1. BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Negara Indonesia memiliki ribuan pulau yang saling berjajar dari Sabang
sampai Merauke. Dengan kekayaannya tersebut, Negara Indonesia dikenal dengan sebutan “Archipelago State” atau negara yang terdiri dari banyak pulau. Secara geografis, Negara Indonesia terletak di sekitar garis khatulistiwa diantara 94°45' BT - 141°01' BT dan dari 06°08' LU - 11°05' LS. Sedangkan secara spasial, teritorial Negara Indonesia membentang sepanjang 5.110 km dari barat ke timur dan sepanjang 1.888 km dari utara ke selatan (Soegiarto, 1982). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982, Negara Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km² yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km² dan laut teritorial seluas 0,3 juta km² pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Batas terluar dari ZEE ini sampai dengan 200 mil dari garis pantai pada surut terendah. Dengan kewenangan tersebut, Negara Indonesia memiliki hak untuk memanfaatkan potensi wilayah pesisir yang sangat kaya dengan segala sumber dayanya yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumber daya hayati dan non hayati (Dahuri, 1996). Wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai penunjang kehidupan sosial dan ekonomi nasional. Selain menyediakan sumber daya yang sangat kaya, wilayah pesisir dan lautan Indonesia juga memiliki fungsi lain yang sangat banyak, seperti daerah rekreasi dan pariwisata, pelabuhan dan transportasi, kawasan permukiman, agribisnis, dan lain sebagainya. Dalam pembangunan sumber daya laut yang mencakup wilayah pesisir dan lautan, pemerintah Indonesia membuat satu kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan mengubah matra laut yang sebelumnya merupakan bagian dari berbagai sektor pembangunan menjadi sektor tersendiri dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993. 1
Wilayah pesisir terdiri dari beberapa komponen ekosistem. Salah satunya adalah daerah estuarin. Daerah estuarin merupakan daerah yang memiliki karakteristik khusus yang unik. Daerah estuarin hanya dapat ditempati oleh organisme yang dapat bertoleransi terhadap kondisi yang terbatas. Meskipun estuarin merupakan suatu tempat yang sulit untuk ditempati, daerah ini merupakan daerah yang sangat produktif yang dapat mendukung sejumlah besar biomassa. Salah satu jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi di daerah ini adalah mangrove. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang dapat ditemui di wilayah pesisir. Ekosistem hutan mangrove disebut juga ekosistem hutan payau (estuarin), yang merupakan daerah perairan dengan kadar garam / salinitas Antara 0,5% - 30% (FAO, 1976). Hutan mangrove terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Air di daerah estuarin merupakan percampuran antara air sungai dan air laut, sehingga air di daerah ini memiliki tingkat salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan lautan terbuka. Proses pencampuran air sungai dan air laut ini merupakan suatu proses yang kompleks. Air tawar yang berasal dari air sungai memiliki tingkat densitas yang lebih rendah dibandingkan air laut sehingga air tawar cenderung mengambang dan berada di atas air laut. Di daerah estuarin juga terdapat fluktuasi perubahan salinitas yang berlangsung secara tetap yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada waktu air surut, massa air yang masuk ke dalam daerah estuarin berasal dari air tawar sehingga salinitas di daerah tersebut pada saat surut memiliki tingkat salinitas yang umumnya rendah. Sedangkan pada saat air pasang, massa air yang masuk ke dalam daerah estuarin berasal dari air laut yang kemudian bercampur dengan air yang ada di estuarine sehingga salinitas di daerah tersebut pada saat pasang memiliki tingkat salinitas yang umumnya tinggi. Mangrove dapat tumbuh di wilayah pesisir yang terlindung atau datar dengan tingkat gelombang laut yang lemah. Selain itu, mangrove dapat tumbuh baik di wilayah pesisir dengan sedimentasi tinggi. Pesisir Utara demak memiliki karakteristik gelombang laut yang lemah dengan tingkat sedimentasi yang tinggi. Sehingga pesisir Utara demak merupakan salah satu lokasi yang baik untuk tumbuh kembang tanaman mangrove.
