1
”PENDIDIKAN NONFORMAL SEBAGAI SARANA MOBILITAS SOSIAL (Artikel 19) Oleh: Subi Sudarto
1. Latar belakang Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa pendidikan di Indonesia dapat diselenggarakan melalui tiga jalur, yaitu formal, nonformal, dan informal. Jalur pendidikan nonformal mempunyai kedudukan yang sama dengan pendidikan formal dalam memberikan layanan pendidikan kepada semua anak bangsa. Pendidikan Nonformal dan Informal juga memiliki peluang untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang terus berkembang yang tidak dapat dipenuhi oleh pendidikan formal. Dalam Undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pelengkap, penambah, pengganti dan penunjang pendidikan formal. Oleh karena itu harus dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan dan memperluas akses pendidikan, meningkatkan kualitas pendidikan dan tata kelola penyelenggaraannya yang transparan dan akuntabel sehingga mampu mewujudkan pendidikan yang berbasis masyarakat untuk mencapai masyarakat pembelajar sepanjang hayat (lifelong learning and education). Pendidikan nonformal dan informal memiliki karakter sukarela, proses pembelajaran yang fleksibel, partisipasi aktif peserta didik dan pertukaran pemikiran antar peserta didik dan pendidik. Karena itu dalam konteks sistem pendidikan nasional, keluarga yang merupakan tempat berlangsungnya pendidikan informal, sekolah sebagai tempat pendidikan formal, dan masyarakat dalam kaitan dengan pendidikan nonformal; merupakan komponen sistem pendidikan. Bentuk formal biasa kita kenal sebagai pendidikan yang berstruktur dan berprogram, sedangkan bentuk nonformal biasanya singkat waktunya dan tujuannya untuk memperoleh bentuk-bentuk pengetahuan atau keterampilan tertentu yang langsung dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya. Bentuk pendidikan informal tidak mengenal jangka waktu tertentu serta tidak berstruktur, dan terjadi seumur hidup karena melibatkan proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat. Ketiga jenis pendidikan dimaksud digabung menjadi dua bagian,
2
yaitu pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan luar sekolah (PLS) yang mencakup pendidikan informal dan nonformal.
2. Konsep Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal berbicara dan berbuat dari segi realita hidup masyarakat. Perhatiannya lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu terwujudnya proses pembelajaran di masyarakat. Dalam konteks ini orientasi pendidikan nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan di lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat untuk memecahkannya sehingga masyarakat dapat memperbaiki hakikat dan harkat hidupnya. Dengan demikian pendidikan nonformal merupakan bagian dari relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peransertanya dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang membedakan dari jalur pendidikan yang lain. Hal itu sesuai dengan visi pendidikan nonformal yang mencanangkan terwujudnya warga masyarakat cerdas, terampil, mandiri, berdaya saing, dan gemar belajar. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkanlah misi pendidikan nonformal, yaitu: Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan, Konsep, Kiat, dan Pelaksanaan, sebagai berikut: (a) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini; (b) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dasar luar sekolah; (c) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan masyarakat; (d) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan bagi perempuan. Pendidikan nonformal mempunyai fungsi membelajarkan individu atau kelompok agar mampu memberdayakan dan mengembangkan dirinya sehingga mampu beradaptasi terhadap perubahan/perkembangan zaman. Berdasarkan fungsi tersebut pendidikan nonformal dapat melayani kebutuhan pendidikan suplemen, pendidikan komplemen, pendidikan kompensasi, pendidikan substitusi, pendidikan alternatif, pendidikan pengayaan, pendidikan pemutakhiran (updating), pendidikan/pelatihan keterampilan, pendidikan penyesuaian, dan pendidikan pembibitan. Secara rinci fungsi pendidikan nonformal dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.
Pendidikan suplemen: kesempatan untuk menambah/meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tertentu di luar pendidikan sekolah/formal;
2.
Pendidikan komplemen: kesempatan untuk menambah/melengkapi pendidikan sekolah/formal;
3
3.
Pendidikan kompensasi/pengganti: kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi yang tidak pernah mengalami pendidikan di sekolah;
4.
Pendidikan substitusi: kesempatan untuk belajar pada jenjang pendidikan tertentu berhubung belum adanya pendidikan sekolah di sekitar tempat tinggal;
5.
Pendidikan alternatif: kesempatan untuk memilih jalur pendidikan nonformal sehubungan dengan peluang atau waktu yang dimiliki;
6.
Pendidikan pengayaan/penguatan: kesempatan untuk memperkaya/memperluas/ meningkatkan kemampuan yang diperoleh dari pendidikan sekolah/formal;
7.
Pendidikan pemutakhiran/updating: kesempatan untuk memutakhirkan atau meremajakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki;
8.
Pendidikan pembentukan keterampilan: kesempatan untuk memperoleh keterampilan baru di samping keterampilan yang telah dimiliki;
9.
Pendidikan penyesuaian: kesempatan untuk memperoleh pendidikan penyesuaian diri sehubungan adanya mobilitas teritorial, pekerjaan, dan perubahan sosial;
10. Pendidikan pembibitan: kesempatan untuk memperoleh pendidikan atau latihan keterampilan tertentu melalui proses belajar bersama. Secara operasional, pendidikan nonformal mempunyai tujuan institusional yang memungkinkan warga masyarakat memiliki: 1. kesempatan mengembangkan kepribadian dan mengaktualisasikan diri; 2. kemampuan menghadapi tantangan hidup baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat; 3. kemampuan membina keluarga sejahtera untuk memajukan kesejahteraan umum; 4. kemampuan wawasan yang luas tentang hak dan kewajiban sebagai warga segara; 5. kemampuan
kesadaran
berbangsa,
bernegara,
dan
bermasyarakat
dalam
rangka
pembangunan manusia dan masyarakat; 6. kemampuan menciptakan atau membantu menciptakan lapangan kerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Keenam tujuan institusional tersebut menegaskan bahwa pendidikan nonformal berusaha mengembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang terhadap kecerdasan, sikap, kreativitas, dan keterampilan dalam upaya meningkatkan mutu dan taraf hidup baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
4
Pendidikan nonformal sebagai salah satu jalur pendidikan di samping pendidikan formal (pendidikan di sekolah) dan pendidikan informal (pendidikan di keluarga), mempunyai satuan satuan pendidikan yang beragam. Jalur pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Fungsi pendidikan nonformal mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Secara substansial pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 UU No.20 Tahun 2003).
3. Mengapa Pendidikan nonformal itu Penting? Pergeseran paradigma pendidikan ini secara eksplisit tertuang di dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan pada Pasal 4 ayat (2) bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Dalam ayat (3) ditetapkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Selanjutnya dalam ayat (6) ditetapkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Untuk keperluan itu diperlukan adanya informasi tentang kategori dan indikator mutu yang berlaku untuk program pendidikan semua jalur sebagai bagian dari program belajar sepanjang
hayat.
Urgensi
berkembangnya
pendidikan
dan
belajar
sepanjang
hayat
dilatarbelakangi oleh kondisi nyata (real conditions) bangsa-bangsa di dunia yang dihadapkan pada kian banyaknya pengangguran, bertambahnya penduduk miskin, melemahnya standar kehidupan dalam populasi penduduk dunia yang makin bertambah, makin tajamnya jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan sebagainya. Kondisi tersebut menjadi inspirasi kunci (key inspiration) bagi berkembangnya belajar sepanjang hayat melalui pengembangan potensi manusia (the development of human potential).
