Bab III Studi Tafonomi Moluska
III.1 Moluska Moluska berasal dari bahasa latin yang berarti soft nut atau soft body, merupakan hewan lunak dan tidak memiliki ruas. Tubuh hewan ini tripoblastik, simetri bilateral, umumnya memiliki mantel yang dapat menghasilkan bahan cangkang, cangkang ini tersusun dari bahan kalsium yang kuat, dan apabila organisme tersebut mati, cangkangnya dapat terawetkan dalam sedimen dan menjadi fosil. Cangkang moluska berfungsi sebagai rumah (rangka luar) yang terbuat dari zat kapur misalnya kerang, tiram, siput laut, siput sawah dan bekicot. Namun ada pula Moluska yang tidak memiliki cangkang, seperti cumi-cumi, sotong, gurita atau siput telanjang. Moluska merupakan suatu filum dari golongan invertebrata (makhluk yang tidak memiliki tulang belakang) yang penting dan banyak jumlah spesiesnya, kedua setelah Insecta. Faktor – faktor yang mempengaruhi keberadaan moluska( Beu dan Maxwel, 1990), diantaranya adalah : 1. Temperatur Faktor ini memegang peranan penting dalam perkembangan, daya tahan ataupun ukuran serta ketebalan cangkang. Dengan menurunnya suhu, ukuran dan ketebalan cangkang juga berkurang karena, CaCO3 tersaturasi pada air bersuhu rendah. Temperatur berhubungan pula dengan kedalaman (Glasson, 1959, op cit. Isnaniawadhani, 1994), sebagai berikut:
Temperatur
Kedalaman
11,1 – 20,60C
0 – 37
m
9,6 – 14,20C
38 – 74
m
8,0 – 11,10C
75 – 180 m
14
2. Kedalaman Kedalaman sedikitnya akan mempengaruhi morfologi cangkang, karena makin dalam laut, makin rendah temperatur, makin tinggi CO2 dan makin tinggi tingkat kelarutan CaCO3. 3. Salinitas Salinitas di definisikan sebagai banyaknya kadar garam (NaCl) yang terlarut di dalam air, dinyatakan dalam permil (o/ oo ). Berdasarkan tingkat salinitasnya dapat digolongkan menjadi Hyposaline (< 33 o/ oo ), Normal Marine (33-37 o
/ oo ) dan Hypersaline (> 37 o/ oo ). Pengaruh perubahan kadar garam akan
berakibat lambat ataupun terhentinya perkembangan. Pada umumnya berbagai jenis moluska terdapat di daerah yang bersalinitas normal marine atau hyposaline. 4. Keadaan Substrate keadaan permukaan dimana moluska berada. Keadaan substrate ditentukan oleh tekstur, kimia, mineralogi dari dasar pembentuknya. Dengan sendirinya ini akan sangat berpengaruh terhadap pH dan nutrisi. Moluska mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan merupakan filum yang paling berhasil dalam hidupnya dibandingkan dengan filum lainnya. Hidup dari Zaman Kambrium sampai Resen dan banyak diantaranya dijadikan sebagai fosil indeks yang baik. Organ tubuh yang kompleks telah dimiliki moluska, yakni dilengkapi dengan organ mulut yang mempunyai radula (lidah parut) sampai dengan anus terbuka di daerah rongga mantel. Di samping itu juga terdapat kelenjar pencernaan yang sudah berkembang baik. Pernafasan dilakukan dengan menggunakan insang atau “paru-paru,” mantel atau oleh bagian epidermis. Alat ekskresi berupa ginjal. Sistem saraf terdiri atas tiga pasang ganglion yaitu ganglion cerebral, ganglion visceral dan ganglion pedal yang ketiganya dihubungkan oleh tali-tali saraf longitudinal. Alat reproduksi umumnya terpisah atau bersatu dan pembuahan internal atau eksternal. Moluska memiliki kaki yang bentuk dan fungsinya berbeda untuk setiap kelasnya. Ahli paleontologi membagi taksonominya berdasarkan atas perbedaan bagian yang keras, meliputi bentuk-bentuk cangkang maupun ornamen spine
15
(duri). Sementara oleh ahli neontologi, hewan ini
dibagi berdasarkan atas
