BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1..1
Korlsep Perhutanan Sosial Petlgertian Perhutanan Sosial
Perhutanan sosial (Socral Foi.esrry) oleh King dan Chandler (I 978) diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang m e ~ i n ~ k a t k ahasil n lahan secara keseluruhan, mengko~~~binasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohoti-pohonan) dan tanaman hutan darv'atau hewan secva bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan caracal-ii pengelolaan yang sesuai densan Lebudayaan penduduk setempat
Sedangkan
Tiwal-i (1983) mendefinisikan pel-hutanan sosial sebagai ilmu dan sen1 tanamtnenanam pohon-polionan dan atau menumbuhkan lainn1.a pada setiap bidang lahan yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut di dalanl dan di luar kauasan hutan, dan mengelola hutan yang ada dengan partisipasi rakyat setempat secar-a akrab, dan merigintegrasikan kegiatan itu dengan kegiatan-kegiatan lainnya, sehinssa di dapat tata guna lahan yang berimbang dan kornplementer dengan tujuan untuk memenuhi keperluan benda atau jasa perorangan maupun masyarakat umumnya. Tujnan utama dari perhutanan sosial adalah rnencapai keadaal~ sosial ekonomi pei~dudukpedesaali !.an3 lebili baik, terutama penduduk yans tinggal di dalatn dari sekitar hutan. Dalam prograrii i n i mas\:arakat setempat diaiak u n t u k
-
berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan agar nieri-jadi lebih bertanggung-jawab (Departemen I<ehutanan, 1997a) 2.1.2 Ruang Lingkup Perhutanan Sosial
King dan Chandler (1978), ~nengeiompokkankegiatan perhutanan sosial menjadi 4 (empat) jenis, yaitu : (1). Agri.sih~iczr/tul.e, yaitu
penggunaan
lahan
secara
sadar
dan
dengan
pertimbangan yang masak untuk lnemproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
(2)
Sih~op~~.s/o~zlI . s . s e . , yaitu
si stem
pengelolaan
lahan
hutan
untulc
menghasilkan kayu dan n~emeliharaternak. (3)
A~q~+o.sjl/~~o-/)n.s/o~.n/ .sj;s/e~i~,s, yaitu
sistem pengelolaan lahan hutan untuk
memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak (4)
M~i/ti/)~irpose .fiwe.s/ tree ~ I ~ O ~ I I C I I ' O I I .\:\:stems, yaitu sistem pengelolaan dan
penanaman berbagai jenis kayu vang tidak hanya untuk hasil kayunya saja, tetapi juga daun-daunan dan buali-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan rnakarian rnanusia ataupun pakan ternah Dengan memperhatikan keempat lingkup di atas, hutan kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk dari implenientasi program perhutanan sosial di lapa ~ g a n . Korlsep Hutan Kemasyaraltatan
2.2
Pengertian Hutan Kernasyarakatan
2.2.1
Program hutan kemasyarakatan niulai dikernbangkan oleh Departemen I<ehutanan mulai dekade tahun 1980-an Guna mendukung pelaksanaan!,a. program ini tiiatur oleh peratusan perundangan melalui Keputusan Menteri Kelxitanan yang dalain penerapannya sudah mengalami beberapa kali revisi
Peratur-an pertama
diterbitkan pada tahun 1995, yaitu melalui Surat Keputus?n Menteri Kehutanan s
k
/
SK.
Kernasyarakatan.
Metlh~il) No
622lKpts-1111995
tentang
Pedoman
Hutan
Selanjutnya untuk memperbaiki implementasinya di lapangan,
Meiiteri Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Surat Keputusan No 677lKpts1111998, yang menekankan pada pola pendekatan yang bersifat partisipatif Dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah, malca pada tanggal 12 Pebruari 2001 diterbitkan Surat Keputusari Menteri Keliutanan No. 31,'Kpts-iIl2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Keniasyarakatan Per~erbitan keputusan yang baru tersebut didasarkan bahwa aturan pelaksanaan pernbangunan hutan kemasyarakatan sebelumnya dianggap sudah tidak sesuai lagi der~gan kebijakan
otonomi
daerah,
dimana
wewenang
pernerintahan diserahkan kepada pemerintah daerah otonom.
penyelenggaraan
-
2.2.2
Pelaksanaan Hutan Kernasyat-aliatan
Berdasarkan SK Menhut No
3 11Kpts-1112001, kawasan yang dapat
d~tetapkan sebagai wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung danlatau kawasan hutan produksi yang tidak dibebani ijin lain di bidan:; kehutanan
Kawasan hutan dimaksud yang merupakan prioritas pilihan
untuk pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan menjadi sumber pengkidupan masyarakat setempat, dan memiliki potensi untuk d~helola oleh niasyarakat seternpat
Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan ( 1999).
