Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013: 10- 18
RANCANGAN BASISDATA UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN MARITIM LAUT CINA SELATAN YANG BERKELANJUTAN (Designing Database for Sustainable Management of Maritime Boundary Region in South China Sea) 1
Trismadi Dinas Hidro Oseonografi (Dishidros) TNI Angkatan Laut Jl Pantai Kuta V/1 Ancol Timur Jakarta Utara 144430 E-mail :
[email protected]
1
Diterima (received): 24 April 2013; Direvisi (revised): 14 Mei 2013; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 12 Juni 2013
ABSTRAK Penelitian rancangan basisdata untuk pengelolaan kawasan perbatasan ini merupakan bagian dari penelitian disertasi dengan judul Rancangan Basisdata Untuk Pengelolaan Kawasan Perbatasan Maritim Laut Cina Selatan Yang Berkelanjutan. Pengelolaan kawasan perbatasan belum tercakup dalam Undang-undang No. 43 Tahun 2008 tentang Teritorial Negara, untuk itu definisi pengertian pengelolaan masih perlu diperjelas dan diperinci secara teliti. Kompleksitas permasalahan kawasan-kawasan perbatasan maritime, terutama pada area dengan potensi sumber daya alam, masih terdapat banyak permasalahan, untuk itu diperlukan penelitian berkaitan dengan pengelolaan berkelanjutan kawasan perbatasan maritim. Penelitian ini dilaksanakan dengan disain basis data perbatasan maritim (BDPM) dengan enam tahap kegiatan meliputi: pengumpulan dan analisa data, disain konsep, pemilihan sistim basis data pengelolaan, disain logis, disain fisik, dan implementasi basis data. Penampilan basis data yang mengandung entitas grup mencakup peta dasar (peta laut), data-data perbatasan maritime, data potensi sumber daya alam, data lingkungan dan data lain yang terkait. Analisa mengenai kemampuan pengelolaan berkelanjutan dilakukan menggunakan metode Skala Multi Dimensi (SMD), dan penentuan struktur permasalahan menggunakan metode Model Struktur Imperatif (MSI), sedangkan metode yang digunakan untuk prioritas kebijakan menggunakan Proses Analisa Herarki (PAH). Konsep model pengelolaan berkelanjutan kawasan perbatasan maritim dibangun dengan mengintegrasikan hasil-hasil dari metode SMD, MSI, PAH, dan BDPM yang telah terbentuk. Kata Kunci: Basis Data, Pengelolaan Berkelanjutan, Kawasan Perbatasan Maritim, Laut Cina Selatan. ABSTRACT Research on the design of boundary regional data base is part of a research dissertation entitled Design a Decision Support Systems for Sustainable Management of Maritime Boundary Regions in the South China Sea. Management of the maritime boundary region has not been defined in the Indonesian Act No. 43 Year 2008 on the Territory of the State, so the scope of management is still need a clear and precise definition. Given the complexity of the maritime boundary regions, especially in areas that have potential for abundant natural resources, as well as maritime boundaries still there are problems, it is necessary to do research on the sustainable management of the maritime boundary region. This study was preceded by a maritime boundary database (MBDB) design through six stages include: data collection and analysis,conceptual design, choosing database management system, logic design, physical design, and implementation of database. Display database containing group entities: base chart (nautical chart), data of maritime boundaries, natural resources potential data, environmental data and others relevant data. Analysis of the sustainability of current management was done by using the method of Multi-Dimension Scaling (MDS), and to determine structuring problems was used the Interpretive Structural Modeling (ISM) method, while the method used to determine policy priorities is Analytical Hierarchy Process (AHP). Conceptual model of management of sustainable maritime boundary regions was constructed by integrating the results of the method of MDS, ISM and AHP and MBDB that have been developed. Keywords: Database, Sustainable Management, Maritime Boundary Region, South China Sea. PENDAHULUAN Latar Belakang Secara umum perbatasan maritim Indonesia dengan negara tetangga masih banyak yang belum terselesaikan. Apabila diperhatikan rejim batas laut, maka Indonesia berpeluang memiliki total 48 segmen batas maritim dengan negara tetangga, maka 16