perbedaan pada bagian lunak, seperti sistem otot (muscle system), urat saraf (nerves), insang, atau bagian halus lainnya. Berdasarkan perbedaan tersebut diatas, maka Moluska dibagi dalam tujuh kelas (Fairbridge dan Jablonski, 1979), yaitu : 1. Kelas Monoplacophora 2. Kelas Polyplacophora 3. Kelas Aplacophora 4. Kelas Scaphopoda 5. Kelas Gastropoda 6. Kelas Pelecypoda (Bivalvia) 7. Kelas Cephalopoda Dari ketujuh kelas dalam pembagian filum moluska diatas, pada penelitian studi tafonomi ini hanya dua kelas yang ditemukan, yaitu :
III.1.1 Kelas Gastropoda Dalam filum moluska, Gastropoda merupakan kelas terbesar, menempati habitat terestrial hingga kedalaman ribuan meter di dasar laut, dan hidup dari Zaman Kambrium hingga Resen, Umumnya bergerak dalam wilayah yang terbatas tetapi mobile (Fairbridge dan Jablonski, 1979). Gastropoda adalah hewan yang bertubuh lunak, berjalan dengan perut yang dalam hal ini disebut kaki. Gerakan Gastropoda disebabkan oleh kontraksikontraksi otot seperti gelombang, dimulai dari belakang menjalar ke depan. Pada waktu bergerak, kaki bagian depan memiliki kelenjar untuk menghasilkan lendir yang berfungsi untuk mempermudah berjalan, sehingga jalannya meninggalkan bekas. Tubuh keras (cangkang) gastropoda berupa satu cangkang yang terpilin memanjang pada satu garis sumbu, berbentuk tabung atau kerucut yang tertutup di salah satu ujungnya dan terbuka di ujung lainnya. Pada cangkang ini terdapat beberapa bagian – bagian dan hiasan – hiasan. Bagian – bagian dari cangkang tersebut adalah : Whorl, spire, body whorl, apex, aperture, anterior canal, posterior
16
canal, outer lip, inner lip, columella (umbilikus), protoconch, sutura (Gambar III.1). Sedangkan yang menghiasi permukaan cangkang disebut ornamentasi. Pada cangkang yang terputar, setiap satu putaran disebut whorl, garis kontak antara whorl disebut sutura. Satu putaran ( whorl ) terakhir disebut body whorl, dan bagian whorl selebihnya dinamakan spire. Pada kamar terakhir biasanya akan memperlihatkan adanya siphonal canal.
Gambar III.1. Bagian cangkang Gastropoda (Fairbridge dan Jablonski, 1979).
III.1.2. Kelas Pelecypoda (Bivalvia) Pelecypoda hidup dari zaman Ordovisium bawah sampai Resen (Fairbridge dan Jablonski, 1979), merupakan kelas (kelompok) kedua terbesar dari
17
filum Moluska. Ciri utama hewan ini memiliki dua buah cangkang/tangkup (bi = dua, valve = katup), yang umumnya sama besar (equivalve) dan terbentuk dari material gampingan. Kedua cangkang dihubungkan oleh semacam engsel, yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot adductor dalam tubuhnya. Cangkang ini berfungsi untuk melindungi tubuh. Fungsi kaki untuk merayap dan menggali lumpur atau pasir. Kelas Pelecypoda mempunyai daya adaptasi yang tinggi, lingkungan hidupnya di dalam air laut, air payau, dan air tawar, seperti di sungai dan danau. Morfologi cangkang bagian luar (Gambar III.2), terdiri dari : 1) Ligament adalah suatu depresi atau cekungan yang terletak di bagian dorsal di sekitar belakang beak. 2) Lunule adalah suatu depresi atau cekungan yang terletak di bagian dorsal di sekitar muka beak. 3) Beak
adalah
permulaan
pembentukan
cangkang,
cembung
atau
melengkung yang terletak di ujung cangkang dorsal. 4) Umbo adalah puncak dari suatu cangkang, cembung atau melengkung yang terletak di ujung cangkang dorsal. 5) Garis tumbuh ( Growth Line ) merupakan garis-garis konsentris dengan spasi yang beraturan, dibentuk oleh mantle lobes karena pertumbuhan binatangnya. 6) Ornamentasi adalah gambaran atau ukiran pada permukaan kulit kerang bagian luar.
