II
KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Definisi dan Susunan Daging Sapi
Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada
kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga, yang berasal dari
hewan yang sehat sewaktu dipotong (Muchtadi, dkk., 2013). Otot hewan berubah
menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan (Soeparno, 2009).
jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak
Otot mengandung sekitar 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non protein,
dan 2,5% lemak (Soeparno, 2009). Komposisi kimia daging tergantung dari spesies
hewan, kondisi hewan, jenis daging, proses pengawetan, penyimpanan, dan metode pengepakan daging.
Komposisi kimia daging juga sangat dipengaruhi oleh
kandungan lemaknya, dengan meningkatnya kandungan lemak daging, kandungan air dan proteinnya akan menurun (Muchtadi, dkk., 2013).
Daging yang dikonsumsi berasal dari beberapa jenis hewan ternak
diantaranya adalah sapi. Salah satu jenis sapi yang banyak digunakan sebagai ternak potong di Indonesia adalah sapi Peranakan Ongole (PO).
Sapi PO
merupakan hasil pemuliaan melalui sistem persilangan dengan grading up sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO). Sapi PO dibeberapa daerah dipelihara dengan
tujuan ganda disamping sebagai sapi potong penghasil daging juga untuk sapi perkerja (dwiguna). Sapi PO tanggap terhadap perubahan maupun perbaikan pakan dengan menunjukan pertambahan bobot badan harian yang berbeda. Sapi PO
10
11 menghasilkan daging yang cukup tinggi dengan persentase karkas 42 (Astuti, 2004). 2.2
57,21%
Dendeng Sapi
Pengeringan daging adalah cara yang paling umum dilakukan untuk
mengawetkan daging dan sudah dilakukan sejak awal peradaban manusia. Pengeringan daging yang paling sederhana adalah dengan cara memilih daging tanpa lemak yang berasal dari sapi, kerbau, babi, rusa, atau hewan lainnya lalu dipotong dan diris-iris menjadi lembaran tipis kemudian dikeringkan dengan
bantuan panas matahari menjadi pangan siap makan yang bergizi tinggi (Nummer, dkk, 2004; Yang, dkk, 2009).
Dendeng sapi adalah produk makanan yang berbentuk lempengan terbuat
dari daging sapi segar dan atau daging sapi beku, yang diiris atau digiling, ditambah bumbu dan dikeringkan dengan sinar matahari atau alat pengering, dengan atau
tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (Badan Standarisasi Nasional, 2013).
Menurut United States Department of
Agriculture (2014) dendeng adalah jenis pangan siap makan yang berasal dari daging yang dikeringkan dan memiliki daya simpan yang tinggi di suhu kamar.
Menurut United States Department of Agriculture (2014), secara umum
proses pembuatan dendeng terdiri dari pengirisan daging, perendaman irisan daging, pemanasan, dan pengeringan irisan daging. Tujuan utama pemanasan pada proses pembuatan dendeng adalah untuk membunuh dan mengurangi jumlah
mikroorganisme. Tujuan utama pengeringan pada proses pembuatan dendeng adalah untuk menghasilkan produk akhir yang memiliki daya simpan yang tinggi dan mencegah mikroorganisme untuk tumbuh terutama mikroorganisme toksik
12 yaitu Staphylococcus aureus. Proses pembuatan dendeng dibagi menjadi 6 tahap yaitu: 1. 2. 3.
Persiapan daging dengan mengiris atau menggiling daging.
Perendaman irisan daging ke dalam larutan yang mengandung gula, garam, dan bahan tambahan pangan lainnya yang diizinkan.
Intervensi antimikroba yang bertujuan untuk meningkatkan daya hambat
pertumbuhan bakteri seperti Salmonella, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan bahan
bahan yang memiliki sifat antibakteri yang diizinkan untuk digunakan dan 4.
5. 6.
aman untuk dikonsumsi.
Pengeringan dilakukan sampai produk akhir memiliki kadar air yang sesuai dengan standar. Jika kadar air tidak sesuai dengan standar, maka dapat menyebabkan kapang dan Staphylococcus aureus untuk tumbuh.