5
Belajar sepanjang hayat memberikan kesempatan belajar secara wajar dan luas kepada setiap orang sesuai dengan perbedaan minat, usia, dan kebutuhan belajar masing-masing. Kesempatan ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk belajar seperti programprogram kegiatan belajar kelompok (group learning), kegiatan belajar perorangan (individual learning), dan kegiatan belajar melalui media massa. Kegiatan belajar tersebut dapat dilakukan di berbagai tempat yaitu di tempat kerja, rumah ibadat, rumah tinggal; gedung perkumpulan, sekolah, tempat bermain, lapangan olah raga, gelanggang remaja/pemuda, majelis ta'lim, padepokan, perpustakaan, pusat-pusat pembelajaran, panti dan lain sebagainya. Berbagai bentuk kegiatan pendidikan nonformal ditemukan sekarang sebagai modes of learning dan kegiatan itu telah berlangsung setua peradaban manusia antara lain: “adult education, recurrent education, life-long education and learning, non-formal education, extention education, on-the-jon training, aprenticeship, and youth organizations” dan lainnya dan itu merupakan bagian penting dari “total learning system of society” dan alat untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat. Penetapan fokus tersebut didasarkan pada asumsi konseptual-teoritik dan factual-empirik bahwa yang selama ini paling responsif dengan konsep dan prinsip belajar sepanjang hayat adalah program dan satuan pendidikan nonformal. Hal ini sangat masuk akal mengingat pendidikan nonformal memiliki karakteristik yang lebih luwes dibandingkan dengan pendidikan formal. Penentuan fokus pembahasan tulisan ini didasarkan atas alasan dan asumsi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik maupun metodologis, bahwa pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang paling responsif terhadap asas belajar sepanjang hayat. Pendapat Rogers memperkuat argumentasi pentingnya pendidikan nonformal sebagai berikut: 1. Mengakui bahwa sistem pendidikan formal tidak mampu merespon berbagai tantangan yang muncul seiring dengan dinamika perkembangan yang demikian cepat. Dan ketidakmampuan pendidikan formal tersebut dapat diatasi dan diperkuat dengan praktekpraktek pendidikan nonformal; 2. Merekomendasikan bahwa pemerintah dan pemegang otoritas kebijakan pendidikan dari semua negara di dunia untuk mengakui pendidikan nonformal sebagai mitra de facto dalam proses belajar sepanjang hayat dan membuatnya mampu diakses oleh semua. Menurut Goodlad (1973:01) pendidikan adalah suatu proses perubahan perilaku, cara berpikir, perasaan, dan bertindak atau berubah dari waktu ke waktu. Artinya pendidikan selalu berproses sehingga tidaklah mungkin diperoleh hanya di sekolah tetapi juga harus
6
diperkuat di keluarga dan di masyarakat. Sementara itu sekolah mempunyai keterbatasan dalam meng- akomodasi kebutuhan anak karena terbatas tujuan-tujuan pembelajaran keilmuan.
4. Teori-teori umum tentang Pendidikan Nonformal Cropley1 mengatakan dunia pendidikan mengenal konsep lifelong education atau pendidikan sepanjang hayat (PSH) yaitu tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan penstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua. Joesoef2 mengemukakan bahwa PSH dikenal dalam dunia pendidikan internasional sebagai asas pendidikan sebagaimana ditetapkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan dikemukakan oleh para pakar pendidikan internasional antara lain Edgar Fause, Paul Lengrand, dan Roland G. Paulston. Konsep-konsep tersebut menyatakan bahwa pendidikan yang sebelumnya selalu berorientasi pada sekolah, mulai diragukan orang artinya orang selalu bertanya-tanya apakah yang dimaksud dengan pendidikan hanya terbatas pada sekolah saja. Beberapa hasil penelitian terhadap sekolah mengungkapkan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah tidak akan membantu memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja, bahkan memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin karena hanya yang kaya yang mendapat kesempatan sekolah. Pada perkembangannya, konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) diadopsi oleh banyak negara berkembang, sehingga negara-negara tersebut Iebih berani mencari alternatif-alternatif dari sistem pendidikan yang ada khususnya pendidikan non formal. Konsep PSH telah menggeser anggapan bahwa proses pendidikan yang terjadi hanya di dunia sekolah; di luar sekolah sebenarnya terdapat pula proses pendidikan yang terjadi pada orangperorang. Tujuan pendidikan nasional pada hakikatnya adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal itu dapat terlihat pada rumusan Ki Hadjar Dewantara, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia, Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional 1965, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan
1
2
Soelaiman Joesoef, 2004, Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembelajaran yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas. Soelaiman Joesoef, 2004, Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembelajaran yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas.
7
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional3. Dalam dunia pendidikan, terdapat tiga bentuk penyelenggaraan pendidikan, yaitu bentuk formal, nonformal, dan informal yang oleh Ki Hadjar Dewantara konsep ini dikenal sebagai "tri pusat pendidikan"4. Demikian pula Philip H. Coombs5 membagi pendidikan dalam tiga macam pendidikan seperti diungkapkan Ki Hadjar Dewantara tersebut. Pendidikan non formal menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 1, diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung PSH. Bentuk pendidikan nonformal yang dikenal sebagai PLS, dikenal dalam masyarakat dalam bentuk kursus-kursus. Biasanya lama pendidikan terbatas meskipun programnya tetap berstruktur. Tetapi, PLS tidak terbatas pada kursus semata, karena kita kenal adanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang setara dengan pendidikan Taman Kanak-Kanak, Kelompok Belajar Paket A, B, dan C yang setara dengan sekolah formal SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain kursus-kursus, terdapat juga program Keaksaraan Fungsional (KF), Pendidikan Perempuan, life skills, Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan magang yang diarahkan kepada penguasaan keterampilan fungsional, yaitu agar keterampilan yang dikuasai tersebut dapat difungsikan secara langsung untuk meningkatkan pendapatan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Kellog Fellow PLS memiliki tiga model pendekatan, yaitu model pelengkap (supplementary model), model sejajar (parallel model), dan model alternatif (alternative model)6. Model pelengkap menunjuk kepada kegiatan PLS yang dilaksanakan untuk menambah kemampuan peserta didik dalam masalahmasalah tertentu. Penyelenggaraan kegiatannya dilakukan di luar kegiatan pendidikan sekolah. Di Indonesia, PLS yang termasuk dalam kategori ini adalah bimbingan belajar siswa, pramuka, dan lain-lain. Model sejajar menunjuk pada penyelenggaraan PLS yang paralel dengan pendidikan sekolah. Kedua jenis pendidikan ini berjalan berdampingan dan saling menunjang antara yang satu dengan lainnya. Para peserta didik adalah mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan sekolah. Dalam dunia pendidikan saat ini dikembangkan pula konsep 3
Soelaiman Joesoef, 2004, Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembelajaran yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas. 4 Ihat Hatimah, 2008, Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, Jakarta: Universitas Terbuka 5 Soelaiman Joesoef, 2004, Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembelajaran yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas. 6 Endin Mujahidin, 2005, Pesantren Kilat Alternatif Pendidikan Agama di Luar Sekolah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
8
pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yaitu pembelajaran yang diselenggarakan dengan menggunakan berbagai potensi (sumber daya) yang ada pada lingkungan masyarakat, yang terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan sumber daya teknologi; sedangkan community based education mempunyai makna pendidikan diselenggarakan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan harus didasarkan pada hal-hal: 1) kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi peserta didik; 2) pemanfaatan Iingkungan dalam pembelajaran; 3) materi pembelajaran terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari peserta didik; 4) masalah yang diangkat dalam pembelajaran ada kesesuaian dengan kebutuhan peserta didik; 5) menekankan pembelajaran partisipatif yang berpusat pada peserta didik; 6) menumbuhkan kerja sama di antara peserta didik; dan 7) menumbuhkan kemandirian. Pendidikan memiliki tiga aspek, sebagaimana dikemukakan Darji Darmodihardjo yaitu (1) pembentukan kepribadian, (2) pengembangan ilmu pengetahuan, dan (3) pengetrapan ilmu pengetahuan yang berwujud keterampilan7. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup serta nilai ilmu pengetahuan. Itu berarti bahwa ilmu pengetahuan yang benar bagi Indonesia adalah ilmu yang dapat diamalkan bagi pengembangan budi dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kaidahkaidah ilmiahnya.