18
Gambar III.2. Bagian cangkang Pelecypoda (Abbot dan Dance, 1988)
Cara hidup dari Pelecypoda (Pelecypoda) terhadap dasar cekungan (sungai, danau atau laut) dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu: 1. Infaunal (Gambar III.3 C,E,G,H,I,J,K,L,M,O), hidup terkubur seutuhnya dalam sedimen. Moluska yang hidup dengan cara seperti ini memiliki orientasi posterior menghadap ke bawah, dan biasanya stabil karena posisi tubuhnya. 2. Semi – Infaunal (Gambar III.3 N), posisi hidup hewan berorientasi vertikal (posterior menghadap ke bawah) tetapi hanya terkubur sebagian di dalam sedimen. 3. Reclining (Gambar III.3 B), posisi hidup hewan ini memiliki efek melayang secara horizontal di sedimen. Pada umumnya, moluska dengan posisi hidup seperti ini memiliki cangkang yang rata. Modifikasi cangkang seperti permukaan yang lebar dan duri – duri membantu hewan ini mengambang. Sedikit catatan bahwa salah satu dari spesimen ini memiliki duri, yang muncul sebagai adaptasi tambahan untuk reclining di sedimen yang halus. 4. Epifaunal (Gambar III.3 A,D), posisi hidup dari moluska tertambat di sedimen atau di obyek lainnya (contohnya tanaman – tanaman laut).
Gambar III.3 Posisi hidup dari Fosil Moluska (Fairbridge dan Jablonski, 1979)
19
Moluska
dapat
digunakan
sebagai
indikator
suatu
lingkungan
pengendapan terutama untuk area tepi cekungan (Wesselingh, 2006). Sebagai contohnya adalah kemunculan fosil Placuna, Turritella, Paphia, dan Natica yang merupakan penciri lingkungan Soft bottom coastal-offshore.
III.2 Penentuan Perubahan Posisi Muka Air Laut Perubahan
naik–turunnya
muka
air
laut
berkaitan
erat
dengan
pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme laut, diantaranya juga terjadi pada moluska. Pada saat muka air laut naik moluska yang hidup di dasar laut yang dangkal masih akan dapat bertahan hidup dan dapat berkembang hingga menjadi dewasa karena kondisi lingkungan yang relatif tenang. Jika organisme tersebut mati, maka akan diendapkan dalam sedimen sesuai dengan posisi hidup dan lingkungannya dengan kondisi cangkang yang masih lengkap (Aswan, 2006). Sebaliknya saat muka air laut turun, moluska yang hidup pada dasar laut yang dangkal tidak akan dapat bertahan hidup karena lingkungannya yang menjadi kering dan tidak sesuai dengan kebutuhannya untuk dapat tumbuh dan berkembang. Turunnya muka laut yang cepat, kemungkinan besar juga akan mentransport cangkang–cangkang moluska yang terendapkan di bawah laut. Dalam kondisi ini moluska akan ditemukan dalam sedimen dengan posisi yang tidak sama dengan posisi hidupnya. Organisme yang menjadi fosil pun masih kecil karena belum sempat tumbuh dan berkembang serta menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Organisme moluska dengan cangkang yang tipis akan cenderung ditemukan dalam keadaan pecah – pecah dan tidak lengkap. Penurunan muka air laut juga umumnya di temukan campuran sedimen dengan butir yang kasar (Aswan, 2006).