Pemanasan setelah pengeringan, proses ini dilakukan apabila setelah proses intervensi antimikroba masih ditemukan bakteri Salmonella. Penanganan
produk
akhir dengan
memperhatikan
sanitasi
menghindari rekontaminasi dan kontaminasi silang pada produk.
untuk
Rust dan Knipe (2014) menambahkan bahwa daging yang digunakan dalam
pembuatan dendeng harus memiliki kandungan lemak kurang dari 10% dan tidak terlihat adanya urat daging. Daging diiris dengan arah berlawanan dengan serat
daging, dengan ketebalan sekitar 5mm. Bumbu yang biasa digunakan dalam dendeng yaitu lada hitam dan bawang putih. Penambahan garam tidak lebih dari
3% dari berat daging. Irisan daging didiamkan sampai 24 jam agar bumbu bumbu dapat masuk ke dalam irisan daging, kemudian daging dikeringkan sampai kadar air produk sesuai standar yang ditentukan.
13 Perendaman pada daging dimaksudkan untuk mendapatkan sifat fungsional
dan citarasa dari larutan perendam. Penyerapan cairan oleh otot daging tidak hanya
menyebabkan berkembangnya citarasa daging, namun juga meningkatkan keempukan daging. Serat daging melebar karena gaya elektrostatis menyebabkan
larutan perendam terikat pada miofibril, namun karena energi kinetis dari larutan
perendam yang masuk menyebabkan miofibril dapat terus melebar dan rusak dan hal ini sangat dipengaruhi oleh waktu perendaman (Xiong dan Kupski, 1999).
Menurut Badan Standarisasi Nasional (2013), syarat mutu dendeng sesuai
SNI-2908-2013 yaitu: kadar air maksimal 12%; kadar lemak maksimal 3%; kadar protein minimal 18%; kadar abu tidak larut dalam asam maksimal 0,5%; cemaran logam maksimum kadmium (Cd), timbal (Pb), timah (Sn), merkuri (Hg), dan arsen
(As) secara berurutan yaitu 0,3 mg/kg, 1 mg/kg, 40 mg/kg, 0,03mg/kg, dan 0,5
mg/kg; Angka lempeng total maksimal 1x105 koloni/g; cemaran mikroba maksimum Escherichia coli <3 APM/g, Salmonella sp. negatif / 25g,
Staphylococcus aureus 1x102, dan Bacillus cereus 1x103. Produk dinyatakan lulus uji apabila memenuhi syarat mutu. 2.3
Kolesterol
2.3.1 Definisi Kolesterol
Kolesterol (cholest-5-en-3 -ol; C27H46O) merupakan salah satu senyawa
dalam golongan lipid (Freeman, 2005). Beberapa substansi dalam tubuh hewan dan
tumbuhan seperti cairan empedu, hormon seksual, dan sapogenin terkait secara struktural dengan kolesterol. Substansi
substansi ini memiliki nukleus yang
mengandung empat cincin karbon siklopentanofenantren dan biasa disebut dengan steroid (Myant, 1981).
14 Studi tentang kolesterol pertama kali dilakukan oleh Chevreul (1816) yang
menemukan bahwa komponen utama batu empedu pada manusia adalah kristalin putih yang larut pada alkohol dan eter, kemudian senyawa ini disebut Berthelot (1859) menyatakan bahwa
.
merupakan alkohol, sehingga
mengubah namanya menjadi cholesterol (Ilustrasi 1).
Ilustrasi 1. Struktur Molekul Kolesterol dengan Penomeran Sesuai IUPAC (Kreps, dkk., 1981) Kolesterol pada tubuh memiliki peran utama sebagai komponen membran
sel, komponen utama cairan empedu yang dapat mencerna makanan di dalam usus
halus, serta membantu tubuh mensintesis vitamin D dan hormon seksual.
Kolesterol mengalir di dalam tubuh bersama darah melalui pembuluh darah, namun dikarenakan kolesterol merupakan senyawa lipid dan darah merupakan senyawa
air, keduanya tidak bercampur. Kolesterol pada darah dilapisi protein yang disebut
lipoprotein, sehingga dengan mudah dapat bercampur dengan darah (Freeman, 2005).
