1
Integrasi Matematika dan Islam Dr. La Jamaa, MHI* Pengantar Islam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia dalam segala ruang, waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang universal sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau menerima kebenaran. Dalam kaitan ini Rasulullah saw telah mengajarkan bahwa ad-dinu huwa al-‘aqlu la dina la ‘aqla lahu (agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tak beragama bagi orang yang tak berakal). Makna hadis di atas bisa dikaitkan dengan kondisi manusia yang secara usia telah masuk kategori dewasa karena telah berusia 17 tahun ke atas misalnya namun jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap tidak cakap hukum sehingga tidak dibebani kewajiban agama (tidak mukallaf). Namun demikian makna hadis itu bisa dikaitkan dengan manusia yang tidak menggunakan akal sehatnya untuk menerima kebenaran. Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai pemanfaatan akal atau rasio yang mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan sumber kebenaran itu sendiri yaitu Allah. Bahkan dalam banyak ayat al-Qur‟an diisyaratkan dalam bentuk pertanyaan: afala ta’qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)? Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan matematika di sini bukan berarti bahwa lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut melainkan hanya untuk menambah keyakinan umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan itu bernilai kebaikan dan bisa mengantarkan kepada kebaikan pula serta meningkatkan keimanan dan kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Qur‟an sendiri, banyak ditemukan ayat yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi kebenaran kepada manusia? Di samping itu adanya keragaman ilmu pengetahuan adalah suatu keniscayaan. Begitu juga adanya perbedaan antara doktrin Islam dengan ilmu matematika, tidak perlu dipertentangkan. Sebab meskipun doktrin Islam bersumber dari wahyu (al-Qur‟an dan hadis) sedangkan ilmu matematika bersumber dari akal, namun wahyu dan akal sama-sama bersumber dari Allah. Karena itu tulisan ini akan mengulas sekilas hubungan matematika dengan Islam, atau analisis beberapa doktrin ajaran Islam dengan pendekatan matematika. Nilai Amal Ibadah Menurut Islam ibadah pada hakekatnyah mencakup semua aktivitas yang dilakukan dengan tujuan/motivasi (niat) untuk memperoleh redha Allah (pahala). Atau segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah atau dengan mengharapkan pahala-Nya di akherat. Dengan demikian ibadah tidak hanya terbatas kepada aktivitas yang telah ditentukan oleh syariat sebagai kewajiban atau anjuran (sunnat) akan tetapi ibadah memiliki cakupan yang sangat luas. Kebanyakan umat Islam membatasi ibadah hanya pada ibadah salat, puasa, zakat, haji serta beberapa ibadah lainnya. Sedangkan aktivitas seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah bukan dikategorikan sebagai ibadah, melainkan hanya aktivitas keduniaan semata. Padahal menurut Islam semua aktivitas manusia bisa diarahkan kepada ibadah dan memang seharusnya semua tindakan manusia harus bernilai kebaikan. Ibadah dapat dibagi berdasarkan: 1. Tata cara pelaksanaannya, ibadah terbagi dua macam: a. Ibadah Mahdah (ibadah khusus), yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur secara jelas dan rinci (khusus) oleh syara, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dsb. Ibadah mahdah disebut juga ibadah ritual karena harus dilakukan sesuai dengan ritual (tata upacara) yang telah ditentukan dan orientasi utamanya untuk menjalin hubungan dengan Allah. Dalam ibadah ini tidak boleh diubah tata caranya berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam bidang ibadah mahdah dikenal bid’ah, yakni amalan ibadah *
Penulis adalah dosen tetap Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon.
