HUKUM SEBAGAI SIMBOL IDEALISME * lamin Ginting, SH, MH
Abstract Legality can be referred to "Rule of Law", which is the restricted fficial power of the principles of the ciail order. When there are principles, then there is no power, including the majority of democrats who are immune to criticism, or are totally free to follow their own desires.Legality obliges a restricted enuironment, faces trials, pays attention to standards and fulfills goals. Legality is mainly related utith how politics and regulations are performed and applied tnithout taking into consideratign
its contents.
1.
PENDAHULUAN Suatu sistem hukum diketahui karena adanya aturan-aturan yangbersifat
otoritatif maka dengan demikian Hart mengemukakan bahwa dalam melangkah "dari dunia pra hukum ke dunia hukum" suatu masyarakat mengembangkan aturan-aturan khusus untuk memperbaiki kekurangankekurangan dari suatu tata masyarakat yang didasarkan atas norma-norma tidak resmi (Hart :1964). Suatu rezim dari norma-norma yang tidak resmi memiliki sejumlah limitasi yang inheren, termasuk kesulitan untuk mengatasi ketidak tentuan mengenai eksistensi atau luas lingkup dari suatu norma. Dalam suatu tatanan pra hukum tidak ada kriteria atau prosedur untuk memecahkan isu-isu ini. Yang secara jelas hukum timbul dengan perkembangan dari "aturan-aturan sekunde{', yaitu aturan-aturan yang ditentukan secara otoriter. Aturan-aturan ini yang diterapkan secara selektif, meningkatkan norma-norma yang tidak resmi dan memberikan kepadanya status hukum. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu " atutanadalah sesuatu yang lebih daripada suatu keteraturan yang tampak pada tingkah laku, juga lebih daripada suatu ketentuan sosial atau norma". Suatu aturan adalah suatu jenis khusus dari norma-sutu jenis yang memiliki jaminan tentang kesahihan (Hart, 196L:91) Oleh karena itu suatu aturan cendrung bersifat -
Lulusan Magister Hukum Uniaersitas Pelita Harapan
VoL 5, No.2, Agustus 2002
17
formal, jelas, dan diinstitusikan secara sengaja. Aturan dapat dikatakan bersifat resmi. Jadi tugas hukum adalah untuk mengidentifikasikan tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban yang pantas diberi kesahihan resmi dan ditegakkan
atau diberlakukan. Apabila muncul institusi-institusi untuk melakukan pekerjaan ini, maka kita dapatlah berbicara tentang suatu tata hukum. Lrstitusi-institusi ini tidak perlu dikhususkan Istitusi-institusi tersebut tidak perlu memiliki sumber-sumber untuk menegakkannya secara paksaan. Yang sangat penting adalah bahwa keputusan-keputusannya mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban diterima sebagai otoritatif.
2.
PERMASALAHAN ANTARA IDEALISME HUKUM DAN NEGARA
Weber setuju setuju bahwa tidak setiap tata hukum normatif adalah suatu tata hukum. Ap, yang jelas hukum muncul apabila "terdapat suatu aparatur (sarana) yang memaksa",bahwa ada satu orang atau lebih yang mempunyai tugas khusus untuk selalu siap menerapkan cara-carapemaksaan (pemaksaan hukum) yang diadakan secara khusus dengan tujuan khusus untuk penegakan
norma" (Weber, 1,967). Suatu norma hukum ditandai oleh adanya kemungkinan, bahwa norma tersebut akan ditegakkan oleh suatu staf yang dikhususkan. Tentu saja pemaksaaan merupakan suatu sumber yang penting dan sering kali sangat diperlukan bagi hukum. Namun, demikian juga halnya dengan pendidikan, sibolisme, dan dorongan untuk menggunakan nalar. Pemaksaan tidak membuat hukum, meskipun pemaksaan memang dapat membentuk suatu tatanan, dari mana dapat muncul hukum. Dalam penggunaan pemaksaan secara otoritatif, apakah oleh badan-badan swasta atau oleh badan-badan umum, maka unsur hukumnya bukanlah pemaksaan itu sendiri, melainkan digunakannya otoritas. Masalah ini sangat besar pengaruhnya atas pembedaan antara hukum dan negara. Kita mengasosiasikan negara dengan pemaksaan, oleh karena ia adalah negara/ komunitas politik yang diorganisasikan, yar.g tanggungjawab utamanya adalah mempertahankan tata tertib umum. Apakah pemaksaan yang digunakan untuk tujuan itu adalah sah menurut hukum selalu merupakan suatu pertanyaan terbuka. Kita harus melihat hukum sebagai bagian penting
18
Vol. 5, No.2, Agustus 2002
di dalam semua institusi yang untuk kontrol sosialnya bergantung kepada otoritas formai dan pembuatan aturan-aturan.