Lipoprotein sebagai pembungkus kolesterol dibagi menjadi dua yaitu Low
Density Lipoprotein (LDL) dan High Density Lipoprotein (HDL). Perbedaan antara LDL dan HDL adalah massa jenisnya dan berkaitan dengan rasio lipid dengan protein. LDL memiliki rasio kandungan lipid lebih tinggi dari kandungan protein
15 sehingga massa jenisnya rendah dan HDL memiliki rasio kandungan lipid lebih
rendah dari kandungan protein sehingga massa jenisnya tinggi. LDL berperan sebagai pengangkut kolesterol dari pembuluh darah ke organ yang membutuhkan, namun kandungan LDL yang terlalu tinggi pada pembuluh darah dapat
menyebabkan penumpukan kolesterol pada arteri sehingga pembuluh darah tersumbat.
HDL berperan sebagai pengangkut kolesterol
kolesterol yang
menumpuk pada pembuluh darah dan membawanya kembali ke hati untuk didaur ulang atau diubah menjadi cairan empedu (Freeman, 2005). 2.3.2
Kolesterol pada Daging Sapi
Sumber utama kolesterol pada manusia berasal pada daging ternak.
Kandungan kolesterol pada daging sapi mentah dan yang telah dimasak secara
berturut turut dapat berkisar antara 57 101 mg/100g daging dan 43 84 mg/100g daging (Chizzolini, dkk., 1999). Faktor yang mempengaruhi kandungan kolesterol
pada daging sapi yaitu jenis kelamin, umur, kualitas karkas, tingkat marbling, ketebalan lemak subkutan, bangsa sapi, pemberian pakan, dan jenis potongan daging (Stromer, dkk., 1966; Rhee, dkk., 1982; Dinh,dkk., 2008).
Kandungan kolesterol pada daging olahan berkisar antara 23 mg/100g
daging sampai 144 mg/100g daging (Bragagnolo, 2009). Menurut United States Department of Agriculture National Nutrient Database for Standard Reference (2015) kandungan kolesterol pada dendeng sapi berkisar antara 12
48 mg/ 100g
dendeng sapi. Kandungan kolesterol yang bervariasi dapat disebabkan oleh bahan bahan yang digunakan, jenis daging yang digunakan, metode pemasakan, dan oksidasi kolesterol (Bragagnolo, 2009). Daging yang telah diolah dan dimasak
biasanya memiliki kandungan kolesterol yang lebih tinggi daripada daging mentah
16 karena hilangnya kelembaban sedangkan kolesterol tetap tertahan (Rhee, dkk., 1982; Kregel, dkk., 1986; Baggio dan Bragagnolo, 2006). Perpindahan kolesterol dari jaringan lemak ke jaringan otot juga merupakan penyebab kadar kolesterol yang lebih tinggi pada daging yang dimasak (Swize, dkk., 1992). 2.3.3
Oksidasi Kolesterol
Secara umum kolesterol memiliki struktur molekul yang stabil, namun
kolesterol juga memilik ikatan rangkap sehingga memungkinkan untuk mengalami oksidasi dan menghasilkan Cholesterol Oxidation Product (COP) atau produk oksidasi kolesterol. COP dapat diproduksi melalui berbagai mekanisme reaksi
seperti reaksi panas, reaksi kimia, fotosintesis, dan oksidasi enzimatis sehingga
kolesterol memproduksi isomer hidroksiperoksida (Ilustrasi 2). Mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung COP dapat mengakibatkan disfungsi metabolisme sehingga berpotensi membahayakan kesehatan.
COP memiliki efek biologis
negatif seperti aterogenik, mutagenik, dan karsinogenik (Kreps, dkk., 1981; Smith, 1981; Schroepfer, 2000; Brown dan Jessup., 2009; Otaegui-Arrazola, dkk., 2010). yang
Oksidasi kolesterol terjadi melalui mekanisme radikal bebas. Radikal bebas terbentuk
pertama
-hydroxycholest-5-en-
dan
HPC).
kali
yaitu
-hydroperoxide
-hydroxycholest-5-en-
atau
-hydroperoxide
pada
dekomposisi dan membentuk
membentuk
-Hidroperoksikolesterol
-HPC
-hydroxycholest-5-en-
(7-KC) serta cholest-5-en- , -diol atau
7,
-Hidroperoksikolesterol ( -HPC)
atau
Setelah pemanasan pada suhu 160ºC,
nomor
dan
-one
-HPC
( -
mengalami
atau 7-Ketokolesterol
-Hidroksikolesterol
( -HC) dan
17 cholest-5-en- , -diol atau
-Hidroksikolesterol
( -HC).