10
perjanjian yang sudah disepakati masih dapat dikatakan sedikit Di perairan Laut China Selatan terdapat batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam yang sudah disepakati, namun batas Zona Ekonomi Eksklusif masih belum disepakati. Laut China Selatan dan Laut Natuna memiliki kompleksitas yang tinggi. Selain faktor geografi, geologi, meteorologi, hidro-seanografi dan penduduk,
Rancangan Basisdata Untuk Pengelolaan Kawasan Perbatasan Maritim Laut Cina Selatan ….……………….......…………………………...(Trismadi)
pada kawasan ini terdapat banyak blok minyak dan gas bumi. Di area tersebut terdapat juga jalur infrastruktur bawah laut (pipa gas dan kabel), Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Taman Nasional Perairan (TNP) Anambas, koridor yang menghubungkan antara Semenanjung Malaya dengan Serawak, adanya daerah latihan militer(Military Training Area(berdasarkan Defence Cooperation Agreement antara Indonesia and Singapore),berbagai rejim batas maritim (sesuai ketentuan UNCLOS) dan batas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut (sesuai UU 32 Tahun 2004), serta garis klaim batas area penangkapan ikan China (nine dotted line)yang saling tumpang tindih dengan area konsesi migas, membuat semakin kompleksnya kawasan ini, kondisi ini dapat dilihat pada Gambar1.
basisdata secara konseptual; 3) pemilihan sistem manajemen basisdata; 4) perancangan basisdata secara logika; 5) perancangan basisdata secara fisik; dan 6) implementasi sistem basisdata. BDPM berisi grup entitas data dan informasi perbatasan maritim, grup entitas data dan informasi sumberdaya alam, grup entitas data lingkungan laut, serta peta laut dan wilayah administrasi. Identifikasi potensi sumber daya alam dan lingkungan dilakukan dengan analisis keruangan (spasial) dengan ArcGIS-10. Pengembangan model konseptual pengelolaan perbatasan maritim dimulai dengan analisis status keberlanjutan pengelolaan dengan analisis Multidimensional Scaling (MDS) dan analisis Laverage,analisis Interpretive Structural Modelling (ISM) dan sampai penentuan prioritas kebijakannya menggunakan metode AHP. HASIL DAN PEMBAHASAN Basisdata Perbatasan Maritim
Gambar 1.Kompleksitas Kawasan Perbatasan Maritim Laut China Selatan Penulis memandang bahwa ketersediaan basisdata perbatasan maritim yang lengkap dan bisa diakses dengan cepat merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan adanya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah merancang basisdataperbatasan maritim (BDPM) dan membangun model konseptual pengelolaan kawasan perbatasan maritim.
Basisdata adalah kumpulan data yang terintegrasi dan dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil analisis kebutuhan basisdata menunjukkan bahwa dalam pengelolaan kawasan perbatasan maritim diperlukan ketersediaan basisdata untuk tujuan : 1) memenuhi kebutuhan akan informasi dalam rangka pengelolaan kawasan perbatasan maritim(termasuk untuk perundingan batas maritim); 2) menyediakan struktur data dan informasi yang mudah dimengerti oleh pengguna; dan 3) mendukung kebutuhan pemrosesan untuk pengelolaan kawasan perbatasan maritim. Pada tahapan perancangan ini semua data dikelompokkan menurut kriteria tertentu, kemudian dibuat antara grup data yang disebut entitas (entity), dan antar entitas saling dihubungkan yang disebut relationship. Rancangan konseptual basisdata perbatasan maritim disajikan pada Entity-Relationship Diagram (ERD) seperti pada Gambar 2.