2
Hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat banyak baik dilihat dari aspek ekonomi, aspek ekologis dan dari aspek fisik. Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan mangrove dapat dikelola hasil alamnya, seperti kayu, daun, buah maupun cadangan biomassanya. Fungsi mangrove secara ekologis adalah sebagai salah satu penunjang bagi kelangsungan ekosistem pesisir lainnya dan juga sebagai habitat bagi makhluk hidup lain yang beragam jenisnya. Sedangkan fungsi hutan mangrove dari aspek fisik adalah sebagai barrier alam dalam upaya mitigasi bencana non structural. Barrier alam ini berfungsi sebagai penghalang terhadap erosi yang disebabkan oleh gelombang air laut serta mengurangi dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan dari bencana tsunami. Penilaian parameter pendukung pertumbuhan ekosistem mangrove diperlukan untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan mangrove. Kesesuaian lahan untuk mangrove juga ditentukan dengan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengetahui lokasi yang terkena dampak erosi. Parameter pendukung ekosistem mangrove yang diteliti meliputi kandungan sedimentasi, pasang surut, gelombang, arus, salinitas, tekstur tanah, penurunan tanah, kenaikan muka air laut, pH air, genangan, penggunaan lahan, dan suhu/temperatur. Kegiatan pengukuran ini dilakukan di wilayah pesisir utara Jawa Tengah di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Wilayah pesisir Utara jawa memiliki karakteristik pesisir yang unik dan khas, terutama di wilayah kepesisiran Demak. Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak terletak di wilayah pesisir Utara Jawa Tengah. Kecamatan Sayung merupakan salah satu kecamatan yang terkena dampak banjir rob paling parah di Kabupaten Demak. Masyarakat di sepanjang pesisir Kecamatan Sayung telah melakukan upaya penanggulangan risiko bencana pesisir dengan membangun Alat Pemecah Ombak (APO) dan melakukan penanaman mangrove di sepanjang wilayah pesisir yang berbatasan dengan laut. Hanya saja beberapa lokasi penanaman mangrove tidak mempertimbangkan kesesuaian lahan untuk tanaman mangrove. Sehingga sebagian besar tanaman mangrove rusak akibat erosi yang diakibatkan oleh angin dan gelombang laut. Kondisi lahan mangrove di Kecamatan Sayung secara umum mengalami degradasi. Degradasi ini meliputi penurunan tanah, naiknya muka air laut dan erosi pantai. Penurunan tanah tersebut diakibatkan oleh proses pemampatan tanah yang
3
masih labil, adanya tekanan dari bangunan diatasnya dan adanya penurapan air tanah secara besar-besaran oleh industri disekitar Kecamatan Sayung. Adanya penurunan tanah dan kenaikan muka air laut mengakibatkan masuknya air laut ke daratan dan menggenangi wilayah permukiman atau yang dikenal dengan sebutan banjir rob (Kodoatie, 2003). Sedangkan kejadian erosi di lokasi berlangsung secara aktif sehingga mengakibatkan sejumlah kawasan mangrove rusak dan hilang. Rusak dan hilangnya kawasan mangrove ini memberikan dampak secara langsung kepada masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir demak khususnya pesisir Kecamatan Sayung (Bappeda Demak, 2000). Salah satunya adalah semakin parahnya kejadian erosi akibat hilangnya kawasan mangrove yang seharusnya berfungsi sebagai barrier alam. Untuk itu perlu adanya upaya penanggulangan bencana erosi di kawasan pesisir Kecamatan Sayung yaitu dengan rehabilitasi kawasan mangrove. Rehabilitasi kawasan mangrove memerlukan adanya penilaian parameter pertumbuhan mangrove untuk kesesuaian lahan mangrove. Kajian kondisi lahan mangrove merupakan langkah awal dalam upaya rehabilitasi dengan melakukan beberapa evaluasi kesesuaian lahan rehabilitasi. Pengukuran kesesuaian lahan mangrove dilakukan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi sebagai zona penanaman mangrove untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan kawasan hutan mangrove di pesisir Utara Demak khususnya di sepanjang pesisir Kecamatan Sayung. 1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang hutan lindung, kawasan
hutan mangrove di zona pesisir Kecamatan Sayung termasuk dalam kategori hutan lindung yang saat ini mengalami degradasi yang mengakibatkan berkurangnya hutan mangrove. Degradasi tersebut disebabkan oleh erosi air laut yang kuat sehingga di beberapa titik ditemukan adanya ekosistem mangrove yang rusak. Adanya kerusakan ekosistem mangrove mengakibatkan perubahan luasan ekosistem mangrove yang ada. Permasalahan degradasi ekosistem mangrove perlu dikaji mengingat pentingnya peranan dan manfaat ekosistem mangrove terhadap aspek fisik, ekologi dan sosial ekonomi di kawasan pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak sehingga upaya rehabilitasi yang berkelanjutan dan terpadu perlu untuk dilakukan. Upaya rehabilitasi ekosistem mangrove tersebut perlu
4
dilakukan suatu kajian yang mengarah pada kondisi lahan dalam upaya prerehabilitasi sebagai langkah awal rehabilitasi yang berkelanjutan dan terpadu. Selanjutnya kajian kondisi lahan mangrove merupakan langkah awal dalam upaya rehabilitasi dengan melakukan pengukuran kesesuaian lahan terhadap parameter pendukung pertumbuhan mangrove yang meliputi tekstur tanah, DHL tanah, pH tanah, pasang surut, kandungan C-Organik, gelombang, arus, tinggi genangan, salinitas, pH air, kemiringan lereng, bentuklahan dan penggunaan lahan serta interaksi terhadap arus dan gelombang. Hal tersebut dapat memaksimalkan tahapan rehabilitasi dan mendukung terciptanya ekosistem mangrove yang lestari di masa yang datang. Zona kepesisiran utara Kecamatan Sayung di Kabupaten Demak merupakan salah satu wilayah pesisir yang memiliki tingkat kejadian erosi cukup tinggi. Hal tersebut menuntut upaya rahabilitasi yang efektif. Salah satu upaya efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove adalah dengan menentukan prioritas lokasi penanaman mangrove sebagai barrier alam. Dengan menggunakan hasil dari pengukuran kesesuaian lahan dan dihubungkan dengan kejadian erosi maka dapat diketahui lokasi penanaman mangrove yang sesuai untuk rehabilitasi ekosistem mangrove dan mengurangi risiko bencana di wilayah pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Berdasarkan permasalahan yang ada maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang terjadi di Pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, yaitu: 1. Bagaimana kesesuaian lahan mangrove untuk rehabilitasi ekosistem tanaman mangrove sebagai upaya mengurangi risiko bencana di zona kepesisiran utara Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak? 2. Menentukan lokasi penanaman mangrove dalam upaya rehabilitasi kawasan mangrove di zona kepesisiran utara Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak?
