1 1
Lakimosa, pemangku adat, wilayah Keli, pulau Palu’e; Ngaji. Salah satu sumber adat terpenting.
Pencarian Data Proyek Bahasa dan Tradisi Lisan Palu’e Stefan Danerek Umumnya kalau kita mau melakukan sebuah penelitian kita membuat proposal yang mendapat penilaian dari supervisor dan atau tim penyeleksi lembaga sponsor. Sebuah proposal lazimnya lahir dari sebuah proses pra-penelitian, survey secondary sources dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan lokasi, bidang dan rumus masalah yang jadi pilihan. Kalau penelitian membutuhkan kerja lapangan dianjurkan juga untuk sudah mendekati anggota komunitas dan sudah meminta dukungan atau restu kepada tokoh komunitas. Para mahasiswa di program Kajian Tradisi Lisan2 umumnya melakukan penelitian di daerah sendiri, atau malah di kampung sendiri. Itu memudahkan, proses mengenal tokoh bersangkut barangkali telah dilewati. Bahasa daerah juga telah diketahui supaya lebih mudah dan akrak komunikasinya. Lepas dari beberapa kelebihan itu si anak kampung ini tetap bakal menemukan beberapa kesusahan yang sama dengan seseorang yang memilih lokasi asing sebagai lokasi penelitiannya. Umpamanya tetap ada tokoh atau komunitas dalam yang susah diakses, atau data yang diincar tidak ada dalam jumlah cukup atau bentuk yang diduga saat merencanakan penelitian. Beberapa penyesuaian dan perubahan, yang tidak terlalu menyeleweng, dalam rumus masalah penelitian adalah sesuatu yang wajar dan lazim, tapi bukan ideal. Ini yang terjadi pada penulis, sebagai peneliti asing, malah WNA, sesuai dengan kondisi di lapangan. Penelitian lapangan saya mengerti sebagai praktek dan metode produksi pengetahuan yang bersifat komprehensif. Etnografi lapangan yang mendalam sendiri adalah metode pengumpulan data dengan banyak teknik seperti observasi, wawancara, narasi, ingatan, percakapan kelompok, kuesioner, dan pembacaan teks. Dokumentasi bahasa juga demikian, karena tidak akan berhasil tanpa pendekatan etnografis, dan proyek saya mendokumentasi penggunaan bahasa, misalnya cerita rakyat, yang jadi obyek studi etnografi. Penulis ini mulai merencanakan penelitian bahasa daerah dan tradisi lisan pada tahun 2012. Penelitian itu tergolong dokumentasi bahasa 3 , khususnya bahasa yang terancam punah,
2
Program Kajian Tradisi Lisan yang telah dikembangkan sejak tahun 2009 di lima universitas terkemuka,
termasuk Universitas Indonesia, dan didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 3
“The aim of a language documentation is to provide a comprehensive record of the linguistic practices
characteristic of a given speech community” (Himmelmann 1998: 166).
sebuah bidang yang sudah berdiri kokoh sejak menjelang tahun 2000. Ada beberapa institusi universitas yang khusus mengabdikan kegiatan mereka pada bidang dokumentasi bahasa dan mengadakan arsip canggih online untuk hasil dokumentasi, misalnya HRELP dan DOBES di Europa.4 Tujuan pertama proyek tersebut adalah membuat arsip audio bahasa Palu’e, tujuan selanjutnya adalah kamus Sara Lu’a-Bahasa Indonesia yang sebagian datanya diperoleh lewat rekaman audio. Sementara etnobiologi adalah salah satu bidang makna bahasa yang diberi perhatian khusus, sesuai dengan ide-ide mutakhir tentang pentingnya IK (indigenous knowledge) and TEK (traditional biological and ecological knowledge).5 Bidang makna ini mencakup budaya yang relevan dan bernilai bagi komunitas bahasa, sekaligus mengandung informasi tentang dunia alam yang menarik bagi peneliti di bidang lain, misalnya biologi dan etnobiologi. Dokumentasi yang state-of-the-art harus luas dan melingkupi berbagai genre ucapan, tapi saya mementingkan genre yang lebih berisi secara budaya daripada percakapan sehari-sehari yang lazim didokumentasi dengan beberapa penyebab yang diberikan di bawah ini. Data dicari dan diperoleh langsung dari komunitas penutur. Narasi direkam dengan H4N Zoom audio recorder atau lewat sebuah AT2022 mikrofon external yang pas untuk situasi dengan satu penutur. Masalah utama adalah memperoleh sumber yang mampu dan mau membawakan cerita dalam bahasa daerah yang bernilai secara konten budaya.6 Data juga diperoleh lewat hidup bersama dengan komunitas penutur (participatory observation). Lokasi dan Masyarakat Pulau Palu’e Sara Lu’a, atau Bahasa Palu’e dituturkan hanya di pulau Palu’e, yang berletak di sebelah utara Flores dan berpenduduk sekitar 10.000 ribu jiwa, dan dalam beberapa komunitas migran. Saya berangkat sebagai peneliti independen dengan mitra Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
4
Hans Rausing Endangered Languages Program (HRELP. School of Oriental and African Studies, London).
