1 Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2016

1 | Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2016

KEMISKINAN NELAYAN BURUH DITINJAU DARI PERSPEKTIF KESADARAN POLITIK: STUDI TERHADAP MASYARAKAT NELAYAN DI PANTAI TELUK PENYU, KABUPATEN CILACAP Oleh: Vallen Arga dan Cholisin, M. Si. / Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena kemiskinan nelayan buruh ditinjau dari perspektif kesadaran politik pada masyarakat nelayan di Pantai Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap. Paradigma penelitian yang digunakan adalah konstruktivisme dengan pendekatan penelitian kualitatif. Fenomenologi-interpretatif dipilih sebagai strategi penelitian guna mengupas makna dibalik fenomena yang ada. Penentuan subjek penelitian menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria: nelayan yang tidak memiliki alat produksi sendiri, bekerja pada unit penangkapan tradisional, dan terdata sebagai anggota di Kelompok Nelayan Pandanarang Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian ketiganya ditriangulasikan sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data. Data yang didapat kemudian di analisis dengan menggunakan metode analisis data Colaizzi (Colaizzi’s method). Hasil dari proses analisis data kemudian disajikan dari awal hingga akhir secara deskriptif. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan model penelitian deskriptif. Hasil yang diperoleh menggambarkan bahwa kemiskinan nelayan buruh merupakan suatu kondisi yang mengarah pada rendahnya kesadaran politik nelayan buruh. Kecenderungan rendahnya kesadaran politik tersebut tampak dari kesadaran terhadap kebijakan pemerintah, perhatian terhadap kegiatan politik, penerimaan informasi politik, dan keterbukaan dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah yang cenderung rendah. Penelitian ini juga mengungkap fakta bahwa dimensi kultural turut mempengaruhi kemiskinan nelayan buruh, seperti rasa malas dan sikap otonom yang cenderung kuat. Hasil penelitian ini menguatkan konsep “Lingkaran Kemiskinan Bertingkat” (Nested Spheres of Poverty) dimana kemiskinan merupakan kondisi kekurangan secara multidimensional dari aspek sosial, ekonomi, ekologi, serta politik. Selain itu, hasil yang diperoleh juga melengkapi konsep tersebut dimana selain dibutuhkan adanya infrastruktur dan pelayanan (service), juga dibutuhkan pemberdayaan dan penyadaran masyarakat. Oleh karena itu, dapat dimaknai bahwa selain ditunjang dengan adanya infrastruktur dan pelayanan dari pemerintah, LSM, maupun sektor swasta, peningkatan kesejahteraan nelayan buruh juga sebaiknya diiringi dengan proses pembinaan dan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesadaran politik. Hal ini dimaksudkan agar nelayan buruh dapat lebih partisipatif dan berperan dalam proses pembangunan. Kata Kunci: Kemiskinan, Nelayan Buruh, Kesadaran Politik


POVERTY OF LABOUR FISHERMAN IN POLITICAL AWARENESS PERSPECTIVE: A STUDY ABOUT FISHERMAN SOCIETIES IN TELUK PENYU BEACH, CILACAP REGENCY By: Vallen Arga and Cholisin, M. Si. / Legal and Civic Education Department, Social Science Faculty, Yogyakarta State University ABSTRACT This research is aimed to describe the poverty of labour fisherman phenomenon in political awareness perspective towards the fisherman societies in Teluk Penyu Beach, Cilacap Regency. Qualitative based research with constructivism paradigm is used in this study. Phenomenology-Interpretative is chosen as research strategy to analyze the phenomenon. For determining the research subject, the researchers use purposive sampling technique with the criteria: fisherman that does not have their own production tools, working under traditional fisheries unit, and formed in as a member of Pandanarang Fishermen Group in Teluk Penyu Beach, Cilacap Regency. Observation, interview, and documentation are used for data collection technique. Afterwards, all of the data is being triangulate as a technique of investigation validity. The collected data will be analyzed using the Colaizzi’s method. The result from data analysis will present from the beginning until the end in descriptive way. Therefore, this research is using descriptive research model. The result of this research is portraying the poverty in labour fisherman is a condition which leads to the low level of their political awareness. The tendency from the low level of political awareness is visible through awareness in government policy, interest in politic activity, acceptance of politic information, and openness within deliver the aspiration towards the government tend to have a low interest. This research also revealed a fact that cultural dimension have an influence in labour fisherman poverty, such as reluctant act and strong tendency to act autonomous. This research is reinforcing the “Nested Spheres of Poverty” concept where poverty is a shortage condition in multidimensional from social aspect, economy, ecology, and politic. Moreover, the result also completed the concept where besides the infrastructure and service, it also needs society empowerment and awareness. Hence, it can be interpreted that besides having a support from infrastructure and service from the government, NGO, or private sector, the increase rate of labour fisheries prosperity and conversely followed by development and effort process which lead to increase the political awareness. This act is purpose to increase the labour fisherman participation for having a role of development. Keywords: Poverty, Labour Fisherman, Political Awareness


