1. Shierly Hilang Inggris, 2001. Pagi yang dingin, suhu udara 10 derajad Celcius mendadak sontak tersibak. Temaram mendung yang memayungi penjuru kota sepanjang pagi itu terkuak. Kabut tipis perlahan sirna. Bradford gempar, seorang warganya hilang......!!! Sirene mobil polisi meraung-raung ke segenap penjuru kota. Anjing-anjing pelacak bertebaran dalam helaan tangan-tangan polisi yang cekatan. Langkah kakiku menuju sekolah terhenti. Aku gemetar. Degup jantungku memburu dengan cepat. Takut bukan alangkepalang. Pagi yang berkabut tersibak oleh gonggongan anjing, raungan sirene, dan suara polisi lewat megaphone yang bersautsautan. Sekolahku dikepung. ”Are you Fira?!” tanya seorang polisi wanita yang berjalan menghampiriku. Tatapannya tajam, menyelidik. Baju putih, celana panjang hitam, sepatu van toffel yang mengkilap, topi pet bergaris-garis hitam-putih yang bertengger gagah di kepalanya, dan jaket hitam yang terbuka kancing depannya, seolah meloloskan seluruh tulang-belulangku. Lemas tak berdaya. Baru sekali ini seumur hidupku berurusan dengan polisi. Di luar negeri lagi. Gawat.
”Yes, Mam, ” sahutku tak mengerti. Bingung, apa salahku? ”Could you please go to the office for a while.....,” sambungnya ringkas. Dingin, tanpa ekspresi. “Wait a moment…wait a moment,“ Papaku dengan tergopohgopoh menyusul langkahku. Meraih tanganku, dan menggandengnya dengan erat sekali. Beliau bediri di antara aku dengan polisi wanita itu, sikap seorang gentleman,“What’s wrong? What happen with my daughter, madame?”Tanya Papa sangat khawatir sambil terus memegangi tanganku dengan erat. Seorang polisi lelaki yang gagah menahan laju langkah Papa dan membawanya mundur sampai di belakang garis polisi, police line. “Excuse me, Sir, we just like to reconfirm to your daughter. Nothing bad will happen to her. I guarantee,” kata polisi berkumis yang tampaknya mengerti betul kekhawatiran Papa. Kekhawatiran banyak orang yang tidak begitu paham dengan liku-liku urusan polisi dan pengadilan, bahwa berurusan dengan polisi adalah setengah langkah menuju penjara. Pegangan tangan kami terlepas, papa berdiri di belakang police line dengan mata tak henti memandangku yang digandeng masuk dengan cepat oleh polisi wanita itu ke ruang kepala sekolah. Di dalam ruangan telah berkumpul kepala sekolah, dua orang polisi, John Terry dan John Donat. Peluh berleleran di sekujur tubuhku. Paduan antara ketegangan, ketakutan dan kelelahan yang luar biasa. Betapa banyaknya pertanyaan yang harus aku jawab. Otakku bekerja
keras. Memori waktu dalam otakku berjalan mundur ke belakang. Kucoba mengingat semua kejadian di hari-hari terakhirku bersama Shierly. Dengan bibir gemetar kukatakan bahwa memang pada hari Jum’at minggu lalu aku bertengkar dengan Shierly. Bertengkar dengan hebat. Aku tidak terima dan tak kuat lagi atas perlakuan rasis Shierly terhadapku. Shierly teman sekelasku. Dia bintang di kelas 4 yang naik ke kelas 5 lewat jalur reguler. Sedangkan aku naik ke kelas yang sama dari jalur loncat kelas, dari kelas 3 langsung ke kelas 5. Sejak kehadiranku di kelas itu, Shierly merasa dominasinya terancam. Dia bukan lagi the best in Math, the best in English, the best in Science dan the best in Arts. Aku memberikan perlawanan sengit pada keempat bidang favoritku itu. Pada setengah semester pertama, posisi kami masih berimbang. Ada kalanya nilai Shierly lebih bagus dari nilaiku, namun tak jarang pula nilaiku yang lebih bagus dari nilainya. Pelan tapi pasti aku menambah porsi belajarku, berlatih dengan keras, sering meminjam buku-buku di perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di kota Bradford dan sering-sering bertanya kepada Papa untuk halhal yang belum kupahami. Papa tak kalah antusiasnya, didrillnya aku sehabis mengaji dan sholat maghrib dengan pemahaman teori dan latihan soal minimal 1 jam tiap hari. Laju prestasiku tak tertahankan lagi. Di akhir semester aku memimpin jauh di depan pada semua mata pelajaran. Prestasi yang aku capai dengan susah payah itu memicu irihati Shierly. Bersama dengan gangnya, dia selalu mengintimidasiku dengan panggilan bernada rasis dan merendahkan. “Hey Chinese…go back to your country!”