Dokumentation bedrohter Sprachen (DOBES. Max Planck Institute for Psycholinguistics, Nijmegen). 5
Lihat juga Si (2011: 169-186), ’Biology in Language Documentation’: ’[T]raditional ecological knowledge
(TEK) of non-industrialized societies has […] come to be viewed not only as an important part of the community’s cultural heritage, but also as a vital resource for researchers involved in activities like conservation biology’ (Si 2011: 169). 6
Informan-informan lebih banyak dicari dari kalangan generasi tua (pemangku adat, dukun, dan para tetua),
yang diduga merupakan sumber-sumber yang lebih lengkap dan tak ternilai. Mereka pada umumnya di atas 50 tahun. Tanpa repertoar mereka, dengan segala idiom, cerita rakyat dll. akan semakin susah memperoleh data yang komprehensif dan tepat. Contoh bahasa dalam bentuk cerita direkam juga dari anak-anak.
Bahasa Palu’e dipilih karena terpencil dan jumlah penutur tidak terlalu sedikit, seperti bahasa yang hanya tinggal 1000 atau 10 penutur, karena saya percaya dengan demikian masih ada sisa tradisi lisan dan budaya yang menarik. Salah satu faktor lagi memilih bahasa tersebut adalah belum pernah didokumentasi secara luas dengan audio atau video, dan belum ada kamus. Pulau Palu’e punya status sebagai kecamatan. Kondisi pulau istimewa, sangat sedikit sumber air, supaya sampai sekarang di musim kemarau orang Palu’e di bukit-bukit mengorek pisang untuk memperoleh air. Orang banyak bertani, baik laki dan perempuan, yang terakhir biasanya bertenun. Banyak lelaki jadi nelayan. Karena keterpencilan banyak orang mencari kerja di Malaysia dan Batam, dan itu faktor utama terjadinya peralihan bahasa. Orang Palu’e beragama katolik dan tidak ada komunitas etnis, bahasa atau agama lain di pulau Palu’e. Di Palu’e baru-baru ada beberapa jalan dan kendaraan sepeda motor. Medan pulau adalah gunung api dan banyak bukit dan lereng, supaya penduduk selalu naik-turun kalau mau pergi ke mana. Ada satu toko, lainnya hanys kios. Tidak ada penginapan atau warung. Pulau Palu’e punya sekitar 14 wilayah tradisional dengan adat masing-masing tapi mirip. Delapan di antaranya menarik lebih banyak perhatian karena punya adat kerbau dan sistem adat yang lebig rumit. Pembangunan terhambat karena di wilayah kerbau berlaku beberapa jenis pamali setelah memotong kerbau (Pati Karapau) setiap sekitar lima tahun, dan yang berlaku sampai lima tahun atau memuat kerbau (Pua Karapau) baru dari Lio, Flores. Di antaranya pamali melukai tanah dan memotong kayu. Korpus tradisi lisan berhubungan erat dengan budaya kerbau, yang penyembelihannya tertuju pada Hera Wula, Watu Thana (Mata hari Bulan, Batu Tanah) dan leluhur, dan yang merupakan pembersihan tanah dan dosa. Zaman dulu tradisi ini bisa disebut agama, animisme. Sekarang disebut adat dan adat berlangsung di samping agama. Teks, syair-syair, yang bersifat sakral tidak lagi sesakral zaman dulu, tapi jelas – hasil pengamatan – bahwa manusia Palu’e sangat menghormati leluhur mereka dan percaya bahwa mereka selalu dekat. Beberapa pamali (bhije) yang berlaku ditaati karena dipercaya bahwa leluhur bisa menghukum pelanggar adat dengan penyakit atau kecelakaan. Gunung api yang membentuk pulau Palu’e penting dalam kepercayaan lokal dan adat. Gunung api itu, dipanggil Rokatenda, aktif dan terakhir meletus 10 Aug 2013, setelah meletus berulang kali mulai dari Oktober 2012. Bencana alam ini mempengaruhi seluruh Palu’e dan mengakibatkan banyak kerusakan dan pengungsian. Bencana juga mempengaruhi proyek, yang dimulai pada waktu masih dalam kondisi siaga dan berlakunya zona merah di beberapa wilayah gunung.