Pada suhu 170ºC
kolesterol akan membentuk 3, -cholesteryl ether atau Kristal Kolesterol Embolisi (CCE) (Smith, 1981)
Ilustrasi 2. Skema Pembentukan Produk Oksidasi Kolesterol (Smith, 1981) Daging mentah mengandung COP yang relatif rendah, namun kandungan
nya dapat meningkat setelah terpapar agen peroksida seperti cahaya (Vicente, dkk., 2012). Selama penyimpanan, kadar 7-KC pada daging mentah dan daging olahan
akan meningkat dan hal ini dipengaruhi juga oleh temperatur penyimpanan (Osada, dkk., 2000). Oksidasi kolesterol pada daging iris sangat rentan terjadi karena luas
permukan daging bertambah (Zanardi, dkk., 2002). Daging yang direndam juga menghasilkan 7-KC, namun kadarnya dapat dipengaruhi antioksidan yang terdapat pada larutan perendam (Chen, dkk., 2012).
18 2.4
Teh Hijau
2.4.1
Sejarah Teh
Pada tahun 1690, dokter dan botanis yang berasal dari Jerman, E. Kaempfer,
datang ke Jepang untuk mengobservasi kebiasaan meminum seduhan daun
dimasyarakat, yang selanjutnya menamakan daun tersebut sebagai Thea. Klasifikasi daun teh yang pertama dilakukan pada tahun 1752 oleh Linnaeus, dimana daun teh dikategorikan sebagai Thea bohea dan Thea sinensis. Pada tahun 1753, botanis terkenal bernama C.
daun teh dari Thea
sinensis menjadi Camellia sinensis sehingga menyebabkan adanya kerancuan
diantara kedua nama tersebut dan hingga akhirnya, pada tahun 1958, J.R. Sealy menyatakan bahwa semua jenis daun teh termasuk dalam genus Camellia. Berdasarkan C.
Kapoor, dkk., 2013): Kingdom
, taksonomi teh hijau adalah sebagai berikut (Hara, 2001;
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Ordo
: Ericales
Class
Family Genus
: Magnoliopsida : Theaceae
Species
: Camellia
: C. sinensis
Daun teh atau Camellia sinensis, diklasifikasikan menjadi dua varietas yaitu
var. sinensis dan var. assamica. Perbedaan kedua varietas daun teh terdapat pada
karakteristik daun dan habitat tumbuhnya. Camellia sinensis var. sinensis memiliki ciri
ciri sebagai tanaman tipe semak dengan pertumbuhan yang lambat, memiliki
daun yang kecil, bergerigi, sempit, dan berwarna hijau tua. Berbeda dengan
19 Camellia sinensis var. sinensis, Camellia sinensis var. assamica memiliki ciri ciri sebagai tanaman tipe pohon dengan pertumbuhan yang cepat, memiliki daun yang
besar, lebar, dan berwarna hijau muda. Camellia sinensis var. sinensis dapat bertahan hidup sampai suhu -12ºC, sedangkan Camellia sinensis var. assamica akan
mati pada suhu -4ºC dalam beberapa minggu, oleh karena itu var. sinensis biasanya
ditanam pada negara yang memiliki temperatur rendah sendangkan var. assamica ditanam pada negara tropis dan subtropis.
Kandungan polifenol pada kedua
varietas Camellia sinensis juga berbeda, var. assamica memiliki kadar polifenol lebih tinggi yaitu 17,26 % sedangkan var. sinensis 13,52% (Kapoor, dkk., 2013). 2.4.2
Pembuatan Teh Hijau
Daun teh biasanya dikonsumsi sebagai minuman seduhan dari daun teh
kering. Daun teh kering dibedakan menjadi teh putih, teh hijau, teh oolong, dan teh hitam berdasarkan proses pembuatannya (Lampiran 1).