5
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kesesuaian lahan mangrove untuk rehabilitasi ekosistem tanaman mangrove sebagai upaya mengurangi risiko bencana di zona kepesisiran utara Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. 2. Menentukan lokasi yang menjadi prioritas penanaman mangrove dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove di zona kepesisiran utara Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. 1.4.
Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
mengetahui kesesuaian lahan yang paling sesuai untuk tanaman mangrove dan sebagai pertimbangan dalam menentukan prioritas penanaman tanaman mangrove untuk rehabilitasi ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Penentuan lokasi penanaman mangrove yang paling sesuai dapat meningkatkan kualitas tanaman mangrove yang pada akhirnya tanaman ini akan berfungsi sebagai barrier alam yang mengurangi risiko terjadinya bencana pesisir di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. 1.5.
Tinjauan Pustaka
1.5.1. Wilayah Pesisir Wilayah Pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, sedangkan ke arah laut meliputi semua bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami maupun oleh kegiatan manusia yang terjadi di daratan (Soegiarto, 1976). Pengertian lainnya mengenai wilayah pesisir secara umum dapat didefinisikan sebagai wilayah pertemuan atau transisi antara daratan dan lautan. Wilayah pesisir memiliki fungsi dan bentuk yang berbeda serta dinamis dan tidak terbatas secara spasial. Tidak seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), tidak ada batas alam yang jelas dalam menggambarkan daerah pesisir (FAO, 1998). Namun apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), suatu wilayah pesisir dapat dibedakan menjadi dua macam batas, yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai
6
(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore) (Dahuri et al., 1996). Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relative mudah dan dapat digunakan untuk keperluan pengelolaan. Akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai sejauh ini masih belum ada kesepakatan. Dengan kata lain setiap Negara memiliki pengertian batas wilayah pesisir yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan karena setiap Negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri. Wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Sistem alam wilayah pesisir tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dan tidak berdiri sendiri. Kerusakan yang terjadi pada satu ekosistem dapat mempengaruhi ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh sistem sosial yang berupa berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas maupun laut lepas. Kondisi tersebut mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan harus memperhatikan keterkaitan ekologis yang ada yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Wilayah pesisir dibagi menjadi empat bagian yang dapat dilihat pada Gambar 1.1. Zona Pecah Gelombang (Breaker Zone) Pantai (Shore) atau Gisik (Beach) Wilayah Kepesisiran (Coastal Region)
Pesisir (Coast)
Dataran Aluvial Kepesisiran (Coastal Alluvial Plain)
Gambar 1.1 Diagram Pembagian Zona/Wilayah Kepesisiran (Sumber: Sunarto et al., 2014)
7
Berdasarkan Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa batas wilayah kepesisiran dari arah laut dimulai dari zona pecah gelombang, pantai dan gisik, pesisir, dan dataran alluvial kepesisiran. Zona pecah gelombang (breaker zone) merupakan zona dimana tinggi gelombang lebih besar daripada kedalaman air laut yang diakibatkan oleh adanya perubahan topografi dasar laut sehinga gelombang membentur dasar laut dan terjadilah pecah gelombang (Sunarto et al., 2014). 1.5.2. Mangrove Pengertian hutan mangrove menurut Nybakken (1992) adalah: “Istilah umum untuk menggambarkan berbagai varietas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa jenis pohon atau semak yang dapat tumbuh dan berkembang di perairan garam (asin).”
Pengertian lain dari hutan mangrove adalah ekosistem pesisir yang memiliki fungsi strategis yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut dimana pada kondisi pesisir yang berbeda memiliki proses pembentukan dan sejarah perkembangan yang spesifik (Marfai, 2011). Habitat mangrove pada umumnya berada pada zona intertidal pesisir sebab mangrove mampu bertahan hidup dalam tekanan alam (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Mangrove bisa dikatakan sebagai suatu komunitas atau sebagai ekosistem jika terjadi interaksi antara mangrove dengan komponen-komponen biotik maupun abiotik lainnya. Suatu ekosistem mangrove terdiri dari spesies tumbuhan yang memiliki adaptasi sehingga dapat menjadikan mangrove dapat bertahan hidup dalam kondisi alam yang khusus seperti perbedaan salinitas, pasang surut air laut serta arus dan gelombang air laut. Departemen Kelautan dan Perikanan (2002) menjelaskan: “Komunitas mangrove umumnya disebut “mangal” dan “mangrove” merupakan sebutan untuk individu tumbuhan. Sedangkan bakau adalah salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di hutan mangrove.”
8
1.5.3. Habitat dan Persebaran Mangrove Tanaman mangrove dapat tumbuh secara optimal pada suhu udara antara 19-40⁰ C. Namun tanaman mangrove tidak dapat tumbuh secara optimal jika terjadi fluktuasi lebih dari 10⁰ C, yang artinya jika kondisi tanaman mangrove tersebut hidup adalah pada suhu 25⁰ C, lalu terjadi penurunan suhu terendah dibawah 15⁰ C, maka tanaman mangrove tersebut tidak dapat tumbuh secara optimal. Keistimewaan mangrove adalah dapat tumbuh dalam kondisi transisi salinitas (Bengen, 2004). Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus. Sirkulasi yang tetap dan terus menerus meningkatkan pasokan oksigen dan nutrient, untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan salinitas rendah dapat menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin, mengingat air yang mengandung garam dapat menetralisir kemasaman tanah. Mangrove dapat tumbuh pada berbagai macam substrat. Mangrove tumbuh pada berbagai jenis substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove (Bengen, 2004). Hutan mangrove adalah hutan yang dapat tumbuh umumnya di daerah teluk dan di muara sungai dengan tingkat salinitas yang relatif tinggi (Soerianegara, 1993), Dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Tidak dipengaruhi iklim 2. Dipengaruhi oleh pasang surut 3. Substrat/tanah tergenang air laut 4. Memiliki topografi yang rendah, dan 5. Hutan tidak memiliki struktur tajuk. Tabel kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman mangrove dan spesifik mangrove dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2.