kawasan hutan yang dapat dicadangkan ilntuk areal hutan kemasyarakatan adalah a1 eal hutan yang mempunyai kondisi sebagai berikut
(1) Belum dibebani HPHIHP-HTI dan hak lainnya; ( 2 ) Sudah dibebani HPHIHP-HTI yang segera berakliir masa berlakun!.a
( 3 ) Rawan gangguan terhadap keamanan hutannya; (4) Terdapat konflik kepentingan;
(5) Berdekatan dengan pemukiman;
(6) Telah lama meniadi tempat tinggal masyarakat (tradisional);
(7)Telah dikelola secara tradisional oleh mas),arakat setempat, dari ( 8 ) Mer-i11:akan suniber lnata pencaharian bagi masyarakat setempat 2.2.3
Pola Pemanfaatan Lahan p2da H i ~ t a rKen~asyarakatan ~
Pola pemanfaatan lahan di areal HKm dilaksanakan melalui pembudidayaan jenis kayu-kayuan (tanaman kehutanan) dan jenis A4l1lti P u r ~ ~ o s Tree e ,Ypecre.r (MF'K3) atau tanaman serbaguna di kawasan hutan, yang tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan. Menurut Departemen Kehutanan (1998), pola pemanfaatan lahar~pada hutan kemasyarakatan diatur dengan komposisi jenis tanaman kayukayuan dan tanaman MPTS sebesar 70 30 pada hutan produksi, dan 30 hutan lindung
70 pada
Perbedaan komposisi jenis tanam tersebut karena pada hutan
produksi merupakan hutan yang tidak begitu peka terhadap erosi bila dibandingkan dengan hutan lindung, sehingga pola pemanfaatan lahannya dapat diarahkan untuk produksi kayu.
Sebaliknya pada kawasan Hutan Lindung, pola agroforestry
diarahlcan utituk pemanfatan hasil hutan bukan kayu, sehingga jenis MPTS-nya lebih banyak: dibandingkan tanaman kayu-ka\~uan. I'ada areal-areal tertentu yang dinilai ~nemenuhi persyaratan, penanaman MPTS tersebut dapat dilakukan rnelalui pola tumpangsari atau pola tanaman
campuran dengan jenis-jenis tanaman pertanian dan/atau tanaman industri semusim ataupun tahunan, sepanjang tetap berarahan pada tujuan pelestarian sumberdaya hutan dan konservasi tanah dan air yang sinergi dengan tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Tanaman musinian (tumpangsari) dimaksudkan untuk
niemberikan pendapatan kepada petani dalani jangka pendek yaitu 3-4 bulan, sambil menunggu tanaman pokok siap panen
Dalan~jangka menengah, pendapatan petani
aka11 diperoleh dari produksi tarianian MPTS. seperti kemiri, tengkamang, nangka, mang;;a, jambu mete, petai, dan sebayainya
Sedarigkan dalam jangka panjang,
petani akan memperoleh pendapatan dari tanaman pokok berupa kavu, seperti tanaman sengon, mahoni, maupun sono keling Pada dasarnya, lahan yang diber-ikan kepada ~iiasyarakat untuk dikelola bitkanlah mer-upakan hak kepemililtan, tetapi hak pengelolaan untuk janyka waktu tertentu, sebagaimana diatur dalani pasal 1 S Keputusan Menteri Kehutanan No 3
I t s - 1 / 2 0 0 1 Adapun hak petlgslolaan tersebut diberikan paling lama 25 tahun
dari jdapat diperpanjang sesuai dengari !;etentuan !.ang diatur kemudian oleh Departenlen I<eliutanan 2.2.4
Ko~iflikKepemilikan Lahan dalani Hutan Kemasyarakatan Konflik merupakan isu penting dalim huburigan interaksi antar manusia,
yang pada mulanya dikaji secara intensif dalarn lingkup organisasi bisnis Persoalan ini rnctlai dikaji dari adanya kenyataan, bahwa manajer perusahaan di Anierika ratarata ~nengalokasikan20% waktu-kerjanya untuk menangani konflik (Robbins, 1990 dalain Anwar, 2 0 0 0 ~ ) . Namun dalam perkembangan selanjutnya, isu ini juga
diterapkan pada bidang-bidang kemasyarakatan yang lebili luas. Menurut Anwar (2000c), konflik dapat terjadi antar kelompok masyarakat n i a u x ~ nantar individu di dalam kelornpok yang sarna
Definisi konflik sangat
berazam, sehingga ada yang menggambarkan konflik sebagai perilaku anggota organisas; yang dicurahkan untuk beroposisi-terhadap anggota yang lain. Prosesnya
dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lainnya telah menghalangi atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya, atau jika ada kegiatan yang tidak cocok dengan kepentingan salah satu pihak. Lebih lanjut dikatakan bahwa konflik sebagai suatu proses yang dimulai ketika salah satu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepada tujuannya atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu mernberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya
Dalam pengertian tersebut, wujud konflik
itu r~encakuprentang yang bidang-bidang yang amat luas. mulai dari ketidaksetujuan yang samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Singkatnya, setiap perbl3daan itu merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara baik, potensi kontlik itu bisa berubah nlenjadi konflik terbuka. Secara obyektif konflik itu dapat dibedakan rnenjadi dua jenis, yaitu konflik f~~ng,sionai dar~ konflik disfungsional.
Iconflik fungsional adalah konflik yang
manipu rnend~~kurig proses pencapnian tujuan kelompok serta mampu nienirigkatkan kinerja kelompok.
Sedangkan kontlik disfi~rigsional adalal~kontlili !.an2 justru
dapat nienghambat kinerja kelompok. Dalarn kurun waku yang panjang, telah terjadi pergeserari pemikiran mer~genai kontlik-konflik tersebut.
Dalam paridangan tradisional (1030-1940),
kontlik dipandang sebagai sesuatil yang buruk, sehingga konflik dianpsap sepadan dengan tindakan kekerasan, perusakan, dan tindakan-tindakan irasiona!. lainnya. Oleh karenanya, serifigkali konflik dip2ndang sebagai sesuatu yang negatif dan melnbaliayakan, dan patut untuk dihindari. Jadi, dalarn pandangan tradisional, kontlik
-
itu bersi fat disfungsional
Komuniliasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara orangorang yang berinteraksi, dan kegagalan manajer urituk mermenuhi kebutuhan dan aspirasi bawahannya dipercaya lebih dari sekedar pemicu kemunculan konflik, melainkan sebagai sumber konflik itu sendiri. Penelitian mutakhir menunjukkan, bal~wakegagalan komunikasi sebagai sumber konflik lebih bersifat sebagai mitos ketimbang realitas, karena konflik lazimnya sudah terjadi sebelum terjadinya kegagalan komunikasi tersebut.