Fermentasi pada
produksi teh mempunyai pengertian sebagai perombakan polifenol karena enzim
endogenus yaitu polifenol oksidase. Daun teh yang telah dipetik , dilapukan untuk mengurangi kelembaban daun teh.
Teh putih dihasilkan dari daun teh yang
dikeringkan tanpa ada perlakuan selanjutnya.
Teh hijau diproses dengan
menonaktifkan enzim polifenol oksidase, sehingga tidak terjadi fermentasi pada teh hijau.
Teh oolong dan teh hitam mendapatkan perlakuan mekanis untuk
memaksimalkan fermentasi daun teh.
Perbedaan proses pada pembuatan teh
menyebabkan perbedaan kandungan polifenol pada setiap produk teh (Hilal dan Engelhardt, 2007; Kapoor, dkk., 2013).
20 2.4.3
Polifenol Teh Hijau
Polifenol adalah hasil metabolisme pada tumbuhan yang mengandung
beberapa kelompok hidroksil fenolik (Giannasi, 1988).
Polifenol memiliki
berbagai macam subtipe dengan perbedaan pada struktur molekul dan
biosintesisnya, namun katekin dan proantosianidin merupakan polifenol yang
paling penting yang terdapat pada bahan pangan (Tanaka, dkk., 2013). Katekin dan proantosianidin biasanya terdapat berdampingan pada tumbuhan, namun pada buah
pisang hanya terdapat proantosianidin (Tanaka, dkk., 2000) dan pada daun teh hanya terdapat katekin (Hashimoto, dkk., 1992).
Ilustrasi 3. Struktur Molekul Katekin (Tanaka, dkk., 2013) Katekin (flavan-3-ol) pada daun teh memiliki 2 cincin aromatik yang
disebut A-ring dan B-ring (Ilustrasi 3) yang secara berturut turunan asam asetat dan asam shikimat.
turut berasal dari
Berdasarkan manfaat biologisnya,
kandungan polifenol terpenting pada teh hijau yaitu (-)-epigallokatekin-3-O-gallat (EGCG) (Lampiran 2), dan polifenol ini merupakan ciri khas dari daun teh karena
tidak ada tumbuhan lain yang memiliki kandungan EGCG lebih tinggi dari dauh teh. Kadar polifenol pada teh hijau yang ada di pasaran hampir sama seperti pada
daun teh, karena pada proses pembuatan teh hijau dilakukan pemanggangan diawal
21 proses untuk menginaktivasi enzim yang berhubungan dengan oksidasi polifenol. Kandungan polifenol pada teh hijau dijabarkan pada Tabel 1 (Tanaka, dkk., 2013). Tabel 1. Kandungan Polifenol pada Teh Hijau Senyawa
Kandungan (%) 9,95 11,94 16,67 31,08 21,70 49,84 76,93 85,53 2,56 6,71 2,69 4,48 4,35 8,83 0,14 0,68 1,06 10,83 27,70 42,32 0,91 1,78
Epikatekin Epikatekin-3-O-galat Epigalokatekin Epigalokatein-3-O-galat Katekin Galokatekin Galokatekin-3-O-galat Asam galat Theogalin Kafein Theobromin
Sumber: Tanaka, dkk., 2013
Kandungan polifenol tertinggi pada teh hijau yaitu epigalokatein-3-O-galat (EGCG) dimana kandungannya mencapai 76,93
85,53%. EGCG merupakan
polifenol yang memberikan kontribusi terbesar pada manfaat teh hijau terhadap kesehatan manusia (Mandel, dkk., 2004). 2.5
Akseptabilitas
Pengujian sensoris atau pengujian dengan indera disebut juga penilaian
akseptabilitas.
Uji sensoris meliputi beberapa teknik pengukuran respon
masyarakat kepada produk pangan dan meminimalisir kemungkinan efek bias pada identitas produk pangan sesuai dengan persepsi masyarakat. didefinisikan
sebagai
metode
ilmiah
untuk
membangkitkan,
Uji sensoris
mengukur,
menganalisis, dan menginterpretasikan responsi tersebut melalui penglihatan, penciuman, perabaan, pencicipan, dan pendengaran.
