BAB II TEORI MODEL PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN 2.1
Pendahulan Pada suatu kawasan pertanian yang luas, letak sebidang lahan amat mempengaruhi pola
kegunaannya. Letak di sini di peruntukan dalam hubungannya sebidang lahan dengan pusat pemasaran dan tempat tinggal petani. Sebidang lahan yang terletak hampir dekat dengan pusat pemasaran dikatakan mempunyai nilai yang tinggi dan amat menguntungkan jika diusahakan sepenuhnya. Sebaliknya lahan yang jauh dari pusat pemasaran kurang menguntungkan jika di usahakan. Dalam kaitannya dengan letak peranan transportasi menjadi sangat penting. Ini berarti semakin jauh dari pusat pemasaran semakin tinggi biaya transportasi dan terjadi sebaliknya. Salah satu model yang paling banyak digunakan dalam tataguna lahan pertanian adalah model Von Thunen. 2.2
Tataguna Lahan Model Von Thunen Von Thunen adalah seorang yang berkebangsaan Jerman, telah mengusahakan lahan
pertaniannya selama 40 tahun. Berdasarkan pengalamannya dia mengemukan satu model atau teori tentang letak tataguna lahan pertanian. Model tersebut menunjukkan adanya perbedaan tentang tataguna lahan dengan bertambahnya jarak dari pasar. Ada dua hal yang dikemukan oleh Von Thunen yaitu:
1.
Produktivitas suatu jenis tanaman akan berkurang atau menurun dengan bertambahnya jarak dari pasar. Produktivitas diukur dari segi input pertanian, termasuk banyaknya tenaga buruh, modal, alat bajak, benih dan sebagainya yang digunakan bagi setiap bidang lahan.
2.
Jenis penggunaan lahan akan berbeda dengan bertambahnya jarak dari pasar. Von Thunen untuk menguji teorinya mengajukan beberapa hipotesis. Adapun hipotesis yang
digunakan Von Thunen adalah sebagai berikut:
1.
Ada sebuah negara terpencil yang hanya mempunyai sebuah pusat pasaran yang letaknya di tengah-tengah.
2.
Pusat pasaran tersebut hanya merupakan satu-satunya untuk memasarkan hasil pertanian di negara tersebut. Produksi pertanian hanya merupakan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan aktivitas kota tersebut. Semua petani akan menerima harga penjualan sama dengan di pusat pasaran.
3.
Wilayah di seluruh nagara itu adalah seragam dari segi kesuburan, iklim, topografi dan keadaan fisik lainnya.
4.
Setiap
petani
berusaha
untuk
memaksimumkan
keuntungan
pertaniannya.
5.
Transportasi ke kota hanya dengan kereta kuda atau berjalan kaki saja.
dari
aktivitas
6.
Biaya transportasi hanya ditentukan oleh jauhnya jarak perjalanan.
7.
Tidak ada hubungan dengan penduduk di luar nagara itu dan nagara tersebut adalah tertutup dan mampu memenuhi keperluannya sendiri. Untuk menentukan nilai lahan Von Thunen menggunakan sewa lahan dari lokasi dimana
lahan berada. Von Thunen melihat berbagai tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasaran dan ditemukan sewa lahannya lebih tinggi dari daerah yang jauh dari pusat pasaran. Menurutnya sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transportasi dari daerah yang jauh ke pusat pasaran. Pengaruh biaya transportasi dalam kaitannya dengan perpindahan produk digambarkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1
Pengaruh Biaya Transport Produk Dari Berbagi Lokasi Ke Pasaran Terhadap Land Rent
Dalam Gambar 2.1 dilukiskan bahwa semakin jauh lokasi lahan dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi. Misalnya pada jarak sejauh 0 Km tepat di lokasi pasar, biaya transportasi setinggi nol dan biaya total setinggi OC dan pada jarak OK Km biaya total itu menjadi KT, karena biaya transportasi meningkat menjadi UT, kemudian bila harga barang yang diangkut setinggi OK tidak lagi terdapat land rent, sedangkan pada jarak 0, besar land rent adalah CP. Jadi land rent mempunyai hubungan terbalik dengan jarak lokasi lahan dengan pasar. 2.2.1 Zona Konsentris Menurut Von Thunen zona yang paling dekat kota pasaran mengusahakan market gardening, berupa sayuran terutama kentang dan susu, karena dalam zona ini ada hasil perahan. Pada zone ini membutuhkan tenaga buruh yang intensif dan ongkos transport yang tinggi dan hasil pertanian ini lekas rusak atau busuk. Patani pada zona ini menghasilkan produk tertinggi per areal, tetapi jika letak perusahaan makin jauh ke kota pasaran di pusat, maka dengan sendirinya hasilnya akan menurun, sehingga hams mengusahakan produk lain agar tak rugi.