2
mahdah yang ditambah atau dikurangi dari apa yang dicontohkan oleh Nabi saw atau sahabatnya, apalagi amal ibadah yang diada-adakan. b. Ibadah ghairu mahdah (ibadah umum/universal), yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya tidak diatur secara jelas dan rinci oleh syara, seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat, dsb. Disebut ibadah umum/universal karena eksistensinya sebagai ibadah bersifat universal (umum) tetapi tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada adat istiadat (hasil kreasi, inovasi) manusia. Dalam ibadah ini syariat hanya menegaskan bahwa menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat wajib hukumnya (ibadah) namun tata caranya tidak ditentukan oleh syariat tetapi diserahkan kepada kreativitas dan inovasi manusia. Yang terpenting ilmu yang dituntut itu bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan ilmu sihir atau ilmu yang membahayakan manusia. Misalnya: Menutup aurat (kewajiban memakai jilbab) termasuk ibadah ghairu mahdah karena yang dijelaskan al-Qur‟an dan hadis hanya ketentuan wajib menutup aurat tetapi ketentuan mengenai mode, kualitas kain dan sebagainya diserahkan kepada hasil kreasi manusia. Dalam hal ini yang terpenting jilbab tersebut memenuhi syarat pakaian yang menutup aurat yakni tidak ketat, tidak transparan serta tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya (tidak merangsang). Dalam bekerja mencari harta syariat hanya mengatur agar harta diperoleh dengan cara-cara yang benar serta dimanfaatkan untuk kebaikan. Namun tidak diberikan rincian mengenai jenis usaha yang akan digeluti dan teknik pelaksanaannya. Hal itu mengandung hikmah agar umat manusia termasuk umat Islam memiliki kebebasan dalam mencari jenis usaha dan bagaimana mewujudkannya. Yang terpenting dan harus diperhatikan adalah usaha yang digeluti itu bukan jenis usaha yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur'an dan hadis, seperti riba, melakukan jual beli barang haram, atau mengandung penipuan dan sejenisnya. Menuntut ilmu juga adalah ibadah umum karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur‟an dan hadis namun tata caranya tidak ditentukan secara khusus oleh syara. Hal itu mengandung makna bahwa semua ilmu adalah berasal dari Allah dan karena itu mengandung kebaikan untuk manusia dan kemanusiaan serta alam semesta. Ilmu yang dilarang dipelajari hanya ilmu sihir atau black magic, yang memang tidak bermanfaat dan bahkan dapat mendatangkan bahaya bagi manusia. 2. Berdasarkan manfaatnya, ibadah terbagi dua macam: a. Ibadah Syakhsiyah (ibadah individual), yaitu ibadah yang berupa hubungan individu dengan Tuhannya serta manfaat (pahala)nya hanya diperoleh/dinikmati individu yang bersangkutan, seperti shalat, puasa, dsb. Jadi, manfaatnya hanya bersifat pribadi. Ibadah syakhsiyah hanya memberikan pahala dan manfaat bagi pelakunya. b. Ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial), yaitu ibadah yang berupa hubungan antar sesama manusia serta dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain, seperti zakat, sedekah, infaq, berkurban, menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, dsb. Disebut ibadah sosial karena dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut selain menjalin komunikasi dan hubungan dengan Allah juga dapat terjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia (penerima zakat, sedekah, infaq, hewan kurban, murid yang menerima ilmu, orang lain dapat memenuhi nafkahnya) dsb. Memberi zakat, sedekah, infaq disebut ibadah sosial sebab diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang yang menerima zakat, sedekah dan infaq tersebut. Demikian juga menuntut ilmu adalah ibadah sosial dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang jika ilmunya diajarkan kepada orang lain. Karena itulah meski orang berilmu telah tiada namun pahalanya akan terus mengalir berbanding lurus dengan jumlah orang yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya. Meskipun demikian perlu diketahui kriteria suatu amalan bisa dikategorikan sebagai ibadah (bernilai kebaikan dan berpahala) atau justru menjadi dosa. Banyak orang mengira suatu