Kesederhanaan
pandangan
terhadap
proses
tirnbulnya
konflik
serta
penilaiannya yang negatif terhadap konflik, menyebabkan resolusi konflik dalam pandangan tradisional menjadi sangat simplistik. Mengusahakan agar tidak terjadi konflik dianggapnya sebagai tindakan paling bijaksana. Selanjutnya, jika konflik itu tidak bisa dihindari, maka menyingkirkan surnber konflik dan memperbaiki mutu kom~~nikasi dipercaya sebagai teknik resolusi konflik yang memadai. Pada tahun 1940- 1970 muncul aliran pemikiran vang memandang konflik sebalsai bagian dari hubungan antar- manusia.
Dalani pandangan ini. konflik
dipandang sebagai ha1 yang alamiah yang nii~nculsebagai suatu dampak !.ang tidak terelr~kkan dalam setiap hubungan antar manusia dalam suatu kelonipok atau organisasi. Aliran peniikiran ini menerima kehadiran konflik, dan mengakui bahwa konf ik bisa bersifat hngsional. Tetapi menurut pandangan tentang konflik paling mutakhir diriiulai pada taliu~i1970-an, yang dikenal sebagai aliran pemikiran interaksi. Aliran peniikiran ini bukan sekedar menerima konflik, malahan memanfaatkannya untuk tilembangun suati. kelornpok masyarakat yang lebili dinamik. Parldangan ini menpanggap, jika dalarn suatu kelompok masyarakzt tidak terdapat konflik, ~naka kelompok niaslarakat
it11
dan inovasi.
akan menjadi statik, apatis, da11 tidak responsif terhadap porubaha:-. Konflik justru harus dikelola pada tingkatan yang optimum agar
terciptdondisi yang kondusif bagi pembentukan suatu kelompok masvarakat yang memiliki daya tahan, kritis; dan kreatif. Memandang kmflik sebagai suatu yang sama sekali bail< atau sama sekali bur-ul
pemerintah
petnbangunan
hutan
~emasyarakatan secara partisipatif sebenarnya merupakan keinginan
untuk
mernperbaiki pelaksanaan kegiatan periode sebelumnya yang bersifat fop
do\vtl
untuk
men&implernentasikan
ylcmnir1g. Kebijakan yang bersifat 1opd01017telah memberikan banyak bckti, bahwa
pelaksanaan kegiatan tersebut seririgkali tidak berhasil, bahkan menimbulkan konflik kepentingan khususnya kepemilikan atau penguasaan lahan Perniasalahan kepeliiilikan lahan (InrlJ iet7lrr.ial) niuncirl karena pada lahan HKrn muncul 2 (dua) Itlain-, yaitir masyarakat dan instansi keliutanan Dengan dilibatkann!,a seluruh stakeholder termasuk masyarakat dalaln pelaksanaan program, ha1 itu niel-~rpakan s~ratualternatif resolusi konflik
Dalam manajernen konflik, strategi demikian saat
ini dikenal sebagai pola manajemen kolaboratif (collabo~.at~\~r ninr7cgrt?1elll),yang menempatl
Anwar
(2000c),
perencanaan
kolaboratif
adalah
upaya
nieng,identifikasi tumpang tindih hak dan kepentingan serta perbedaan tujuan dan pandangan sejak dini dan nlznyelesaikannya pada taliap perencanaan. sehingga kepelitingan masing-masing pihak dapat tertampilng dalam rencana yang dihasilkan Anal sis stakeholders nierupakan
ups!-a
untuk nlembeda-bedakan antar mereka dan
mempelajari stakeholder atas dasas sifat-sifat ((I//I.I/?IIIP\) dan kriteria d a s ~analisis yang memperhitungkan situasi yang khusus yang teriadi dalam kontliA tessebut Situasi dan karakteristik dapat berupa pengaruh kekuatan dan kepentinyan secara relatif dari masing-masing stakeholder, sarnpai dimana pentingnya dan pengaruhnya yang dipunyai oleh masing-masing stakeholder, bagainiana mereka terlibat dengan ti~ga:,dan kedudukan lain dan jaringan ser-ta koalisi yang mereka miliki Seh~bungan dengan
pentirignya
keterlibatan
masyarakat
dalam
pen~bangunanHKm, Mitchel, dkk. (2000) memberikan b&erapa alasan pentinynya akan ha1 tc:rsebut, yaitu: ( 1) Mel-i~muskanpersoalan nienjadi lebili efektif
(2) Mendapatkan informasi dan penlahainan di luar jangkauan dunai ilmiali (3) Merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima. (4) Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian. sehingga memudahkan penerapan.