Gambar 2.2 Tataguna Lahan Model Von Thunen
1. Pertanian intensif 2. Hutan 3. Pertanian sistem rotasi 4. Lahan garapan dan peruntukan pada produk perahan 5. Pertanian sistem rotasi 6. Peternakan sapi intensif. Pada Gambar 2.2 telihat bahwa pada zona kedua ada semacam kehutanan dan hasilnya kayu. Pada zona ketiga dipakai untuk menghasilkan tanaman biji-bijian yang wujidnya gandum. Hasil ini dapat tahan lama sedangkan ongkos angkutnya relatif murah. Adapun zona ke empat diusahakan sebagai lahan garapan dan perumputan dengan tekanan pada hasil perahan, susu, keju dan mentega. Zona kelima diperuntukan pertanian yang hasilnya dapat bergantian wujudnya, bahkan hingga tiga jenis. Zona ke enam yang letaknya paling pinggir sehingga paling jauh dari pusat pasaran, lahan dipakai untuk perumputan peternakan dan usaha ternak tersebut bersiifat intensif. 2.2.2 Kritik Terhadap Model Von Thunen Analisis lahan pertanian melalui pendekatan Von Thunen pernah sukses di berbagai skala, dari jangkauan interkontinental hingga perusahaan pertanian setempat yang individualis. Namun demikian ada beberapa kritik yang dilontarkan Chiholm yaitu:
1. Model Von Thunen merupakan suatu model keseimbangan yang sifatnya partial yang tak memuat interelasi antara variabel yang telah dikhususkan; lagi pula jika membayangkan adanya perubahan untuk masa mendatang tak mudah dilakukan perhitungannya.
2. Tak diperhitungkan beranekaragamnya luas perusahaan pertanian atau luas pasaran yang tak menghasilkan ekonomi yang berskala produksi atau pasaran yang bersangkutan, karena itu dapat merusak suatu pola yang tertata dari zona tataguna lahan.
Sementara itu Johnson menekankan kelemahan Von Thunen terletak pada keterkaitannya pada waktu. Disamping itu juga pada keterkaitan antar wilayah. Pada masa itu sesuai dengan tata pemerintahan semi feodal di Jerman Utara, memang diidealkan adanya satu pusat kota yang sekaligus sebagai ibu kota daerah yang bersangkutan, yang mengelola segala usaha agraris di sekelilingnya. Jadi tidak direstui munculnya kota-kota pada saat itu yang tersebar sebagai pendamping kota pusat, pada gejala kemunculan tersebut dapat melahirkan economic utility. Von Thunen hanya melihat keuntungan dari satu kota besar di pusat wilayah yang menjadi pusat pemerintahan, militer, pendidikan dan kebudayaan yang sekaligus juga menjadi tempat berkumpulnya para rentenir, tuan tanah dan kaum kaya. Tentunya kota semacam itu akan menarik para pedagang, seminan, pegawai dan buruh. 2.3
Teori Keputusan Penggunaan Lahan Pertanian Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan untuk menggunakan lahan pertanian di suatu
daerah. Adapun faktor tersebut dapat berupa faktor fisik maupun non fisik yang terbentuk pada daerah tersebut. 1.
Faktor Fisik Faktor fisik yang mempengaruhi kemungkinan penggunaan lahan pertanian adalah :
a. Iklim; temperatur (panas) dan curah hujan b. Topografi; relief dan batuan c. Tanah; unsur hara/kesuburan dan sifat fisik tanah d. Air; potensi air, kedalaman 2.
