TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN BERKENAAN DENGAt'l PEMASUKKAN PEMBAYARAN ZAKAT MAL SEBAGAI BIAYA
Makalah yang tidak dipublikasikan Februari 2006
Oleh: Maria Emelia Retno K
Telah didokumentasikan, Nomor ................... . Mengetahui, Kepala Pusat Dokumentasi,
........................ ; .............)
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 38" ... TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DAN UNDANGUNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PENGHASILAN BERKENAAN DENGAN PElv'.tASlY.LG
DISUSUN OLEH : MARIA EMELIA RETNO.K
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK P ARAHYANGAN BANDUNG 1~'d-14T-
~~:~.:J~L-J?·. ~.~o. IndL'k \'O'AO'_'G'~""'I ?,,-...\~;t.. "J' •....•.•••••••
No Klass
.
HC'·~E("f,../B(:;~
". ,-
~~..'\I'O,.~ . . .. ,. ....... .
------.-_.-
n.,.·0\.'I
...............•..
, ... , -"
......
-.-
p..{flt
G,'J--I9--·
BABI PENDAHULIAN
1.1 LATAR BELAKANG Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tabun 1983 tentang Pajak Penghasilan, cukup banyak perubahan hal-hal yang berkaitan dengan pajak penghasilan, yang tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya. Salah satunya adalah dimasukannya ketentuan yang berhubungan dengan pembayaran zakat. Ketentuan mengenai zakat di dalam Undang-Undang Nomor 17 tentang Pajak Penghasilan, berkaitan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian pengaturan ini sebenarnya merupakan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang mengatur masalah pengelolaan zakat. Lahimya Undang-Undang Nomor 38 Tabun 1999 dilatarbelakangi oleh kenyataan sosiologis, bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dimana Islam telah menentukan kewajiban-kewajiban yang hams dijJatuhi oleh para penganutuya. Pelaksanaan kewajiban beragama ini dijamin dan dilindungi oleh negara sesuai dengan Pancasila - sila pertama dan UUD 1945 Pasal 29. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, dimaksudkan pembuat undang-undang supaya proses pelaksanaan zakat lebih efektif dan efisien serta dapat dipertanggungjawabkan, dan juga negara mendapatkan manfaat dari pelaksanaan pembayaran zakat tersebut. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tabun 2000 yang berkaitan dengan zakat dituangkan dalam 2 (dua) pasal atau persisnya 2 ayat dalam pasal yang berbeda, yaitu Pasal 4 ayat (3) hurnf a angka 1 dan Pasal 9 ayat (I) huruf g. Dimana menurnt penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf a, yang dimaksud dengan zakat ini adalah zakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
1.2MAKSUD DAN TUJUAN Dibuatnya makalah mengenai "Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang Nomor 17 Tentang Pajak Penghasilan Berkenaan dengan Pemotongan Pembayaran Zakat Maal", adalah untuk melihat apakah kedua Undang-Undang tersebut efektif dan selaras, atau malah sebaliknya saling bertentangan.
l.3RUANG LINGKUP Dalarn makalah ini hal-hal yang akan karni bahas adalah analisis mengenru. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Dimana dalarn perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, mencakup masalah mengenai pembayaran zakat. Dan hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Lebih dipersempit lagi, kami membahas akan satu hal yang sarna yang diatur dalarn dua undang-undang tersebut, yaitu diatur mengenai pembayaran zakat tersebut. Dimana menurut hipotesa penulis tampaknya teIjadi pertentangan diantara kedua undangundang tersebut mengenai pembayaran zakat, yaitu pembayaran zakat tidak sarna dengan pembayaran pajak.