Pencarian Data, Metode Struktural atau Akar Rumput Enak kalau bisa mengatur proyek dari jauh. Kita pesan lewat struktur formal, misalnya pemerintah lokal, bahwa kita akan datang dengan tujuan tertentu dan Pak camat atau kepala desa dan mereka menyiapkan sumber-sumber.7 Saya juga punya ide demikian, minimalnya mendekati mereka pemerintah lokal dan memberitahu bahwa saya punya proyek ini dan akan senang dibantu, hasil kan akan ada manfaat sebagai Mulok atau arsip lokal. Penulis pertama kali ke Flores di akhir tahun 2013. Dapat kontak seorang lelaki Palu’e lewat Facebook dan seseorang yang pernah KKN di pulau Palu’e. Ternyata orang ini telah mengungsi dengan keluarganya ke Maumere, ibukota kab. Sikka, karena kampungnya termasuk yang kena lebih banyak kerusakan akibat gunung meletus. Dengan teman yang baru ini saya masuk ke camp-camp pengungsian di Maumere dan di luar Maumere di Lio, kab. Ende. Dan di situ, di tengah situasi ketidakpastian dan kekuatiran akan masa depan, saya mau mengumpulkan data bahasa. Lewat teman baru saya cepat diberitahu bahwa umumnya orang Palu’e zaman sekarang kurang tahu bahasanya, suka campur-campur dengan Bahasa Indonesia (peralihan bahasa) dan tidak mendalam. Ini awalnya membingungkan karena saya pikir saya bisa belajar dasar bahasanya dengan siapa saja, dengan anak-anak pun. Ternyata betul, mencari guru yang tidak hanya pintar bahasanya sendiri, tapi juga mampu mengajarkannya, susah saya lama-lama mengakui.8 Tentang kondisi bahasa saya mendapat banyak input kvalitatif; yaitu lewat bertanya dan wawancara langsung dengan orang Palu’e baik yang terdidik maupun yang tidak sekolah. Tidak jarang mereka sebut bahwa bahasa mereka terancam punah, dan status laporan ini berbeda dengan apa yang kita dapat dari info yang tersedia di misalnya Ethnologue (vigorous), dan menimbulkan tanda tanya karena fakta adalah bahwa anak-anak tetap tahu bahasa Palu’e sebelum Bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan ancaman adalah peralihan bahasa, di mana migrasi kerja ke Malaysia dan Batam merupakan faktor utama, dan pudarnya bahasa ritual, khususnya sebuah genre yang disebut Pa’e, karena pengaruh agama dan pikiran modern, sementara dari dulu yang pandai Pa’e orang tertentu saja, dan lebih sering dari keluarga lakimosa (tuan tanah dan pemegang ritual). Rencana berangkat ke Palu’e tetap, tapi tertunda karena keadaan gunung yang tidak pasti.
7
Pendekatan ini sering digunakan oleh peneliti dari lembaga pemerintah, apalagi di masa Orde Baru. satu
contoh penelitian demikian yang pernah dibuat di Flores adalah buku Sastra lisan Ngadha di Bajawa (Angelanai 1999). 8
Ada juga masalah bahwa orang sering menganggap bahwa orang lain lebih bisa atau malah tidak tahu
seseorang yang bisa.
Hasil dari beberapa minggu berkunjung ke camp pengungsi ternyata tidak ada, secara langsung. Saya dapat banyak teman, lewat teman yang satu dapat akses ke kerabat dan temannya, berlingkaran – lama-lama tahu bahwa sistem kekeluargaan di Palu’e memanjang sekali dan itu bernilai, akhirnya lingkar koneksi sampai ke setiap kampung di pulau. Saya dapat pengalaman merekam waktu berkunjung ke camp pengungsi, dan menyadari beberapa masalah yang terus mengikuti proses pencarian data: Mendapat tempat yang sepi untuk merekam itu susah, tidak hanya di camp tapi juga di kampung-kampung di pulau. Apa dan siapa saya mau merekam? Kita pasti mau sesuatu yang bernilai. Apa yang diistilahkan dengan ‘pembicaraan natural’ dalam ilmu lingvistik dan bahasa saya merasa tidak ada saat memasang alat merekam. Yang terakhir ini mengecawakan, sekali insyaf bahwa ada pendekatan yang bisa menghasilkan sesuatu yang “alami”. Penyesuaian tujuan proyek pertama yang saya buat adalah untuk memprioriotaskan konten budaya dalam perekaman. Itu berarti cerita sejarah, misalnya tokoh-tokoh zaman dulu, zaman penjajahan, dongeng, lagu, syair adat, narasi dan elisitasi yang berhubungan dengan tradisi. Masalahnya, siapa yang mampu dan sedia membagi dan mengajarkan bahan-bahan seperti ini? Tiba di pulau di akhir tahun saya ditempatkan di rumah satu keluarga yang tinggal di perbukitan, kampung Nara di wilayah Keli, desa Ladolaka. Pilihan kampung ini tidak hanya dari saya tapi dianjurkan, sebagai kampung yang ramah-tamah terhadap tamu dan, dibanding desa Uwa di pinggir pantai, relatif lebih kental budayanya yang termasuk