Manajemen kolaboratif (colIcrhoi~ci/r\,en~n~~crgenretif) oleh Tadjudin (2000) didefinisikan
sebagai
suatu
bentuk
manajemen
yang
mengakomodasikan
kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandangnya sebi~gaientitas yang sederajat sesuai dengan tatanilai yang berlaku. dalam rangka me~icapai tu-iuan bersama
Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam pengelolaan
suntberdaya liutan melalui manajemen kolaboratif. terdapat 5 (lima) stakeholder )'an%saling berinteraksi, yaitu ( I)
Masyal-akat, yaitu penduduk yang tinggal di dalani atau sekitar. ka\\ asan hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial, dan budayanya bergantung pada keberadaan surnbel-daya
hutan
Matapencaharian
masyaraltat
beragarn,
seperti
mengusaliakan lahan pertanian di dalam kawasan hutan, metnetik 11asil hutan lion kayu (damar, rotan, getah, sarang burung, dan tanaman obat), mencari kayu bakar, menggembalakan ternak, dan sebagainya (2) Pemerintah, yaitu lembaga-lernbaga pemerintah baik di pusat mapun daersh,
tidal< terbatas pada satu departemen teknis yang mengurus masalah hutan Fungsi pemerintah adalah memak-simalkan lavanan agar inrsral;si
setiap
stakehulder dalam inanajemen kolaboratif berja~atldengan baik (?'I
Swasta. !raitu badan usaha yang bisnisnya adalah pendayagunaan sutnberdaya hutan
Dalam konteks pembangunan hutan kemasyarakatan, p ~ h a kswasta ini
~ bibit, dapat badan usaha yzing berhngsi sebagai agen input bahan b a k ~seperti pupuk. dan peralatan pertanian, mzupun pihak ketrga lainnya \ ang terl~bat secara langsung seperti kontraktor ataupun konsultan (4)
-
Lembaga Penyangga (l~zfler. iti~tifz~tio~~.~), n~erupakan lembaga swadaya masyarakat dan lembaga kemasyarakatan lainnya yang memiliki kepedulian terhadap nlasalah pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan hutan LSM, akademisi, perguruan tinggi, dan lembaga masyarakat lokal iermasuk ke dalam kategori ini
(5) Hutan, dalam menajemen kolaboratif dipandang sebagai penciri dibandinykan dengan pola menajemen pengelolaan hutan yang berlaku selama ini. Hutan tidak sekedar dipandang sebagai sumberdaya yang boleh diekstrak aliran
manfaatnya, melainkan dipandang juga sebagai entitas hidup (subyek) yang inemiliki hak-hak yang sederajat dengan stakeholder lainnya. Iceberadaan
kelima
stakeholder- tersebut
berbeda
pada
setiap kasus
per~gelolaan hutan. Namun secar-a u m u m terdapat 2 (dua) bentuk. yaitu kelima n atau hanya terdapat empat stalceholder itu ada seperti disajikan pada ( ; a ~ ~ h c11-1;
stalceholder tanpa kehadiran pihak swasta ((;cn~~hca11-21
HUTAN
Lembaga Penyangga G'ambar 11-1.
Bagan lnteraksi Lima Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pemerintah
Masyarakat
4
+
Lembaga penyangga
Gambar 11-2. Bagan lnteraksi Empat Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
2.3
Redistribusi Lahan sebagai Kesejahteraan Masyarakat
Upaya
Untuk
Meningkatkan
Salah satu harapan dari pelal<sariaan hiltan kemasyarakaran
yang
diselerlggarakan oleh Departemen I<eliutanan adalah adanya keinginan untuk melaksanakan redistribusi lahan hutan kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan/at
Menurut SK No 3 11Kpts-1112001, redistribusi
lahan hutan tersebut diberikan kepada masyarakat (kelompok masyarakat) dalam bentub: hak pengelolaan lahan hutan, dan bukan hak pemilikan. liedistribusi lahan, khususnya lahan hutan, dalarn era Otonomi Daerah dapat juga dipandang sebagai isyarat penting untuk niengetnbangkan
pendekatan
pernbangunan berbasis pengembangan wilayah dibandingkan pendekatan sektoral \-ang diton.jolkan selama Orde Bar-LI 4n\var dan Rustiadi (2000). men\ratakan baliwa pernbangunan yang berbasis pengembangan wila!.ah dan lohal rnelnandang penting keterpaduan antar sektoral. antar spasial (keruangan), serta anrar pelaku petmbangunan ilitra di dalam dan antar daerah
Sehingga setiap program-program
pernbiingunan sektoral dilaksanakan dalatn kerangka penibangunan \vila!-all
Lebih
lalljut dikatakan bahwa, guna mendukung reformasi ekonomi wilayah perdesaan menierlukan beberapa dukur-,gan kebijaksanaan diantai-atiya melalui redistribusi aset, te:-utama yang nlenyangkut lahan dan kapital Dengan demikian, I-edistribusi tanah adalah kehat-usan dalam memasiiki setiap sistem ekonomi modern. Tanpa redistl-ibusi tanah, maka konf'iik kesenlansan sosial akan semakin taiani dan tidak tel-selesaikan.- Tidal< ada konsurnsi mas!.arakat yang tingg:, dernikian pula tidak ada tabungan masyarakat, karena mayoritas penduduk desa hidup dalanl subsitensi dan hatiya lnampu membelati~jakansebatas kebutuhan hidup yallg paling primer. Dalam upaya mempertahankan keabsahan sumber daya ekonomi, maka dalam praktek ilmu ekonomi di masyarakat terdapat suatu asumsi yang terkandung secara implisit, yaitu agar sistem pasar dapat berkembang dan bekerja dengan baik, maka diperlukan suatu kerangka sistim yang legal atau diabsahkan secara hukum yang nienetapkan tentang hak-hak kepemilikan (pl.oper./j! right) petani atau pekebun, di sampling hak-hak masyarakat secara keseluruhan. Hak-hak tersebut yaitu hak untuk
merr~perolehkesempatan (opportzlnity)yang sama guna memperoleh akses terhadap sumber daya bagi setiap warga negara, pengakuan atas hak-hak ulayat !;an% telah ada dan mengakar pada kehidupan masyarakat daerah setempat (Anwar. 2000b) Jansscns (1993) tnengatakan bahwa sebagian besat- rumah tangga bet-usaha n~eragamkan sumber-sumber pendapatan mereka untuk mengurangi bencana eko;nomi. Rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan industri misalnya, akan mer~gusakanagar anggota keluarga lainnya bekerja dan menerima upah dari sektor ekonomi lainnya.