BABII
ANALISIS 2.1
UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN
1999 TENTANG
PENGELOLAAN PAJAK Undang-Undang Nomor 38 tentang pengelolaan zakat mengatur soal "Pengeloaan Zakat", atau bagaimana zakat tersebut dikelola secara baik dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, bukan mengatur "zakat" itu sendiri. Artinya persoalan subjek, objek, tarif zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat sudah diatur tersendiri yaitu dalam sya'riat atau Figh Islam, sehingga wilayah atau otoritas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 hanyalah sebatas pengaturan formal pengelolaan zakatnya. Oleh karena itu apabila ada pengertian atau materi yang berkenaan dengan subjek, objek, siapa yang berhak menerima zakat dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, itu hanyalah untuk kepentingan praktis atau dengan kata lain untuk memudahkan bagi masyarakat memahami undang-ul1dang ini. Definisi pengelolaan zakat menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 adalah, merupakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusikan serta pendayagunaan zakat - Pasal 1 angka 1 Sedangkan definisi zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh seorang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya - Pasal 1 angka 2. Dimana jenis zakat terdiri dari zakat mal dan zakat fitrah - Pasal 7 ayat (1). Pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh Pemerintah - Pasal 6 dan Pasal 7. Kedua lembaga ini tugas pokoknya adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Dalam melaksanakan tugasnya ini, BAZ dan LAZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya - Pasal 9. Selain menerima pembayaran zakat
seperti diutarakan sebelumnya, kedua lembaga ini dapat menenma seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat - Pasal 13. Undang-Undang
Nomor
38
Tahun
1999
tentang
Pengelolaan
Zakat,
pelaksanaannya selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, dan Keputusan Direktur lenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D129l Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
2.1.1. Instrumen-Instrumen Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 I. Badan Amil Zakat (BAZ) Badan Amil zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, yang terdiri dari unsur masyara.kat dan pemerintah dengan tugas megurnpulkan, mendistribusikan, mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Sebelum berlakunya undang-undang pengelolaan zakat, sebenamya fungsi pengurnpulan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat telah eksis terlebih dahulu ditengah-tengah masyarakat. Fungsi ini dikelola oleh masyarakat sendiri, baik secara perseorangan maupun kelompok (kelembagaan). Hanya saja dengan berlakunya UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999, telah terjadi proses formalisasi lembaga yang sudah eksis tersebut. Istilah formal lembaga ini diseragarnkan menjadi Lembaga Amil Zakat (LAZ). Disamping itu, untuk menjadi LAZ atau lembaga formal yang berfungsi mengelola zakat, lembaga yang sebelurnnya eksis di tengah-tengah masyarakat tersebut, terlebih dahulu harus melalui proses formal administratif dan selanjutnya dikukuhkan oIeh Pemerintah sebagai bentuk pengakuan keberadaannya secara formal. OIeh karena itu, tidak semua yang secara kelembagaan maupun perorangan melakukan kegiatan mengumpulkan, mengelola, mendistribusikan zakat dinamakan Lembaga Amil Zakat seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - _ . -----------
3. Sanksi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, mengatur pula mengenai sanksi. Sanksi ini dicantumkan dalam Pasa121 ayat (1) sampai ayat (3), yaitu: a. Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, waris, wasiat dan khafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya
tiga
bulan
danlatau
denda
sebanyak-banyaknya
Rp.30.000.000,- (tiga pUluhjuta rupiah). b. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran. c. Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.2. Kewajiban Hukum Zakat dan Hukum Zakat Untuk mengetahui apakah pembayaran zakat tersebut dibayarkan melalui Badan Amil Zakat (BAZ) atau lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah maka dibuat bukti setoran zakat. Ketentuan ini mengharuskan BAZ dan LAZ menerbitkan bukti setoran sebagai tanda terima atas setiap zakat yang diterima. Bukti setoran zakat harus mencantumkan hal-hal sebagai berikut: Nama, alamat muzakki, dan nomor lengkap pengesahan BAZ atau nomor lengkap pengukuhan LAZ; Nomor urut bukti setoran; Nama, alamat muzakki dan nomor pokok wajib zakat (NPWZ) apabila zakat penghasilan yang dibayarkan akan dikurangkan dari penghasilan kena pajak (PKP);
-----------------------------------
J umlah zakat atas penghasilan yang disetor dalam angka dan huruf serta dicantumkan tahun haul (tahun zakat yang dibayarkan); Tanda tangan,nama, jabatan petugas BAZ atau LAZ, tanggal penerimaan dan stempel BAZ dan LAZ. Agar wajib pajak dapat melaporkan bukti setoran zakat untuk dikurangkan dengan penghasilan kena pajak, maka wajib pajak melaporkannya dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan yang hams dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret setelah tahun pajak berakhir. Apabila wajib pajak itu orang pribadi maka melaporkannya dalam SPT tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sedangkan apabila wajib pajak berbentuk perusahaan atau badan usaha dilaporkan dalam SPT tahunan Pajak Penghasilan badan. Dalam SPT tahunan Pajak Penghasilan tersebut terdapat kolom yang secara khusus memuat atau menampung zakat sebagai pengurangan penghasilan kena pajak. Formulir dan bukti pembayaran zakat dapat mudah diperoleh oleh wajib pajak dan tersedia di seluruh LAZ dan BAZ, kantor pelayanan pajak, kantor penyuluhan pajak dan tempat pembayaran zakat (Bank) yang sah dan ditunjuk.