darah kerbau. Naik ke gunung sekitar 10 menit dengan sepeda motor seru, kalau tidak menyeramkan pertama kali; medan di pulau akan jadi salah satu faktor yang menghambat kerja, jalan semen sedikit, dan jalan kaki ke kampung lain, turun-naik terus, butuh tenaga. Tambah lagi tidak ada signal hp di bagian besar pulau. Kontak dan koordinasi dengan sumber sedikit susah. Satu hari kepala desa melintas dalam rangka pendataan jumlah pengungsi dan kami sempat berbincang sebentar, tapi tidak cukup untuk ajak kerja sama. Orang sibuk dan kembali ke Maumere. Ternyata sebagian besar aparat desa ikut mengungsi, tinggal dengan saudara di Maumere atau di tempat lain. Goodbye pendekatan struktural. Saya tinggal di kampung yang penghuninya sudah menurun dan berfluktualisasi; orang masih datang-pergi dari camp pengungsi. Karena tidak banyak orang luar berkunjung ke Palu’e, apalagi sampai ke kampung-kampung di perbukitan, pengunjung dapat cukup banyak perhatian, apalagi seorang bule. Setiap gerakgerik saya diketahui. Budaya tegur-sapa yang ramah dan Melayu – yang tanya dari mana dan mau ke mana – berperan. Dua orang antropolog luar negeri pernah membuat penelitian di Palu’e. Yang satunya selama bertahun-tahun dan dia sangat diingati oleh masyarakat. Di luar itu pengalaman orang banyak dengan “turis” terbatas. Diingat pula para pendeta zaman
dahulu, sampai tahun 1980an, yang berasal dari Belanda dan Australi. Tidak jarang orang Palu’e dan Flores berfikir bahwa orang bule kaya dan orang besar semua (kesan).9 Itu pasti berhubungan dengan datangnya zaman penjajahan baru di awal abad 20 dengan Rust en Orde, pembangunan dan agama sekalian. Misi gereja dan LSM yang dipimpin orang Eropa, dan sejak tahun 1980an wisatawan, juga ikut berperan menciptakan citra yang demikian. Hanya beberapa dasawarsa yang lalu orang Palu’e masih takut dengan orang Eropa, apalagi anakanak.10 Orang dulu, dengan maksud orang yang seperti orang dulu sampai zaman kita ini, mencapai umur panjang dan masih hidup sampai sekitar tahun 2000. Demikian juga di kampung saya, sumber besar sudah tidak ada lagi. Cerita sejarah dan dongeng yang diketahui orang tidak ada yang hafal, sepenggal-penggal saja umumnya. Dalam situasi demikian saya fokus pada bahasa, bagaimanapun saya harus menguasai bahasa ini lumayan supaya bisa menyusun arsip audio dengan transkrip dan terjemahan dari cerita-cerita yang saya masih tunggu, dan kamus. Waktu itu saya belum ada assisten atau ‘konsultan bahasa’ yang tetap. Beberapa peralatan bahasa yang saya bawa dan perlu ternyata tidak berfungsi di laptop saya. Saya jadi bekerja dengan Toolbox Dictionary Factory dan sebuah bundel questionaire wilayah yang saya cetak untuk mengadakan workshops dan dibagi-bagi.11 Akhirnya berhasil mengadakan lokakarya dengan lima orang, termasuk dua orang yang “dituakan” di kampung, dan hasil menyenangkan. Ada yang ingin mengulanginya dan ada yang mau dikasih pekerjaan rumah. Walhasil lokakarya seperti itu hari belum pernah terealisasi, tapi saya berhasil duduk bersama konsultan bahasa dua-tiga orang sekali-sekali. Bahan dibagi, tapi ternyata sulit untuk banyak orang. Orang banyak sulit menjelaskan satu kata Bahasa Palu’e sendiri dalam Bahasa Indonesia, dan menterjemahkan kata dan istilah Bahasa Indonesia ke Bahasa daerah sering 9
Suatu hari di sebuah acara seorang tamu yang saya tidak kenal bertanya ke saya, ”Berapa lama kira-kira bisa
bertahan dengan uang 400 juta yang orang tua kirim setiap bulan?” Saya hanya menjawab ”Apa?” dan melihat ke dia dengan mata yang besar. Buat saya ironis sekali. Ternyata kisah ini sudah menebar dari kampung ke kampung, entah sumbernya siapa. Saya membalas dengan mengarang cerita korupsi tentang tokoh, kepala desa, yang saya mencurigai telah menebar isu tersebut. Ternyata bukan dia yang jadi sumber pertama angin desus, dan akhirnya jadi banyak tawa. Saya merasa harus tegas karena bosan dengan isu aneh itu, jadi membalas dengan cara yang membongkar baik angin desus tentang saya maupun umumnya; satu isu tambah besar dari mulut ke mulut. 10
Dulu dipercayai bahwa orang Eropa itu ata nggemine, sejenis penculik anak-anak. Orang dulu, katanya,
biasanya lari kalau ada orang bersepatu datang. 11
Toolbox dan banyak software bahasa yang lain dapat diunduh lewat www.sil.org. Bahan kuesioner semantik
Bahasa Indonesia dari www.rapidwords.net.