5. Studi-studi yang pernah dilakukan tentang Pendidikan Nonformal Dewasa ini di Amerika Serikat warga kulit hitam dan bahkan pendatang bisa mendapat pelayanan profesional, padahal hal seperti itu tidak terbayangkan dua generasi yang lalu. Bagi kebanyakan orang di Dunia Ketiga hal tersebut terasa luar biasa. Menurut Hakim Agung William O.Douglas, “satu-satunya cara untuk membangun sebuah lembaga adalah dengan membiayai lembaga tersebut.” Tetapi sebaliknya juga benar. Hanya dengan menghentikan uang bagi lembaga yang kini menangani kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan kita dapat menghentikan situasi lebih buruk lagi yang timbul sebagai akibat saingan dari lembaga tersebut. Anehnya, 7
Menurut Undang-undang Sisdiknas, pendidikan keterampilan (life skills) adalah pendidikan yang memberikan keterampilan personal, sosial, intelektual, dan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Sesuai dengan Pasal 26 ayat 5 bahwa keterampilan ini merupakan bagian dari pendidikan kursus dan pelatihan yang memerlukan bekal pengetahuan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, profesi, bekerja, usaha mandiri dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
9
keyakinan bahwa pendidikan melalui sekolah secara universal mutlak diperlukan justru begitu kuat dianut negara-negara dimana sangat sedikit orang yang telah dan akan mengenyam bangku sekolah. Padahal, di Amerika Latin masih bisa di tempuh berbagai cara lain oleh mayoritas orang tua dan anak untuk memperoleh pendidikan. Sehubungan dengan itu, tabungan nasional yang di pakai untuk sekolah dan guru bisa lebih tinggi daripada di negara-negara kaya. Tetapi dana ini sama sekali tidak memadai untuk melanyani mayoritas penduduk kendati untuk sekolah empat tahun sekalipun. Fidel Castro berbicara seolah-olah ia ingin menghapus sikap yang mendewadewakan sekolah ini ketika ia berjanji bahwa pada tahun 1980 Kuba mampu menghapus universitasnya karena semua kehidupan di Kuba akan merupakan suatu pengalaman yang berisi pendidikan. Akan tetapi, untuk sekolah menengah pertama dan atas, Kuba, seperti halnya semua negara Amerika Latin, bersikap seakan-akan ini merupakan jalur yang dianggap sebagai “usia sekolah” yang harus ditempuh oleh semua oarang tanpa bisa di persoalkan. Jalur ini sekedar tertunda karena untuk sementara ada kekurangan sumber daya. Kedua penipian kembar ini dilakukan di Amerika Serikat dan hanya yang dijanjikan di Amerika Latin saling, melengkapi satu sama lain. Kaum miskin di Amerika Utara menjadi tidak berdaya karena karena pendidikan wajib sekolah selama 12 tahun, sedangkan di Amerika Selatan mereka yang tidak mncapai pendidikan di sekolah selama 12 tahun akan di cap sebagai yang terbelakang. Baik di Amerika Utara maupun di Amerika Latin kaum miskin tidak mencapai kesamaan sosial ekonomi lantaran kewajiban bersekolah. Di kedua kawasan itu semakin banyak sekolah justru melumpuhkan semangat kaum miskin dan membuat mereka tidak berdaya untuk mengurus pendidikan pendidikan mereka sendiri. Proses belajar sepanjang hayat yang sering pula dikenal dengan proses pendidikan sepanjang hayat, nampaknya menjadi kecenderungan (trends) pilihan di berbagai negara, seperti Jepang, Thailand, India, beberapa negara di Afrika, dan Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di Jepang misalnya telah diterbitkan regulasi sebagai wujud komitmen bersama dalam bentuk Undang-Undang Lifelong Learning. Bahkan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memiliki komisi khusus yang menangani proses belajar sepanjang hayat, termasuk pengembangan indikator dan sistem penjaminan mutunya.
10
6. Beberapa Studi Yang Pernah dilakukan Ada beberapa studi yang dilakukan di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia terkait dengan pendidikan nonformal yang dilihat dari aspek organisasi/kelembagaan, aspek konsep tentang pendidikan nonformal, dampak pendidikan nonformal dan kemengapaan pentingnya pendidikan nonformal, program-program atau substansi pendidikan nonformal. Didalam studi yang berjudul ”Formal, Nonformal, And Informal Education: A Holistic Perspective On Lifelong Learning” yang diteliti oleh Thomas J. La Belle, bahwa istilah “pendidikan nonformal”, diperkenalkan di Amerika Serikat pada akhir 1960-an untuk menandakan kebutuhan untuk menciptakan tanggapan luar sekolah terhadap tuntutan baru dari pendidikan. Setelah itu tahun 1970-an, di sebagian besar nnegara dunia ketiga, pendidikan nonformal menjadi alternatif program untuk remaja dan orang dewasa yang belum terlayani secara baik oleh sekolah. Teori yang mendasari pendidikan nonformal dalam penelitian ini adalah Coombs dan Ahmed (1974) menyamakan pendidikan dengan belajar dan mengidentifikasi tiga jenis pendidikan yaitu pendidikan informal, nonformal, dan formal; Pendidikan informal adalah “proses seumur hidup dimana setiap orang memperoleh dan mengakumulasi pengetahuan, keterampilan, sikap dan wawasan dari pengalaman sehari-hari dan paparan lingkungan”; Pendidikan nonformal adalah “suatu yang terorganisasi, sistematis, kegiatan pendidikan dilakukan di luar kerangka sistem formal untuk menyediakan jenis-jenis terpilih belajar subkelompok tertentu dalam populasi, orang dewasa maupun anak-anak”. Bahwa pendidikan nonformal, dapat diartikan sebagai “lifelong education”, merupakan fenomena alamiah dalam kehidupan manusia. Kenyataan ini menunjukkan mengenai pentingnya belajar sepanjang hayat (lifelong learning) di dalam kehidupan manusia di dalam upaya memenuhi kebutuhan belajar. Jadi pendidikan seumur hidup disebabkan oleh munculnya kebutuhan belajar dan kebutuhan pendidikan yang terus tumbuh dan berkembang selama alur kehidupan manusia, dalam arti belajar tidak ada putus-putusnya.. Posisi pendidikan nonformal sangat penting karena: Pertama, konsep pendidikan nonformal telah menunjukkan utilitas heuristic dalam menggambarkan dan menganalisis beragam kegiatan pendidikan luar sekolah yang ada di seluruh dunia; Kedua, bahwa pendidikan nonformal merupakan bagian dari model pendidikan formal; Ketiga, bersifat interaktif yang lebih terkait dengan pengalaman belajar tidak direncanakan, atau sukarela dan tak terduga; Keempat, pendidikan nonformal sangat terkait dengan sosio - ekonomi , jenis
11
kelamin dan identitas suku dan agama (berbagai program untuk anak-anak, remaja, dewasa, sampai pada orang tua); Kelima, berkaitan dengan analisis dan penggunaan pendidikan nonformal dalam proses perubahan (pendidikan nonformal adalah perubahan individu dan adaptasi pada guru dan peserta didik yang mempunyai latar belakang sosio - ekonomi dan suku dan agama yang sama, maka program cenderung meningkatkan kekuatan atas orientasi nilai yang ada); Keenam, pendidikan nonformal merupakan salah satu bagian jalur pendidikan yang mesti diakui keberadaannya pada sistem pendidikan, pada khususnya di Indonesia; Ketujuh, bahwa pendidikan nonformal sebagai “lifelong learning education” merupakan konsepsi belajar sejak lahir hingga mati dan pendidikan sepanjang hayat di dalam pendidikan nonformal salah satunya adalah pendidikan orang dewasa (POD). Kemudian dilakukan kembali studi pendidikan nonformal tentang “Raising Basic Education Levels in Rural Bangladesh: The Impact of a Non-Formal Education Programme” oleh Samir R. Nath, Kathy Sylva and Janice Grimes. Hasil studinya membahas tentang: konsep pendidikan dasar dari Deklarasi Konferensi Dunia tentang pendidikan untuk semua (WCEFA, Jomtien 1990), mengeplorasi dampak dari program pendidikan nonformal (the non-formal education programme/NFPE), Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC) dalam pencapaian pendidikan dasar untuk anak-anak Bangladesh dan dampak pendidikan non formal untuk anak-anak pedesaan di Bangladesh dan Pendidik formal atau nonformal yang sebaiknya digunakan anak-anak pedesaan Bangladesh. Pendidikan nonformal berperan dalam mengatasi persoalan dengan konsep unggulan melalui kecakapan hidup, membaca, menulis dan berhitung. Studi lain yang dilakukan di Uganda yang berjudul “Exploring formal dan non-formal education practices for integrated and diverse learning environments” oleh Willy Ngaka, George Openjuru, Robert E. Mazur, menemukan bahwa pendidikan nonformal sekarang ini merupakan pembaharuan yang signifikan secara global (Rogers, 2004 dan Kamil, 2007). Hal ini terbukti dalam diskusi resmi terhadap pendidikan dan komunitas sekolah non-formal oleh Hopper (2005; 2006; 2007; 2008) dan pernyataan yang keluar dari Dewan Eropa. Ini menyatakan bahwa: “.... Sistem pendidikan formal saja tidak bisa menjawab tantangan masyarakat modern dan karena itu untuk melengkapi diperlukan pendidikan nonformal. Majelis merekomendasikan agar pemerintah dan pihak yang berwenang dari negara-negara anggota mengakui pendidikan nonformal sebagai mitra de facto dengan melaksanakan pendidikan seumur hidup dan membuatnya dapat diakses untuk semua (Dewan Eropa 2000, di Kamil, 2007, hal. 2)”.