PENDAHULUAN Nelayan menjadi profesi yang sangat penting dalam mengoptimalkan pengelolaan serta pengolahan sumber daya laut Indonesia. Nelayan menempati posisi sebagai garda terdepan dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia terutama dalam hal kecukupan protein hewani hasil laut. Menurut Masyhuri (1999: 9), melalui nelayan pula berbagai industri dapat beroperasi dan bergeliat. Mulai dari industri rumah tangga berskala lokal hingga industri pengolahan hasil laut berskala internasional. Meskipun nelayan memiliki peran penting, namun dalam kenyataannya pada lapangan sosial, ekonomi, dan politik kedudukan nelayan selalu termarjinalkan. Secara ekonomi, nelayan yang bertindak sebagai produsen tidak memperoleh bagian pendapatan yang besar. Justru para pedagang besar dan pengepul yang meraup keuntungan lebih banyak dibandingkan nelayan. Belum lagi adanya ketentuan retribusi dari hasil tangkapan yang disetorkan oleh nelayan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Padahal pendapatan mereka tidak menentu karena bergantung pada kondisi perairan, cuaca, dan musim. Pada lapangan politik, ruang bagi nelayan untuk menekan pemerintah juga belum terbuka lebar. Nelayan tidak mampu melakukan lobby-lobby politik untuk mempengaruhi pemerintah dalam merumuskan kebijakan. Arif Satria (2009: 354) mengungkapkan jika nelayan di Indonesia tidak mampu menjadikan suara dan kepentingannya sebagai agenda politik. Hal inilah yang membedakan nelayan di Indonesia dengan para nelayan di Jepang.


Pada masyarakat nelayan yang memiliki kondisi serba kekurangan tersebut terdapat satu kelompok nelayan yang menempati lapisan terbawah dalam struktur sosial masyarakat nelayan. Kelompok nelayan tersebut adalah nelayan kuli atau nelayan buruh. Nelayan kuli atau buruh ini bekerja pada unit-unit penangkapan tradisional maupun modern karena mereka sejatinya tidak memiliki alat produksi sendiri. Dibandingkan dengan juragan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik nelayan buruh sangat memprihatinkan. Kusnadi (2002: 4) dalam bukunya “Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan” bahkan memberikan istilah bagi nelayan buruh sebagai the poor of the poorest. Nelayan buruh seringkali dipandang identik dengan kemiskinan, kebodohan, kelemahan, ketidakefisienan, serta dianggap kurang mampu merencanakan masa depannya sendiri. Masyhuri dan Mochammad Nadjib (2000: 7) menganggap bahwa permasalahan yang menimpa nelayan buruh tersebut terjadi secara simultan dan berkesinambungan dari tahun ke tahun. Padahal berbagai program dan bantuan kepada masyarakat nelayan, telah gencar dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Akan tetapi, program-program tersebut dirasakan kurang menyentuh masyarakat nelayan secara keseluruhan, terutama kelompok nelayan buruh. Hal ini dapat dipahami karena sebaik apapun program-program yang dicanangkan pemerintah tentunya tidak akan memberikan hasil yang optimal apabila tidak diikuti dengan sistem yang baik serta kepedulian dari warga negara itu sendiri. Gabriel A. Almond dan Sidney Verba (1984: 65) menyebut jika kepedulian tersebut dapat ditunjukkan dengan kesadaran untuk partisipasi serta melakukan kontrol sosial kepada