2.2.2
UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAIruN 1999 TENTANG
PENGELOLAAN
ZAKAT
DAN
RELEVANSINYA
DALAM
PERPAJAKAN Ketentuan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 yang menyinggung mengenai pajak, tercantum dalam Pasal 14 ayat (3), yaitu Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yaitu zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, merupakan pengecualian pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap.
--~---------~--
Berdasarkan ketentuan ini, maka antara zakat dan perpajakan memiliki kaitan yang erat. Keterkaitan tersebut sehubungan dengan diakuinya pembayaran zakat yang dilakukan wajib pajak dalam negeri untuk dikurangkan terhadap Penghasilan Kena Pajak untuk menghitung pajak yang terutang. Pengurangan tersebut dapat dilakukan dengan syarat kumulatif sebagai berikut: 1. Pembayaran tersebut merupakan pembayaran zakat atas penghasilan. 2. Dibayarkan kepada LAZ atau BAZ yang dibentuk atau dikukuhkan oleh Pemerintah. 3. Memiliki bukti setoran zakat (kuintansi asli lembar I) Bukti setoran tersebut sah apabila diterbitkan oleh BAZ atau LAZ dalam rangkap 3 (tiga)
2.3.
ZAKATDALAMPERHITUNGANPAJAK Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 untuk mengakomodasi umat Islam yang membayar zakat dan pajak. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, mulai tahlin 2001 sebenarnya para pembayar zakat penghasilan (zakat maal) sudah dapat menjadikan jumlah zakat yang dibayar sebagai faktor pengurang atau biaya atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari pajak penghasilan. Pemerintah secara tidak langsung menghargai zakat sebagai salah satu kewaj iban bagi yang beragama Islam untuk mendorong sekaligus mengingatkan bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang sama dengan pajak. Pokok pemikiran adalah adanya anggapan bahwa umat Islam di Indonesia yang membayar zakat seolah-olah terkena pengeluaran berganda, selain membayar pajak penghasilan juga membayar zakat dari penghasilan yang diperolehnya. Oleh karena itu untuk keadilan sudah selayaknya untuk pembayaran zakat yang dibayarkan ditetapkan sebagai faktor pengurang atau biaya dalam perhitungan penghasilan kena pajak (PKP), hanya yang menjadi pertanyaan adalah samakah pembayaran pajak dengan pembayaran zakat? Untuk pertanyaan tersebut tidak akan dibahas dalam makalah ini.
---------
2.3.1 Pajak Penghasi1an Membicarakan Zakat
dalam
pajak
khususnya berkenaan
dengan pajak
penghasilan, perlu dipahami terlebih dahulu hal-hal yang mendasar berkenaan dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000. Pajak penghasilan adalah salah satu pajak
langsung yang dipungut Pemerintah Pusat. Sebagai pajak langsung maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan dalam arti beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain dengan cara memasukan beban pajak tersebut dalam kalkulasi harga jual. Garis besar hal-hal yang berkaitan dengan pajak penghasilan yaitu: A. Subjek pajak Subjek Pajak penghasilan adalah: 1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat tinggal di Indonesia. 2. Warisan yang belurn terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak. 3. Badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia. 4. Bentuk Usaha tetap (BUT)
B. Objek Pajak
Objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia yang dapat dipakai untuk konsurnsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
c.
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang, harus dihitung besarnya penghasilan kena pajak yang menjadi dasar penerapan tarif pajak. Penghasilan kena pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi beban danJatau biaya atau
pengeluaran yang ada hubungannya langsung dengan penghasilan yang diterima oleh wajib pajak.
D. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Wajib pajak orang pribadi dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
E. Tarif Pajak Penghasilan Tarif pajak penghasilan dikenakan untuk wajib pajak orang pribadi, wajib pajak badan usaha, dan Badan Usaha Tetap.
2.3.2. Zakat dalam Lingkup Perhitungan Pajak Subjek pembayar zakat adalah orang Islam yang telah memenuhi nisab atas harta yang dimiliki, dengan persyaratan : Muslim, Dewasa (baligh), merdeka dan berakal, legal secara hukum, dan cukup nisabnya. Objek zakat adalah harta kckayaan (pcnghasilan) yang diperoleh kaum Muslimin yang sudah mencapai pada nisabnya, maka ia wajib mengeluarkan sebagian dari harta tersebut dan memberikannya pada orang-orang miskin atau mereka yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Sebagian harta yang dikeluarkan itulah yang disebut zakat maa!. Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan harta (objek) dari zakat maal yaitu: •
Emas, perak dan uang;
•
Perdagangan dan perusahaan;
•
Hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan;
•
Hasil pertambangan;
•
Hasil pertemakan;
•
Hasil pendapatan dan j asa;
•
Rikaz (harta terpendamlkarun) .
. ~~
.------~----------.-.---.--.--.---
Dari zakat atas harta tersebut, objek yang akan dikenakan zakat sebenamya hampir seluruhnya tercakup dalam pengertian penghasilan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 kecuali zakat atas emas, perak, dan uang serta rikaz yang bukan untuk perdagangan. Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, terdapat kaitan yang cukup erat. Dengan adanya undang-undang tersebut umat Islam baik sebagai pribadi maupun sebagai pemilik badan usaha, dapat memperhitungan zakat yang telah dibayarkan untuk dikurangkan atas penghasilannya dalam menentukan besamya pajak penghasilan. Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dituangkan ketentuan dalam pasal dari kedua undang-undang serta peraturan pelaksanaannya menetapkan bahwa pembayaran zakat dapat mengurangi besarnya penghasilan bruto, bukan secara langsung mengurangi besamya pajak. Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan terdapat hal-hal yang menjadikan pedoman yaitu: •
Zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan ~ena pajak adalah hanya zakat atas penghasilan, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi objek pajak.
•
Dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi Muslim dan Wajib Pajak badan yang dimiliki muslim.
•
Pembayaran pajak yang dapat diakui sebagai pengurangan penghasilan kena pajak adalah kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.
•
Zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat, dan mustahik tidak termasuk objek pajak.
2.4. UNDANG-UNDANG NOMOR 38 PENGELOLAAN
PAJAK
YANG
TAHUN 1999 TENTANG BERKAITAN
DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PAJ.AK PENGHASILAN Terdapat kaitan yang cukup erat antara kedua Undang-Undang tersebut. Berikut dipaparkan aturan dalam kedua Undang-Undang tersebut. Dalam Pasal14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dinyatakan: "Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku." Setelah melewati peIjuangan yang cukup panjang, akhimya hal ini dimuat dalam Pasa19 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang berbunyi: ''Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
yang
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) hurufa dan hurufb, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak pribadi pemeluk Agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah."
Dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf g tersebut dinyatakan: "Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan wansan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan hurufb, yang tidak boleh dkurangkan dari penghasilan kena pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan kena pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat
dikurangkan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak pada tahun zakat tersebut dibayarkan."
Sedangkan Pasal4 ayat (3) huruf a berbunyi: "Yang tidak termasuk Objek Pajak adalah: Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekeIjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2.4.1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 kaitannya dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 dan Pertentangan antara keduanya. Zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan kena Pajak adalah hanya zakat atas penghasilan, dan sepanjang berkenaan'dengan penghasilan yang menjadi objek pajak dan yang boleh dijadikan pengurang adalah zakat yang dibayarkan oleh muslim, baik pribadi maupun badan yang dimiliki muslim. Pembayaran zakat yang dapat diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak adalah kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah. Zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat, dan mustahik tidak termasuk objek pajak. Mengkaji lebih jauh berbagai pemyataan yang ada di kedua undang-undang tersebut, didapatkan bahwa antara Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 itu bertentangan. Hal tersebut dapat dilihat dari: (1) Di satu sisi, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak hanyalah zakat atas penghasilan, sedangkan di sisi lain dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 bahwa zakat (bukan atas penghasilan) boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
(2) Menurut ketentuan syariah Islam, zakat badan usaha (perusahaan) dihitung menurut rumus: (Aktiva Lancar - Kewajiban Jangka Pendek) x 2,5%. Dengan kata lain, bukan dari pengbasilan atau laba. J adi sebenarnya bisa dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 bertentangan tidak saja dengan UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999, tetapijuga dengan ketentuan syari'ah.