Selanjutnya Hart (1 980) mengatakan bahwa a x g o t a rumah
tangga mengalokasikan waktu tnereka diantara berbagai jenis kegiatan yang tnenghasilkan pendapatan, pekerjaarl rumah tangga, dan kegiatan di luar pekerjaan sebsgai refleksi strategi rumah tangga untuk bertahan dal-i kesejahteraan. .i\lol
II.SL) t~rlr(e atau
c o r r . s ~ ~ n ~ c r lyang ~ l ~ . sdapat meningkatkan kesejahtesaan.
Dollar- dan Glewwe (1998) da/ar~?Mandagi (2000), mengatakan bahwa konsunisi diukur dalatn istilah pengeluaran rumah tangga adalah indikator tunggal terbaik kesejahteraan rumah tangga
Pengeluaran konsutnsi total tah~inanrumah
tangga niel-upakan penjumlahan dari lima kompc,ien, yaitu ( 1 Pengeluaran konsumsi eksplisit untilk makanan dan jenis-jenis niskanan yang
tidak talian lama; i (2). Nilai dari niakanan yang dihasilkan ketnudian dikonsumsi oleh n ~ m a l tangga. -
(3). Nilai dari barang-barang yang diterima sebagai hadiah dari peniberi pekerjaan
(perumahan, uang makan, pakaian); (4). lC\llln~rtc.d~ . c ~ ~(11.w) / t r l \~LIIIIL' dari barang-barang tahan lama yang d~milikioleh
rumah tangga, dan (5).
l < s / i ~ ~ ~ n1.enm1 t e d vall~edari tempat tinggal yang ditinggali rumah tanzga
Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan
2.4
2.4.1 Arti Penting Kelembagaan Peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan sangatlah penting.
Kelembagaan yang baik akan menentukan berhasil tidaknya kegiatan
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat. Tadjudin (1999) mendefinisikan kelembagaan sebagai sekeranjang tata nilai, aturan main, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dilnensi ruang dan waktu, di mana format kele~libagaan itu sendiri harus bet-sifat dinalnik dalam arti adaptif tel-hadap per-iibahan Sedangkan
Hayami
dan
Kikuchi
kele~iibagaan mempunyai dua pengeltian
(1987),
menyimpulkan
bahwa
l'erlan~n, kelembagaan sebagai aturan
main (l-r~leof' the g(7111e) dalam interaksi inter personal
Dalam konteks ini,
kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan, baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya meny angkut hak-hak serta tanggung jawabnya sebagai organisasi yang memiliki hierarki
Pengertian keu'rm, kelembagaan
Kelernbagaan sebagai suatu oryanisasi
dalam pengertiau ekonomi lnenggarnbarkan aktivitas ekonoini yang dikoordinasikan t ~ i ~ h noleh n sistem har-ga, melainkan oleh inekan~smeadministratif dan helienangan Hutan keniasyarakatan merupakan perwujudan dari berbagai bentuk pe~?yt:lolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat secar,s luas, dan keunggulan pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal -
Namun
dalanl prakteknya di lapangan, konsep tersebut melnbutuhkan ~.e~lrtalr,tr\rkek.111bng~7'a~ khususnya kelembagaan pemerintah (birokrasi), yaitu (Tadjudin, 1999) ( 1). I>esentralisasi, yaitu penyerahan urusan penierintahan kepada pemerintah lokal.
(2). Devolusi, yaitu penyerahan kewenangan (dalam pembuatali regulasi dan pengambilan keputusan) kepada pernerintah lokal.
(3).l'erubahan paradigma pemerintah dari statusn ya sebagai po1i.s; /c~rr.s/odiirrr) rnenjadi fasilitator dengan segala implikasinya.
Memperhatikan ketiga ha1 di atas, maka perumusan bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, ter.n7ns11khutan, akan lebih efektif apabila dilakukan oleh lembaga pemerintah yang ada di daerah. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah lebih mengenali karakteristik sumber daya dan penghidupan yang ada di wilayahnya Keuntungan lainnya terletak pada keunggulan jarak yang lebih dekat, sehingga mekanisme kontrol dan kedekatan budaya merijadi lebili efektif' Walaupun asas desentralisasi dan devolosi urusan pemerintah pusat kepada daerah it11 sangat
dibutuhkan, namun kondisi ini tidak secara serta merta akan menciptakan
ben.uk optimal pengelolaan sumber daya oleh masyarakat Menurut Anwar (2000a), sistem kelembagaan menyangkut inter-aksi unsurunsl.lr yang bersifat komplek.
Kompleksitas dicirikan oleh banyaknya variabel-
var-iabel yang berinteraksi melalui proses umpan balik (fkedbnck) ke belakang maupun ke depan, sehingga dalam pemahaman dan penelaahannya memerlukan pendekatan konipleskitas sistem
(.):\..\IL'MI
C ( I I I I ~ ~ / ~ajyronch). XI~~,
I<elembagaari, menurut Sliaffer dan Smith d~rkr171Pakpalian (1989), dic rikan oleh tiga komponen utama. yaiti :
(1).Batasan yuridiksi, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dirniliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap surnber-daya yang menjadi faktor produksi, barans. dan jasa. Anwar- (2000b) rnenegaskan bahwa batas kewenangan btlperan uiituk mengatur penggunaan surnberda\.a. dana, dan tenaga dalam organisasi.