pembuat kebijakan. Kesadaran ini yang akan membawa nelayan buruh untuk bertindak sebagai subjek pembangunan, bukan sebagai objek pembangunan. Salah satu daerah yang menemui permasalahan terkait kesejahteraan nelayan buruh adalah Kabupaten Cilacap. Daerah terluas di Propinsi Jawa Tengah ini memiliki keunggulan dari aspek topografis, geografis, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas penunjang perikanan dibandingkan daerah pesisir lainnya (Pemerintah Kabupaten Cilacap, 2014). Secara topografis, Kabupaten Cilacap memiliki kontur dataran landai di sepanjang pantainya. Kondisi ini tentu sangat cocok digunakan untuk sektor perikanan tangkap. Selain itu, Kabupaten Cilacap merupakan satu-satunya daerah di Pulau Jawa yang memiliki pelabuhan alam besar (diapit dua daratan sempit) dengan laut dalam. Berdasarkan segi ketersediaan fasilitas perikanan, Kabupaten Cilacap merupakan satu-satunya daerah di pantai selatan Pulau Jawa yang memiliki Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS). Sebaran tangkapan ikan bagi daerah yang memiliki Pelabuhan Perikanan Samudera adalah hingga perairan internasional dan kapasitas tangkap mencapai lebih dari 60 GT (Gross Ton). Segi aksesibilitas menunjukkan bahwa jarak antara pusat ibukota Kabupaten Cilacap dengan lokasi kegiatan masyarakat nelayan di Pantai Teluk Penyu hanya satu setengah hingga dua kilometer. Jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu sekitar lima sampai sepuluh menit (Pemerintah Kabupaten Cilacap, 2014). Akan tetapi, berbagai keunggulan yang dimiliki Kabupaten Cilacap tampak kontradiktif dengan kondisi nelayan buruh disana. Kehidupan nelayan buruh dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik sangat memprihatinkan di tengah potensi


perikanan Kabupaten Cilacap yang besar. Kisihandi (2015) dalam artikelnya menggambarkan bahwa masih banyak nelayan buruh di Kabupaten Cilacap yang harus terjebak pada sistem ijon ketika musim paceklik tiba. Mereka harus berhutang dulu kepada juragan maupun orang lain untuk memenuhi kebutuhan dasar hariannya, barulah nanti ketika musim ikan tiba mereka akan menutup hutang tersebut. Selain itu, apabila pendapatan nelayan buruh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, terkadang para istri nelayan harus menggadaikan atau bahkan menjual barang-barang rumah tangga guna memenuhi kebutuhan pokok dan untuk membayar hutang. Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan penting yang teridentifikasi adalah kehidupan nelayan buruh tampak memprihatinkan, padahal potensi sumber daya laut Kabupaten Cilacap sangat besar dengan didukung aksesibilitas dan infrastruktur perikanan yang lengkap. Oleh karena itu, dengan melihat identifikasi masalah yang didapat maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena kemiskinan nelayan buruh ditinjau dari perspektif kesadaran politik pada masyarakat nelayan di Pantai Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap. METODE PENELITIAN Pendekatan, Strategi, dan Model Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti terlibat dalam pengalaman yang berkelanjutan dan terus-menerus selama proses penelitian dengan nelayan buruh selaku subjek penelitian. John W. Creswell (2010: 264) memandang bahwa keterlibatan inilah yang nantinya memunculkan serangkaian isu-isu strategis, etis, dan personal dalam proses


penelitian.