9
Tabel 1.1 Kriteria Umum Lahan untuk Mangrove No.
Kategori
Kriteria
1 2
Kondisi Tanah (Tekstur) Kondisi Air
3
a. Salinitas (‰) b. Temperatur (⁰C) c. Julat Pasang (m) Curah Hujan (mm/th)
Sesuai Lanau dan Lempung
Tidak Sesuai Pasir
5 s.d 25 > 20 1 s.d 4 > 1000
< 5 atau > 25 < 20 >4 < 1000
Sumber: Turmudi dan Kristanto, 1999 dalam Riyadi dan Adibroto, 1999
Tabel 1.2 Kriteria Spesifik untuk Beberapa Spesies Mangrove No.
Salinitas (‰)
Kelas Genangan digenangi 1 - 2 kali sehari atau minimal 20 kali perbulan digenangi 10 - 19 kali perbulan
Spesies
1
10-30
2
10-30
3
10-30
digenangi 9 hari atau minimal 4 kali sebulan
Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus, Heritiera
4
10-30
digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun
Bruguiera, Scyphypora, Lumnitzera
5
0
sedikit dipengaruhi pasang
Jenis-jenis marginal
6
0
dipengaruhi oleh permukaan air hanya pada musim basah
Onoosperma, Carbera
Avecennia, Sonneratia (tanah baru yang lunak) Rhizopora (tanah lebih keras)
Sumber: Haan, 1931 dalam Sukardjo, 1994
Hutan mangrove dibedakan menjadi dua, yaitu hutan pantai dan hutan rawa (Mardiatno et al., 2014). Hutan mangrove yang tumbuh disepanjang pantai disebut dengan hutan pantai. Hutan pantai menyebar di sepanjang pantai yang tidak tergenang oleh pasang surut air laut. Ciri khusus dari ekosistem ini adalah: 1) tidak terpengaruh ikllim, 2) tanah kering (tanah pasir, berbatu, karang, lempung), 3) tanah rendah pantai, dan 4) pohon kadang-kadang ditumbuhi epyphit (tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain). Hutan rawa adalah hutan yang menyebar sepanjang muara sungai yang selalu atau secara berkala dipengaruhi limpasan air dari sungai dan air hujan. Ciri
10
umum dari hutan rawa adalah : 1) tidak dipengaruhi iklim, 2) tanah tergenang air tawar, 3) umumnya terdapat dibelakang hutan payau, 4) tanah rendah, 5) tajuk terdiri dari beberapa strata, dan 6) pohon dapat mencapai tinggi 50-60 m. 1.5.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove Hutan mangrove memiliki faktor lingkungan yang bervariasi berdasarkan spesies vegetasinya. Sehingga sulit untuk melihat keterkaitan antar spesies dengan kondisi ekologi disekitarnya. Faktor utama yang mempengaruhi kehidupan mangrove adalah sebagai berikut: 1. Salinitas Salinitas adalah kandungan konsentrasi garam di perairan (Effendi, 2003). Dalam lautan, kisaran salinitas adalah 33-37 tetapi bila paparan laut dan kondisi lokal kisaran melebar menjadi 28-40 atau lebih. Tingkat salinitas air payau kurang dari 25 sementara air hipersalin lebih besar dari 40 (Supangat, 2003). Perkembangan maksimal hutan mangrove ditemukan pada daerah yang masih dipengaruhi air tawar untuk mencegah kondisi hipersalin (Nybakken, 1992). 2. Suhu Suhu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi air dan udara. Suhu air di perairan Indonesia berkisar antara 28⁰ - 38⁰C. Suhu dekat pantai umumnya lebih tinggi disbanding suhu di lepas pantai. Suhu yang baik untuk tumbuhan mangrove tidak kurang dari 20⁰C dan perbedaan suhu maksimum tidak melebihi 5⁰C. Sedangkan suhu diatas 40⁰C cenderung tidak berpengaruh nyata pada tingkat kehidupan mangrove (Saparinto, 2007 dan Noor, et al., 2006). 3. Substrat Jenis substrat menentukan jenis mangrove dan jenis biota yang dapat hidup didalamnya. Pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh variable sedimen. Karakteristik substrat sangat penting karena mempengaruhi secara langsung pertumbuhan mangrove dan produktivitasnya. Tipe tanah dan keadaan kimia-fisika merupakan hasil dari interaksi antara topografi, iklim, proses
11
hidrologi, waktu pasang surut dan perubahan jangka panjang pada pantai (Saenger, 2002). 4. Pasang Surut Air Laut Pasang surut dan waktu penggenangan air laut sangat menentukan tingkat salinitas tanah. Daerah yang terendam air laut dan jarang menerima pengaruh air tawar mengakibatkan tingkat salinitas tanah menjadi lebih tinggi. (Ghufron dan Kordi, 2012). 5. Tekstur Tanah Penentuan tekstur tanah dapat dilakukan dengan memperhatikan komposisi material penyusunnya, yaitu mineral dan bahan organic. Material penyusun tanah yang paling dominan adalah tanah liat (clay) yang berdiameter < 0,02 mm, lumpur (silt) berdiameter 0,002 – 0,05 mm dan pasir (sand) berdiameter 0,05 - 2 mm. sedangkan untuk bahan organic umumnya berasal dari hasil penguraian tumbuhan dan hewan (Saparinto, 2007). 6. Pasokan Nutrien Adanya nutrisi diperlukan bagi penunjang pertumbuhan mangrove. Pada ekosistem mangrove, pasokan nutrient ditentukan oleh berbagai proses yang terkait. Pengaruh nutrient terhadap reproduksi mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, DO, pH dan sebagainya (Krauss, et al., 2008). Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa adanya kandungan zat hara merupakan faktor penting dalam memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Zat hara dalam ekosistem mangrove terbagi menjadi dua kelompok yaitu hara organik yang merupakan bahan organik yang berasal dari bioorganik melalui beberapa tahap proses mikrobal dan hara anorganik yang penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove. Zat hara anorganik terdiri atas N, P, K, Mg, Ca, dan Na yang dapat berasal dari curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan organik yang terurai di mangrove. 7. Derajat Kemasaman (pH) Nilai pH yang terkandung dalam air dan tanah mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktifitas fotosintesis, aktifitas biologi, temperature,