METODE Penelitian ini dilaksanakan di kawasan perbatasan maritim Laut China Selatan, dimana terdapat permasalahan batas laut teritorial, batas landas kontinen dan batas ZEE antara Indonesia dengan Singapura, Malaysia dan Vietnam. Pemilihan lokasi studi kasus penelitian didasarkan pada kompleksitas perairan Laut China Selatan dan Laut Natuna, serta adanya batas maritim yang sudah disepakati dan yang belum disepakati, serta peta klaim China dengan peta nine dotted line-nya, Penelitian dilaksanakan mulai bulan April 2012 sampai bulan April 2013. Pekerjaan dan analisis data meliputi perancangan basis data perbatasan maritim (BDPM) yang dilakukan melalui 6 tahap antara lain:1) pengumpulan data dan analisis; 2) perancangan
Gambar 2.Diagram E-R Rancangan Konseptual BDPM 11
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013: 10- 18
BDPM yang dibangun memiliki entitas perbatasan spasial yang berupa titik dan garis, entitas potensi migas yang dituangkan dalam bentuk titik dan area (polygon), serta entitas lingkungan yang terdiri dari jaringan infrastruktur dasar laut, taman nasional laut, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Daerah Latihan Militer (Military Training Area), dan informasi yang relevan lainnya. Sementara entitas perbatasan non spasial berupa dokumen-dokumen terkait antara lain: dokumen persetujuan (treaty), lampiran persetujuan, dokumentasi, dan dokumen lain yang relevan, seperti Undang Undang tentang Pengelolaan. Selanjutnya pada tahap perancangan logis BDPM dapat dilihat seperti pada Entity-Relationship Diagram (ERD) seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Perancangan logis BDPM Pada tahapan berikutnya adalah perancangan fisik basisdata, yakni penyiapan jenis dan tipe data yang akan dimuat dalam sistem basisdata. Jenis data yang digunakan terdiri dari data spasial, yang memiliki posisi/koordinat (geo-reference) dan non-spasial, yang tidak memiliki posisi. Data spasial memiliki entitas pembentuk peta yang terdiri dari titik, garis, area, dan teks. Setiap entitas memiliki atribut yang mendeskripsikan setiap entitas tersebut. Sementara data non-spasial memiliki entitas pembentuk dokumen yang terdiri dari tekstual, gambar/sket, atau foto. Struktur basisdata dari entitasnya dituangkan dalam bentuk tabel, seperti pada Tabel 1, contoh data spasial dalam bentuk titik, garis dan poligon. Data titik memiliki nama (Titik_ID), posisi ([Lintang(D-M-S), Bujur(D-M-S), datum referensi, rejim batas, perjanjian dengan negara, dan keterangan lain yang relevan. Pada tahap perancangan basisdata secara fisik sudah jelas jenis dan tipe data dan atribut yang akan digunakan. Grup entitas yang digunakan pada perancangan basisdata secara fisik dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahap berikutnya adalah implementasi basisdata yang disusun dengan bantuan perangkat lunak Microsoft SQL Server 2008, Microsoft Acses dan
12