Selain itu juga berperan dalam menentukan laju -
pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan meneritukan sifat keberlar~jutan (srl.~tninnBllit~) dan pembagian manfaat bersih dari masingmasing pihak
(21. Hak kepemilikan, yaitu hak !rang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau orltplil tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat, dan tradisi atau konsensus !.ang mengatur hubungan anggota niasyarakat Anwar (2000b), menyatakan bahwa j~.c~per/y 1.ights yang paling penting adalali kepemilikan (ownei.ship) terhadap lahan. Hak kepemilikan yang lebih jelas atau pasti akan menentukan besarnya bargaitiitlg yosiliot~ terhadap suatu persoalan. Berkaitan dengan hak kepemilikan pengelolaan sumberdaya alam
diperlukan adanya aturan main yang jelas.
Tadjudin (1999). atur-an main
diartikan sebagai sesuatil ha1 yang liarus dideskripsikan dengari jelas, karena berkaitan dengan kriteria keanggotaan masyarakat pengguna. kapan hak pengelolaan itu berlaku, dan bagaimana bentuk pengelolaanya. Dalam hirarki pengambilan keputusan, aturan main itu mencakup :
(a) Aturan main di dalam kelompok masyarakat pengguna; (b) Aturan main antara kelompok masyarakat penggunan denpan kelompok masyarakat lainnya;
(c) Aturan main antara masyarakat dengan lembaga pemerintah. (d) Aturari main antar lembaga pemerintah Aturan repr-esentasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi da!a~ii proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang akan diambil dan 2pa akibatnya terliadap pc'1:fol.l7ltrrlCc.1111 ditentukan oleh kaidan penvakilan atau representasi yang digt~nakan dalam pengambilan
keputusan
Menurut
An\\ ar
(2000a),
nienyatakan bahwa dalam aturan perwakilan yang dipersoalkan alialah masalah sistem atau prosedur mengenai keputusan. Dala~iiproses ini, berituk partisipasi lebiii banyak ditentukan oleh kebutuhan kebijaksanaan o r ~ z n i s a s i dalam rnembagi beban dan manfaat terliadap anggota !.zing terlibzt d~:::n organisasi
Sebagai program yang belum stabil, hutan kernasyarakatan sekzg31 salah sat11 ~ n l ~ d epengelolaan l hutan secara lestari belum mengarah kepada keseimbangan d?lam bentuk kelembagaan yang mantap
Oleh karenanya mas?
mengalami
interaksi menuju suatu sistem kelembagan yang memuaskan b a g seniua pihak, khususnya antara pihak para peserta dan pihak pemerintah Dengzn demikian, efektivitas dari implementasi kebijakan tersebut menuju keseimbangac kelembagaan masih membutuhkan interaksi hargalnrt7g antara pihak-pihak yang ~erlibat dan diilam setiap tahap perkembangannya perlu dievaluasi secara terus m e r s r u s Terdapat banyak cara yang digunakan untuk
mengevai~zsi interaksi
hcuyyzitilr~gdalam melaksanakan suatu program, diantaranva adalah zenggunakan niodel ga111e theory.
Menurut Rasmusen (1990), game theory bang ak digunakan
sebagai model penganibilan kep~~tusanbaik dalam suasana konflilc (tlo~rc o o i ~ e ~ . c r l ~maupun ~ ~ e ) kooperatif Perbedaan antara keduanya adalah bahwa yans terakhir mengandiing komitmen yang rnengikat dibanding dengan ~7oi1-coo/>er-n/1i~~~ TujJan dari pemodelan, terutama yang bersifat notr-coo~)emiri~eadalah mencari solusi keseirnbangan bagi keputusan (~tcllot~) yang optimal Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam sebuah gnlne terdapat beberapa unsus. yaitu yltye~.,nctiorl, .s/l.n/egy,pcr~?oj/i .~ itljOl.n~cr/iot~, . o ~ l l c o i ?dan ~ , eqililihr.in. l > l q ~ e ~ . , ncfiot~,dan ourcollle secara ber-sama-sama merupakan 1.i11e of' /hcj rner~dapatlcanliasil
~ ~ I I ~ L ~ ~ Iyang IIC)
gt7~1c'.
Untuk
optimal, seorang pemain harus dapat bertindak
secara rasional yang akan mengarah kepada suatu solusi atau eclr1ilih1.i11/7~. Keadaari e(ll/rIi01.i11111 ini ditentukan oleh kekuatan hnl.gtritrit~g masing-masin? pihak y a w.terlibat, dilnana informasi mengenai langkah dari lawan sangat menentukan pihak lain dalarn berespons. Teori perrnainan sampai sekarang sebenarnya belum berhasil dalam menciptakan model-model yang memuaskan, terutama bagi para pemain yanp sifatnya met-upakan individu-individu rasional yang terbatas (hornrtied[~.~n/iot~nl). yaitu sifat daripada pelaku ekonomi yang sebenarnya ingin rasional tetapi mengahadapi keterbatasan (dalam rnenguasai dan mengolah informasi) seperti yang dikemukakan oleh Simon ( 196 1 ) LIL~ILIM? Anwar ( 2 0 0 0 ~ ) . Tanpa memandang pem:iIianian 1,eseinibangan yang dipilih, cara yan; dipergunakan iinruk rnencari solu:;i dat-I pet-maillan (g~rine) dipergunakan solusi menurut keseimbangan dari Nash.