12
kandungan oksigen, dan adanya kation serta anion dalam perairan (Aksornkoae, 1993). Nilai pH yang tinggi mendukung organisme pengurai untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat di daerah mangrove, sehingga tanah di daerah mangrove memiliki nilai pH yang tinggi dengan karbon organik yang kurang lebih sama dengan profil tanah yang dimilikinya (Winarno, 1996). Nilai pH hutan mangrove berkisar antara 8 – 9 (Welch dalam Winarno, 1996). 8. Kecepatan Angin Angin merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove. Pengaruh angin secara langsung yaitu sebagai agen polinasi dan desiminasi biji sedangkan secara tidak langsung berpengaruh pada terbentuknya arus dan gelombang di daerah pantai. Hal tersebut mengakibatkan adanya erosi pantai dan perubahan sistem ekosistem mangrove. 9. Curah Hujan Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan penyebaran tumbuhan (Aksornkoae, 1993). Curah hujan juga berpengaruh pada faktor lingkungan lain, seperti suhu udara dan air serta kadar garam air permukaan dan air tanah. Pada umumnya mangrove dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan curah hujan antara 1.500 – 3.000 mm/tahun. Namun demikian, tumbuhan mangrove juga dapat ditemukan pada daerah dengan curah hujan 4.000 mm/tahun yang tersebar antara 8 – 10 bulan dalam 1 tahun. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada Iklim tropika yang lembab dan panas tanpa ada pembagian musim tertentu, hujan bulanan rata-rata berkisar antara 225 – 300 mm, serta suhu rata-rata maksimum pada siang hari mencapai 32 ˚C dan suhu rata-rata pada malam hari mencapai 23 ˚C (Noakes, 1951). 1.5.5. Zonasi Mangrove Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove dapat menghadapi kondisi salinitas dengan bentuk adaptasi yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya dapat secara selektif menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya.
13
Menurut letak tumbuhnya, mangrove terbagi menjadi beberapa zonasi. Zonasi yang ada berdasarkan pada jenis vegetasi yang dominan (Mardiatno, et al., 2014). Berikut urutan zonasi mangrove dari arah laut ke daratan dapat dilihat pada Gambar Tabel 1.3 dan Gambar 1.2. Tabel 1.3 Zonasi Mangrove Berdasarkan Jenis Vegetasi Dominan
No. Zona
Keterangan
1
Terletak di zona terluar dan berhadapan langsung
Zona Avicennia
dengan laut. Substrat pada zona ini berlumpur lembek dengan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona factor karena tumbuhan di zona ini memiliki perakaran yang kuat sehingga mampu menahan gelombang yang kuat. Selain itu, adalah sebagai penimbun sedimen. 2
Zona Rhizophora
Terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya hampir sama, yaitu berupa lumpur lembek, tetapi kadar salinitas tidak setinggi di zona Avicennia. Apabila
terjadi
pasang,
pada
zona
ini
mengrovenya masih tergenang air laut. 3
Zona Bruguiera
Terletak di belakang zona Rhizophora, memiliki substrat berupa tanah berlumpur, namun relative keras. Zona ini biasa tergenang air pada saat pasang tertinggi, yaitu sebanyak dua kali dalam satu bulan.
4
Zona Nypa
Terletak paling belakang, yaitu setelah zona Bruguiera. Zona ini memiliki substrat seperti daratan pada umumnya dan hampir tidak pernah tergenang air laut.
Sumber: Supriharyono, 2000 dalam Mardiatno, et al., 2014
14
Gambar 1.2 Zonasi Mangrove (Sumber: Mardiatno, et al., 2014) Berdasarkan tempat tumbuhnya yang dipengaruhi oleh perbedaan penggenangan yang juga berkaitan dengan perbedaan salinitas, kawasan mangrove dibedakan menjadi tiga zonasi (Arifin, 2003). Beberapa zonasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Zona Mangrove Berdasarkan Perbedaan Penggenangan dan Salinitas No. Zona
Keterangan
1
Zona yang berada paling dekat dengan laut atau
Zona Proksimal
zona paling depan. Pada daerah ini biasanya ditemukan
jenis-jenis
mangrove
seperti
Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Sonneratia alba. 2
Zona Middle
Zona yang terletak di antara laut dan darat atau disebut juga zona pertengahan. Pada zona ini biasanya
ditumbuhi
mangrove
Sonneratia
caseolaris,
Bruguiera
gymnorrhiza,
dari
Rhizophora Avecennia
Avecennia officinalis dan Ceriops tagal.
