membatasi kompensasi berlebihan eksekutif perusahaan meningkat pula. Kendati demikian, resolusi oleh pemegang saham, bahkan jika didukung mayoritas pun, jarang bisa mengikat manajemen. Dalam banyak kasus, manajemen bahkan dapat menghentikan resolusi sehingga tak dilakukan voting. Buat meningkatkan hak demokrasi pemegang saham, SEC yang merupakan Bapepam-nya AS mengusulkan perubahan aturan kecil untuk mempermudah para pemegang saham menominasikan kandidat anggota dewan direksi. Sayang, barisan pelobi yang dikirim para petinggi perusahaan berhasil
mematikan proposal cantik ini. Para petinggi perusahaan AS umumnya memang menganggap SOX hanya akan mengganggu kelancaran bisnis karena menyita waktu dan tenaga. “Kita memang butuh corporate governance yang bagus, tetapi pendulumnya sudah ke arah yang membahayakan karena bergerak kelewat jauh,” ujar Steve Odland, CEO AutoZone. Biaya untuk memenuhi persyaratan SOX itu, menurut laporan The Business Roundtable, mencapai US$ 1 juta/perusahaan. Untuk seluruh perusahaan besar yang wajib memenuhi tahun ini, menurut laporan AMR Research yang menyurvei para CEO, biayanya mencapai US$ 5,5 miliar. Tak heranlah, sekitar 20% perusahaan publik AS menimbang kemungkinan untuk go private. Dalam keadaan begini yang panen hanyalah perusahaan akuntan dan konsultan. Para aktivis menampik keberatan petinggi perusahaan yang mengkhawatirkan bisnis akan merugi dengan aturan main yang ketat itu. “Harga yang mesti dibayar untuk compliance dengan aturan main yang baru itu sangat kecil buat memperbaiki kepercayaan investor terhadap pasar dan dunia usaha,” ujar Ann Yerger, Deputi Direktur Eksekutif The Council for Institutional Investors yang mewakili 130 fund dengan aset US$ 3 triliun. Para petinggi perusahaan yang selama ini telah menerapkan menyuarakan pembelaan yang sama terhadap SOX. “Pada akhirnya, kalau ingin tetap jadi perusahaan publik, kita harus memenuhi mandat tersebut,” ujar Rosemary Kenney, Manajer Senior Corporate Governance dan Komunikasi Pfizer. Semua perusahaan, yang kecil sekalipun, di bawah SEC memang memiliki mandat yang sama dengan perusahaan besar. Dalam mandat itu termasuk membayar listing fee di NYSE, mengeluarkan biaya untuk pembuatan annual report dan mengirimkannya ke para investor, mengisi berbagai laporan ke SEC dan sebagainya. “Kalau kami ini perusahaan publik,” masih kata Kenney, “jauh lebih baik berinvestasi di good practices yang mendukung akuntabilitas dan good ethics ketimbang berharap SEC atau lembaga lain tidak mempertanyakan aktivitas (meyimpang) kami.” Di antara perusahaan yang belum menjalankan GCG seketat Pfizer? Ada juga yang mendukung. Salah satunya: Tyco. Dulu, di bawah Dennis Kozlowski, Tyco adalah salah satu contoh terburuk kegagalan corporate governance sepanjang sejarah. Beruntung, tak seperti
Enron, mereka punya bisnis manufaktur yang solid. Produk Tyco, dari duct tape dan sprinkler system sampai industrial valve dan sistem sekuriti, laku di pasar. Maka, tak kelewat sulit bagi Ed Breen, mantan President dan COO Motorola yang menggantikan Kozlowski, membngun kembali reputasi perusahaan. Di tahun pertama, 2002, tutur Eric M. Pillmore yang dipercaya menjadi CGO, “Tyco seperti sebuah start-up beraset US$ 35 miliar.” Raksasa industri ini harus memulai segalanya dari awal, terutama membangun sistem baru yang diterima kalangan investor, merekrut barisan talenta baru buat menjaga sistem, dan menetapkan arah strategis perusahaan sehingga tak lagi salah langkah. Karena lebih menjadi perusahaan yang operation-driven ketimbang mesin M&A, Tyco baru lebih banyak merekrut orang dengan latar belakang operasional dan melepas sebagian orang dengan latar belakang keuangan. Sebagai anggota board, pemegang saham dipersilakan memilih sendiri dari kalangan pemimpin bisnis ataupun public leader yang namanya bersih. Pendek kata, merasa diri sebagai “laboratorium” GCG, Breen dan jajaran manajemen baru menetapkan standar yang lebih tinggi ketimbang SOX. Pada fase awal, dilakukan investigasi terhadap seluruh aktivitas manajemen senior terdahulu. Pada fase kedua, seluruh akuisisi besar dikaji ulang untuk menentukan adakah penipuan sistemik dalam akunting seraya mengembangkan kontrol dan prosedur yang efektif serta pelaporan keuangan yang andal. Buat mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh manajemen, board tak lagi berhubungan langsung dengan stakeholder walau masih berada dalam pusat governance. Pemasok, pelanggan, investor dan karyawan kebanyakan hanya berinteraksi dengan para eksekutif yang membuat keputusan dan menjalankan operasional harian. Manajemen keuangan pun dipisah dari manajemen operasional. Dengan demikian, walau bagian keuangan merupakan mitra bisnis bagian operasional, tanggung jawab utamanya melakukan kontrol -- pengecekan, jika diperlukan, terhadap kemungkinan penggunaan dana yang tidak sesuai. Segala kebijakan pun dibuat tertulis, termasuk siapa yang mendapat otorisasi melakukan transaksi apa. Untuk menciptakan iklim yang etis, diterbitkan Guide to Ethical Conduct buat para karyawan dan diterjemahkan dalam 14 bahasa.
Aturan yang kelewat kaku akan membuat perusahaan sulit berlari kencang? Boleh jadi. Toh, aturan main yang jelas dan etis akan menghindari moral hazard. Kita belum tahu corporate governance yang lebih ketat akan lebih banyak mudarat atau manfaatnya, dan sampai seberapa ketat aturan main itu menghasilkan banyak manfaat. “Laboratorium Tyco” baru diterapkan beberapa tahun dan SOX baru saja mulai berlaku. Mereka yang optimistis mengatakan, dulu chief information officer juga pernah dinilai sebagai penghamburan sumber daya. Kalau sekarang hampir setiap perusahaan besar punya CIO, pada waktunya nanti CGO juga akan menjadi sesuatu yang diperlukan. “Doing business with integrity is good for business,”ujar Nancy Nielsen, Direktur Senior Corporate Citizenship Pfizer. CGO itu perlu untuk menjaga integritas (manajemen) perusahaan. Riset: Ely Chandra. Penulis: Prih Sarnianto