Dalanl pemaha~nan ini, suatu solusi yang menghzsilkan institusi ?an2
berhasil dibanyun (dalam ha1 ini aturan-aturan dalanl Hutan Kemasyarakatan) sesuai dengan keadaan sosial yang ada, dilnana para nge~ll.rtidak mempun!.ai maksud (kal-ena tidak ada rtr.setr/ir~e)untuk metiyimpang dari keseimbangan !.an$ terjadi, selarna pihak-pihak lainnya tidak melakukannya. Selanjutnya Rasmusen (1990) ~nenyatakanbahwa dalam setiap permainan ( ~ L I M : ~ ) terdapat
1)
2 macam keadaan kesetimbangan ( e q l ~ i l i b ~ ' i ~yaitu ~~),
I ) ~ M I / I I L. Y~~~II,IC I I yaitu ~ ~ ~ , suatu strategi yang diambil oleh pemzin sehinyga memberikan yn)!c!ff
(keuntungan) yang paling besar, apapun strategi )an%
diambil oleh lawan mainnya
2)
Ncrsh cc~ziilibl~i~~m, sering disebut juga sebagai "solusi optimal" Dalam Nosh e c ~ r ~ ~ l ~ dicapai h ~ ~ r ~ suatu i t ? ~ situasi di mana setiap pemain telah meniberikan he.,/ response, dan game telah ~iiencapaikeadaan "s/rzltegrcnll~l.s/ohle " karena
tidak ada pemain yang bisa memperoleh orltcon~eyang lebih besar walaupun dengan mengganti suatu strategi dengan strategi yang lain. 2.4.2 Hubungan Kelembagaan dengan Kepastian Halc Petlgelolaan Hutan Kemasyara katarl
Salah sat11 pertnasalahan yang seialu muncul dalam kegiatan pengelolaan hutan di Indonesia adalah persepsi mengenai kepemilikan dan pengelolaan areal hutarl
Hak kepemilikan atas lahan merupakan lial yang sangat penting dalam
kelernbagaan ekonomi di masyarakat
Menurut Feder dan Feeny (1993). terdapat 3
(tigar kategori dasar kelembagaan, yaitu (1).
Aturan perundangan, yaitu segala sesuatu yang berhubuiigan dengan aturanaturan pokok tentang bagaimana masyarakat diorganisir, yaitu atur-an-aturan dalam pembuatan perundang-undangan.
(2)
Tatanan kelembagaan, yaitu suatu pranata yang dibentuk dalarn aturan-aturan yang dispesifikasi densdn atul-an perundangnn
Tatanan ini dapat berupa
h u k i ~ n i ,peratusan, ket-jasama, I;o~itrak. dan hah-hak niilik atas lahan (/)~.oq)e~./j.
/./gh/).
(3). Perilaku normatif adalah nilai budaya @ng meligitirnasi tatanan-tatanan dan kendala tingkah laku. Aturan perudangan dan perilaku normatif berkembang dengan lambat, sedangkan tatanan keleni6agaan lebih siap untilk dirnodifikasi. Hak-hak milik merupakan bagian yang penting dari tatanan kelembagaan. Kept:milikan (l,~-oper/~'j adalah suatu kelembagaan sosial yang membanyun suatu sistem hubungan antara individu-individu, menyangkut hak-hak. kewajiban, kekuasaan, keistimewaan, penanggungan, dan lainnya yang sejenis (Feder dan Feery, 1993) Kepastian hak kepemilikan ini bersifat sangat substansiil mengingat bahwa kegistan pengelolaan hutan kemasyarakatan juga berkaitan dengan aspek ekonomi (bisnis atau usaha), di samping mengemban misi pelestarian sumber daya hutan.
Misi pembangunan hutan kernasyarakatan yang juga berorientasi ekonomi jelas tidak dapat dihindari agar kegiatan tersebut dapat berjalan secara berkesinambungan. Kelangsungan kegiatan pengelolaan hiltan kemasya-rakatan selain ditentukan oleh kemampuan modal dan manajer-ial,juga ditentukan oleh masalah kelembagaan Menurut Anwar (2000b), suatu /)l.o/)el./yrrg/~/smenetapkan tentang hak-hak
seem legal mengenai kepemilika~idari suatu sumberdaya (lahan) dengall disertai ketlxbatasan dalam cara pemanfaatan su mberdaya. Apabila hak-hak itu ada, maka liarus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : (I)
Hak-hak Iiarus dispesifikasi secara penuh
Hal ini berarti bahwa perniliknya
harus dapat dibeda-bedakan dengan jelas Demikian juga, bahwa pembatasan terhadap hak kepemilikan dan sanksi (hukuman) dalam pelanggaran terhadap hak-hak tersebut harus dispesi fikasi kan
Pembatasan terhadap kepemilikan
harus disertai hak-hak yang jelas untuk merighindari kerancuan, dimana sebenar.nya kerancuan tcrscbi~t tidal, boleli tet-jadi pada keadaan apapun Apabrla seriiua orang menggitnal,an barang-barang yang dipunyainya, rnalta dalam keadaan apapun barang tersebut dapat digunakan sesiiai dengan keinginannya (2)
Se~nua/ I I . ~ ~ L ' I1.1gh1s . / J ~ niengandung arti tentang kepemilikan yang eksklusi f Flak-hak ini mencntukan siapa saja, j~kcrndu, yang bo!eh lnenggilrlahan barang yang dimilikinya, dan pada persyaratan
apa barang tersebut
dapat
dipergunakan. 'l'etapi semua galljaran dan sziiiksi di dalam melaksariakan hal\ -
tersebut didapatkan oleh pemili knya ( I .