Fenomenologi-interpretatif

dipilih

sebagai

strategi

penelitian

mengingat tujuan dari penelitian ini adalah mengupas makna dibalik fenomena kemiskinan nelayan buruh. Strategi ini mensyaratkan peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu dengan terlibat secara langsung di dalamnya guna mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna (Creswell 2010: 21). Model penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dimana hasil penelitian tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu gejala atau keadaan, dalam hal ini adalah fenomena kemiskinan nelayan buruh. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2015 sampai dengan bulan Maret 2016 dengan mengambil lokasi di kawasan Pantai Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap. Subjek penelitian diambil dari salah satu kelompok nelayan yang ada di kawasan tersebut, yakni Kelompok Nelayan Pandanarang. Rasionalisasi pemilihan tempat mencakup kekhasan, kekhususan, dan keistimewaan dari segi topografis, geografis, aksesibilitas, ketersediaan fasilitas perikanan, dan eksistensi wilayah yang berbeda dari daerah-daerah lainnya, sehingga menjadikan lokasi ini menarik untuk diteliti. Subjek Penelitian Subjek penelitian ditentukan secara purposive sampling berdasarkan pada pertimbangan dan tujuan tertentu melalui kriteria yang telah disusun sebelumnya. Kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti untuk memilih subjek dalam penelitian ini adalah: (1) nelayan yang tidak memiliki alat produksi atau perlengkapan


melaut sendiri, seperti: perahu, jaring, mesin, perbekalan operasional, dan sebagainya; (2) bekerja pada juragan yang memiliki perahu jenis jukung, atau dengan kata lain bekerja pada unit penangkapan tradisional; dan (3) terdata sebagai anggota Kelompok Nelayan Pandanarang. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat perhatian nelayan buruh terhadap organisasi yang menaungi. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan tersebut, didapatkan tujuh subjek penelitian sebagai berikut. Tabel 1. Subjek Penelitian yang Diperoleh Kategori S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 Inisial Bp. Bp. Bp. Nama Bp. Nn Bp. Sn Bp. Pm Bp. Dk Taryono Tipung Anton Subjek Jenis Pria Pria Pria Pria Pria Pria Pria Kelamin Usia Subjek 59 43 49 35 37 39 27 Penelitian tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun Pendidikan SD SMP SD SD SMA SD SD Subjek Bidak/ Bidak/ Bidak/ Bidak/ Bidak/ Bidak/ Bidak/ Pekerjaan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Subjek Buruh Buruh Buruh Buruh Buruh Buruh Buruh Lama 40 26 37 21 20 24 15 Bekerja tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun Asal Daerah Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap Subjek Jumlah 1 istri + 1 istri + 1 istri + 1 istri + 1 istri + 1 istri + Belum Tanggungan 2 anak 2 anak 4 anak 1 anak 3 anak 3 anak menikah Teknik Pengumpulan Data dan Pemeriksaan Keabsahan Data Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipasi pasif dimana menurut Creswell, teknik observasi ini mensyaratkan peneliti datang di tempat kegiatan subjek yang diamati tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut (Creswell, 2010: 267). Peneliti mencatat dan merekam aktivitas-aktivitas dalam lokasi penelitian yang


dilakukan oleh subjek penelitian terkait kesadaran politik dan kehidupan sosialekonomi mereka. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur, atau biasa juga disebut wawancara mendalam. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh informasi tertentu dari semua subjek penelitian, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri tiap subjek penelitian. Selama penelitian berlangsung, peneliti juga mengumpulkan dokumen-dokumen kualitatif sebagai data pendukung dan penunjang. Pada penelitian ini, dokumen yang diperoleh berupa notulensi rapat, laporan pertanggungjawaban kelompok nelayan, laporan pertanggungjawaban koperasi unit desa, laporan pertanggungjawaban badan pengawas koperasi, serta lampiran-lampiran pengurus TPI pada rapat tahunan kelompok nelayan. Data yang diperoleh dari ketiga teknik tersebut kemudian ditriangulasikan sebagai proses pemeriksaan keabsahan data. Data yang diambil dari teknik-teknik yang digunakan tidak bisa disamaratakan seperti dalam penelitian kuantitatif, namun dideskripsikan dan dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, mana yang berbeda, dan mana yang spesifik dari sumber-sumber data itu. Creswell (2010: 287) mengemukakan bahwa triangulasi digunakan untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Teknik Analisis Data Oleh karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi fenomenologi-interpretatif, maka teknik analisis data induktif yang digunakan merujuk pada metode Colaizzi (Colaizzi’s method) yang diperkenalkan oleh Audrey A. Trainor dan Elizabeth Graue (2013: 182). Metode ini merupakan