15
jenis alba, marina,
Lanjutan Tabel 1.4, No. Zona
Keterangan
3
Zona yang paling jauh dari laut atau disebut juga
Zona Distal
zona belakang. Pada zona ini ditemukan jenis mangrove seperti Heriteria littoralis, Pongamia sp., Xylocarpus sp., Pandanus sp., dan Hibiscus tiliaceus. Sumber: Arifin, 2003 Terdapat pembagian zona mangrove lainnya yang dijelaskan sebagai berikut (Noor, et al., 2012 dalam Mardiatno, et al., 2014): a.
Mangrove terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contohnya adalah Sonneratia alba yang mendominasi daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
b.
Mangrove tengah, terletak dibagian belakang mangrove zona terbuka. Zona tengah biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum, dan X. moluccensis.
c.
Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans renghas, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum.
d.
Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis mangrove yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenisjenis yang umum ditemukan pada zona ini adalah Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga, dan Nypa.
1.5.6. Karakteristik Hutan Mangrove Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti foristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorfologi, hidrologi dan 16
drainasi. Salah satu faktor penting yang secara langsung mempengaruhi produktivitas dan struktur mangrove adalah karakteristik tanah. Penelitian terhadap sampel tanah dilakukan dengan meneliti sifat fisik dan kimia tanah seperti pH, salinitas, kandungan hara, SO4, C-Organik, DHL, dan ukuran partikel. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove adalah sebagai berikut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002): a. Berada di daerah intertidal dengan jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir b. Tergenang air laut secara berkala, dipengaruhi oleh kejadian pasang surut air laut. Frekuensi terjadinya genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove c. Dipengaruhi oleh air tawar yang berasal dari darat dan air asin yang berasal dari laut d. Berada pada daerah dengan gelombang kecil dan arus pasang surut yang rendah e. Memiliki tingkat salinitas payau (2-22/mil) hingga asin (mencapai 38/mil) Tanaman mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Kemampuan beradaptasi untuk dapat tumbuh berkembang ini disebut dengan ecological preference. 1.5.7. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat banyak sekali bagi ekosistem tepi pantai. Mangrove merupakan tempat hidup bagi biota pantai seperti udang, kepiting, burung, dan tempat ikan mencari makan. Ekosistem mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi biologis dan fungsi ekonomi. Fungsi fisik ekosistem mangrove adalah sebagai berikut: a. Menjaga garis pantai tetap stabil b. Melindungi pantai dari kejadian abrasi c. Mencegah terjadinya intrusi air laut d. Sebagai media perluasan lahan dari substratnya yang dapat menjadi lahan tanah
17
e. Sebagai filter sampah dan limbah, baik yang berasal dari daratan maupun dari laut Fungsi biologis ekosistem mangrove adalah sebagai berikut: a. Tempat ikan memijah dan nursery ground bagi ikan b. Tempat udang berkembang biak c. Tempat memijah biota air yang lain d. Sebagai tempat burung bersarang e. Sebagai habitat beraneka ragam biota Fungsi ekonomi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut: a. Digunakan sebagai silvo fishery atau hutan tambak b. Batang atau ranting mangrove bisa digunakan sebagai bahan bakar c. Sebagai tempat pertambakan garam d. Batang mangrove juga bisa digunakan sebagai bahan bangunan Selain yang diatas, manfaat lain dari hutan mangrove adalah sebagai sumber makanan, obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan ternak, pupuk, produksi kertas, tannin dan sebagainya. Peran dari ekosistem mangrove sangat penting bagi kelangsungan lingkungan hidup, sehingga diperlukan adanya upaya pelestarian. Peran dari hutan mangrove secara signifikan adalah sebagai pelindung daratan dari bahaya gelombang tsunami dan abrasi. (Mardiatno, et al., 2014). 1.5.8. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu jenis lahan tertentu untuk suatu macam penggunaan lahan tertentu. Klasifikasi kesesuaian lahan adalah perbandingan antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO 1976 terdiri dari 4 kategori, yaitu:
Orde (order) : menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum
Klas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam orde
18
Sub-Klas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang dibutuhkan di dalam kelas
Satuan (unit) : menunjukkan tingkatan dalam sub-kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya
Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menurut kerangka kerja evaluasi FAO (1976) dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu: (1) Ordo S atau Sesuai (Suitable), merupakan lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari tanpa memiliki resiko terjadinya kerusakan pada lahan tersebut. (2) Ordo N atau Tidak Sesuai (Not Suitable), merupakan lahan yang memiliki pembatas sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan digunakan untuk penggunaan secara lestari. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas merupakan lanjutan dari tingkat ordo dan menggambarkan tingkat kesesuaian dari suatu ordo. Keadaan tingkatan dalam kelas didasarkan pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan. Tingkatan dalam kelas ditunjukkan dalam angka (nomor urut) yang ditulis dibelakang symbol ordo. Nomor urut tersebut menunjukkan tingkatan yang semakin menurun dalam suatu ordo. Tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N, bentuknya adalah sebagai berikut: a. Kelas S1 (Sangat Sesuai) Lahan sangat sesuai untuk penggunaan yang lestari dan tidak memiliki pembatas yang serius untuk menerapkan pengelolaan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksinya. b. Kelas S2 (Cukup Sesuai) Lahan memiliki pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas tersebut dapat mengurangi produksi dari suatu lahan. c. Kelas S3 (Sesuai Marginal) Lahan memiliki pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. 19