3
perbuatan bisa bernilai ibadah (kebaikan dan berpahala) jika diniatkan untuk kebaikan, tanpa memperhatikan cara atau prosesnya. Sehingga dalam realitas menimbulkan berbagai penyimpangan tanpa merasa bersalah bahkan merasa telah melakukan kebaikan (ibadah) dengan bangga. Seolah-olah segala bentuk perbuatan manusia akan langsung dinilai ibadah hanya berdasarkan pada niat baiknya. Hal itu merupakan kesalahpahaman terhadap hadis niat, bahwa innamal a'malu bin niyyat. Padahal suatu perbuatan baru bisa dikategorikan sebagai ibadah jika memenuhi minimal dua syarat secara kumulatif, yakni cara harus benar dan niatnya juga harus benar menurut syara. Hal itu bisa digunakan pendekatan perkalian dalam matematika, yang bisa diilustrasikan dengan rumus berikut ini. Ibadah: caranya benar (+) x niatnya benar (+) = + (pahala/diredai Allah). Misalnya: shalat dilakukan sesuai syarat dan rukunnya serta niatnya karena Allah. Tata cara dan niat yang benar disimbolkan dengan tanda positif (+). Menurut logika matematika perkalian positif (+) dengan positif (+) selamanya akan menghasilkan positif (+) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian positif (+) dengan positif (+) akan menghasilkan negatif (-). Amalan tersebut harus dilakukan secara benar sesuai syariat dan diniatkan karena Allah. Dalam shalat, harus dilakukan dengan tata cara yang benar seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, baik syarat maupun rukun serta menghindari hal-hal yang membatalkannya. Proses pelaksanaan shalat yang benar itu baru akan dinilai sebagai ibadah di sisi Allah jika shalat yang didirikan itu diniatkan karena Allah. Sebaliknya, menurut ajaran Islam suatu amalan tak akan dinilai ibadah di sisi Allah jika niatnya salah (-), bukan karena Allah meskipun tata cara pelaksanaan amalan tersebut telah benar (+), sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal itu bisa dibuktikan dengan amalan yang diniatkan karena pamer (riya) yang dalam Islam justru dikategorikan sebagai salah satu perbuatan dosa (-). Jadi, jika salah satu atau kedua syarat amalan tersebut bernilai negatif (-) maka amalan itu akan bernilai dosa (-). Ilustrasinya seperti di bawah ini. * Bukan ibadah: caranya benar (+) x niatnya salah (-) = - (dosa/dimurkai Allah). Misalnya: shalat, zakat, sedekah dilakukan sesuai syarat dan rukunnya tetapi niatnya karena riya. Begitu juga menikah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya tetapi niatnya untuk menyakiti istri/suami. * Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya benar (+) = - (dosa/dimurkai Allah). Misalnya: mencuri dengan niat untuk menolong orang miskin dengan uang curian itu. Memberi jawaban ujian kepada teman dengan niat menolong sesama teman. Tata cara atau niat yang salah disimbolkan dengan tanda negatif (-). Menurut logika matematika perkalian negatif (-) dengan positif (+) atau sebaliknya selamanya akan menghasilkan nilai negatif (-) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian negatif (-) dengan positif (+) akan menghasilkan positif (-). Berdasarkan rumus di atas shalat, yang dilakukan bisa saja tata caranya benar sesuai syariat Islam namun karena niatnya tidak benar (karena ingin dipuji, riya) atau nikah yang bertujuan untuk menyakiti pasangannga, maka nilai shalat dan nikah tersebut bukan ibadah melainkan dosa (-). Demikian pula pemberian bantuan kepada fakir miskin atau orang-orang yang membutuhkannya, bisa jadi berasal dari harta yang halal namun jika bantuan itu diberikan dengan niat agar dianggap dermawan apalagi agar dipilih dalam Pemilu/Pemilukada, maka bantuan itu tidak akan bernilai ibadah (+) melainkan dosa (-). Seperti halnya sedekah/zakat yang disebut-sebut untuk pamer (riya) tak akan bernilai pahala, sesuai keterangan dalam QS alBaqarah: 264