adaptasi dan pengembangan dari pemikiran Stevick, Kenn, dan Colaizzi sendiri sebagai para penganut fenomenologi. Langkah-langkah metode analisis data Colaizzi ini antara lain: 1. Reading all protocols Peneliti membaca semua protokol penelitian yang telah disusun terkait fokus dan permasalahan dalam penelitian. 2. Extracting significant statements Peneliti mengekstraksi pernyataan-pernyataan subjek penelitian yang penting dan signifikan. 3. Formulating meanings of those statements Peneliti memformulasikan makna-makna yang didapat dari hasil ekstraksi pernyataan-pernyataan subjek penelitian yang signifikan. 4. Organizing meanings into clusters of themes Makna-makna yang didapat dari pengelompokkan pada langkah sebelumnya kemudian diorganisasikan ke dalam kelompok-kelompok tema. Penyusunan tema-tema ini dimulai dari penentuan kata kunci, kategori, subtema, dan tema. 5. Validating themes by referring back to the protocols Tema-tema yang telah terbentuk selanjutnya divalidasikan dengan mengacu kembali pada protokol penelitian yang dibuat. 6. Deriving an exhaustive description of the topic Langkah ini dilakukan untuk memperoleh deskripsi yang lebih lengkap dan mendalam sesuai dengan topik penelitian. Hal ini dilakukan dengan


menuliskan deskripsi yang lebih sempurna dan jelas berdasarkan temuantemuan yang telah diorganisasi sesuai langkah-langkah sebelumnya. 7. Formulating a statement that capture the structure of the phenomenon Pada langkah ini peneliti memformulasikan sebuah pernyataan yang menggambarkan struktur dari fenomena yang tertangkap. Peneliti mencoba mengonstruksikan inti yang diperoleh dari proses analisis data sehingga didapat tangkapan gambaran fenomena yang ada melalui sebuah pernyataan. 8. Returning to each participant to discuss findings in a final validating step, and prepare to incorporate any new data into the findings Setelah hasil dari analisis data diperoleh, peneliti melakukan validasi terakhir dengan kembali ke setiap subjek penelitian untuk menanyakan apakah ada data yang tidak sesuai, terlalu berlebihan, atau terdapat kekurangan agar nantinya dapat diakomodasikan sebagai penyempurnaan hasil temuan dalam penelitian ini. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Fenomena kemiskinan nelayan buruh dari kacamata kesadaran politik memberikan gambaran yang berbeda dari sudut pandang ekonomi maupun sosial. Sudut pandang kesadaran politik memberikan gambaran bahwa kemiskinan yang nelayan buruh alami merupakan suatu kondisi dan keadaan yang mengarah pada rendahnya kesadaran politik nelayan buruh. Kecenderungan rendahnya kesadaran politik tersebut tampak dari kesadaran terhadap kebijakan pemerintah, perhatian terhadap kegiatan politik, penerimaan informasi politik, dan keterbukaan dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah yang cenderung rendah. Kesadaran


politik nelayan buruh yang cenderung rendah tersebut sebenarnya dapat dipahami karena mereka merasa memiliki posisi dalam struktur sosial-ekonomi yang lemah. Perubahan struktur sosial-ekonomi ini dapat terjadi apabila diadakan perubahan, salah satunya dalam struktur politik. Menurut Sarbini Sumawinata (2004: 128), hal ini dapat diwujudkan melalui pengawasan sosial yang diekspresikan dalam bentuk efektivitas pendapat umum melalui berbagai saluran sehingga nantinya dapat mendorong atau menekan pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkaitan untuk mengadakan suatu perbaikan. Perubahan dalam struktur sosialekonomi menjadi mungkin manakala nelayan buruh memiliki kesadaran, keberanian, dan kemampuan untuk turut serta aktif dalam pembangunan. Tidak hanya sekadar mengeluhkan kehidupan sosial-ekonomi mereka yang sulit, tetapi ada upaya untuk mendorong pemerintah dan pihak terkait melakukan perbaikan terhadap mekanisme dan sasaran bantuan dan program kerja. Hasil penelitian ini juga menemukan fakta dibalik fenomena yang ada bahwa kemiskinan yang nelayan buruh alami turut dipengaruhi oleh dimensi kultural. Dimensi kultural tersebut antara lain: 1. Sifat malas untuk terlibat dalam agenda pemberdayaan masyarakat nelayan Sifat malas ini ditunjukkan dari keinginan nelayan buruh yang hanya menghendaki diri menjadi makmum tanpa harus repot mengurus semua tahapan agenda pemberdayaan masyarakat nelayan, seperti pembentukan kelompok usaha bersama dan penyusunan proposal bantuan. 2. Sikap otonom yang cenderung kuat