III.3 Studi Tafonomi Istilah tafonomi, (berasal dari bahasa Yunani taphos yang berarti penguburan, dan nomos yang berarti aturan), dikenalkan di dunia paleontologi pada tahun 1940 oleh ilmuwan Rusia, Ivan Efremov, untuk menjelaskan studi
20
transisi dari sisa, bagian dan produk dari organisme (fosil), dari biosfer, ke litosfer (Shipman, 1981 op.cit. Pradana, 2008). Tafonomi sendiri adalah ilmu yang mempelajari apa yang terjadi pada organisma setelah mati dan sampai menjadi fosil. Hal tersebut termasuk dekomposisi, transportasi setelah mati, pengendapan, kompaksi dan aktifitas kimia, biologi atau fisika yang mana akan meninggalkan efek pada sisa organisma tersebut (McRoberts, 1998). Proses tafonomi (Gambar III.4) memungkinkan dapat memberikan suatu informasi seperti merekonstruksi perpindahan tempat yang biasanya menjadi panduan untuk mengerti lingkungan pengendapan dan sejarah kehidupan dari suatu organisma.
Gambar III.4 Proses Tafonomi : langkah dari masa kehidupan organisma hingga menjadi fosil (Dimodifikasi dari McRoberts, 1998).
Beberapa proses tafonomi yang dapat diamati antara lain (McRoberts, 1998): •
Artikulasi dari cangkang dapat mengindikasikan burial secara cepat.
•
Fragmentation, pecahnya cangkang biasanya merupakan indikasi dari energi tinggi yang disebabkan oleh aksi gelombang dan arus.
•
Ukuran cangkang, dapat menjadi indikator efektif dari kapasitas aliran/kedalaman air. Dalam geologi, studi tafonomi dapat digunakan diantaranya sebagai salah
satu indikator penting untuk interpretasi dari kerangka sikuen sehingga diketahui hubungan tiap lapisan yang dilakukan secara berurut, yaitu perubahan relatif dari permukaan air laut dalam pengistilahan system tracts (Trangressive Systems
21
Tract/TST, Lowstand Systems Tract/LST dan Highstand Systems Tract/HST) (Aswan, 2006).
III.4 Arsitektur Sikuen Arsitektur sikuen adalah suatu pendekatan berorientasi proses untuk menginterpretasi paket sedimen, sehingga saat ini didefinisikan sebagai studi yang mengkaji hubungan antar batuan, di dalam suatu kerangka waktu, dimana pola urutan dari batuan – batuan itu adalah siklus dan tersusun oleh satuan batuan stratigrafi yang berhubungan secara genetis dengan dibatasi oleh suatu bidang erosi atau bidang tak berdeposisi atau bidang keseluruhan yang korelatif (dengan bidang – bidang tersebut sebelumnya) (Posamentier dkk., 1988; van Wagoner dkk., 1988 op.cit. Allen dan Possamentier, 1993). Suatu sikuen diinterpretasikan diendapkan selama satu sea-level cycle (Yarmanto, dkk, 1997), yaitu kecepatan turunnya permukaan laut yang paling besar sampai kecepatan turunnya permukaan laut yang paling besar berikutnya). Hal tersebut, akan menjadi sangat penting untuk mengetahui perkembangan seperti apa yang akan kita pakai untuk interpretasi kita, sebelum berlanjut ke sedimentologi dan arsitektur dari studi kita dalam konteks stratigrafi sikuen. Systems Tract diartikan sebagai himpunan satuan genesa penyusun sistem sedimentasi yang terbentuk secara (relatif) bersamaan dalam satuan segmen tertentu dari kurva perubahan muka laut relatif (Posamentier dkk., 1988 dalam Walker dan Bhattacharya, 1992). Penamaan dinyatakan sesuai segmen dalam perubahan muka laut relatif (Gambar III.5), antara lain: 1. LST (Lowstand Systems Tract), terendapkan ketika muka air laut turun. 2. TST (Transgressive Systems Tract), terendapkan ketika muka air laut naik. 3. HST (Highstand Systems Tract), terendapkan ketika muka air laut telah melewati maximum flooding atau perlahan mulai turun. Dalam studi ini, istilah – istilah ini akan dipakai untuk interpretasi arsitektur sekuen di lingkungan laut dangkal/transisi.