22 Preparasi sampel dan penyediaan sampel pada saat uji sensoris harus
dilakukan pada kondisi yang terkontrol sehingga faktor bias dapat diminimalisir. Kondisi yang terkontrol contohnya: memisahkan panelis pada saat uji sensoris agar
keputusan panelis tidak dipengaruhi panelis lainnya; sampel yang diuji dilabeli angka acak agar keputusan panelis tidak dipengaruhi urutan angka sampel; dan
sampel diberikan dengan urutan acak agar panelis tidak dapat menebak perlakuan yang diberikan pada sampel.
Uji sensoris merupakan metode ilmiah kuantitatif dimana data numerik
diperoleh untuk mengukur hubungan antara karakteristik produk dengan persepsi
masyarakat. Panelis diminta untuk memberikan respon dalam bentuk angka yang
mewakili persepsi panelis akan karakteristik suatu produk. Penelitian tentang sikap dan psikologi masyarakat dibutuhkan untuk menentukan skala angka yang digunakan sebagai respon panelis.
Proses selanjutnya dalam uji sensoris adalah menganalisis data. Data yang
diperoleh dari panelis biasanya memiliki variasi yang luas, dikarenakan banyak faktor dari panelis yang tidak dapat dikontrol, seperti: sensitivitas fisiologi panelis
terhadap stimulan sensoris, keadaan psikis panelis pada saat pelaksanaan pengujian,
dan pengetahuan panelis terhadap produk. Model analisis statistik digunakan untuk mengetahui hubungan antara respon panelis dan karakteristik produk tanpa dipengaruhi oleh faktor
faktor internal panelis yang tidak dapat dikontrol
(Lawless dan Heymann, 2010)
Menurut Soekarto (1985), pelaksanaan uji sensoris atau organoleptik
membutuhkan panel yang bertindak sebagai instrumen atau alat. Alat ini terdiri
dari orang atau kelompok, orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Ada
23 6 macam panel yang biasa digunakan dalam penilaian organoleptik, yaitu sebagai berikut: 1.
Panel pencicip perorangan (individual expert), disebut juga pencicip tradisional. Pencicip perorangan ini mempunyai kepekaan yang sangat tinggi, jauh melebih kepekaan rata
rata manusia. Keistimewaan seorang
pencicip ini adalah dalam waktu singkat dapat menilai suatu hasil dengan tepat bahkan dapat menilai pengaruh dari macam
macam perlakuan,
misalnya bahan asal, atau macam macam cara pengolahan. Hanya dengan pencicipan atau pembauan, pencicip ini dapat segera mengenal adanya
penyimpangan rasa dari suatu makanan dan dapat segera membuat koreksi 2.
yang diperlukan.
Panel pencicip terbatas (small expert panel), penggunaan panel pencicip terbatas dapat sangat mengurangi faktor bias dalam menlai rasa suatu
komoditi. Panel pencicip terbatas dapat bertindak misalnya sebagai alat analisis dalam pemilihan faktor
faktor tertentu tentang rasa serta dalam
menentukan pengaruh bahan dan pengaruh cara pengolahan terhadap hasil 3.
akhir.
Panel terlatih (trained panel), anggota panel terlatih lebih besar daripada panel pencicip terbatas, yaitu antara 15-25 orang. Panel terlatih berfungsi sebagai alat analisis dan pengujian yang dilakukan terbatas pada
4.
kemampuan membedakan produk.
Panel tak terlatih (untrained panel), panel tak terlatih umumnya untuk menguji kesukaan.
Pemilihan anggota panel tak terlatih lebih
mengutamakan segi sosial seperti latar belakang pendidikan, asal daerah, atau kelas ekonomi dalam masyarakat.
24 5.
Panel agak terlatih (semi-trained panel), termasuk dalam kategori panel
agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa atau staf peneliti. Panelis untuk panel agak terlatih jumlahnya terletak di antara panelis terlatih dan panelis tidak terlatih. Jumlah itu berkisar antara 15
6.
25 orang. Semakin kurang
terlatih, semakin besar jumlah panelis yang diperlukan.
Panel konsumen (consumer panel), panel ini biasanya mempunyai anggota yang besar jumlahnya, dari 30
1000 orang.
Pengujiannya biasanya
mengenai uji kesukaan dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji dapat digunakan untuk menentukan apakah suata produk dapat diterima oleh masyarakat.