rasa janggal. Bahan yang saya bawa menguras waktu dan tenaga, dan karena itu saya sedia keluar “uang rokok” buat yang membantu. Modal tidak terlalu berpengaruh pada hasil penelitian di Palu’e dan barangkali demikian juga di tempat lain.12 Selama ini saya hanya sentuh bahasa sehari-sehari. Lain lagi dengan bahasa ritual dan nyanyian adat. Di sini ada syair-syair dan penggunaan bahasa yang lebih tinggi dan yang menarik disimak, mungkin inti sebuah bahasa dan budaya. Yang lebih bisa, tapi tidak selalu, itu tuan adat dan jasa tuan adat biasanya dibeli oleh masyarakat sebagai tanda hormat padanya dan leluhur, dalam batas kewajaran. Apa tuan adat mau kasih syair-syairnya, bibirnya, pada orang asing? Sementara sama anggota masyarakatnya sendiri belum tentu dia mau kasih. Bahwa proses pencarian data untuk proyek saya di Palu’e butuh waktu cukup lama saya sudah menyadari dari sebelumnya. Saya juga ingin sekali tinggal lama di daerah memang demi memperoleh sesuatu yang unik, tidak hanya bahasanya tapi ada juga keinginan untuk menulis sesuatu, misalnya tulisan bersifat sejarah sosial atau etnografis. Tunggu saat yang menarik muncul dan ditelusiri ke akarnya. Permasalahan yang mendalam butuh waktu dan kepercayaan. Seorang antropolog dulu memang tinggal bertahun-tahun, sesuatu yang saya tidak bisa; saya ada hidup di luar yang harus dilanjutkan. Prosesnya juga tidak seromantis seperti diharapkan, dengan pribumi yang memelihara setiap tradisi dan yang bisa disaksikan, dan adanya orang tua yang siap bercerita dan menyanyi. Jauh. Kita hidup di zaman multimedia visual dan walaupun Palu’e terpencil video dan televisi, dan pola ekonomi individualis, sudah masuk dan menggantikan kebiasaan lama. Secara budaya tamu dihormatin dan adalah kebiasaan untuk mengajak makan, walaupun sudah makan. Dimana-mana pergi orang ajak untuk minum kopi, mengobrol, merokok, makan, minum... Enak, tapi kita yang datang dari dunia di mana segala sesuatu berputar lebih cepat, dan yang mengejar hasil, lamalama tidak nyaman juga. Sementara interaksi sangat penting untuk mengenal masyarakat, mendapatkan sumber dan lain-lain. Adanya proses menyaring. Proses mengadaptasi dan hidup bersama berjalan cukup baik. Orang Palu’e senang kalau kita bisa mengadaptasi ke kondisi mereka dan makan apa yang mereka makan, biasanya barang sederhana. Bersahabatan dengan keluarga di rumahnya saya tinggal berperan penting. Kegiatan “sipil”, yang tidak bertujuan ke penelitian, dan pergaulan lama-lama sepertinya memberi semacam lampu hijau untuk diterima dan dipercaya orang banyak. Orang umumnya mengerti bahwa 12
Menurut etika dan rasa kita harus beri sesuatu pada mereka yang duduk lama mengerjakan sesuatu dengan dan
untuk kita. Semua orang tidak mau, tapi ada juga yang mau, dan harus seimbang dan agak minimal supaya tidak muncul rasa iri atau masalah lain.
saya meneliti, tapi sering juga saya mengalami kesusahan menjelaskan karena pekerjaan semacam itu tidak ada di dunia petani pulau terpencil. Saya terus-terang dengan tujuan saya dan dengan bahwa saya berniat membagi segala hasil di tingkat lokal. Beberapa bulan sudah lewat saat saya baru dapat cerita dongeng yang pertama oleh seorang perempuan senior, lewat perkenalan yang memanjang dari, sekarang sahabat atau saudara. Ternyata penuturnya andal dan cerita-ceritanya lucu atau menarik. Bahasanya juga asli, tidak banyak campur dengan Bahasa Indonesia, sesuatu yang sangat mengganggu kalau merekam. Saya ingin belajar dan merekam syair adat, baik di doa adat dan di nyanian. Ada berlakunya beberapa pamali yang membatasi itu. Bagian dari lagu adat tidak boleh nyanyikan kalau tidak ada acara adat, apalagi setelah berlakunya bhije lima tahun setelah potong kerbau. Para tokoh tidak mau, malah takut. Sementara upacara adat Pati Karapau di kampung Ndeo, di mana syair-syair dinyanikan dan doa adat diucapkan, saya dapat saksikan dan merekam bebas.13 Masalahnya, dalam kondisi ramai seperti itu syair-syair tidak selalu jelas dan hasil rekaman audio tidak ultimal. Saya tetap bingung dengan isinya, dan orang banyak juga tidak terlalu mengerti akan syair-syair. Hasil pendekatan orang tua keluarga lakimosa kurang, sepenggalpenggal. Lakimosa yang potong kerbau mulai terbuka setelah lebih mengerti tujuan saya dan mengenal saya. Humor, orang Palu’e senang bergurau atau menyindir lucu-lucu, satu kunci, kita bisa ketawa bersama. Lakimosa sekali-sekali, kalau dia ada, memberi beberapa kesempatan merekam bahasa adat yang ditutur secara spontan atau di saat ritual. Lampu Hijau, Lone wolf dan Kolaborasi Grassroots Dalam tulisan teori dokumentasi bahasa penulis sering diutarakan bahwa kolaborasi dengan komunitas penutur begitu penting sampai harus menyesuaikan tujuan dengan tujuan komunitas, demi alasan utama soal etika. Ada yang tidak menganggap begitu, dan bahwa lebih nyaman menjalankan tugas yang diinginkan, sebagai lone wolf, dengan tetap membalas generositas dan memenuhi syarat keadilan dan etika.14 Saya berkecenderungan ke yang kedua, otonom, tapi saya ingin juga bisa mengatakan “kita”, “kita melakukan”, karena lebih menyemangatkan. Saya ingin orang berkontribusi dari hati dan sadar bahwa ada kepentingan bersama, dan bahwa apa yang kita buat tidak lain dari menyelamatkan sebagian warisan 13
Hasil videoclip dan foto dibagi dengan wakil kampung. Berhubungan dengan etika dan perekaman,
mendapatkan informed consent sejauh bisa, beberapa sumber tidak akan mengerti akan arsipan dan Internet, sebelum sumber anda direkam. 14
Melihat artikel Crippen and Robinson (2013) misalnya.