Arc-GIS. Setelah seluruh data dimasukkan ke dalam sistem manajemen basisdata, maka tampilan Basisdata Perbatasan Maritim (BDBM) terlihat pada Gambar 5. Pada Gambar 6a terlihat bahwa pada peta dasar dengan mengaktifkan data perbatasan maritim, maka sebagian atau seluruh data dan informasi secara otomatis muncul pada display. Pada contoh berikutnya ditampilkan data dan informasi tentang jaringan infrastruktur dasar laut berupa kabel laut dan pipa migas yang teramat rumit dan simpang siur. Tidak ada pola tertata, sehingga terkesan tidak ada penataan tataruang dasar laut disajikanGambar 6. Keberlanjutan Pengelolaan Perbatasan Maritim Dalam analisis keberlanjutan yang dilakukan menggunakan metode MDS, ditinjau dari enam dimensi yang masing-masing terdiri dari dimensi lingkungan (10 atribut), ekonomi (10 atribut), sosial (10 atribut), teknologi (10 atribut), kebijakan (10 atribut), dan hankam (10 atribut). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 6 (enam) dimensi keberlanjutan, terdapat 3 (tiga) dimensi yang sudah melewati batas indeks keberlanjutan, sementara itu masih terdapat 3 (tiga) dimensi yang memiliki nilai kurang dari 50%, yakni dimensi kebijakan (43,26), dimensi teknologi (42,09) dan dimensi hankam (44,04). Ketiga dimensi yang sudah memenuhi kriteria keberlanjutan adalah dimensi lingkungan (51,30), dimensi ekonomi (51,02), dan dimensi sosial (51,95) (lihat Gambar 6). Namun demikian secara keseluruhan nilai rata-rata keberlanjutan PPMB adalah 47,92, sehingga belum memenuhi indeks keberlanjutan yang disyaratkan (50,00). Hasil ini menunjukkan bahwa pengelolaan perbatasan maritim yang berkelanjutan saat ini belum sepenuhnya dikelola secara berkelanjutan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 4. Diagram E-R pada Perancangan Fisik
Rancangan Basisdata Untuk Pengelolaan Kawasan Perbatasan Maritim Laut Cina Selatan ….……………….......…………………………...(Trismadi)
Gambar 5. HalamanUtama Basisdata Perbatasan Maritim.
Gambar 6 (a). Basisdata dengan pilihan Perbatasan Maritim.
Gambar 6 (b). Basisdata dengan pilihan lingkungan (ALKI, MTA, TNL, Koridor, dan infrastruktur dasar laut).
13
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013: 10- 18
Gambar 7.Tingkat keberlanjutan pengelolaan perbatasan maritim.
berpengaruh dalam setiap dimensi. Langkah perbaikan yang dinilai paling efektif adalah dengan memperbaiki atribut yang memiliki sensitivitas tertinggi dalam setiap dimensi, terutama pada dimensi yang belum memenuhi kriteria keberlanjutan seperti tersaji padaGambar 8. Hal ini diharapkan akan mendorong perbaikan kinerja atribut lainnya dalam setiap dimensi, yang pada gilirannya akan mendorong perbaikan keberlanjutan seluruh dimensi. Nilai sensitivitas yang tertinggi dari dimensi teknologi adalah kesesuaian pemanfaatan teknologi pada kegiatan eksploitasi migas; dari dimensi kebijakan adalah pengaruh kebijakan nasional pada kegiatan eksploitasi migas; serta dimensi hankam adalah dukungan APBN pada anggaran pertahanan.Oleh karena itu pilihan yang memiliki nilai sensitivitas tertinggi menjadi langkah prioritas yang perlu dilakukan, sehingga dapat mampu meningkatkan tingkat keberlanjutan pengelolaan perbatasan maritim secara menyeluruh.
Selanjutnya untuk meningkatkan indeks keberlanjutan pada setiap dimensi, diperlukan upaya memperbaiki kinerja berbagai atribut yang
Gambar 8a. Hasil analisis sensitivitas teknologi
14
Rancangan Basisdata Untuk Pengelolaan Kawasan Perbatasan Maritim Laut Cina Selatan ….……………….......…………………………...(Trismadi)
Gambar 8b. Hasil analisis sensitivitas kebijakan.
Gambar 8c. Hasil analisis sensitivitas hankam.