Sikap otonom ini ditunjukkan dari kebiasaan nelayan buruh yang lebih memilih untuk fokus pada pekerjaan sendiri tanpa mempedulikan adanya kebijakan atau program pemerintah. 3. Senantiasa menghindari perkataan negatif dari tetangga sekitar Nelayan buruh di Kelompok Nelayan Pandanarang senantiasa menghindarkan diri dari kecemburuan sosial dan sentimen dari tetangga sekitar. Mereka berusaha untuk menghindari adanya respon negatif dan iri dari tetangga sekitar. Bagong Suyanto dalam bukunya, “Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya” (2013: 8), memaparkan bahwa secara kultural seringkali muncul suatu pesimisme dikalangan masyarakat miskin bahwa apa yang mereka alami adalah suatu takdir. Mereka percaya bahwa setiap orang telah memiliki nasibnya masing-masing yang harus diterima, sehingga secara tidak sadar sejatinya mereka tetap bertahan dalam kemiskinan. Pandangan itulah yang menyebabkan banyak nelayan buruh tidak mengupayakan diri mereka agar mendapatkan kesempatan yang sama seperti juragan. Daripada menekan pemerintah atau organisasi yang menaungi, mereka lebih memilih untuk fokus pada pemenuhan kebutuhannya sendiri. Berbagai cara dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup, seperti: (1) berhutang pada juragan atau pemilik toko penyedia kebutuhan; (2) menggadaikan atau menjual perkakas rumah tangga; (3) menyimpan sebagian pendapatan saat musim ikan untuk digunakan pada musim paceklik; hingga (4) mencari ikan jenis lain dengan harga yang sangat murah dan hasil yang sedikit. Berbagai fakta di atas melengkapi konsep Lingkaran Kemiskinan Bertingkat (Nested Spheres of Poverty) yang disampaikan oleh Christian Gonner (ahli


etnologi), Ade Cahyat (ahli forestry dan ekologi), Michaela Haug (ahli antropologi kultural dan sosial), dan Godwin Limberg (ahli pembangunan berkelanjutan

dari

aspek

politik)

dimana

keempatnya

fokus

mengkaji

kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di Indonesia sejak lama.

Bagan 1. Lingkaran Kemiskinan Bertingkat atau Nested Spheres of Poverty (Gönner, dkk., 2007: 13). Pada lingkungan konteks terluar, selain diperlukan sarana, prasarana, dan fasilitas (infrastructure) serta pelayanan (services) dari pemerintah, sejatinya juga sangat dibutuhkan adanya pemberdayaan dan pembangunan kultur partisipatif masyarakat miskin. Maksudnya, pemerintah tidak sekadar memberikan perhatian berupa materi atau bantuan secara fisik kepada kelompok masyarakat miskin, tetapi diiringi pula dengan penyadaran politik dan pemberdayaan kultur masyarakat tersebut agar lebih partisipatif dan berperan dalam proses pembangunan. Menurut Amartya Kumar Sen, pendapatan per kapita yang tinggi tidak secara otomatis membuat kehidupan manusia semakin baik. Pernyataan bahwa “pendapatan yang rendah sebagai penyebab kemiskinan” menurutnya dianggap terlalu menyederhanakan masalah. Bagi Amartya Sen, ada penyebab yang lebih