budaya yang nota bene terancam. Habis beberapa bulan di Palu’e dan Flores dalam field trip pertama saya rasa bahwa banyak waktu terbuang, hasil kurang, dan susah mendapat sumber yang berarti. Sempat putus asa, tambah dengan fakta bahwa anggaran telah menipis. Dalam kurun waktu itu saya telah mengalami banyak, upacara adat panjang Pati Karapau, kehidupan dan kematian di kampung, kesusahan musim hujan dan angin barat, di mana penyeberangan ke daratan Flores berbahaya (dialami) dan penyakit kena baik manusia dan hewan. Hasil positifnya satu, cukup sempat menyatu dengan teman, keluarga dan kampung. Ketahuan kesusahan masing-masing dan ada penting bahwa saya dan sahabat-keluarga berhasil saling membantu dan membagi-bagi. Di sana ada istilah huju mbaku yang singkatnya berarti saling membantu secara materi, pertama dalam urusan adat belis, di antara keluarga besar, tapi sahabat bisa juga masuk di situ. Tentu saya tidak ikut melunasi belis orang, tapi cukup bisa masuk dalam sikap gotong-royong yang masih berlaku: kikir (kandoa) adalah sifat dasar yang jelas tidak disukai orang Palu’e. Dan uang, dalam arti beli sumber, tidak menentukan keberhasilan proyek jenis saya di lokasi dan kondisi ini.15 Rasanya harus kerja dari tingkat grassroots, supaya pelan-pelan bisa mengetahui dan mengakses tokoh dan sumber. Itu berarti kerja sama dengan anggota komunitas yang prihatin akan budayanya dan mampu memasalahkannya. Dalam kunjungan kedua pada pertengahan 2014 saya angkat seorang teman dari ekstensi saudara-pertemanan sebagai assisten. Dia mengerti apa yang saya melakukan dan bisa diajak punya visi dan misi yang sama. Saya memberi akses ke segala data yang saya telah kumpulkan 16 , juga sebagai keamanan backup – dia punya laptop dan kemampuan ber-computer. Teman ini dilatih program annotasi ELAN17 dan teknik perekaman dan itu berjalan dengan lancar. Saya minta komitmen, tidak menjanjikan gaji, dan kemudian memasukkan dia dalam aplikasi anggaran baru. Kami menghargai otonomitas masing-masing, dia diberi kebebasan berkreatif dalam 15
Bisa dibayangkan pendekatan begini: Kita mengumumkan proyek lewat struktur desa, dan membeli jasa itu,
dan memancing sumber dengan honorarium cukup besar, tanpa lupa syarat etika dan tujuan mulia. Bisa jadi berfungsi, dengan sebagian bahan yang dicari, dan akan hemat waktu (=modal), tapi risiko besar akan muncul tuduhan ’jual adat’ dan masalah lain. Terlalu rumit dengan soal yang menyangkut tradisi lisan, warisan adat. 16
Sebelumnya saya sudah punya kebiasaan untuk membagi foto dan videoclip dari acara adat dan aktifitas lain-
lain. Keterbukaan membantu, juga membagikan sebagai bukti bahwa apa yang saya/kita kumpulkan akan dikembalikan, langsung ke sumbernya kalau dia mau, atau suatu hari dengan publikasi arsip. Pengakuan akan kontribusi penting dan tentu sumber-sumber akan disebut kecuali mereka tidak mau disebut. 17
ELAN adalah program annotasi multimedia dari Max Planck Institute for Psycholinguistics, The Language
Archive, Nijmegen, The Netherlands.
.
rangka proyek, dan kami dapat mengkoordinasikan kerja sama. Dengan demikian pendekatan grassroots dengan unsur lone wolf telah berjalan.