12
Dari studi tersebut menyatakan bahwa pendidikan formal tidak bisa menjawab tantangan
modern maka harus didukung dengan pendidikan non formal dan nilai-nilai spirit pendidikan nonformal harus diintegrasikan ke dalam pendidikan formal. Pendidikan nonformal merupakan konsep pendidikan sebagai proses menyampaikan dan memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui berbagai bentuk pengajaran dan pembelajaran dengan maksud untuk mempersiapkan individu untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Ini adalah proses dimana masyarakat sengaja mentransmisikan akumulasi pengetahuan, keterampilan, dan nilainilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lebih lengkap lagi menurut UNESCO (1997a, hal 14; 1997b) menjelaskan pendidikan nonformal sebagai “Setiap aktivitas pendidikan terorganisir dan berkelanjutan yang tidak persis sesuai dengan definisi pendidikan formal". Dengan kata lain
pendidikan nonformal mengacu pada kegiatan pendidikan
yang
diselenggarakan oleh lembaga yang berbeda untuk kelompok sasaran tertentu dalam populasi tertentu terutama orang dewasa di luar kerangka pendidikan formal untuk memberikan jenis keterampilan yang dipilih. Untuk itu studi ini lebih merupakan intervensi penanggulangan kemiskinan melalui pendidikan nonformal dalam rangka mengurangi kesenjangan antara “kaya” dan “miskin” dan melakukan pelatihan keterampilan holistik. Selain itu dilakukan studi tentang ”Formal versus Informal Education” oleh Max D. Engelhart di Amerika, bahwa sistem formal sangat minim untuk meningkatkan kualitas masyarakat miskin dalam hal pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah. Lain halnya sistem pendidikan nonformal menunjukkan bahwa pengelolaan dan pengawasan, partisipasi komunitas, kehadiran warga belajar, kualitas fasilitator dan budaya mendukung dalam sistem pendidikan nonformal (Alam et al 1996). Sedangkan sistem nonformal memiliki kebebasan berekspresi orisinalitas, inisiatif, dan kemampuan kreatif dapat diperoleh di dalam pendidikan nonformal, dan pendidikan nonformal lebih menawarkan pada kecakapan hidup (life skills).
13
Untuk mempertegas itu perbedaan konsep pendidikan formal dan nonformal dilihat dari sisi tujuan, waktu, isi, sistem penyampaian dan kontrol.
Sistem pendidikan nonformal
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Perbedaan Tujuan
Pendidikan Formal Jangka panjang dan umum, Jangka pendek dan spesifik
Pendidikan Nonformal Jangka pendek dan spesifik, Sertifikat namun bukan menjadi tujuan utama
Waktu
Siklus panjang/ persiapan/penuh waktu Standar/input berpusat Akademik, Persyaratan masuk menentukan Klien Berbasis Lembaga- Terisolasi dari Lingkungan Secara kaku terstruktur, berpusat pada guru dan sumber daya intensif Eksternal/ hirarkis
Siklus pendek/ berulang/ paruh waktu
Isi
Sistem Penyampaian
Kontrol
Individual / output berpusat Praktis, Klien menentukan persyaratan entry Berbasis Lingkungan masyarakat dan tertanam dalam masyarakat Fleksibel, berpusat pada peserta didik dan sumber daya serta Efisien Self-governing/democratic
Studi lain yang dilakukan di Eropa mengangkat topik tentang ”The motivation of educational institutions for validation of non-formal and informal learning” oleh Doris Gomezelj Omerzel, yang menyatakan bahwa pendidikan nonformal merupakan
sistem
pendidikan yang fleksibel, termasuk prosedur untuk validasi pendidikan sebelumnya dan segala macam pengetahuan yang menjadi salah satu tujuan dari lembaga pendidikan serta lembaga lain yang terlibat dalam pendidikan orang dewasa. Studi ini menjelaskan kondisi di negara-negara Uni Eropa dan posisi Slovenia. Selain itu, menyajikan hasil penelitian empiris, yang bertujuan untuk menyelidiki motivasi dari lembaga pendidikan terkait bekerja sama dalam sistem untuk validasi pembelajaran pendidikan nonformal dan informal. Selanjutnya pendidikan nonformal merupakan proses belajar yang memungkinkan individu untuk menguasai kompetensi diri dengan pendekatan ekonomi dan kondisi kerja mereka, serta tanggung jawab untuk belajar berada di tangan individu. Studi lain yang dilakukan oleh Roy Nash pada masyarakat Eropa terkait dengan peran pendidikan nonformal berjudul “Bourdieu on Education and Social and Cultural Reproduction” menemukan bahwa Bourdieu meneliti tentang kontribusi terhadap sosiologi pendidikan, terutama pandangannya tentang pencapaian pendidikan yang dibedakan secara sosial. Karya Bourdieu berkontribusi pada pencapaian pendidikan yang dibedakan secara sosial. Perhatian khusus tentang struktur, agency dan habitus, otonomi budaya sekolah, arbitrary dan
14
budaya sekolah yang diperlukan, dan perbedaan antara efek sekolah dasar dan menengah. Teori Bourdieu tentang reproduksi sosial dan budaya telah menarik perhatian besar dari para sosiolog di dunia yang berbahasa Inggris sejak terjemahan pertama karyanya muncul pada awal tahun 1970. Pendekatannya antropologis dan historis tentang studi reproduksi sosial dan budaya telah membawa koherensi sosiologi pendidikan. Otonomi Budaya Sekolah adalah salah satu tesis Bourdieu paling terkenal adalah sekolah sebagai kekuatan konservatif, Jadi dalam teori ini, sekolah memang memiliki kekuatan tersendiri untuk membentuk kesadaran, atas dan di atas kekuatan keluarga, dan jelas bahwa peran sekolah diakui secara aktif, dan tidak hanya pasif dalam "legitimasi " keluarga yang diperoleh karena habitus. Bourdieu dikenal para pendidik atas penjelasannya tentang bagaimana kelompok sosial yang terdidik (kelompok atau kelas profesional) menggunakan modal kebudayaan (culture capital) sebagai strategi untuk mempertahankan atau mendapatkan status dan kehormatan dalam masyarakat. Teori Bourdieu merupakan teori praktis yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukannya dengan para sejawatnya di Perancis lebih dari 40 tahun terakhir. Untuk memahami pemikiran Bourdieu kita harus mempertimbangkan dua persoalan pokok yang berkaitan dengan teorinya. Pertama, teorinya bersifat epistemologis yang mengarahkan pada suatu cara memikirkan dan memahami dunia dengan cermat, namun bukan teori positivistik berisi konsep-konsep operasional. Kedua, penelitian Bourdieu memberikan cara-cara yang penting untuk mempertimbangkan hubungan antara pendidikan dengan reproduksi dan mekanisme sosial tempat inklusi dan eksklusi sosial diciptakan dalam medan relasional sebagai fakta sosiologis serta historis. Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelompok dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi (Giddens, 2006). Studi lain yang memberikan gambaran tentang pendidikan nonformal di India dilakukan oleh Roger Iredale, yang mengangkat topik tentang “Non-Formal Education in IndiaDilemmas and Initiatives”. Hasil studinya pada tahun 1974 pemerintah India melalui Kementerian Pendidikan dan kesejahteraan sosial yang mengeluarkan buku, skema utama dari pendidikan nonformal dalam rencana lima tahun, yang tujuannya adalah untuk menentukan arah dan mendorong kebijakan baru yang telah disepakati oleh Pusat Penasehat Dewan Pendidikan.
15
Kebijakan ini bertujuan untuk memodifikasi dan melengkapi sistem sekolah dengan mengembangkan program-program keaksaraan fungsional dan memberikan fasilitas pendidikan untuk orang-orang muda dalam kelompok usia 6-14 dan 15-25 tahun dan yang telah putus sekolah. Bahwa keberadaan pendidikan nonformal yang dilaksanakan sebagai upaya untuk melawan keterbelakangan terutama penuntasan buta aksara nasional, dan mengadaptasi pendidikan berdasarkan karakteristik dan kebutuhan masyarakat. Studi yang hampir sama dilakukan di India yang terjadi di Thailand mengangkat topik tentang “The Philosophy and Services of Non-Formal Education in Thailand” oleh Sumalee Sungsri dan Warren L. Mellor, menunjukkan bahwa sejarah pendidikan non formal di Thailand, Sebagai awal divisi pendidikan orang dewasa dimulai pada tahun 1940 hingga sekarang. Filosofinya adalah
kurikulum pendidikan orang dewasa dan fleksibel yang sering disebut
dengan konsep 'Khit-pen'. Konsep Khit-pen merupakan kumpulan program-program yang dirancang untuk memberikan pengetahuan dasar dan keterampilan, khususnya pendidikan dewasa dan program keaksaraan fungsional, program yang dirancang untuk memberikan pelatihan dan keterampilan serta program yang dibuat sebagai penyedia ilmu pengetahuan dan informasi terkini. Hasil temuan penelitian ini sensus nasional di Thailand mengungkapkan bahwa 68.6% dari populasi penduduknya mengalami buta huruf sehingga perlu dilakukan langkah-langkah nyata untuk mengatasinya.