3.
NILAI HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL
Apabila hukum dilihat sebagai suatu keharusan yang fungsional, maka fokusnya cendrung pada tata tertib dan kontrol. Hukum dipanggil oleh kaedah-kaedah gawat elementer : jugaperdamaian, menyelesaikan pertikaian, berantas penyelewengan. Otoritas akan dapat diterima, dan dibebaskan dari dosanya karena sifatnya yang memaksakan, apabila ia mampu pntuk meciptakan ketenangan, memungkinkan tindakan kerjasama, dan menjunjung tinggi adat, apapun bentuknya. Hal ini dapat dinamakan pandangan minimalis tentang apa itu hukum dan apa yang dikerjakan oleh hukum. Untuknya, "keadilan" bukanlah suatu simbol yang memaksa dan secara eksterm malahan dapat dicemohkan sebagai pelarian bagi orang-orang yang sangat bigung. Kita harus mengentahui bahwa tata tertib dan kontrol merupakan semacam nilai. Yang jelas adalah bahwa kedua hal tersebut merupakan "bendabenda yang dihargai" dan akan memenuhi hampir setiap definisi minimum mengenai nilai, seperti misalnya "obyek dari setiap kepentingan". Akan tetapi, tata tertib dan kontrol merupakan nilai dalam arti lemah. Mereka sendiri tidak dapat mendukung suatu identitas perorangan atau kelompok. Mereka tidak dapat dengan mudah berfungsi sebagai wahanah loyalitas dan komitmen. Alternatifnya adalah untuk memikirkan hukum sebagai mengistitusikan semacam tata tertib dan semacam kontrol sosial, Pendekatan ini menunut lebih banyak dari suatu sistem hukum dan menghalalkan suatu perngertian tentang nilai yang lebih kaya. Konstribusi dari hukum kepada tata tertib tidak hilang, namun muncullah suatu perhatian yang lebih besar kepada suatu kesinambungan dari cara dan tujuan. Di mana terdapat kesetiaan kepada hukum, maka tata tertib tidak akan harus diusahakan dengan cara apa pun. Malahan dapat dikatakan, bahwa hukum menetapkanbatas-batas pada kontrol sosial. Misalnya, komitmen dari polisi kepada apayar.g sah menurut hukum sampai suafu batas tertentu selalu akan merupakan suatu pembatasan atas cara-cara yang dapat mereka gunakan untuk mencegah kejahatan dan unfuk menangkap penjahat-penjahat. Semakin besar kesadaran diri mengenai hukum, dan semakin banyak hukum dilihat sebagai cara untuk membela hak-
Vol. 5, No.2, Agustus 2002
t9
hak, maka semakin jelaslah akan nampak ketegangan antara hukum dan tata tertib.
4.