َّ ِاس َوال َ ُْؤ ِه ُي ت ُ ِص َدقَاتِ ُك ْن تِ ْال َويِّ َواأل َذي َكالَّ ِرٌ َُ ٌْف اِخ ِس َ ََا أََُّهَا الَّ ِرَيَ آ َهٌُىا ال تُث ِْطلُىا ِ اَّللِ َو ْالَُىْ ِم ِ ٌَّق َهالَهُ ِزئَا َء ال َّ ص ْلدًا ال ََ ْق ِدزُوىَ َعلًَ َش ٍْ ٍء ِه َّوا َك َسثُىا َو َّللاُ ال ََ ْه ِدٌ ْالقَىْ َم َ ُصاتَهُ َواتِ ٌل فَت ََس َكه َ َ اى َعلَ ُْ ِه تُ َسابٌ فَأ َ فَ َوثَلُهُ َك َوثَ ِل ٍ ص ْف َى َْال َكافِ ِسَي „Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
4
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang kafir.‟ Rumus itu berlaku juga dalam amalan yang dilakukan dengan niat yang baik, karena mencari reda Allah (+) namun dilakukan dengan cara yang salah, bertentangan dengan syariat (), maka tak akan menjadi ibadah (+) melainkan dosa (-). Misalnya, memberikan bantuan untuk panti asuhan, pembangunan masjid, madrasah dan fasilitas sosial lainnya dari uang korupsi. Maka meskipun diniatkan karena Allah namun karena uang sumbangan diperoleh dari cara yang salah maka nilai amalannya bernilai dosa (-). Dalam kaitan ini dosa korupsi tidak bisa dicuci dengan sedekah sebab yang disedekah/disumbangkan bukan haknya melainkan hak rakyat. Hal itu dapat diibaratkan dengan mandi, tujuan utamanya adalah untuk membersihkan badan dari kotoran/keringat. Namun tujuan dari mandi tadi tak akan terwujud jika dia mandi menggunakan air kotor. Di samping itu dalam perbuatan zina yang terkadang mengakibatkan kehamilan digunakan rumus: * Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya salah (-) = + (dosa/dimurkai Allah). Karena berzina merupakan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan perkawinan (cara yang salah) dan niatnya juga tentu bukan untuk hamil, namun biasanya mudah hamil (+). Dalam tes kehamilan secara medis, peristiwa kehamilan lebih dikenal dengan istilah positif, tidak hamil dikenal dengan negatif. Karena itu dalam melakukan kebaikan hendaklah senantiasa memperhatikan dua aspek yakni tata caranya harus benar dan diniatkan untuk Allah. Tidak bisa hanya memperhatikan aspek tata cara dengan mengabaikan aspek niat. Begitu pula sebaliknya. Matematika Ikhlas dalam Berbagi Salah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah. Bahkan kepedulian untuk berbagi harta kepada sesama manusia itu menjadi salah satu indikator orang bertakwa (muttaqin) seperti yang diisyaratkan dalam QS al-Baqarah: 2-3 ذلك الكتاب ال زَة فُه هدي للوتقُي الرَي َىءهٌىى تالغُة و َقُوىى الصلىج و هوا زشقٌاهن ٌَفقىى „Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.‟ Anjuran berbagi baik melalui infak, sedekah maupun zakat bukan sekedar kewajiban melainkan mengandung nilai investasi baik di akherat maupun di dunia. Nilai investasi akherat tentu berupa pahala yang mengantarkan ke surga yang memberikan kebahagiaan tak ternilai bagi pelaku kebaikan tersebut. Di samping itu juga Allah yang Mahakaya akan berkenan memberikan “panjar” dalam kehidupan dunia dari sebagian balasan kebaikan dalam “berbagi” itu. Hal ini dapat ditelaah dari QS al-Baqarah: 261
َّ َت َس ْث َع َسٌَاتِ َل فٍِ ُكلِّ ُس ٌْثُلَ ٍح ِهائَحُ َحثَّ ٍح َو َّ ُل ْ َّللاِ َك َوثَ ِل َحثَّ ٍح أَ ًْثَت ُ ُضا ِع ف لِ َو ْي َ َ َُّللا ِ َِهثَ ُل الَّ ِرَيَ َُ ٌْفِقُىىَ أَ ْه َىالَهُ ْن فٍِ َسث َّ ََ َ ا ُء َو اس ٌع َعلُِ ٌن ِ َّللاُ َو
„Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah sama dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh 100 biji. Allah melipat gandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.‟
·
Menafkahkan sebagian harta di jalan Allah biasanya akan terasa berat dibandingkan dengan menafkahkan sebagian harta di jalan setan. Karena itu Allah menyediakan ganjaran pahala yang besar sebesar 700 kali lipat bahkan hingga jumlah yang tak terhingga. Jika kandungan ayat ini dicermati, maka dapat diketahui bahwa nilai pahala atau balasan yang akan diterima si pemberi berbanding lurus dengan nilai keikhlasannya saat berbagi atau memberi kepada orang lain. Dengan kata lain balasan/pahala berbanding terbalik dengan besar harapan memperoleh imbalan/ balasan dari manusia terhadap pemberiannya itu. Kandungan ayat ini dapat dijelaskan dengan pendekatan matematika melalui pembagian. Dalam sistem pembagian terdapat tiga komponen, yakni: Penyebut melambangkan pemberian (dengan simbol P)
5
· ·