“Hey, smelly, hey stinky…take a bath and whitening your skin!” Dan masih sederet kata-kata kasar lainnya melewati gendang telingaku setiap hari. Mula-mula, kubiarkan suara iri-dengki itu masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Tanpa mengendap di hati. Namun tetesan embun yang lembutpun lama-lama akan menghaluskan permukaan batu karang. Kesabaran ada batasnya. Jum’at pagi, rinai gerimis mengucur rintik-rintik. Terengahengah aku berlari ke sekolah agar tidak terlambat. Sejak adik Widya diterima di Bowling Park Primary School yang berseberangan arah dengan sekolahku, aku harus selalu berlari-lari ke sekolah agar tidak terlambat. Karena Mama harus mengantar adik ke sekolahnya dulu baru mengantar aku. Papa tak bisa lagi mengantarku karena harus ke kampus sebelum fajar menyingsing. Hampir 3 km aku berlari setiap pagi: 1.5 km ke sekolah dik Widya dan 1.5 km ke sekolahku. Berlari berdua dengan Mama yang mendorong adik Laks yang masih terlelap di dalam kereta dorong bayi. Aku tidak bisa berangkat ke sekolah sendiri walupun sudah kelas 5, karena di Inggris, anak SD, apalagi perempuan, dilarang berangkat sekolah seorang diri. Dengan ransel yang cukup berat aku memasuki pintu kelas dengan sedikit tergesa. Tak kulihat kaki yang tiba-tiba terjulur di pintu. Gedebug....! Aku tersandung, jatuh berguling di lantai kayu kelas yang keras. Pantatku membentur sudut meja. Perih bukan kepalang. Sikuku memar. Sakit, marah dan jengkel,
ketika kudapati Shierly berdiri mengangkangiku dengan bersedekap. Sombong dan angkuh. ”Bloody idiot…!watch your step! you hit my beautiful leg, blind girl!” katanya ketus, disambut tawa cekikikan teman-teman se-gangnya. Tawa kesenangan dan merendahkan. Sontak, menggelegak darah dalam ubun-ubunku. Serta merta aku meloncat, bangun berdiri dan kutatap Shierly tepat pada bola matanya. Bola mata hijau, seperti mata seekor kucing hutan. Mata yang penuh kelicikan dan tipu muslihat. ”Stupid blonde! Rubbish girl!” balasku tak kalah sengit. Suasana memanas, kami saling tarik kerah baju. Jika di Indonesia, sudah kukirim ketupat bengkulu ke mukanya. Kalau tak ingat pasal yang mengatakan bahwa memukul lawan apalagi di bagian wajahnya akan dengan serta masuk penjara, sudah kugocoh muka Shierly gila itu. Mrs. Patricia Idle berkelebat, kepala sekolah yang judesnya selangit. Masuk tanpa suara ke kelasku. Memandang tajam ke arah kami berdua. Menunjukkan sikap tidak senang. Bahkan serasa ingin merajam kami berdua. ”Hey...both of you, go to my office now! You’ve broke the rules of our school fatally!” teriaknya memekakkan gendang telingaku. Kami berdua digelandang ke ruang kepala sekolah. Mrs. Pat menginterogasi kami layaknya seorang tahanan.