15
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013: 10- 18
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Maritim yang Berkelanjutan
Perbatasan
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan adalah suatu rangkaian kebijakan pengelolaan yang terintegrasi dari aspek politik, ekonomi, sosial, ekologi, dan hankam yang muaranya pada keberlanjutan negara dengan tetap terjaganya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Strukturisasi Pengelolaan Hasil analisisInterpretive Structural Modelling (ISM) menunjukkan setidaknya diperoleh 2 (dua) elemen untuk penyusunan model Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan. Pada elemen kelembagaan diperoleh bahwa sub-elemen Kemenko Polhukam (1) berada pada posisi tertinggi atau level 9, namun pada level 8 terdapat Kemenhan dan Kemenlu, serta pada level 7 terdapat BNPP yang secara operasional mengimplementasikan kebijakan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut merupakan sub-elemen yang memiliki kekuatan penggerak dan pengaruh terbesar terhadap sub-elemen lain yang berada di level yang lebih rendah. Sedangkan pada level 1 adalah LSM Perbatasan, Masyarakatdan Pengusaha/Investor. Pada elemen tujuan diperoleh bahwa sub-elemen Terserapnya tenaga kerja di lingkungan kerja eksploitasi migas berada pada posisi terendah atau level 1. Hal ini menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut merupakan sub-elemen yang paling dipengaruhi dan digerakkan oleh kekuatan penggerak dari sub-elemen lain yang berada di level yang lebih tinggi.Jika dipertimbangkan kekuatan daya dorong dan tingkat ketergantungannya maka sub-elemen dalam level 1 memiliki daya dorong yang rendah dan dipengaruhi secara kuat dari sub-elemen yang berada pada level 2. Sub-elemen yang berada pada level 2, yaitu minimalisasi dampak kegiatan eksploitasi migas pada kawasan taman nasional laut, minimalisasi dampak kegiatan penangkapan ikan, dan empat sub-elemen lainnya; pada level 3 yaitu penerapan teknologi yang sesuai dalam penangkapan ikan, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengikuti ketentuan pemerintah, serta empat sub-elemen lainnya; pada level 4 terdapat delapan sub-elemen diantaranya meningkatkan pendampingan KRI pada kegiatan penangkapan ikan, meminimalkan konflik kepentingan dalam kegiatan penangkapan ikan, serta enam elemen lainnya. Sedangkan pada level tertinggi (5) adalah terjaganya keutuhan wilayah NKRI. Hubungan kontekstual tersebut dalam teknik ISM dinyatakan sebagai derajat pentingnya peran para pelaku yang terlibat dalam Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan. Prioritas Kebijakan Dalam menentukan prioritas kebijakan dilakukan dengan metode AHP. Hasil survei pakar menggambarkan adanya 4 level hirarki yang terdiri dari 16
fokus, aktor, faktor dan alternatif.Bobot terbesar dalam level hirarki aktor adalah 0,247 untuk Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Setelah Kemlu juga terlihat dua aktor lain yang memiliki nilai relative besar yakni BNPP (0,207) dan Kementerian Pertahanan (0,174). Hal ini menunjukkan bahwa Kemlu, BNPP dan Kemhan yang merupakan unsur pemerintah adalah aktor terpenting yang berperan dalam Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan. Peran pemerintah ini tentu memiliki porsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Namun demikian peran penting dari ketiga unsur tadi, tidak berarti mengabaikan peran dari aktor-aktor lainnya. Selain itu bobot terbesar dalam level hirarki faktor adalah 0,65 untuk elemen kebijakan pemerintah. Elemen lain yang relatif besar adalah faktor potensi sumber daya alam (0,224) dan faktor Teknologi (0,173). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah, potensi SDA dan teknologi merupakan faktor terpenting yang harus dikelola untuk mendorong pencapaian PPMB tanpa mengabaikan faktor-faktor terkait lainnya. Sementara pembobotan alternatif merupakan hal pokok yang bisa menggambarkan prioritas penentuan alternatif kebijakan bagi tercapainya PPMB. Terdapat enam dimensi yang telah diperoleh dari hasil MDS, maka kebijakan dari masing-masing dimensi juga telah disiapkan. Nilai bobot alternatif terbesar PPMB adalah meiningkatkan anggaran pertahanan dengan bobot sebesar 0,229. Hal ini sangatlah wajar dan menjadi penting, karena banyak kebijakan operasi yang disiapkan antara lain untuk melakukan patroli di kawasan perbatasan, melakukan pendampingan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di ZEE Indonesia serta pengawalan kegiatan operasional eksplorasi dan eksploitasi migas merupakan prioritas kebijakan yang harus dilakukan guna menunjang PPMB. Model Konseptual PPMB Model konseptual Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan terdiri dari penyusunan basis data, sistem pengelolaan, kelembagaan pengelola, serta SPK untuk pengelolaan kawasanperbatas maritim. Basis data dirumuskan berdasarkan kebutuhan data dan informasi dalam rangka pengelolaan kawasan perbatasan maritim termasuk untuk mendukung proses perundingan batas maritim. Basisdata juga dapat digunakan untuk melakukan kajian komprehensif, sehingga diketahui secara presisi nilai politik, sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan suatu kawasan perbatasan maritim. Sistem pengelolaan disusun berdasarkan solusi atas analisis aktor dan tujuan dari hasil ISM, serta pilihan prioritas kebijakan dari AHP. Selain itu, pengelolaan perbatasan maritim yang berkelanjutan mengacu pada hasil analisis MDS terutama pada dimensi teknologi, kebijakan dan hankam yang memiliki atribut sensitif sebagai prioritas kebijakan. Sistem pengelolaan nantinya juga dilengkapi secara khusus perangkat SPK untuk melakukan pengelolaan kawasan perbatasan wilayah maritim.
Rancangan Basisdata Untuk Pengelolaan Kawasan Perbatasan Maritim Laut Cina Selatan ….……………….......…………………………...(Trismadi)
Optimalisasi kelembagaan yang terlibat dirumuskan berdasarkan pembobotan aktor pada AHP, serta strukturisasi aktor pada ISM.
pencapaian tujuan dan perbaikan kebijakan; serta (d) implementasi prioritas kebijakan. UCAPAN TERIMAKASIH
KESIMPULAN Basisdata yang dirancang sesuai kebutuhan telah dibangun dengan jumlah data yang masih terbatas dan nantinya dapat terus dilengkapi secara bertahap. Basisdata ini juga dirancang akan terkoneksi dengan sistem yang dapat diakses melalui web dalam bentuk Sistem Informasi Perbatasan Maritim yang sangat membantu para pelaku dalam pengelolaan kawasan perbatasan maritim yang berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari enam dimensi keberlanjutan, terdapat tiga dimensi yang sudah melewati kiriteria keberlanjutan, yakni dimensi lingkungan, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Sementara tiga dimensi lain yang belum memenuhi kriteria keberlanjutan adalah dimensi teknologi, dimensi kebijakan, dan dimensi hankam. Hasil ini menunjukkan bahwa pengelolaan perbatasan maritim saat ini belum sepenuhnya dikelola secara berkelanjutan, dari beberapa aspek khususnya kebijakan, teknologi dan hankam. Analisis kebijakan Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan secara umum menghasilkan beberapa hal pokok, yaitu: Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual para pelaku menunjukkan struktur tingkat pengaruh dan kepentingan guna menyusun sistem kelembagaan Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan. Selain itu, sistem pengelolaan bisa mengacu pada hubungan kontekstual dan level hierarki elemen tujuan Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan. Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk meningkatkan anggaran pertahanan harus dilakukan guna menunjang Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan. Hal ini dilakukan utamanya untuk pengelolaan kawasan perbatasan melalui kegiatan patroli perbatasan maritim serta pendampingan kegiatan eksploitasi migas dan perikanan guna menjaga keutuhan wilayah NKRI. Basisdata yang telah dibangun dalam penelitian ini dapat disebut sebagai prototipe basisdata perbatasan dalam rangka pengelolaan perbatasan maritim dengan contoh di Laut China Selatan. Untuk kawasan perbatasan maritim yang lain di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan prototipe basisdata ini dan memasukkan data dan informasi yang diperlukan. Guna meningkatkan indeks keberlanjutan setiap dimensi, diperlukan upaya memperbaiki kinerja berbagai atribut yang paling berpengaruh dalam setiap dimensi, khususnya dimensi teknologi, kebijakan dan hankam. Optimalisasi kebijakan Pengelolaan Perbatasan Maritim yang Berkelanjutan secara umum dapat diperbaiki melalui: (a) pendefinisian kawasan perbatasan maritim melalui revisi UU atau penerbitan Peraturan Pemerintah, (b) perbaikan tingkat keberlanjutan dari seluruh dimensi yang terkait; (c)
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Hidro Oseonografi (Dishidros) TNI Angkatan Laut yang telah menyediakan data dan membiayai kegiatan penelitian ini. Diucapkan terima kasih juga kepada Badan Informasi Geospasial dan Kementerian Dalam Negeri atas dukungan data serta waktu yang diberikan selama penelitian ini dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Arsana, I.M.A., F. Yuniar dan Sumaryo. (2010).Geospatial Aspects of Maritime Boundary Delimitation in the Singapore Strait involving Indonesia, Malaysia and Singapore.FIG Congress2010 Facing the Challenges – Building the Capacity. Sydney, Australia. 11-16 April 2010. Barbier, E.B. (1987). The Concept of Sustainable Economic Development.Environmental Concer-vation. Beckman, R. (2010). Maritime Claims in the South China th Sea: Issues & Challenges.Keynote Address on the 7 ABLOS Conference. Monaco 2-5 October 2012. Christopher, C.J.(1998). The Spartly Islands Dispute: Rethinking the Interplay of Law, Diplomacy, and GeoPolitics in the South China Sea.International Journal on Marine and Coastal Law. 193 :1998. Denk, E. (2005). Interpreting a Geographical Expression in a Nineteenth Century Cession Treaty and the Senkaku/Diaoyu Islands Dispute.The International Journal of Marine and Coastal Law. Vol 20 No. 1 © Kluwer Law International. Dong M.N. (2006). Settlement of Disputes under the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea : The Case of the South China Sea Dispute.Queensland University Journal. Vol 25, 2006. Gao Z. (1994).The South China Sea: From Conflict to Cooperation. Ocean Developmentand International Law. Vol. 25 (1994): 346 Haim S. and Maxim S. (2006). Towards a Comprehensive International Boundary Making Model Shaping the Change. XXIII FIG Congress. Munich. Germany. October 8-13, 2006. Hasjim, D.J. (1995). Spratly Dispute Needs Democratic Settlement. The Jakarta Post. January 2, 1995. Kok, C.T. (2005). Boundary Making And Equal Concern.Journal Metaphilosophy. Vol. 36, Nos. ½. January 2005. Keyuan, Z. (2006).Joint Development in the South China Sea: A New Approach. The International Journal of Marine and Coastal Law. Vol 21, No 1© Koninklijke Brill NV. Robert, W.S. (2010). Maritime Delimitation in the South China Sea: Potentiality and Challenges, Ocean Development & International Law. The Journal of Marine Affairs.Online publication date: 12 August 2010 Ron, A. (2002). Surveyors Role in Delineation andDemarcationof International LandBoundaries. FIG XXII International Congress. Washington D.C. U.S.A. April 19-26 2002.http://www.fig.net/pub/fig_2002/Js20/JS20_adl er.pdf [Diakses 7 Mei, 2011]. Saaty, T.L. (1993). Decision Making for Leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World.
17
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013: 10- 18
Waljiyanto (2000).Sistem Basisdata, Analisis dan Pemodelan
18
Data.Cetakan Pertama. J&J Learning. Yogyakarta.