Pemerintah Thailand bekerja sama dengan UNESCO membuat kebijakan
Education Centre (TUFEC), proyek kerjasama antara Pemerintah Thailand dan Unesco berkonsentrasi pada perdesaan untuk membantu masyarakat perdesaan memperoleh pendidikan nonformal melalui keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, dalam rangka meningkatkan kemandirian mereka. Filosofi 'khit-pent' (konsep berasal oleh Dr Kowit Vorapipatana, Direktur Jenderal Departemen Pendidikan Non-formal). Studi lain yang mendukung pendidikan nonforaml dilakukan di Kuba mengangkat topik tentang “Non-Formal Education in Cuba” oleh Raúl Ferrer Perez. Studi ini menghasilkan tentang bentuk kegiatan efektif tentang pendidikan non-sistematis yang disebut dengan pendidikan nonformal di Kuba. Pendidikan nonformal di Kuba menjadi transformasi agensi masyarakat. Pendidikan nonformal mengutamakan partisipasi aktif (dalam bentuk debat, diskusi dan kegiatan-kegiatan kreatif) untuk pemenuhan pembelajaran untuk mewujudkan kemandirian peserta didiknya. Lembaga nonformal dibentuk sebagai wadah pelatihan formatif secara praktis
16
dan experimental dimana orang-orang muda dilatih untuk mengadopsi bentuk perilaku dan kebiasaan kehidupan sosial yang berguna tanpa harus terjadi kontradiksi. Prioritas dari pendidikan nonformal adanya kebutuhan untuk menghidupkan kembali keterampilan dan pendidikan orang dewasa (yang menawarkan sistem pendidikan untuk orang-orang muda agar tidak terjebak pada sistem pendidikan reguler). Pada prinsipnya studi-studi yang telah dilakukan di Amerika, Eropa, maupun Asia terkait dengan pendidikan nonformal tidak lain karena pendidikan formal tidak bisa memberikan solusi sehingga diperlukan pendidikan sebagai pengganti, penambah maupun pelengkap dan potensi itu ada pada pendidikan nonformal. Begitu pula metodologi yang dipergunakan tidak mengalami perbedaan yang signifikan karena metodenya hampir kebanyakan sama yang dilakukan baik di Amerika, Eropa, maupun Asia. Secara substansi, studi-studi terdahulu menggambarkan bahwa pendidikan nonformal merupakan pendidikan alternative yang ditempuh untuk mengembangkan kurilum pendendidikan non-sistemis dalam upaya meningkatkan kecakapan hidup dan memberikan keterampilan bagi orang dewasa karena tidak mendapatkan pendidikan di sekolah (pendidikan formal). Dalam konteks ini orientasi pendidikan nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan di lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat untuk memecahkannya sehingga masyarakat dapat memperbaiki hakikat dan harkat hidupnya. Dengan demikian Peneliti mendukung pendidikan nonformal merupakan bagian dari relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peransertanya dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang membedakan dari jalur pendidikan yang lain sebagai bentuk reproduksi pendidikan yang inklusif sejak dari usia PAUD sampai pada usia tua (Pendidikan Nonformal secara utuh). Menurut Illich masyarakat kita masih dijejali mitos-mitos seputar sekolah dalam kehidupan sehari- hari. Dengan kata lain, pada intinya Illich tidak menginginkan adanya formalisasi sekolah. Sekolah hanyalah salah satu sumber pengetahuan. Segala sumber pengetahuan harus mendapat penghargaan dari masyarakat dan masyarakat seharusnya tidak memandang secara berlebihan pada gelar maupun ijasah yang disandang individu. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah
17
mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi (Giddens, 2006). Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman. Individu belajar tentang apa yang berada di luar kehidupan, bagaimana mereka berhasil dalam berbagai kegiatan, bagaimana orang lain merespon aktifitas dirinya jika mereka melakukan cara yang tidak biasanya (Haralambos dan Holborn, 2004). Sekolah-sekolah, menurut Bourdieu menerima
habitus kelompok dominan
sebagai jenis habitus yang alami dan sebagai satu-satunya habitus yang tepat serta memperlakukan setiap anak (siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut. Menurut Bourdieu: budaya elite begitu dekat dengan budaya sekolah, sehingga anak-anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat memperoleh sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelas-kelas terdidik –gaya, selera, kecerdasan– dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas terdidik dan yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya karena sikap-sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut (Harker dkk, 2005). Dengan cara ini, habitus kelompok dominan ditransformasikan menjadi bentuk modal budaya yang diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi yang paling efektif dalam proses-proses reproduktif sebuah masyarakat hierarkhis (Harker dkk, 2005). Mereka yang memiliki habitus yang sesuai (dengan habitus kelompok dominan) akan menerima keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu menyesuaikan akan mengalami kegagalan. Agar kelompok bawah dapat mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan –apa yang disebut– proses bourjuasi, meniru habitus kelompok dominan. Sekolah, dengan demikian akan selalu menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan memberikan akses seluas-luasnya, namun sistem ini tetap tidak akan menguntungkan bagi kelompok bawah. Hal ini dikarenakan kelompok kelas atas memiliki modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi Bourdieu, peserta didik dari kelas atas lebih diuntungkan karena kepemilikan kapital budaya. Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung, penuh diskresi, bahkan boleh dikatakan tanpa upaya metodis atau tindakan yang kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus kalangan terdidik. Maka tidak mengherankan bila bagi kalangan elite, pendidikan merupakan kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya dan bagian dari strategi kekuasaan, sedangkan untuk kelas miskin sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan elite.
18
Sekolah menjadi satu-satunya yang mampu menjanjikan harapan keberhasilan sosial, sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin pelanggengan privilese mereka (Haryatmoko, 2009).
7. Pemetaan Teori Tentang Pendidikan Nonformal dan Mobilitas Sosial Zabine Etzold (Lihat Sindhunata, dalam Buchori 2001) benar ketika mengatakan bahwa institusi sekolah akan kehilangan monopoli sebagai pengantara ilmu dan pendidikan, karena dimasa depan semua orang harus belajar terus menerus (di tempat kerja, dirumah, dimana saja, kapan saja) sebab informasi akan terus menerus membanjir membawa berbagai inovasi. Tetapi bahwa “sekolah akan kehilangan masa depan” mungkin tidak secepat itu, setidak-tidaknya kemungkinan itu masih belum relevan bagi kita semua. Pada abad ini sekolah sebagai institusi pendidikan formal – secara sosiologis masih amat dominan, karena memiliki ciri khas yang tidak tergantikan (walaupun perlu dilengkapi) oleh lembaga pendidikan lain seperti pendidikan non formal (yang terorganisasi secara lebih luwes seperti kursus-kursus) dan pendidikan informal (yang terjadi disemua lingkungan sosial termasuk di keluarga). Ciri khas tersebut terletak pada sistem pengorganisasiannya yang ketat dengan tingkat disiplin yang tinggi. Penelitian Inkeles (1972), Holsinger (1972), Dreeben, (1977) dan lain-lainnya, menemukan bahwa melalui pengorganisasian seperti itu sekolah merupakan social circle yang paling efektif mampu menanamkan nilai-nilai modern
pada anak didik seperti keterbukaan pada hal-hal baru,
kemandirian, percaya pada ilmu pengetahuan, ketepatan waktu, penghargaan pada perencanaan dsb. Selain itu sekolah dengan spesialisasinya mengajar dan sekaligus mendidik, sangat dibutuhkan oleh lembaga lain di masyarakat (terutama industri dan lapangan kerja lainnya) sebagai tempat pelatihan dan penyiapan tenaga kerja yang professional. Ivan Illich (l971) memang pernah menelanjangi “kebobrokan” lembaga persekolahan dengan kritiknya yang amat tajam dan jitu dan mengusulkan suatu gagasan “deschooling society” (masyarakat tanpa sekolah), tetapi alternatif “learning web” (jaringan belajar) yang ditawarkannya ternyata dianggap tidak praktis dan realistis dan sampai saat ini tidak mampu menggoyahkan eksistensi dan dominasi sekolah. Orang saat ini masih tetap mengandalkan sekolah sebagai lembaga pelatihan yang utama yang memiliki wewenang untuk memberikan ijasah yang merupakan “credential system” yang amat didambakan oleh semua orang (lihat Collins, R. “The Credential Society, 1979; Dore,R. “The Diploma Disease” 1976).