22
Gambar III.5 System Track (modifikasi dari Posamentier dan Vail, 1988 op cit. Pradana, 2008).
Selain itu dalam penelitian ini membatasi pendekatan pada upaya untuk menentukan perilaku muka air yang dianalisis langsung dari pola dan perubahan satuan genesa (arsitektural elemen) sebagai komponen sikuen. Hal ini berarti hasil penelitian tidak akan menentukan apakah variabel tektonik yang menjadi penyebab dalam perubahan itu. Untuk menjelaskan hipotesis dalam penelitian ini, berdasarkan pada beberapa penelitian mengenai tafonomi dalam hal penentuan batas system tract (Kondo dkk, 1998; Parras dan Casadio, 2004; Cantalamessa, dkk, 2005, Aswan, 2006, Pradana, 2008), yang secara umum membagi menjadi : •
Awal TST (Transgressive System Tract) mulai terjadi diatas batas erosional (ravinement surface) atau batas sikuen (sequence boundary), dimana diatas batas erosional ini terdapat butir – butir kasar sedimen, trace fossil, dan disartikulasi
cangkang
yang
dominan,
dan
fragmentasi
cangkang
diinterpretasikan berasal dari sisa – sisa sedimen yang terendapkan sebelumnya (Gambar III.6 dan III.7).
Gambar III.6 Dominasi disartikulasi dan fragmentasi cangkang menandai awal TST (Transgressive System Tract) (Cantalamessa, dkk, 2004)
23
Gambar III.7 Fosil jejak salah satu tanda awal TST (Transgressive System Tract) mulai terjadi diatas batas erosional (ravinement surface) (Parras dan Casadio, 2004).
•
Akhir TST (Transgressive System Tract) terjadi karena kelanjutan dari kenaikan muka air laut, dapat dicirikan dari tingginya persentase cangkang yang utuh dan dalam posisi hidup (insitu). Konsentrasi ini terakumulasi ketika rata – rata produk bagian keras dari hewan (cangkang) tinggi dan rata – rata masukan sedimen rendah (Gambar III.8 dan III.9).
Gambar III.8 Akhir TST (Transgressive System Tract) terjadi karena kelanjutan dari kenaikan muka air laut, di tandai oleh dominasi cangkang yang utuh (Parras dan Casadio, 2004).
24
Gambar III.9 Akhir TST (Transgressive System Tract) terjadi karena kelanjutan dari kenaikan muka air laut ditandai oleh kehadiran artikulasi cangkang Pelecypoda (Cantalamessa, dkk, 2004).
•
Awal HST (Highstand System Tract), dicirikan oleh cangkang fosil moluska dengan cangkang yang utuh masih dapat ditemukan setempat atau pada spot – spot tertentu (individual) dengan posisi cangkang dalam posisi hidup. Banyak ditemukan fosil moluska yang masih muda dan fosil moluska dewasa dengan cangkang yang pecah – pecah dikarenakan mulai berkurangnya ruang akomodasi akibat berkurangnya kecepatan kenaikan muka laut, hal ini yang menyebabkan moluska tidak dapat berkembang secara sempurna (Gambar III.10).
•
Gambar III.10 Awal HST (Highstand System Tract) diantaranya terdapat cangkang individual dalam posisi hidupnya (Parras dan Casadio, 2004).
25
•
Akhir HST (Highstand System Tract), dapat dicirikan dari perulangan suatu peristiwa berkali – kali (multiple-event concentrations) dari endapan penuh fosil yang pecah – pecah dengan endapan yang relatif tidak mengandung fosil (Gambar III.11). Hal ini terjadi diakibatkan oleh posisi muka laut yang berada pada posisi highstand.
Gambar III.11 Akhir HST (Highstand System Tract) yang ditandai oleh perselingan lapisan mengandung fosil moluska dan lapisan yang tidak mengandung fosil moluska (Parras dan Casadio, 2004).
26