18
Selain dia sendiri sebagai
sumber/konsultan dia bisa akses beberapa sumber penting lebih mudah daripada saya, khusus di wilayahnya. Dia juga menjalankan proyek dan mampu menjelaskan dan meyakinkan jaringan keluarga, tetua kampung, lakimosa, saudara dan perkenalan di pulau. Ini membuka akses ke korpus nyanyian adat misalnya, yang ada pamalinya.19 Saya sudah jadi akrab dengan beberapa sumber yang saya tidak menduga sumber. Pernah duduk bersama, ajak minum kopi, mengobrol biasa dengan seorang bapak, tanpa tujuan. Lama-lama baru tahu dia seorang dukun yang ahli fauna lokal dan pengobatan, dan kebetulan orang itu paman dari lelaki yang kemudian jadi assisten saya. Setelah itu tinggal datang saja bertanya-tanya dan ikut ke kebun memotret tumbuhan yang ditunjukkan. Sekarang sudah agak lancar memperoleh kontributor cerita dan bahasa. Yang tetap jadi masalah adalah bahwa ada sumber potensial yang belum menganggap bahwa aktifitas saya penting, yang tidak menyadari bahwa apa yang mereka memiliki penting buat warisan komunitas, atau mereka malu dan berpikir bahwa orang lain lebih bisa. Atau tidak sadar bahwa waktu si peneliti terbatas. Yang terakhir bisa jadi masalah ketika masuk di kampung baru, di mana ada beberapa kenalan saja, dan tetap ada proses pengenalan, yang di Palu’e berarti banyak duduk dan mengobrol (notho ndero). Tapi rasanya setelah beberapa bulan di pulau bahwa hampir segala penduduk mengetahui keberadaan saya dan bahwa saya telah diberi lampu hijau lewat persahabatan yang berjalan di luar tugas utama: Peneliti juga manusia. Perolehan sumber pernah didapat secara kurang lebih kebetulan. Misalnya, seorang eyang-buyut, satu hari ditanya oleh teman-informanku, apa bisa mendongeng? Dia susah mendengar, umurnya kami perkirakan mau dekat 100 tahun, dan dia 18
Sebagai peneliti akademis dalam bidang Kajian Tradisi Lisan yang berhadapan dengan subyek, yang
diwawancara dan direkam. Anda melihat subjek yang anda mau meneliti dan “memposisikan diri secara berbeda, sesuai dengan konteks dan situasi yang berbeda, tapi begitu juga dengan “yang lain” “yang anda memandangi” (Minh-ha 1999: 186-187). Pertemuan itu sendiri, Minh-ha menunjukkan, “tidak dapat sepenuhnya diukur” karena pertemuan itu berlangsung di dalam ruang antara yang dimiliki bersama oleh pengalaman imajiner dan kehidupan nyata dan pertanyaannya adalah sangat banyak tentang siapa itu yang akan mengklaim kepemilikan sejarah “yang lain” (the Other). Gerakan “spiral”, atau “strategy of displacement” (Minh-ha) ini, di mana baik peneliti maupun subyek berinteraksi dan tidak saling mebuat-buat atau meniadakan adalah proses terjemahan budaya. Subyek tradisi lisan tidak mengungkap kebenaran yang mutlak dan penafsiran akademis peneliti juga tidak. Ini masih berlaku buat asisten saya. 19
Baru dalam proses dan tetap ada beberapa hambatan soal logistik (di sini baru uang bisa berperan, dalam
rangka memuat penyanyi ke sebuah tempat yang nyaman dan memberi honorarium minim karena sumber meninggalkan aktifitas sehari-hari).
sudah ompong. Sehari-hari dia tidak kelihatan; dia berkebun atau duduk dalam kamar. Dan apa dia bisa mendongeng?
Nenek Lengu Nandene (lahir c. 1915-1918) dulu dikenal sebagai penyanyi adat bersama suaminya Nande yang lebih dikenal dalam bidang ini. Dia tahu mendongeng dan lancar seperti tekan tombol play di sebuah tape player, dan dia tidak mencampur bahasa dengan Bahasa Indonesia. Saya merekam 15 cerita lebih dalam dua sesi yang sangat menyenangkan. Ceritanya beragam; fabel dan cerita lucu, cerita rakyat lainnya dan mitos. Bisa jadi, tanpa kontribusi dia dan lakimosa, saya sudah menyerah. Tip:
Salah
satu
cara
untuk
menghormati dan merayu orang tua di kampung-kampung di NTT dan daerah lain adalah dengan memberi mereka sirih pinang untuk kunyah.