19
Dengan gaya yang lain Paulston dan Le Roy (1982, h.338) mendeteksi terjadinya krisis mendalam di dunia pendidikan formal dalam dua aspek
“functional” maupun “logistical”.
Secara fungsional, sekolah yang dipercaya sebagai lembaga yang mampu membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, ketergantungan dan bersifat egalitarian serta mampu menanamkan nilai modern yang mempercepat pembangunan, ternyata telah menyimpang dari fungsi itu. Secara logistik, pemerintah yang cenderung menganggap bahwa pendidikan hanyalah sekolah, terus menerus berusaha menambah jumlah sekolah, tetapi tidak pernah mencukupi secara logistik (dana, infrastruktur dan sebagainya), sehingga terjadilah penurunan mutu, kesenjangan dsb. Bagi Paulo Freire sebagai peletak dasar filosofinya. Freire memberikan makna pembebasan lebih ditekankan pada kebangkitan kesadaran kritis masyarakat. Dengan kata lain bagi Freire mengungkapkan bahwa hakekat „pembebasan‟ adalah suatu proses bangkitnya “kesadaran kritis” rakyat terhadap sistem dan struktur sosial yang menindas. Pembebasan bagi mereka tidak saja terbebas dari kesulitan aspek material saja, tapi juga adnya ruang kebebasan dari aspek spiritual, ideologi maupun kultural. Freire mulanya dikembangkan dan dipraktekkan dalam rangka bagi pembebasan buta huruf, namun meningkatkan kesadaran kritis (critical consciousness) atau yang di Indonesia lebih dikenal sebagai proses „konsientitasi‟ merupakan hakekat pendidikan Freire. Gagasan ini berangkat dari suatu analisa bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya membuat masyarakat mengalami suatu proses “dehumanisasi”. Pendidikan sebagaimana dipraktekkan di sekolah-sekolah, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru pada kenyataannya menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pandangan filsafat pendidikan Freire bermula dari kritiknya terhadap praktek pendidikan di dunia dewasa ini, yakni yang disebutnya sebagai “banking concept of education”. Murid dalam proses pendidikan model bank yang dipraktekkan di sekolah-sekolah lebih menjadi objek pendidikan, mereka pasif dan hanya mendengar, mengikuti, mentaati dan mencontoh para guru. Praktek pendidikan seperti itu, bagi Freire tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan lebih jauh merupakan proses dehumanisasi dan penindasan. Sebagai antitesis Freire selanjutnya mengembangkan suatu pendidikan yang tidak saja mentransformasikan hubungan guru dan murid lebih membebaskan, serta meletakkan dasar konsep pendidikan yang
20
memposisikan justru murid sebagai subjek pendidikan, namun juga membangkitkan kesadaran kritis warga belajar terhadap ketidakadilan sistemik. Mobilitas sosial dan Pendidikan Mobilitas sosial adalah sebuah menggerakkan masyarakat dalam kegiatan dan mengalamai perubahan yang lebih baik. Pada dasarnya setiap individu dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt: 1999). Masyarakat dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, banyak negara mengupayakan peningkatan mobilitas sosial dalam masyarakatnya, karena mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Apabila tingkat mobilitas tinggi, meskipun latar belakang sosial individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Apabila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka. (Suyanto). Menurut Pitirim A.Sorokin,mobilitas sosial dapat dilakukan melalui beberapa saluran berikut: (1) Angkatan Senjata; (2) Lembaga Pendidikan; (3) Organisasi Politik; (4) Lembaga Keagamaan: (5) Organisasi Ekonomi; (6) Organisasi Profesi; (7) Perkawinan; dan (8) Organisasi Keolahragaan. Faktor yang paling menghambat dalam mobilitas sosial adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. Seperti faktor penghambat, faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial pun cukup banyak. Diantaranya: keinginan untuk berubah, bosan dengan keadaan yang sudah ada, dan pendidikan. Pendidikan memainkan peranannya untuk membentuk intelektual manusia, sehingga kemampuan intelektual ini menjadi lokomotif mobilitas sosial, ekonomis. Sebab, dalam kehidupan nyata, kekuatan intelektual ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sosial. Akibat dari faktor keterpelajaran, keterdidikan atau intelektualitas ini, citra pendidikan dalam masyarakat kita selalu berada pada lingkaran persoalan konseptual berupa: (1) perbenturan modern dan tradisional, (2) masalah Barat dan Timur, (3) ketegangan antara kaya
21
dan miskin, dan (4) ketegangan dan upaya memperoleh ruang publik dan otonomi.(Nurdina, dkk, 2008 : 13).
Kebijakan Pemerintah tentang Pendididikan Nonformal Di dalam mengurai kebijakan ini dipandang dalam kebijakan secara teoritis dan praktis. Di dalam kebijakan teoritis adalah Pendidikan nonformal berbicara dan berbuat dari segi realita hidup dan kehidupan masyarakat. Perhatiannya lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu terwujudnya proses pembelajaran di masyarakat. Dalam konteks ini orientasi pendidikan nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan di lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat untuk memecahkannya sehingga masyarakat dapat memperbaiki hakikat dan harkat hidupnya. Pendidikan nonformal merupakan bagian dari relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peransertanya dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang membedakan dari jalur pendidikan yang lain sebagai bentuk reproduksi pendidikan yang mengedepankan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan kebijakan praktis, menurut pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa, salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan pembukaan UUD itu, dalam batang tubuh konstitusi itu diantaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, juga mengamanatkan, bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dimana setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup (life skills) baik dalam bentuk hard skills maupun soft skills,
22
sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nonformal mempunyai peranan penting untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal dan informal juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas menurun dari 5% pada tahun 2010 menjadi 3,83% pada tahun 2014. Rasio kesetaraan gender angka buta aksara pada pendidikan nonformal juga membaik, yaitu dari 97% pada tahun 2010 menjadi 98% pada tahun 2014. Kebijakan di bidang pendidikan nonformal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal antaralain: Mendorong segera disusunnya standar kompetensi keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri; Mendorong untuk peningkatan wawasan, kemampuan, dan keterampilan tutor; Meningkatkan mutu dan kapasitas sarana dan prasarana program pendidikan masyarakat; Menyediakan layanan Pengarusutamaan Gender bidang pendidikan
melalui peningkatan
kapasitas bagi pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota; Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan kepastian layanan kursus dan pelatihan; Memastikan sumberdaya dikelola efisien, efektif, transparan, akuntabel dan memperkuat pembangunan kemitraan, intensifikasi sosialisasi kebijakan PAUDNI; Peningkatkan akses dan kualitas PAUD dengan pemberian layanan PAUD kepada desa-desa yang belum terjangkau PAUD, masyarakat marjinal, dan daerah 3T; Peningkatan Keaksaraan orang dewasa denga fokus: Percepatan Penuntasan Tuna Aksara di Papua dan Papua Barat, Persiapan percepatan Tuna aksara di 3 T dan peningkatan Budaya Baca; Peningkatan akses pendidikan nonformal dan informal dengan keberpihakan pada penduduk marjinal secara geografis, sosial, budaya, ekonomi termasuk daerah 3T, penduduk miskin, penduduk berkebutuhan khusus dan perempuan.
23
Dari kebijakan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal PAUDNI, masih banyak menyisakan permasalahan yang harus diselesaikan, antara lain: 1.
Koordinasi pengelolaan PAUDNISASI belum memadai, karena perbedaan struktur dan nomenklatur organisasi antara Pusat dan Daerah;
2.
Pelaksanaan program PAUDNI di daerah 3 T dan Papua dan Papua Barat belum optimal, karena legalitas kelembagaan belum memenuhi persyaratan penerima bantuan;
3.
Kebijakan dan layanan PAUDNI belum mengoptimalkan penggunaan TIK;
4.
Ketersediaan dan harmonisasi data belum optimal;
5.
Komitmen pengambil keputusan untuk membina ketenagaan PAUDNI belum optimal;
6.
16 Provinsi APK PAUD masih di bawah rata rata APK PAUD Nasional;
7.
10 Propinsi tingkat Tuna Aksara di atas 5%;
8.