Faktor Manusia
a. Budaya dan Sejarah 1. Tenaga kerja; tingkat keterampilan dan kemampuan teknologi petani (pendidikan, ilmu, pengalaman dan pengelolaan)
2. Adanya kemampuan jumlah tenaga kerja (baik tenaga kerja keluarga maupun non keluarga)
3. Kondisi teknologi transportasi yang diperbaiki (fasilitas jalan dan sarana transportasi) untuk pengembangan pertanian.
b. Faktor Ekonomi 1. Modal; kemampuan memiliki modal, peralatan, gedung dan uang. 2. Penawaran produksi pertanian, besarnya jumlah produksi yang ditawarkan dari petani.
3. Permintaan, besarnya jumlah permintaan produk pertanian oleh konsumen atau pasar.
4. Harga; harga input (sarana produksi) dan harga produksi hasil pertanian
c.
Faktor Politik
1. Termasuk partisipasi petani dalam praktek dan kebijakan pemerintah yang menyangkut pembangunan pertanian, seperti harga, pajak, penilaian import/ekport dan sebagainya.
2. Larangan untuk menanam suatu jenis tanaman, misalnya ganja dan sebagainnya. 3. Pembatasan dalam perdagangan, misalnya sesuai dengan kuota yang disepakati. 4. Bantuan pemerintah berupa modal, bibit, pupuk dan sebagainnya. Dalam pengambilan keputusan untuk melalakukan usahatani tersebut selain dipengaruhi oleh aspek fisik dan manusia juga dipengaruhi oleh sikap manusia (behavioral element) dan kesempatan lain dari petani (chance element), yang akan berpengaruh langsung terhadap pola usahatani. Dalam hal ini akan menentukan besarnya stok, bibit, pupuk, organisasi usahatani, tenaga kerja, mesin dan gudang sebagai tempat menyimpanan produk. Pada dasarnya hasil dari usahatani adalah pendapatan yang diteriman petani. Jika hasil usahatani mampu meningkatkan pendapatan petani maka petani akan sejahtera dan ini merupakan feedback yang positif. Sebaliknya jika hasil usahatani bersifat stagnasi atau tidak dapat merubahan pendapatan petani yang lebih baik atau petani tetap miskin maka feedback hasil usahatani bersifat negatif.
Iklim - hujan - panas
Elemen Fisik Relief Tanah - bantuan - air - topologi - kesuburan
inovasi
feedback (+)
Kesejahteraan n
inovasi
Kemungkinan Penggunaan lahan tanaman dan terma
Proses pembuatan keputusan
Pola Petanian - ternak - makanan - benih - pupuk -
organisasi tenaga kerja mesin gedung
Pendapatan
feedback (+) kesempatan
stagnasi
Kemiskinan
Manusia Gambar 2.3 Faktor Penentu PolaElemen Pertanian Faktor Budaya dan sejarah Faktor Ekonomi Elemen Politik - tenaga kerja modal Kebijakan pemerintah - tenologi penawaran Pembatasan perdagangan - transportasi permintaan Strategi - tradisi harga - partisipasi
2.4
Teori Penggunaan Lahan Pertanian Secara Ekonomi Dalam teori penggunaan lahan pertanian secara ekonomi dijelaskan bahwa keputusan
penggunan lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai banyak faktor seperti yang terlihat pada gambar 2.4
Gambar 2.4 Model Penggunaan Lahan Pertanian Pada Gambar 2.4 kita dapat melihat secara ekonomi faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan pertanian. Adapun faktor yang yang mempengaruhi penggunaan lahan pertanian tersebut adalah : 1.
Kebijakan pemerintah
a. Bantuan atau subsidi b. Kebijakan harga 2.
Pola Pemasaran Pola pemasaran meliputi sitem pemasaran dan daerah pemasaran baik input maupun output (sarana produksi maupun hasil produksi) akan mempengaruhi biaya produksi.
3.
Unsur Fisik Daerah a.
Meliputi unsur iklim, tanah air, topografi, tinggi tempat dan sebagainnya.
b.