IDEAL LEGALITAS
Hasrat untuk menciptakan suatu tata tertib hukum, pada dasarnya merupakan suatu hasrat yang praktis. Dari sebagai pandangan yang memerintah, kekuasaan dibuat lebih pasti dan aman apabila sifatnya sah menurut hukum; dari segi padangan yang diperintah ketakutan akan penindasan dikurangi. ladi, legalisasi berakar di dalam problerpa-problema dari kehidupan bersama. Legalisasi bukanlah suatu ekspresi dari idealisme sosial, di dalam bentuknya yang primitif. Lagi pula adalah jelas bahwa komunitas-komunitas bertahan dan malahan berkembang, tanpa terlalu ;'auh menuju kepada legalisasi. Kita tidak beranggapan bahwa nilai-nilai yar.g diasosiasikan dengan hukum bagaimanapun juga harus direalisasikan. Nilainilai lain, misalnya nilai keagamaan atau nilai estetika, mungkin dapat menggabarkan suatu dunia yang lebih menarik. Legalitas dapat diartikan sebagai "r'ule of law" yaitu pembatasan kekuasaan resmi oleh prinsip-prinsip rasional dari tata tertib kewarganegaraan (cioic order), dimana ideal itu ada, maka tidak ada kekuasaaan, termasuk mayoritas demokratis, yang kebal terhadap kritik, atau sama sekalibebas untuk mengikuti kemauannya sendiri. Legalitas mewajibkan suatu lingkungan yang membatasi, ujian-ujian yang harus dilalui, standar-standar yang harus diindahkan, ideal-ideal yang harus dipenuhi. Legalitas terutama berhubungan dengan bagaimana politik dan aturan-aturan dibuat dan diterapkan, dan kurang memikirkan tentang isinya. Ada saat-saat di mana ideal dari legalitas menentukan isi dari suatu afuran hukum atau doktrin hukum. Hal ini terjadi, bilamana tujuan dari aturan adalah justru untuk memenuhi ideal itu, ilustrasi yang paling jelas adalah terincinya aturan-aturan prosedural untuk pembelaan dan pembuktian. Hal lain, prinsip-prinsip penafsiran menurut undang-undang, termasuk banyak dari hukum tatanegara, secara langsung melayani tujuan untuk menciptakan dan mendukung "negatahukum". Beberapa dari aturan ini "hanya" bersifat prosedural, yang dipilih karena diperlukan suatu upayayangdengan mudah dapat digantikan oleh suatu prosedur lain. Aturan-aturan lain adalah vital
20
Vol. 5, No.2, Agustus 2002
untuk melindungi justru hak-hak substantif yang seharusnya dilindungi oleh ideal dari legalitas itu. Di dalamnya tercakup terutama semua yangkita sebut hak-hak kewarganegaraant hak-hak dari negara penuh dan untuk bebas dari kekuasaan resmi yar.g menindas dan yang sewenang-wenang. Sekali lagi, bukanlah tujuan dari ideal ini untuk melindungi individu terhadap semua kekuasaan, melainkan hanya terhadap peyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang tindakan-tindakannya berwarna otoriter. Ada 4 konskuensi apabila kesewenang-wenangan adalah sentral dari legalitas :
4.1, Legalitas Adalah Suatu Hasil Yang Variabel Suatu tata tertib hukum yang telah berkembang adalah produk dari usaha yang terus-menerus dan menempatkan nilai-nilai yang selalu dipenuhi secara tidak semPurna. Satu topik penting dalam sosilogi hukum adalah studi tentang kondisi-kondisi empiris yang mengurangi atau memperbesar unsur kesewenang-wenangan di dalam pembuatan atau penerapan aturan-aturan. Misalnya, studi-studi tentang kebijaksanaan polisi untuk mengungkapkan sumber-sumber sistematis dari keputusan-keputusan, sewenang-wenang di dalam penanganan anak-anak: "pembinaan" dilihat sebagai suatu penutup
bagi kontrol yang tidak disupervisi: visibiltias yang rendah dari keputusankeputusan di dalam banda-badan administratif cendrung untuk mendorong kebijakan yang tujuannya membantu diri sendiri. Kebijakan adalah sewenangwenang apabila sifatnya angin-anginan, atau didorong oleh kriteria-kriteria yang tidak ada hubungannya dengan cara-cara atau tujuan-tujuan yang sah menurut hukum. "Keadilan formal" menyamakan pihak-pihak dan membuat bahwa keputusan-keputusannya dapat diramalkan sebelumnya; oleh karenanya hal ifu merupakan suafu sumbangan yangbesar bagi pembatasan atauran yang sewenangwenang. Menuruti preseden secara ketat dan penerapan afuran-afuran secara mekanis akan menghambat kemampuan sistem hukum unfuk memperhatikan kepentingan-kepentingan diri dengan ketidaksamaan sosial. Keadilan formal cenderung untuk melgabdi kepada status quo. Oleh karena itu keadilan formal dapatdirasakansebagaisewenang-wenangolehmerekayangkepentingannyatidak
terlalu jelas dilihat, atau mereka yang benar-benar diluar "sistem".