Pengelolaan Data dan Informasi PAUDNI belum terkoordinasi dengan baik.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal PAUDNI telah melakukan dan melakukan perbaikan: • Memastikan ketersediaan dan keterjangkauan; Sejauh ini ketersediaan dan keterjangkauannya masih kurang belum menyentuh sampai ke pelosok daerah apalagi di daerah yang terpencil, terluar dan terasing di wilayah-wilayah perbatasan. Kecenderungannya masih terjadinya kesenjangan dalam memperoleh kesempatan dan akses untuk program PAUDNI ini sehingga program-program ini belum tersosialisasikan secara merata dan adil. • Koordinasi dengan Kementerian/Lembaga Berbicara koordinasi memang mudah untuk diucapkan akan tetapi pada kenyataannya ego sektoral yang terjadi. Kementerian/Lembaga selalu mementingkan pada tusi (tugas dan fungsi) masing-masing. Seharusnya Kementerian Koordinator Bidang Kesra yang harus mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan program di kementerian teknis sehingga masing-masing kementerian lembaga tidak tumpang tindih dalam pelaksanaan program PAUDNI. • Pemberian penghargaan Pemerintah kurang memperhatikan pada lembaga-lembaga penyelenggara PAUDNI baik terhadap dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, UPT/UPTD, satuan pendidikan baik
24
Community Learning Center (PKBM/CLC‟s), lembaga Kursus, dan lembaga-lembaga pendidikan nonformal sebagai satuan sejenis lainnya. Seharusnya untuk meningkatkan pelaksanaan program PAUDNI lembaga yang berprestasi diberikan penghargaan seperti yang selama ini diberikan oleh bidang formal, seperti sekolah teladan. Ke depan PAUDNI harus memberikan penghargaan terhadap PKBM berprestasi, kursus teladan dsb sehingga lembaga penyelenggara merasa dihargai dan saling berkompetisi meningkatkan prestasi dalam penyelenggaraan PAUDNI. • Mempercepat penuntasan buta aksara di Papua dan Papua Barat serta Daerah 3 T (Terpencil, Terisolasi, dan Terluar) Pendidikan keaksaraan merupakan bagian dari hak azasi manusia yang paling mendasar dan masih digunakan sebagai salah satu indikator untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM), juga merupakan pemenuhan terhadap pencapaian tujuan ke-4 dari Pendidikan Untuk Semua (PUS), serta merupakan sarana untuk mencapai tujuan Millenium Development Goal’s (MDG’s). Berdasarkan data Pusat Data Statistik Pendidikan Balitbangdikbud yang diolah berdasarkan data hasil Sensus Penduduk BPS 2010, pada akhir tahun 2011 di Indonesia masih terdapat sebanyak 6.730.682 orang (4,43%) penduduk berusia 15-59 tahun yang masih tuna aksara.
Pada akhir 2013, sesuai target nasional
diharapkan angka tuna aksara usia 15-59 tahun turun menjadi 4,2%. • Peningkatan akses Pendidikan PAUD Salah satu bentuk pelayanan pendidikan dini adalah PendidikanAnak Usia Dini yang terdiri dari jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan jalur non formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), dan PAUD Sejenis. Taman Kanak-Kanak (TK) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) tahun. • Bantuan Desa Vokasi, Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) dan Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM) Program Pengembangan Desa Vokasi merupakan langkah strategis yang harus ditempuh dalam menimplementasikan program Pendidikan Kecakapan Hidup/kewirausahaan dalam spektrum perdesaan dengan pendekatan kawasan, yaitu kawasan perdesaan. Program Desa Vokasi dimaksudkan untuk mengembangkan sumberdaya manusia dan lingkungan yang dilandasi oleh
25
nilai-nilai budaya dengan memanfaatkan potensi lokal. Melalui program Desa Vokasi ini diharapkan dapat membentuk kawasan desa yang menjadi sentra beragam vokasi, dan terbentuknya kelompok-kelompok usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya dan kearifan lokal. Dengan demikian, warga masyarakat dapat belajar dan berlatih menguasai keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sesuai dengan sumberdaya yang ada di wilayahnya, sehingga taraf hidup masyarakat semakin meningkat.
Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) Peran kursus dan pelatihan dalam memberikan layanan pengetahuan, keterampilan, dan sikap bagi masyarakat, merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam mendukung program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Dengan berbagai jenis keterampilan merupakan kekuatan yang sangat besar dalam mendukung pemerintah untuk mewujudkan pengentasan kemiskinan dan pengangguran tersebut. Perlu segera dilakukan langkah-langkah strategis melalui pengembangan program yang secara langsung dapat mengurangi pengangguran. Penanganan masalah pengangguran akan berdampak pada penurunan angka kemiskinan dan tindak kriminal. Program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) adalah salah satu solusi yang tepat dalam menanggulangi masalah pengangguran sekaligus kemiskinan dan tindak kejahatan.
Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM) Jumlah angka putus sekolah dan lulus tidak melanjutkan masih cukup tinggi. Data Pusat Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2008/2009 menunjukkan bahwa dari 2,56 juta lulus SMP/MTs sebesar 1,13% tidak melanjutkan, angka putus sekolah SMA/MA sebesar 3,77%, putus SMK sebesar 3,43%, dan lulus sekolah menengah yang tidak melanjutkan sebesar 45,49%. Bila dijumlahkan lulusan SMP yang tidak melanjutkan, putus sekolah menengah (SMA, SMK, dan MA), dan lulusan sekolah menengah yang tidak melanjutkan mencapai 1.097.303 pada tahun 2008/2009. Angka ini belum termasuk jumlah lulusan perguruan tinggi (akademi dan sarjana) yang tidak langsung mendapatkan pekerjaan, yang jumlahnya juga cukup tinggi. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka diperlukan suatu langkah terobosan. Menurut pendapat Sosiolog David Mc Clelland, suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur sedikitnya 2 % dari jumlah penduduknya. Singapura sudah 7,2 %, sedangkan pada 2001 di Indonesia baru 0,18% dari penduduknya yang
26
menggeluti dunia wirausaha. Hal ini juga menunjukkan bagaimana paradigma tentang pendidikan yang ditanamkan oleh penjajah, pendidikan hanya menyiapkan, tenaga-tenaga terampil untuk keperluan birokrasi dan industri. Disinilah, seharusnya dunia pendidikan dan pemerintah bekerja sama untuk mendorong terwujudnya pendidikan yang berorientasi wirausaha. • Implementasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, materi belajar/bahan ajar adalah materi yang berkenaan dengan pekerjaan, untuk itu diperlukan SKKNI.
Sumber Referensi: Ahmed, M., Chabbott, C., Joshi, A., Pantle, R. and Prather, C. J. 1993. Primary Education for All: Learning from BRAC Experience, A Case Study. New York: Advancing Basic Education and Literacy (ABEL). Andy Hargreaves. Teaching in The Knowledge Society: Education in the Age Insecurity. (New York and London: Teachers College Press, 2003), h. 10. Alam, M., Begum, K. and Raihan, A. 1996. Efficiency of Primary Education in Bangladesh. Paper presented at the conference of universal primary education in Bangladesh 1996, August 1996. Dhaka: Conference Secretariat. Bourdieu, Pierre, 1974,
'The School as a Conservative Force: „Scholastic and Cultural
Inequalities‟. In Eggleston, L, (Ed), Contemporary Research in the Sociology of Education, pp. 32-46. Methuen, London. ______________, 1977. “Cultural Reproduction and Social Reproduction”, Jerome Karabel and AH. Halsey (eds) Power and Ideology in Education (New York: Oxford University Press, 1977), p 487-511 ______________, 1984. Distinction: “A Social Critique of The Judgement of Taste”, Cambridge, MA; Harvard University Press.