Dalam field work terakhir pada bulan Februari saya kembali ke sebuah pendekatan struktural; yaitu menggunakan dan melibatkan struktur sekolah SD dan SMP dan pengajaran Mulok untuk memperoleh cerita rakyat. Karena sudah kenal beberapa guru pengajar SD dan SMP (SMA tidak ada) mudah dapat persetujuan. Sebagai guru yang ada Mulok mereka juga ada kepentingan dan memperoleh bahan. Murid-murid akan diminta mencarikan sumber cerita rakyat dan mencatatnya dalam bahasa daerah, lalu bacakan di kelas, dan mungkin berlomba bacakan ke depan. Program “Mendongeng Palu’e” ini sudah terlaksana di dua sekolah SD (kelas 5 dan 6 di yang satu, dan kelas 3 sampai kelas 6 di yang kedua) dengan hasil yang cukup menyenangkan. Guru-guru dan murid-murid berhasil melaksanakan tugas dalam waktu
hanya seminggu.20 Cerita, dengan catatan sumber, dikumpulkan oleh guru dan difoto semua oleh saya setelah kelas selesai. Beberapa cerita direkam saat dibacakan, tapi, tujuannya adalah merekam anak yang bawa cerita, orang lain atau sumber di lain saat, dalam kondisi sepi. Kami mengharap dapat mengetahui sumber cerita yang baru lewat pendekatan ini. MULOK dapat bahan dan tugas ini mengembangkan kemampuan bercerita dalam bahasa daerah, sesuatu yang semua anak belum mampu. Setelah bacakan ceritanya anak berjabat tangan dengan saya/guru dan diberi buku tulis sederhana.21 Kebanyakan cerita merupakan fabel dan banyak judul yang muncul ulang, kadang dengan versi lain. Fabel, biasanya dengan kejadian dan ending yang lucu, juga menarik buat saya dan ada beberapa baru yang dapat digunakan.
Pembacaan dongeng/fabel yang sudah dicari dan dicatat oleh murid. Kelas V, Sekolah Tomo, kampung Tomo, Palu’e, 7 Feb 2015.
20
Beberapa yang belum sempat bacakan atau masih perbaiki cerita menyusul satu minggu kemudian.
21
Buku tulis harga seribu rupiah. Dua sekolah dengan 90 murid jadi biaya 90.000 rupiah, biaya yang tidak besar
dan tetap bernilai di mata guru-guru dan murid-murid.
Ringkasan Jenis penelitian saya butuh waktu lama. Dan hanya waktu dan pengenalan yang ekstensif yang membuka jalan. Beberapa poin yang saya harap bisa disimak dari tulisan ini adalah: belajar dan mematuhi norma-norma budaya lokal, sambil menjaga otonomi, dan bentuk kesopanan dan hormat. Membangun dan menjaga kepercayaan dari masyarakat. Menghormati aturan lokal untuk alokasi barang, tugas, dan tanggung jawab. Hindari berpihak dalam ketegangan lokal. Pastikan bahwa orang yang bekerja dengan anda mendapat pengalaman positif dari kerjasama. Jadilah terbuka dan blak-blakan tentang tujuan dan sasaran usaha anda, siapa yang diuntungkan, dan apa tujuan penggunaan bahan. Sebagai kata penutup kerja lapangan adalah pengalaman, kehidupan nyata, dan apa yang merupakan teori dan metode merupakan sebuah dialektika dengan pengalaman itu; malah cara yang berhasil tanpa merugikan itu cara yang benar.22 Daftar Pustaka Angelanai, F. 1999. Sastra Lisan Ngadha di Bajawa. Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat (Indonesia). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cerwonka, A. and Malkki, L. H. 2007. Improvising Theory Process and Temporality in Ethnographic
Fieldwork.
Crippen and Robinson. 2013. In Defense of the Lone Wolf: Collaboration in language Documentation.
Language
Documentation
&
Conservation
7:
123-135.
Accessed 22 Jan 2015. Ethnologue. Lewis, Simons and Fennig (eds.). 2014. Seventeenth edition. Dallas, Texas: SIL
Ethnologue: Languages of the World,
International.
. Accessed 15 Dec 2014. Himmelmann, N. P. 1998. Documentary and descriptive linguistics. Linguistics 36: 161-195. [Berlin: de Gruyter] Minh-ha, T. T. 1999. Cinema Intervals. Routledge. Si, A. 2011. ’Biology in Language Documentation’. Language Documentation and Conservation. 5: 169-186. Accessed 21 Jan 2015.
22
Cerwonka and Malkki (2007) menganggap bahwa hakitat teorisasi etnografi adalah improvisatoris dan
dilakukan dalam waktu nyata dan situasi sosial tak terduga.
Stefan Danerek pernah kuliah Bahasa Indonesia di Swedia sampai S1 tahun 1998. Tahun 2006 meraih gelar dokter dalam bahasa Indonesia dengan dissertasi berjudul Tjerita and Novel, Literay developments in Post New Order Indonesia (Dep. Language and Literature, Lund University 2006). Dia telah menterjemahkan beberapa karya sastra Indonesia ke Swedia, di antaranya master-antologi cerpen Indonesia dalam Bahasa Swedia Tusen fjärilar, tusen gevärskulor. Indonesien berättar (Bokförlaget Tranan 2012), dan cerpen-cerpen sastrawan Swedia August Strindberg ke Bahasa Indonesia (Cerita dari Stockholm, YOI 2012).