Cara perhitungan tersebut mengacu kepada Kitab Al-Amwal karangan Abu Ubaid: "Apabila telah sampai waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan, kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkan hutang-hutang tersebut atas apa yang engkau punyai,"
Saat ini memang banyak yang menyangka bahwa zakat perusahaan dihitung dari laba atau keuntungan. Dapat diasumsikan bahwa hal tersebut terjadi semata-mata dikarenakan ketidaktahuan, bukan kesengajaan. Jadi Undang-Undang Nomor 38 Tabun 1999 tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 saja, tetapi juga dengan ketentuan syari'ah. Jika aturan tersebut dipaksakan untuk·dijalankan, maka berakibat zakat badan (perusahaan) yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 secara syari'ah menjadi tidak bisa diberlakukan. Perlu dilakukan pelurusan kembali terhadap pengertian zakat yang dapat dikurangkan dari pengbasilan kena pajak. Salah satu alternatif yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan membuat Peraturan Pemerintah yang di dalanmya mengatur atau menyelaraskan kedua undang-undang itu.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah kami lakukan, kami melihat adanya pertentangan antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Masalah pertentangan ini terlihat dari adanya perbedaan pengatnran pengurangan paj ak dari Penghasilan Kena Pajak yang diatnr oleh kedua Undang-Undang tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 disebutkan bahwa yang bisa dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak hanya zakat atas penghasilan. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 disebutkan bahwa zakat (tanpa embel-embel "atas penghasilan") boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.
Pertentangan ini membuka
kemungkinan yang sangat besar untuk teIjadinya perhitungan yang tidak benar. Menurut penulis sebaiknya dilakukan revisi terhadap undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan khususnya pasal yang mengatur tentang perhitungan zakat. Dimana revisi tersebut harns memenuhi pengaturan tentang zakat yang sesuai dengan syari'at Islam dan dilakukan kodifikasi terhadap pengaturan zakat tersebut sehingga tidak teIjadi tumpang tindih atau pertentangan dalam penerapan nantinya. Apabila nantinya akan dilakukan perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 maka Undang-Undang (yang sudah direvisi) tersebut kiranya substansi Undang-Undang tersebut tidak menimbulkan permasalahan lagi. Jib teIjadi lagi masalah terhadap pengatnran tentang zakat maka hal ini telah merugikan wajib pajak (WP) di satu pihak dan juga merugikan keuangan negara di pihak lain. Karena seperti yang kita ketahui bahwa untuk membuat maupun untuk melakukan revisi terhadap suatu Undang-Undang membutuhkan biaya yang tidak sedikit oleh Negara, dimana biaya yang dikeluarkan oleh Negara tersebut salah satunya berasal dari pajak.
DAFTARPUSTAKA •
Syarifudin, Nazar S.H.,Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat;, Relevansinya Terhadap Perpajakan, PKPU Online, 2003.
•
Dr.N.E. fatima, Dra, M.si., Zakat dalam Perhitungan Pajak, Pikiran Rak:yat;\, Senin, 18 November 2002.
•
Majalah BeritaPajak (No.1462ITahun XXXIV/I Maret 2002).
•
www.suaramerdeka.com. Refisi Udang-Undang No 17 tahun 2000.
•
www.pikiran-rakyat.com. Pemungutan Zakat Harus Terintegrasi. Kamis 13 Maret'" 2003
•
www.republika.co.id. Undang-undang Zakat Jalan di Tempat. Jumat, 1010 Desember 2004.
•
www.pkpu.or.id UU No.38 tahun 1999 Versus UU No 17 Tahun 2000, olehldl Hertanto Widodo, Direktur Institut Manajemen Pajak,,2002.
•
HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah .
__ ._.._-_.__ __ . _ _-_ _-_...
.
....
...
..