d. Kelas N1 (Tidak Sesuai Untuk Saat Ini) Lahan memiliki pembatas yang lebih serius, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki pada tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas yang serius mencegah penggunaan secara berkelanjutan dari lahan. e. Kelas N2 (Tidak Sesuai Untuk Selamanya) Lahan memiliki pembatas yang sifatnya permanen sehingga mencegah segala kemungkinan penggunaan berkelangsungan pada lahan tersebut. 1.5.9. Kesesuaian Lahan Mangrove Langkah awal yang dapat dilakukan dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove adalah menganalisis kesesuaian lahan mangrove. Analisis lahan bermanfaat untuk mengetahui kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan tertentu. Dalam hal ini analisis kesesuaian lahan ditujukan untuk tanaman mangrove (Fauzi, 2009). Kesesuaian lahan mangrove dapat dinilai dari beberapa parameter pendukung pertumbuhan mangrove. Selain itu, pertumbuhan ekosistem mangrove dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Daerah pertumbuhan dengan lahan yang lebih sedikit dan lebih sempit mengakibatkan perluasan kawasan menjadi tidak terkontrol, sehingga muncul sebagai ancaman utama bagi ekosistem mangrove. Oleh karena itu, sumberdaya mangrove harus dimanfaatkan dengan didasarkan pada kepentingan ekologis untuk menjaga keberlanjutan ekosistem mangrove (Wardhani, 2011). Klasifikasi tingkat kesesuaian lahan dilakukan dengan menyusun matriks kesesuaian untuk menilai kelayakan atas dasar pemberian skor pada parameter pembatas lahan mangrove (Tabel 1.5). Hasil dari penelitian ini menentukan klasifikasi lahan mangrove berdasarkan kriteria kesesuaian lahan mangrove (kriteria S1, S2, S3 dan N) di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
20
Tabel 1.5 Matriks Kriteria Kesesuaian Lahan Mangrove No.
Parameter
1
Salinitas (‰) 1)
2
3
7
8
9
10
11
12
13
pH air pori
Kelas 29 - 33 25 - < 29 atau > 33 - 37 < 25 atau > 37 7 - 8,5 6,5 - < 7 atau > 8,5 - 9,5 < 6,5 atau > 9,5 > 10,1 4,1 – 10 <4 < 0,5 0,51 – 1 >1 pasir atau lanau Lempung Gravel mangrove, hutan rawa Pertambakan permukiman, industri <1 1–4 >4 < 4,99 5 -9,99 > 9,99 0 =-1-(-2) > -2 Terlindung agak terlindung Terbuka
1)
Bahan organik sedimen (%)
Gelombang (m)
2)
4)
Substrat 3)
Penggunaan Lahan
5)
Land Subsidence (cm/tahun)
4)
Sea Level Rise (mm/tahun) 4)
Erosi (m/tahun)
6)
Interaksi lahan terhadap arus dan gelombang 7)
Nilai 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
Bobot 2
Sumber : Kepmen No. 51/MENKLH/20041) ; Landon, 19912) ; Khazali, 19993) ; DKP, 2008; Mazda, et al., 2003; IUCN, 20064) ; Dewanto, 20075) ; Gornitz, et al., 19926) ; Dahuri, 2003 ; modifikasi Yulianda, 20077) dalam Zaky, et al., 2012)
21
1
1
2
2
1
2
2
2
2
1.6.
Penelitian Terdahulu Tabel 1.6 Daftar Penelitian Terdahulu
No.
Nama
Penelitian
1
Zaky (2012)
Kajian Kondisi Lahan Mangrove di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak dan Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang
2
Matani (2010)
Keanekaragaman Dan Pola Komunitas Hutan Mangrove di Andai, Kabupaten Manokwari
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kondisi fisik dan kimia perairan dan sedimen mangrove 2. Evaluasi kesesuaian lahan mangrove di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak dan Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang 1. Mengetahui komposisi, kerapatan, frekuensi dan dominasi jenis vegetasi hutan mangrove di Andai, Kabupaten Manokwari 2. Mengetahui keanekaragaman dan menganalisis pola komunitas hutan mangrove di Andai serta faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pola komunitas tersebut
22
Metode
Hasil
-
Metode Scoring
-
Table kesesuaian lahan mangrove
-
Metode Spot Check
-
Komposisi jenis vegetasi tingkat semai pancang & pohon, indeks nilai penting jenis tingkat semai, pancang & pohon Pola komunitas hutan mangrove & hubungannya dengan faktor lingkungan Nilai indeks keanekaragaman jenis Kondisi lingkungan daerah andai
-
-
Lanjutan Tabel 1.6 No. 3
Nama Bengen dan Susilo (2002)
Penelitian Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Teluk Balikpapan bagi peruntukan budidaya tambak, permukiman, industri dan konservasi pantai 2. Mengetahui karakteristik social ekonomi dan budaya masyarakat pesisir 3. Menganalisis keterkaitan lingkungan biofisik dan lingkungan social ekonomi masyarakat 4. Memberikan rekomendasi kebijakan pengelolaan Teluk Balikpapan
23
Metode 1. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara serta data sekunder 2. Analisis data melliputi analisis kesesuaian lahan dengan SIG, analisis karakteristik social ekonomi dan budaya masyarakat dengan analisis komponen utama (PCA) dan analisis kebijakan pengelolaan dengan analisis SWOT
Hasil 1. Lahan yang sesuai untuk tambak seluas 13.06,62 ha, untuk industry seluas 4.596,12 ha, untuk permukiman seluas 826,91 ha dan untuk konservasi seluas 9.205,74 ha. 2. Analisis karakteristik social ekonomi dan budaya menunjukkan bahwa individu memiliki umur yang tinggi juga memiliki jumlah anggota keluarga yang besar dengan lama tinggal yang lama. Individu dengan pekerjaan tertentu memiliki penghasilan dan pengeluaran yang besar, sedangkan individu dengan tingkat pendidikan tinggi juga memiliki tingkat pemahaman yang tinggi. 3. Pengelolaan lahan pesisir Teluk Balikpapan harus memperhatikan tingkat kesesuaiannya.