Bila kondisi fisik kurang subur maka perlu adanya pemupukan, daerah bergelombang perlu pembuatan teras (perlu biaya tenaga kerja) yang kesemuanya akan berpengaruh terhadap biaya produksi ( sebagai biaya produksi faktor fisik) yang akan mempengaruhi penggunaan lahan pertanian.
Disamping ketiga faktor ekonomi tersebut ada faktor lain yang akan berpengaruh terhadap proses pengambilam keputusan yaitu :
1. Faktor budaya dan sejarah 2. Tingkah laku ; motovasi, sikap petani dan lainnya 3. Kesempatan yang memungkinkan; modal, lahan dan sebagainnya) Hasil keputusan penggunaan lahan adalah melakukan usahatani. Oleh karena itu hasil penggunaan lahan pertanian ini adalah pendapatan petani lebih baik atau tetap. Dari hasil penggunaan lahan tersebut ada beberapa kemungkinan yaitu:
1. Pendapatan memuaskan bagi petani, maka penggunaan lahan pertanaian bersifat tetap atau stagnasi.
2. Pendapatan hanya bersifat subsisten maka akan terjadi feedback yang negatif sehingga akan mengaruhi pengambilan keputusan dalam penggunaan lahan pertanian.
3. Bila pandapatan menimbulkan kecukupan yang berlebihan maka akan terjadi feedback positif terhadap pengambilan keputusan penggunaan lahan pertanian. 2.5
Tahapan Pengambil Keputusan Penggunaan Lahan Pertanian Adapun tahapan dalam proses pengambilan keputusan dapat digambarkan di bawah ini
sebagai berikut berikut :
Gambar 2..5 Tahapan Pengambilan Keputusan Penggunaan Lahan pertanian Dalam tahapan pengambilan keputusabn tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor sosial perseorangan, ekonomi dan fisik.
1. Faktor sosial perseorangan meliputi faktor pilihan perseorangan, tipe pertanian, training pertanian, pengalaman individu, waktu yang disediakan, pengetahuan perusahaan dan resiko individu.
2. Faktor Ekonomi meliputi pasar, income, profit, penggunaan lahan, tenaga kerja, modal, biaya transport, gedung/mesin, kerjasama, kebijakan pemerintah dan lainnya.
3. Faktor fisik meliputi jenis tanah, drainase, kemiringan, iklim, curah hujan, temperatur dan luas usaha. 2.6
Struktur Lahan Pertanian Struktur pertanian melibatkan suatu kegiatan yang secara keseluruhan sangat kompleks
yang mengandung hubungan sosial ekonomi antara petani (produsen) dengan konsumen. Struktur pertanian meliputi beberapa hal: 1) ukuran dan bentang lahan pertanian, 2) sistem pemilikan dan pengusahaan lahan pertanian, 3) sistem pemasaran hasil produksi pertanian. Kedaan struktur lahan pertanian antara satu negara dengan negara lain dan antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain dalam suatu negara bervariasi. Lahan pertanian pada dasarnya
ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya, a) keadaan geografi fisik seperti kesesuaian lahan pertanian, topografi dan potensi kegunaan lahan untuk pertanian, b) tekanan penduduk terhadap lahan pertanian sebagai akibat dari adanya pertumbuhan penduduk, kapadatan dan persebaran penduduk, c) faktor sosial seperti adat istiadat, agama, sistem pragmentasi dan pemilikan tanah, d) pengaruh penguasa atau kerajaan terhadap pragmentasi lahan dan pemilikan lahan. 2.6.1 Pemilikan Lahan Pertanian Pada umum pemilikan lahan di negara-negara atau wilayah yang mempunyai kepadatan penduduknya tinggi rata-rata sempit. Berbeda dengan di negara yang jumlah penduduk rendah, pemilikan lahan pertaniannya rata-rata lebih luas. Sitem pemilikan lahan merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam menentukan corak penggunaan lahan pertanian. Sitem pemilikan dan pragmentasi lahan biasanya banyak dipengaruhi oleh adat-istiadat, agama, hubungan sosial dan negara. Ada empat sitem pemilikan lahan pertanian antara lain; a.