Vol. 5, No. 2, Agustus 2002
2t
Atribut-atribut formal dari kesamaan atau kepastian dapat bertentangan dengan kelangsungan kebudayaan dan organisasi sosial. Salah seorang yang mempelajari peranan dari hukum Inggris di India telah mengemukakan : Hukum adat dilaksanakanberdasar landasan kesamaan dimuka hukum, sedang penyelesaian pertikaian pribumi tidak dapat memikirkan untuk memisahkan pihak-pihak dari status mereka dan hubungan-hubungan mereka. Hukum adat memberikan keputusan yagn sifatnya "semua atau tidak sama sekali", sedang proses pribumi mencari suatu penyelesaian yang mencegah
kehilangan muka yang disukai oleh semua pihak; hukum adat hanya berhadapan dengan satu kejahatan atau transaksi yangtunggal dan terisolasi, yang oleh sistem pribumi dipandang secara sewenang-wenang tidak memasukkan pertikaian yang menjadi dasar, dari hal mana yang tunggal itu hanya mungkin merupakan satu aspek saja; hukum adat memPunyai aturanaturan pembuktian yang nampaknya sewenang-wenang, yang tidak mengizinkan apa yang telah diketahui untuk dibuktikan sedang apa yang tidak diketahui dapat dibuktikan; jadi, hukum adat nampkanya ketus, terlalu menentukah jauh, mahal, dan sewenang-wenang. (Galenter, 1964:25)
Konsep legalitas sifatnya lebih kritis daripada ingin disanjung. Mengatakan bahwa legaltias adalah suatu hasil yang variabel berarti memberikan peluang bagi kesimpulan bahwa setiap saat, sistem hukum positip dapat merupakan "ketidakadilan yang membeku " (Zinn, 19 68:4).
4.2
Legalitas Melitputi Baik Administrasi Maupun Ajudikasi
Dimanapun terdapat prilaku resmi, kemungkinan adanya keputusan yang sewenang-wenang muncul. Perilakunya mungkin jauh sekali dari pembuatan aturan atau ajudikasi (pemberian keputusan), paling tidak dalam jiwa atau tujuan. Dalam memberi keputusan, apakah hal itu dilakukan oleh suatu badan adminisrataif atau hanya suatu peradilan, terdapat suatu usaha untuk menerapkan aturan-aturan yang logis yang kalau tidak secara historis, sudah ada sebelum perkara yang sedang ditangani. Aturan tersebut bukan ataran yang dibuat, khusus untuk kebutuhan-kebutuhan dan keadaan-keadaan seorang penggugat atau terdakwa tertentu, dengan gagasan untuk memperoleh suatu hasil tertentu. Aturan yang sama diperlakukan terhadap
22
Vol. 5, No. 2, Agustus 2002
setiap anggota dari suatu kelas kasus-kasus yang dirumuskan secara hukum. Suatu kasus tertentu tidak dapat ditangai, tanpa risiko kepada legalitas, kecuali kalau ia termasuk satu kategori dan kalau ia dapat diklasifikasikan sedemikian rupa, sehingga sebuah aturan umum, yang dapat diterapkan pada seluruh kelas dari kasus-kasus dapat dipergunakan. Penerapan aturan-aturan umum tidak mencegah untuk "melunakkan peradilan dengan ampun" memberikan perhatian kepada kekuatan-kekuatan khusus atau kelemahan-kelemahan khusus, atau setiap usaha-usaha lain untuk menyesuaikan administrasi dari peradilan kepada keadaan-keadaan aktual dimuka pengadilan atau tribunal administratif. Dalam prinsip, ini hanya merupakan suatu urusan untuk mengkhususkan secara lebih tepat kAtegori dalam mana kasus itu masuk, sering misalnya, bahwa suatu kontrak yang dibuat oleh orang yang belum dewasa dapat dibatalkan, akan tetapi bahwa pemerkayaan secara tidak adil tidak akan diizinkan. Satu-satunya kriteria yang penting adalah : Apakah seorang pencari keadilan lain di dalam keadaankeadaan yang sama akan diadili menurut kriteria yarrg sama ?
Prinsipnya "kebijakan" adalah konsisten dengan rule of law apabila kebijakan tersebut tetap bersifat peradilan secara hakiki dan tidak administratif dan pilihan adalah suatu jenis yang khusus. Administrasi dapat dikontrol dengan hukum, namun tepatnya yang khusus di dalam pembagian kerja adalah
untuk mengusahakan agar pekerjaan masyarakat dilaksanakan dan bukan untuk merealisasikan ideal-ideal tentang legalitas. Pemberian keputusan juga mengusahakan agar pekerja dilaksanakan, dalam penyelesaian pertikaianpertikaian, namun hal ini adalah sekunder, dan bukan primer. Fungsi primer dari pemberian keputusan adalah untuk menemukan bagian-bagian hukum dalam suatu situasi tertentu. Hal ini adalah jauh sekali dari memanipulasi situasi untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Garis pemikiran ini mengemukakan bahwa administrasi, bahkan juga didalam suatu tata tertib hukum yang telah berkembang, dibedakan dari pemberian keputusan oleh suatu komitmen yang lebih lemah kepada ideal dari legalitas. Namun, tidaklah berarti dengan sedirinya bahwa legalitas adalah asing bagi etos administrasi. Relevansinya nampak dalam dua cara, Pertama, ada suatu komitmen bersama kepada pembuatan keputusan yang objektif dan impersonal. Kedua, administrasi dapatberisikan di dalam dirinya mesin-mesin yang menyamai ajudikasi, apabila ada hak-hak yang terkena.