Pembagi melambangkan harapan si pemberi (dengan simbol h) Hasil melambangkan jumlah balasan yang bisa diterima dari si pemberi (H). Rumusnya adalah Pemberian = Hasil harapan Misalnya: Seseorang memberikan sedekah atau infak sebesar Rp. 1 juta kepada orang miskin dengan harapan yang berbeda-beda. Orang tersebut akan memperoleh balasan yang berbeda-beda pula yang dapat diilustrasikan sesuai dengan rumus di atas: 1 jt/500.000 = 2 1jt/400.000 = 2,5 1jt/300.000 = 3,3 1jt/200.000 = 5 1jt/100.000 = 10 1jt/50.000 = 20 1jt/25.000 = 40 1jt/20.000 = 50 1jt/10.000 = 100 1jt/5.000 = 200 1jt/2.500 = 400 1jt/1.000 = 1.000 1jt/0 = ∞ Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa semakin besar harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah maka akan semakin kecil nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Sebaliknya, semakin kecil harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah, maka akan semakin besar nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Besar kecilnya harapan kepada selain Allah itu dalam ajaran Islam disebut IKHLAS. Jelasnya, semakin ikhlas dalam memberi maka akan semakin kecil pengharapannya kepada selain Allah. Bahkan dalam tataran tertentu jika yang bersangkutan mengosongkan harapannya kepada selain Allah, maka Allah akan berkenan memberikan balasan yang tak terhingga jumlahnya secara riil. Itulah IKHLAS yang sebenarnya. Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri dengan ikhlas" sebab yang tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si pemberi. Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi kepada sesama adalah niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tidak bisa direkayasa dengan ucapan seolah-olah ikhlas. Bukankah dalam realitas banyak orang yang memberi karena mengharapkan sesuatu kepada manusia, baik berupa pujian, imbalan materi, kedudukan, status sosial dan sebagainya. Namun terkadang merasa kecewa lantaran harapannya tak terwujud. Membagi-bagi uang atau sembako kepada calon pemilih, memberi sumbangan kepada panitia pembangunan masjid, majelis ta‟lim dengan harapan agar mereka berkenan memilihnya dan jika menang dalam pemilihan maka akan memperoleh gaji plus tunjangan besar sehingga bisa memperoleh uang atau harta yang banyak. Namun dalam banyak kasus ternyata harapannya melesat sehingga mengalami kerugian material serta depresi. Sebaliknya, pemberian secara ikhlas meski nilai nomimalnya kecil namun bisa mendatangkan keberkahan hidup. Yang terpenting sebenarnya bukan besarnya nilai materi yang dimiliki namun nilai keberkahannya. Bisa jadi, harta yang dimiliki besar jumlahnya namun belum tentu memberikan kebahagiaan lantaran tidak berkah. Hartanya melimpah namun hidupnya tidak bahagia karena anaknya kecanduan miras atau narkoba merupakan contoh harta yang tidak berkah. Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun alangkah berbahagianya jika kekayaannya diperoleh melalui usaha yang benar serta dapat memberikan kebahagiaan kepada
6
orang lain melalui infak, sedekah dan zakat kepada orang yang membutuhkannya. Kebahagiaan orang yang dibantunya secara psikologis akan memantul juga ke dalam hati si pemberi. Kebahagiaan yang dirasakan penerima bantuan seperti itu sebenarnya sangat besar nilainya bahkan tak ternilai dengan materi. Namun terkadang manusia mencari kebahagiaan semu dan meninggalkan kebahagiaan yang hakiki. Memang banyak orang bahagia bukan karena pada manfaat dari apa yang dimilikinya namun merasa bahagia pada berapa jumlah yang dimilikinya. Sehingga bisa jadi hidupnya tampak seperti orang miskin, padahal uangnya banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk kemaslahatan dirinya, karena baginya bahagia adalah saat melihat tumpukan uangnya, atau jumlah deposito. Sedangkan orang dermawan merasa bahagia saat bisa membahagiakan orang lain yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan balasan apa-apa (pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya. Namun yang menjadi pengharapannya adalah reda Allah. Jika keredlaan Allah bisa diraih maka hal itu bisa memberikan manfaat besar dunia dan akherat. Wallahu a'lam bis shawab.