Lanjutan Tabel 1.6 No.
Nama
Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode
4
Poernomo (2011)
Penggunaan Citra ALOS AVNIR 2 Untuk Penentuan Kesesuaian Lahan Mangrove di Sebagian Pantai Utara Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah)
1. Menentukan kesesuaian lahan untuk mangrove 2. Melakukan uji ketelitian hasil interpretasi Citra ALOS AVNIR 2
-
5
Poedjirahajoe (2006)
Klasifikasi Lahan Potensial untuk Rehabilitasi Mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah (Rehabilitasi Mangrove Menggunakan Jenis Rhizopora mucronata)
1. Menentukan unit-unit ekologis berdasarkan karakteristik ekologis habitat mangrove pada kawasan rehabilitasi mangrove Pantai Utara Jawa Tengah 2. Menyusun klasifikasi lahan potensial sebagai upaya rehabilitasi mangrove berdasarkan unit-unit ekologis yang terbentuk 3. Menentukan penciri utama yang menjadi dasar klasifikasi lahan untuk rehabilitasi mangrove
1. Formula indeks diversitas 2. Analisis tandan (Cluster Analysis) 3. Analisis diskriminan (Diskriminant Analysis)
24
Metode Matching
Hasil 1. Peta Kesesuaian Lahan untuk Mangrove di Sebagian Pantai Utara Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah 2. Hasil uji ketelitian interpretasi Citra ALOS AVNIR 2 1. Delineasi dari peta lebar jalur hijau, salinitas, ketebalan lumpur dan tahun tanam mangrove membentuk 32 unit ekologis dengan total luasan 8.022,58 ha. 2. Klasifikasi dari 32 unit ekologis berdasarkan kerapatan, tinggi dan lebar perakaran mengrove pada jarak tandan ke lima menghasilkan 5 kelompok tandan.
Lanjutan Tabel 1.6 No. 6
Nama Mardiatno (1996)
Penelitian Kesesuaian Lahan Ekosistem Pesisir Timur Surabaya Untuk Perkembangan Mangrove
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tingkat kesesuaian lahan untuk pertumbuhan mangrove di Pantai Timur Surabaya dengan mempertimbangkan pola arus dan pasang surut. 2. Mengevaluasi pengaturan jalur hijau mangrove yang ada pada saat ini dalam kaitannya dengan subtingkat kesesuaian lahan dan genangan pasangsurut yang mendukung habitat mangrove untuk tiap mintakat. 3. Memilih formasi mangrove yang sesuai dengan sub-tingkat kesesuaian lahannya.
25
Metode -
Metode Deskriptif
Hasil 1. Peta Mintakat Konservasi dan Pengembangan Mangrove
1.7.
Kerangka Pemikiran Ekosistem di wilayah kepesisiran menyimpan potensi sumberdaya alam
yang besar, salah satunya adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi dan juga manfaat, baik dari aspek fisik, aspek biologis, maupun aspek sosial ekonomi. Ditinjau dari aspek fisik, ekosistem mangrove berfungsi sebagai barrier alam yang dapat mengurangi dampak bencana erosi dan tsunami. Dari aspek biologis, ekosistem mangrove berperan untuk kelangsungan hidup ekosistem lainnya dan juga sebagai ruang hidup bagi makhluk hidup lainnya. Sedangkan dari aspek ekonominya, mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan, tannin, minuman, makanan dan sebagainya. Mangrove dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Hal tersebut dikarenakan mangrove memiliki jenis dan karakteristik yang beragam sehingga memiliki zona tumbuh yang berbeda-beda. Beberapa jenis mangrove mampu hidup dalam keadaan salinitas yang relatif tinggi dan sebagian mampu beradaptasi dengan mengeluarkan garam untuk mengurangi kandungan garam. Ekosistem mangrove di Indonesia banyak mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh faktor alam maupun disebabkan oleh faktor manusia. Untuk itu, perlu dilakukan upaya penanggulangan kerusakan ekosistem mangrove. Upaya penanggulangan kerusakan ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan tindakan rehabilitasi. Rehabilitasi ekosistem mangrove dilakukan dengan memperbaiki ekosistem mangrove yang rusak dan menentukan lokasi yang berpotensi untuk penanaman mangrove berdasarkan parameter pendukung pertumbuhan mangrove yang meliputi kandungan bahan organik, C-Organik, pasang surut, gelombang, arus, salinitas, tekstur tanah, pH tanah, pH air, genangan, penggunaan lahan, DHL, dan interaksi terhadap gelombang dan arus. Selanjutnya dilakukan analisis citra untuk mengetahui luasan serta persebaran mangrove yang ada dan mengetahui lokasi terjadinya kerusakan ekosistem mangrove. Hasil dari analisis citra ini menentukan lokasi terjadinya erosi pantai yang menjadi pertimbangan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk penanaman mangrove. Secara sederhana, kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada diagram alir pemikiran pada Gambar 1.3.
26
Gambar 1.3 Diagram Alir Pemikiran
27