Mrs. Pat seorang yang rasis. Dia merasa berkasta lebih tinggi dari orang Asia. Mrs. Pat membenciku, karena telah mengalahkan muridmurid asli Inggris dalam hampir semua mata pelajaran. Kebencian yang sama juga diterima Shierly karena berbeda kepercayaan. Walaupun Mrs. Pat dan Shierly keduanya nasrani, tapi yang satu katolik dan yang lain protestan. Pertentangan kedua penganut agama itu di Inggris tak kalah kerasnya dengan pertentangan antara Israel dengan Palestina. Pertentangan yang sangat keras terutama terjadi di Belfast, Irlandia, dari mana Mrs. Pat berasal. ****** Polisi di sekolah kami masih terus mengumpulkan fakta. Siapa yang terakhir kali melihat Shierly. John Terry dipanggil karena dia anak paling bengal dan bahkan bisa disebut sebagai premannya kelas kami. John Terry naksir Shierly. Naksir berat. Tapi Shierly tak menanggapinya. Bahkan cenderung menolak simpati John Terry. Cinta bertepuk sebelah tangan. John Donat dipanggil, karena memang dia yang selalu paling telat pulangnya. Telat karena menunggu ayahnya yang juga seorang polisi itu menjemputnya. Jangan-jangan, John Donat ini seorang mata-mata yang ditanam polisi. Sejenak pikiran itu berkelebat di benakku. Tapi tak apa, John Donat baik padaku. Bahkan dalam keterangan yang disampaikan ke polisi tadi, John Donat selalu mencoba membelaku. Sebenarnya namanya John Luis Mountbatten. Tapi karena tiap pagi dia sering minta donat bekal sekolahku, ya sudah kupangil John Donat aja.
Mrs. Patricia Idle diselidiki karena setelah menyidang kami berdua di hari Jum’at itu, Shierly tak lagi pulang ke rumah. Ada guru yang melapor bahwa Mrs. Pat dan Shierly terlibat pertengkaran hebat saat aku dan Shierly tadi pagi dipanggil. Perdebatan keras itu terjadi setelah aku disuruh kembali ke kelas terlebih dahulu. Aku disuruh kembali ke kelas lebih dahulu karena aku terima saja apa yang dituduhkan dan ditimpakan kepadaku. Percuma melawan kepala sekolah yang otoriter ini. Tak ada satu orang gurupun yang berani menentang tatapan mata Mrs. Iron Tiger ini. Nyonya Harimau Besi! Galak dan amat bengis! Aku dipanggil, karena aku bertengkar dengan Shierly pada Jum’at pagi itu. Bahkan kami sempat saling tarik-menarik kerah baju. Nyaris saja ketupat bengkulu melayang ke mukanya. Apalagi, walaupun aku asli Indonesia, badanku jauh lebih besar. Aku netek mama selama 3 tahun penuh dilanjutkan dengan minum susu segar asli Lembang semasa di Indonesia. Lari 3 km setiap pagi dan sore, pulang pergi dengan membawa ransel penuh buku dan bekal makan di punggung. Kekuatan fisikku tak diragukan lagi. Sekali kuembat, bisa-bisa Shierly masuk ke selokan di depan sekolah. Hari pemeriksaan itu kurasakan berjalan sangat lambat. Papa menungguku di luar dengan wajah penuh iba dan gundah gulana. Seharian menunggu di udara terbuka dalam sepoi angin dingin di musim semi. Kulihat mulut Papa tak hentihentinya berkomat-kamit, memanjatkan do’a. Akhirnya kami diperbolehkan pulang. Aku pulang ke rumah dengan langkah gontai dan ketakutan. Walaupun ada seorang psikolog wanita yang mendampingi polisi tadi, yang selalu berusaha bertanya dengan lemah lembut, tak urung nyaliku
menciut. Sekembali dari sekolah, aku tak bisa berfikir dengan tenang. Gelisah, resah dan gundah. Apa yang terjadi pada Shierly?