Vol. 5, No.2, Agustus 2002
)a
Universalisme adalah sama pentingnyabagiadminitrasi seperti halnya bagi pemberian keputusan. Universalisme hanya minta agar kriteria keputusan mengatasi kepentingan-kepentingan khusus dari orang-orang atau kelompokkelompok. Situasi-situasi dapat ditangani sesuai dengan persyaratanpersyaratan yang khusus, dan hasil-hasil yang khas dapat dicapai, namun integritas suatu keputusan resmi akan tetap dipertahankan selama masih terdapat suatu hubungan objektif antara jalannya pembuatan keputusan dengan persyaratan-persyaratan tujuan institusional.
4.g
Legalitas Berlaku Baik Terhadap Partisipasi Umum Maupun Perilaku Pejabat-pejabat
Apabila legalitas bermaksud untuk membuat sekecil mungkin unsur kesewenang-wenangan di dalam hukum, maka partisipasi umum sendiri harus juga tunduk kepada penelaahan dan.kritik. Hukum Positip adalah produk baik dari kemauan, maupun nalar; campuran ini sifatnya variabel dan tidak stabil. Meskipun hukum positif tidak mungkin hanya merupakan suatu ekspresi dari kekuasaan sosial, namun ia juga tidak bebas dari unsur ini. Tindakan dari suatu badan legislatif dapat sesuai dengan standar-standar prosedural, namun tetap mengandung unsur kesewenang-wenangan yang kuat. Beberapa undang-undang dinyatakan berlaku di bawah tekanan dari kepentingan-kepenti.gar, tertentu, atau di dalam suasana panik, kebingungan, atau ketidaknalaran. Dan kualitas dari keputusan oleh mayaroritas rakyat dapat dicemari dan dirusak dalam kondisi-kondisi kebingaran kolektif, simbolisme yang tidak penting, atau salah pengertian. Legalitas mengakui unsur kesewenangan-wenangan dalam hukum, dan malahan melindungi beberapa dari unsur-unsur ini, seperti hak dari pemberi keputusan yang sah unfuk menang sementara waktu, meskipun ia bertindak atas kekuasaan atau sembarangan. Rakyat pada umunrnya memberikan sumbangan kepada legalitas, tidak hanya melalui kualitas pembuatan keputusan yang demokratis, tetapi juga sepanjang ia memiliki kopentensi dan mengakui tugasnya untuk mengkritik otoritas.
Legalitis tidak memerlukan alat pembuatan keputusan
secara
demokratis. Namun, legalitas mensyaratkan bahwa peserta rakyat harus
24
Vol. 5, No. 2, Agustus 2002
diperlakukan sebagai seorang "manusia hukum", suatu mahkluk yang mengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan yang mengandung praduga tentang adanya kompetensi serta kesempatan yang dijamin untuk datang ke tribunal-tribunal yang terikat kepada penilaian secara tidak memihak atas pembuktian dan keterangan.
4.4
Legalitas Adalah Suatu Ideal Yang Afirmatif (Memihak)
Rule of Law merupakan suatu ideal yang praktis, yang artinya bahwa untuk sebagian iaberlandaskan pada premis-premis yang pesimistis mengenai sifat manusia dan masyarakat. "Pemerintahan yang.bebas", tulis Thomas Jefferson,: " Didasarknn pada iri hati, dan tidak pada kepercayaan, adalah rasa iri hati, dan bukan kepercayaan, yang menentukan konstitusi-konstitusi yang terbatas, untuk mengikat mereka yang harus kita percayai dengan kekuasaan ... jadi, dnlam pertanyaan-pertanyaan mengenai kekuasaan, janganlah terdengar lagi tentang kepercayaan pada manusia, tetapi ikatlah dia agar tidak dapat berbuat buruk dengan r antai-rantai dari konstitusi." (Warfield, 1,887 : 157-158).