Pemilikan Bersama, Pemilikan lahan bersama merupakan suatu sistem pemilikan lahan yang dikuasai secara bersama atau lahan pertanian yang dikuasai oleh sekelompok orang dan pemilikan secara individu tidak dibenarkan. Namun demikian pengolahannya secara individu masih dibenarkan. Sistem pemilikan lahan ini terjadi di negara Asia Tenggara, Aprika dan Asia Selatan. Biasanya lahan ini adalah milik sebuah kampung atau milik kerajaan. Seperti di Rusia akibat ada perubahan pemerintahan, ekonomi dan struktur sosial telah menghapuskan sistem tradisonal dan sebaliknya digantikan dengan sistem sosialis-komunis dalam
pemilikan lahan
pertaniannya. b.
Pemilikan Estet Besar, Pemilikan secara estet besar atau latifundia pada mulanya dikenal di negara Portugal, Spanyol dan Itali Selatan. Di negara ini estet yang besar dikuasai oleh tuan-tuan tanah yang terdiri dari golongan istana dan pemuka agama. Etet besar ini biasanya dikerjakan oleh buruh abdi dalam dan buruh yang diupah.
c.
Pemilikan Bebas Pemilikan bebas atau individu merupakan sistem pemilikan yang secara bebas dikuasai oleh individu. Sistem pemilikan ini sangat penting karena menjamin dan meningkatkan produk pertanian oleh petani. Namun demikian pemilikan tanah secara individu ini di banyak negara rata-rata pemilikannya sudah sangat sempit seperti, di negara Asia Tengga, akibat adanya pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga pragmentasi pemilikan lahan secara turun temurun terns berlangsunmg. Akibat pemilikan lahan pertanian yang semakin sempit ini talah banyak menimbulkan masalah pengangguran di perdesaan.
d.
Pemilikan Sewa. Pemilikan tanah secara sewa telah banyak dilakukan oleh para petani di perdesaan. Sistem persewaan ini berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain dan antara satu
negara dengan negara yanag lain. Secara umum bentuk sistem persewaan tanah dapat dibagi kedalam beberapa jenis, a) petani hanya membayar sewa tanah kepada man tanah dalam bentuk uang atau hasil pertanian, b) petani memberikan imbalan yang lebih banyak kepada tuan tanah, misalnya petani 30% dan pemilik 50 % sedangakan 20% untuk biaya produksi, c) petani diberikan imbalan atau upah dari hasil mengerjakan lahan tuan-tuan tanah. Dalam sistem sewa tanah biaya produksi sudah ada kesepakatan terlebih dahulu antara petani dan tuan tanah. 2.6.2 Pragmentasi Lahan Pertanian Pragmentasi lahan merupakan masalah pertanian yang sering terjadi dikebanyakan negara di dunia. Proses prgamentasi lahan berjalan terus sepanjang masa menyebabkan luas lahan yang dimiliki oleh setiap petani menjadi sempit sehingga ouput menjadi rendah, hilangnya kesempatan kerja dan menyulitkan dalam perencanaan pertanian. Sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan pragmentasi lahan pertanian yaitu: a)
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat dan kepadatan penduduk yang tinggi telah mengakibakan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian. Dalam keadaan ini proses pragmentasi lahan tidak dapat dielakan lagi, seperti di kawasan Asia Tenggara, Eropa Barat dan Asia Selatan.
b)
Pragmentasi lahan juga diakibatkan oleh faktor agama dan kepercayaan yang membenarkan dan menngijinkan adanya pragmentasi lahan setelah ada kematian. Dalam masyarakat islam misalnya tanah si mati perlu dibagikan kepada ahli warisnya.
c)
Pragmentasi lahan juga disebabkan oleh faktor sosial, adat-istiadat dan sistem kekeluargaan yang diamalkan dalam suatu masyarakat atau komonitas tersendiri.
Proses pemecahan lahan secara bebas dari satu generasi ke genarasi menimbulkan masalah yang serius dalam pembangunan pertanian di kebanyakan negara sehingga diperlukan usahauasaha reformasi lahan yamg melibatkan penyatuan, pembagian, pemilikan dan adanya kontrol dalam pemecahan lahan.