mendasar mengapa terjadi keterbelakangan, yakni kualitas sumber daya manusia (Latif, 2011: 598). Oleh karena itulah, upaya pemberdayaan dan penyadaran masyarakat miskin, dalam hal ini nelayan buruh, menjadi penting disamping penyediaan infrastruktur dan pelayanan dari pemerintah, sektor swasta, atau LSM. Kualitas sumber daya manusia yang handal hanya dapat dibangun melalui pendidikan, salah satunya adalah pendidikan politik. Pendidikan politik ini menjadi salah satu upaya penyadaran politik dan pemberdayaan masyarakat untuk mengambil peran dalam proses pembangunan. Kesadaran politik juga mengindikasikan lahirnya sosok warga negara yang baik (good citizen) dimana seseorang telah sadar bahwa dirinya memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara (Cholisin, 2004: 126). Kesadaran tersebut menjadi pendorong untuk berperan serta dalam berbagai aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, maupun politik. Hal tersebut diperlukan agar nelayan buruh dapat menyalurkan aspirasi sebagai rakyat yang berdaulat, memberi arahan bagi penyelenggara

negara,

dan

mengawasi

jalannya

pemerintahan

secara

partisipatoris. Kesadaran akan hak politik ini menjadi sangat penting karena dapat mencegah terjadinya malapetaka ekonomi, sosial, dan politik. Amartya Sen (2000: 69) menyebutkan bahwa memang tidak ada hubungan yang konklusif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, tetapi sejarah menunjukkan bahwa kelaparan yang dahsyat tidak pernah terjadi di negara yang demokratis. Amartya Sen bahkan menunjuk Indonesia secara spesifik dalam bukunya. Menurutnya, para korban di Indonesia mungkin tidak begitu terpikat pada demokrasi ketika


ekonomi berjalan lancar. Akan tetapi ketika ekonomi runtuh ketiadaan lembaga demokrasi telah membungkam suara mereka (Sen, 2000: 71). Lembaga demokrasi tidak hanya diciptakan dan dibentuk oleh pemerintah yang sedang berkuasa, tetapi juga mensyaratkan perlunya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan ini didasari oleh kesadaran bahwa mereka memiliki hak politik yang harus diperjuangkan. Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa meskipun berbagai lembaga demokrasi telah hadir di tengah masyarakat nelayan namun tetap saja nelayan buruh terpintal dalam kemiskinan. Kebijakan, program kerja, dan bantuan dari pemerintah serta agenda-agenda demokrasi yang diadakan organisasi profesi yang menaungi, cenderung tidak dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan buruh. Padahal apabila nelayan buruh berpartisipasi aktif dalam berbagai lembaga demokrasi tersebut, bukan tidak mungkin status sosial-ekonomi dapat berangsur-angsur berubah. Perubahan status sosial-ekonomi tersebut akan membawa mereka pada keberdayaan ketika berhadapan dengan negara (state) dan mekanisme pasar (market). Menurut Jimly Asshiddiqie (2010: 377), hubungan triadik antara masyarakat, negara, dan pasar tersebut dapat dibangun secara seimbang. Apabila keseimbangan tersebut tercapai, maka cita-cita dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang termaktub dalam konstitusi Indonesia dapat terwujud. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kemiskinan nelayan buruh merupakan suatu kondisi yang mengarah pada rendahnya kesadaran politik nelayan buruh. Kecenderungan rendahnya kesadaran


politik tersebut tampak dari kesadaran terhadap kebijakan pemerintah, perhatian terhadap kegiatan politik, penerimaan informasi politik, dan keterbukaan dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah yang cenderung rendah. Fakta lain yang terungkap adalah dimensi kultural turut mempengaruhi kemiskinan nelayan buruh. Dimensi kultural tersebut antara lain rasa malas, sikap otonom yang cenderung kuat, dan sikap menghindari kecemburuan sosial dan respon negatif dari tetangga sekitar. Berbagai fakta di atas melengkapi konsep Lingkaran Kemiskinan Bertingkat atau Nested Sphere of Poverty (NESP), dimana pada lingkungan konteks terluar selain diperlukan infrastruktur dan pelayanan dari pemerintah juga diperlukan adanya penyadaran dan pemberdayaan kelompok masyarakat miskin, dalam hal ini nelayan buruh, untuk lebih berpartisipasi dan berperan dalam proses pembangunan. Saran Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti merasa perlu untuk memberikan saran atau rekomendasi kepada pihak-pihak terkait demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan buruh. Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan antara lain: 1. Rekomendasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap Permasalahan utama yang teridentifikasi dari hasil penelitian ini adalah kecenderungan rendahnya kesadaran politik nelayan buruh untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan. Upaya pengentasan kemiskinan nelayan buruh yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap melalui


Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan

(DKP2SKSA)

adalah

dengan

penguatan,

penyadaran

dan

pemberdayaan nelayan buruh. Pelaksanaan operasionalnya dapat dilakukan melalui pendidikan politik yang bekerjasama dengan akademisi dari institusi pendidikan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kerjasama ini dimaksudkan agar pendidikan politik dilakukan secara murni dan berasaskan kajian akademik serta studi ilmiah, bukan sekadar kepentingan politik praktis semata. Program ini hendaknya diadakan secara rutin dan berkesinambungan dalam periode yang tetap. 2. Rekomendasi bagi Pengurus Kelompok dan Rukun Nelayan Pandanarang Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa keterlibatan nelayan buruh dalam berbagai agenda dan program organisasi profesi yang menaungi masih cenderung rendah. Hal ini ditandai dengan kurangya antuasiasme dan partisipasi nelayan buruh dalam menyampaikan aspirasi pada forum rapat atau agenda pengambilan keputusan. Rekomendasi yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan permasalahan tersebut adalah pengurus organisasi diharapkan dapat melakukan follow up atas program yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap bersama LSM dan akademisi. Follow up yang dilakukan dapat berbentuk pemberian ruang publik khusus bagi nelayan buruh pada saat diadakan agenda rutin seperti Rapat Pra-RAT maupun RAT (Rapat Anggota Tahunan) Paripurna. Pemberian ruang publik khusus ini dimaksudkan untuk

melatih

nelayan

buruh

mengartikulasikan

menyampaikan aspirasinya secara langsung dan terbuka.

kepentingan

dan


3. Saran untuk Nelayan Buruh Nelayan buruh diharapkan dapat ikut dan terlibat secara aktif dalam setiap program pemerintah baik pusat atau daerah, maupun agenda rutin organisasi sosial yang menaungi. Peran itu dapat dilakukan dengan menyalurkan aspirasi, pendapat, pandangan, maupun keluhan secara langsung kepada pemerintah melalui forum-forum yang diadakan seperti penyuluhan, program pembinaan, Rapat Pra-RAT maupun Rapat Anggota Tahunan (RAT) Paripurna. DAFTAR PUSTAKA Almond, Gabriel A. dan Verba, Sidney. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (diterjemahkan oleh Sahat Simamora). Jakarta: Bina Aksara. Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Cholisin. 2004. Diktat: Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial UNY. Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (diterjemahkan oleh Achmad Fawaid). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gönner, C., dkk. 2007. Menuju Kesejahteraan: Pemantauan Kemiskinan di Kutai Barat, Indonesia (diterjemahkan oleh Sugeng Hariyanto). Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Kisihandi, Ferry (Ed). 2015. “Hari Nelayan Nasional, Kemiskinan Masih Melilit Mayoritas Nelayan”. http://www.republika.co.id/berita/koran/prokontra/15/04/07/nmf4g84-hari-nelayan-nasional-kemiskinan-masih-melilitmayoritas-nelayan. Diakses pada tanggal 15 November 2015 pukul 16.15 WIB. Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS. Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Masyhuri. 1999. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi: Telaahan terhadap Sebuah Pendekatan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan-LIPI. Masyhuri dan Nadjib, Mochammad. 2000. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal: Sebuah Uji Model Penanganan Kemiskinan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan-LIPI. Pemerintah Kabupaten Cilacap. 2014. Kondisi Umum: Kondisi Geografis Daerah. Melalui www.cilacapkab.go.id/v2/index.php?pilih=hal&id=3 Diakses pada tanggal 11 November 2015 pukul 22.50 WIB. Satria, Arif. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LKiS. Sen, Amartya. 2000. Demokrasi (Tidak) Bisa Memberantas Kemiskinan (diterjemahkan oleh Yuliani Liputo). Bandung: Mizan. Sumawinata, Sarbini. 2004. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suyanto, Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: Intrans Publishing. Trainor, Audrey A. and Graue, Elizabeth. 2013. Reviewing Qualitative Research in the Social Sciences. New York: Routledge.

1 Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2016

Recommend Documents