27
______________ , 1986. “The Form of Capital” dalam Stephen J. Ball (Ed) [2004] Routledge Falmer Reader in Sociology of Education, London: Routledge Falmer, hal. 15-29. Bourdieu, P, and Passeron, JC, 1977. Reproduction: in Education, Society, and Culture, London Sage. Cheygeewong, U. Knowledge on Non-formal Education. Bangkok: Ruamsarn Garnpim, 1980, p. 4. Cohen, Yehudi . 'The shaping of men's minds : adaptations to the imperatives of culture'. In Wax, Murray L.et al. (eds.) Anthropological Perspectives in Education. New York: Basic Books, 1971. Coombs, P. H. and Ahmed, M. Attacking Rural Povert y : How Nonformal Education Can Hel p. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1974. Creswell, J.W, 1994, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, Sage Publications, Inc. California. Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (1994). Entering the field of qualitative research. In N.K. Denzin and Y. S. Lincoln (Eds.), A handbook of qualitative research (pp. 1–17). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Development of education in the state of Jammu & Kashmir (1972) Paras 62-64. Reproduced in: NAIK, Elementary Education in India , pp. 78-79. Dewees, A. (2000). An Economic Analysis of the COPE Program in Uganda: Current Costs and Re- commendations for Meeting the Educational Needs of Disadvantaged Children. Online
and
retrieved
August
31,
2010
from:
http://www.unicef.org/evaldatabase/files/UGD_2000_001.pdf Doris Gomezelj Omerzel, 2010. The motivation of educational institutions for validation of nonformal
and informal learning, Juni 2010, Vol. 8 Issue 2,
http://www.fm.upr.si/zalozba/ISBN/978-961-6573-65-8/105-116,
p 71-88,
Published
by:
Springer Du Bois-Raymond, M. (2003). Study on the links between formal and non-formal education. Strassbourg: The Directorate of Youth and Sport. E.K. Townsend–Coles, 1981. Non-Formal Education and Development, Source: Botswana Notes and Records, Vol. 13 (1981), pp. 87-88 Published by: Botswana Society
28
Etlling, A. (1993). What is Nonformal Education? Journal of Agricultural Education, pp. 12–76. Etonu, E. (2003). After UPE is there a need for adult education? The Adult Learning Agenda-UGAADEN Newsletter, 1, pp. 8–9. Fordham, P. E. (1993). „Informal, non-formal and formal education programmes‟ in YMCA George Williams College ICE301 Lifelong Learning Unit 2, London: YMCA George William College. Frerire,
Paulo.2002.
Politik
Pendidikan:
Kebudayaan,
Kekuasaan
dan
Pembebasan,
(diterjemahkan dari The Politics of Education: Culture, Power and Liberation oleh Fuad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Govinda, R. (2008). Non-formal Education and Poverty Alleviation: Aanalysis of field experiences from Asia. A paper presented at the symposium to honour the work of Françoise Caillods on the theme: “Directions in Educational Planning” from July 3–4, 2008. Paris: UNESCO IIEP. Harker, Richard, et.al (ed).2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komperehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, (diterjemahkan dari An Introduction to The Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory oleh Pipit Maizier). Bandung: JalasutraMaliki. Haryatmoko. 2008. Sekolah: Untuk semua atau Alat Seleksi Sosial? Reproduksi Kesenjangan Sosial
Lewat
Sekolah
Perspektif
Pierre
Bourdieu,
situs:
http://sosiologi.fisipol.ugm.ac.id/handoutseminar/haryatmoko.doc diakses tanggal 1 September 2009. Illich Ivan, 1971. “De Schooling”, Harper and Row Publishers Inc., New York, NY. Iredale, R. 0. (1975) Pre-school education in South India, Comparative Education, 11, pp. 231-235. Jackson, S. (n.d.). The Definition of Education. Online and retrieved September 1, 2010 from: http://www.helium.com/items/962026-the-definition-of-education Kante, S. (2005). Formal and Nonformal Education: Exploiting the Synergy Between them for the Benefit of Both, World Education‟s Integrated Education Strengthening and Adult Literacy Program in Mali: A CASE STUDY. Online and retrieved January 8, 2012 from: http://www.worlded.org/docs/Publications/girlsed/mali_unesco_case_study.pdf
29
La Belle, Thomas J. Nonformal Education and Social Change in Latin America . Los Angeles: UCLA Latin American Center, 1976. _________________. 'An introduction to the nonformal education of children and youth'. Comparative Education Review . 25 (October 1981), No. 3. Malcolm S. Knowless, et. al. The Modern Practice of Adult Education: Andragogy Versus Pedagogy. Sixth Edition. (New York: Elsevier Inc., 2005), h. 8. Many of these activities are listed in a new publication of the Department of Non-Formal Education entitled Leaming Opportunities in Botswana. Max D. Engelhart, 1990. Formal versus Informal Education, Source: The
Phi
Delta
Kappan, Vol. 12, No. 6 (Apr., 1990), pp. 174-178 Published by: Phi Delta Kappa International Moleong, Lexy J, Dr. 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Riza Primahendra, Menggagas Ulang Community Development, Buletin Bina Swadaya No. 47/Tahun X/Mei-Juni 2004 Naik, J. P. & Nurullah, S. (1974) A students' history of education in India 1800-1973, 6th ed. p. 451 (New Delhi, Macmillan). National Council of Educational Research and Training (1976) Higher secondary education and its vocationalisa- tion, pp. I, 5, paras 1.2, 3.3 (New Delhi). Non-Formal Education; its vital role in development by Pia Kjaer-Olsen: Department of NonFormal Education, Gaborone, 1980 and re-printed in Maverick of the Education Family by E.K. Townsend-Coles (Pergamon Press, Oxford, 1981). Norman Longworth dan W.K Davies. Lifelong Learning. (London: Kogan Page Limited, 2003), h. 24. Postlethwaite, T. N . & King, K. (1975) Curriculum development for basic education in rural areas, pp. 4-5, unpublished seminar paper (Paris, HEP/UNESCO); CooMBES, P. H. (1975) Education for rural development: some implications for planning, p. 18, unpublished seminar paper (Paris, HEP/UNESCO); GRIFFITHS, V. L. (1968) The problems of rural education, pp. 16-18 (Paris, HEP/UNESCO); DORE, R. (1976) The diploma disease, p. 3 (London, Unwin). Raúl Ferrer Perez, 2004. Non-Formal Education in Cuba, Source: International Review of
Education/Internationale
Zeitschrift
für
30
Erziehungswissenschaft/Revue Internationale de l'Education, Vol. 20, No. 4, Lifelong Education and Learning Strategies/Permanente Erziehung und Lernstrategein/L'Education Permanente et Strategies D'Apprentissage (2004), pp. 514-516, Published by: Springer Record of the formal opening of the Headquarters Building of the Department of NonFormal Education by the Minister of Education, the Hon. K.P. Morake, (Department of Non-Formal Education, Gaborone, 1980). Richard Edwards, Jim Gallacher and Susan Whittaker, Learning Outside the Academy: International Research Perspectiveson Lifelong Learning. (London: Routledge, 2006), h. 2. Roger Iredale, 1998. Non-Formal Education in India: D ilemmas and Initiatives, Source: Comparative Education, Vol. 14, No. 3, Special Number (2): Policies and Politics in Education (Oct., 1998), pp. 267-275, Published by: Taylor & Francis, Ltd. Roy Nash, 1990, Bourdieu on Education and Social and Cultural Reproduction Author(s): Source: British Journal of Sociology of Education, Vol. 11, No. 4, (1990), pp. 431-447 Published by: Taylor & Francis, Ltd. Samir R. Nath, Kathy Sylva and Janice Grimes, 1999. Raising Basic Education Levels in Rural Bangladesh: The Impact of a Non-Formal Education Programme, Source: International Review of Education/ Internationale Zeitschrift für Erziehungswissenschaft/Revue Internationale de l'Education, Vol. 45, No. 1 (1999), pp. 5-26, Published by: Springer. Sumalee Sungsri and Warren L. Mellor, 2004. The Philosophy and Services of NonFormal
Education
in
Thailand,
Education/Internationale
Source:
International
Zeitschrift
Review
of für
Erziehungswissenschaft/Revue Internationale de l'Education, Vol. 30, No. 4 (2004), pp. 441-455, Published by: Springer Sunanchai, S. Thailand's Functional Literacy Programme: A Case Study of Ac- tivities in Educational Region 8. Bangkok: Unesco, 1981, p. 2. Suzanne Kindervatter, “Nonformal Education as An Empowering Process”, h. 245, dikutip langsung oleh Mustofa Kamil, Pendidikan Nonformal,Pengembangan Melalui Pusat
31
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) (Sebuah Pembelajaran dari Kominkan Jepang), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 54. Thomas J. La Belle, 2002. Formal, Nonformal and Informal Education: A Holistic Perspective on Lifelong Learning, Source: International Review of Education / Internationale Zeitschrift für Erziehungswissenschaft / Revue Internationale de l'Education, Vol. 28, No. 2, Formal, Nonformal and Informal Structures of Learning (2002), pp. 159-175, Published by: Springer United Nations General Assembly Resolution 2626 of 24.10.79. Willy Ngaka, George Openjuru, Robert E. Mazur, 2012. Exploring Formal and Non-formal Education Practices for Integrated and Diverse Learning Environments in Uganda, The International Journal of Diversity in Organizations, Communities and Nations Volume 11, Issue 6, 2012, http://www.Diversity-Journal.com, ISSN 14479532 Zainuddin.2008. Sosiologi Pendidikan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press