Asumsinya adalah bahwa tidak ada manusia, tidak ada kelompok manusia, yang dapat dipercayai dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Tidak ada jumlah kearifan atau kemauan baik yang dapat membenarkan suatu pemindahan dari kekuasaan yang tidak terbatas kepada manusia yangbiasa. . Pandangan ini tidak mengharuskan adanya kepercayaant bahwa tiap manusia yang diberi kesempatan akan menyalahgunakan kekuasaan; namun, sebenarnya premisnya adalah bahwa terdapat suatu risiko memadai untuk penyalahgunaan demikian untuk melarang ketergantungan atas idealisme dan kemauanbaik dari manusia-manusia dalam otoritas. Pesimisme ]efferson juga tidak harus menolak bahwa kekuasaan dan otoritas dapat mengagungkan, dan memanggil manusia biasa untuk mencapai ketinggian politik dan moral.
Legalitas dimulai sebagai suatu prinsip pembatasan, akan tatapi ia menjanjikan lebih banyak daripada suatu cara untuk mengurangi penggunaan kekuasaan. "Reduksi progresif dari kesewenang-wenangan" tidak mengenal tempat pemberhenlian yang dekat. Semakin dekat kita melihat kepada proses itu, semakin banyak kita menyadari bahwa ia memerlukan suatu pandangan yang afirmatif tentang apa artinyaberpartisipasi dalam suatu tata tertib hukum,
Vol. 5, No.2, Agustus 2002
25
apakah sebagai warga negara, hakim, atau eksekutif. Di dalam konotasinya yang paling kaya,legalitas mengembangkan pandangan yunani tentang suatu tata sosial yang dilandasi oleh nalar,yang prinsip utamanya adalah keadilan (]aeger,1947).
5.
KESIMPULAN
Menyamakan hukum dengan negara akan membuat analisis sosilogis menjadi miskin, sebab konsep hukum harus selalu ada untuk keperluan studi dari setiap tatanan dalam mana perilaku manusia diatur oleh, pembuatan aturan secara tegas. ' Idealisme Legalistas tidak diartikan untuk melindungi individu terhadap semua kekuasaan, tetapi melindungi individu dari tindakan-tindakan kekuasaan yang berwarna otoriter. Legalitas mensyaratkan bahwa rakyat harus diperlakukan sebagai "manusia hukum", suatu mahluk yang mengemban hakhak dan kewaj iban-kewajib an dan yang mengandung praduga tentan g adany a kompetensi serta kesempatan yang dijamin untuk datang ke tribunal-tribunal (pengadilan) yang terikat kepada penilaian secara tidak memihak atas pembuktian dan keterangan. Legalitas dimulai sebagai suatu prinsip pembatasan, akan tetapi ia menjanjikan lebih banyak daripada suatu cara untuk mengurangi penggunaan kekuasaan.
Unsur inti dalam rule of law adalah pembatasan kekuasaan resmi oleh prinsip-prinsip rasional dari tata tertib kewarganegaraan (ciaic order). Di mana ideal ini ada, maka tidak ada kekuasaan, termasuk mayoritas demokratis, yang kebal terhadap kritik, atau sama sekali bebas untuk mengikuti kemauannya sendiri, bagaimanapun baiknya kemauan tersebut dimaksudkan.
26
Vol. 5, No. 2, Agustus 2002
DAFTAR PUSTAKA
1.
Barker, Ernest, 1,948. The Politics of Aristotles. London, Oxford University Press.
2.
Fuller, Lon L., 1964. The Moratity of Law. Yale University Press.
3.
Galanter, Marc, 1964. Hindu Law and the Development of the Modern Indian Legal System, paper. Chicago: American Political Science Associaton Hart, H.L.A., 1961,. The Concept of Law. Oxford University Press.
4.
Jaeger, Werner, 1947. Praise of Law, in Paul Sayre (ed.). Interpretations of Modern Legal Philosoph er. New York, Oxford University Press.
5.
Peters, A.A.G.
& Koesriani Siswosoebroto, 1,990. Hukum dan
Perkembangan Sosial. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
6.
Soekanto, Soerjono, 1994. Pokok-pokok Sosilogi Hukum. ]akarta, Raja Grafindo Persada.
Vol. 5, No.2, Agustus 2002
27