-
Pemilik barang mernpurlyai Ilak c ~ n t u k mentransfer barang riiiliknya Pembatasan kepada transf-21-suatu bar-ang yang dimiliki akan mengarah pada i~~-~fi.sierr.si atau mengarah kepada keadaan pasar yang nyaris lumpnh. Dalam
ha1 ini, penting untuk disadari bahwa hak-hak yang bersangkutan berkaitan dengan proses perpindahan tangan seba~ailawan dari hanya memiliki suatu barang. Misalnya apabila kita mernbeli sebidang lahan, sebenarnya yang kita beli itu adalah hak-hak untuk nienggunakan lahan tersebut tetapi secara fisik lahannya sendiri tidak bergerak. Pemindahan tangan lnerupakan transfer hak kepemilikian, dan bukannya kepemilikan itu yang dilanggar.
(4).
P ~ . ~ p e ~ rights 'fl' tersebut juga secara aktif harus dapat dipaksakan (enforceable).
Tanpa adanya ei!forceme/i/, suatu proprely 1.ight.c dapat
dianggap tidak bermanfaat
Jika el!fi)l-cel~ietr/ tidak sempurna, sebagaimana
yang sering terjadi di dunia nyata, maka nilai liarapan dari sanksi hukuman hams melebihi setiap kemungkinan keuntungan yang diperoleh para pelanggar yang melakukannya, Menurut Feder dan Feeny (1993), terdapat ernpat kategori dasar dari hak kepernilikan, yaitu tidak ada hak kepemilikan atau akses terbuka ( ~ r o ~ or. l e operi
rrccess), hak kepemilikan komunal (conimn~ralproper^), hak kepemilikan individu @i'i\xrte pl.ope~*iy),dan kepemilikan oleh negara (state or. c~.o\.~:l.? yr.ope1.0i). Suatu sun?h~:r daya yang bersifat terbuka fopc.11 ncce.~),hak kepemilikan tidak diatur dengan jelas. Dalam kondisi demikian sumber daya cenderung mengalami dey-adasi !:any berlebilian.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya struktur
insentif yang
niendorong tnasyarakat untuk menjaga dan ~iiemeliharakelestariannya.
.Apabila
s i ~ n ~ b edaya r itu dimiliki dan diatur secara ekslusif ole11 sekeloinpok individu (komunitas tertentu), maka sumber daya demikian berada di bawah hal< kepettiilikan ko~iiunal. Perbedaan hak kepemilikan koniunal akan menjadi rancu dengan kepemilikan dengan akses terbuka jika hak dimiliki uieh suatu kon~unitastertentu terlalu luas, sehingga diperkirakan sangat susah untuk melakukan kontrol dan pengawasan atas penggunaannya. Sedangkan kepemilikan oleh ncgara, pengelolaan lailan aka11diatur oleh otorit~ssektor publik, dan dala~iikepemilikan individu t~iaka hak-l1,3k perorangan akan diberikan ole11 negara. Naniun demikian, pengertian hak milik bersaliia atas suatu sumber daya,
.vepel./i
Iliha~r,tidak identik dengan suniber
da\a yang bel-sifat oj)cJlr crcLae.v, karena pada keadaan
cotiimc;;r I.C.SOIII.L~C~masih
ter-dapat kelembagaan (itr.s/ilr~tio/l) yany mengatur hak-hak secara bersama (misalnya rnusyawarah adat), sepe~tipengaturan hak garap, atau hak pengambilan hasil dari hutan di atas lahan komunal tersebut (An~var,2000b).
2.4.3 Bentuk Kelembagaa~lOrganisasi Ekonomi Menurut Anwar (2000a), penentuan pilihan kelembagaan yang tepat akan dapat mengatur penggunaan dan alokasi sumber d a ~ xatau input ke arah efisiensi yarlg tinggi, keadilan (fni~*~c..s.s) ke arah penibagian yang lebih merata. dan aktivitas ekonomi dapat langgeng (s~rstarrmhle). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumber daya secara optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (dil1~.rior~ of laboz/~;), sehingga setiap pekerjaan dapat dilaksanakan secara profesional
der~gan produktivitas tinggi
Peningkatan pembasjan kerja selarijutnya akan
mengarah ke spesialisasi ekonomi, sedangkan kelanjutan dari spesialisasi adalah per~ingkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi
Dalam kondisi
dernikian, individu-individu tidak dapat berdiri sendiri, dan pemenutian kebutuhan diperoleh rnelalui pertukaran (exchn17p atau t~.ntli.)atau transaLsi ekonomi Pertukaran barang dapat terjadi dengan baik apabila terdapat hak-haL Q ) I ~ o J I ~ ~ . / J ~ ~'ig,llt.s) yang jelas dan pasti.
Sesuai dengan SK. Menhut No. 3 11Kpts-IIJ2001, bentuk kelembagaan per-~gusahaan hutan kemasyarakatan adalali koperasi
Menurut Hatta
( 1985)
menyatakan koperasi dalam suatu ilmu ekonomi tnerupakan suatu perkumpulan yarlg ~nernungkinkan beberapa orang danlatau badan usaha yany ~iielakukan kerjasaina secara sukarela untuk menyelenggarakan sesuatu pekerjaan untuk memperbaiki kehidupannya.
Adapun tugas koperasi adalah (a) rnttmperban>.ak
PI-cduksi;(b) men-,?erbaiki kualitas barang yang dihasilkan; (c) menipttrbaiki harga; (d) memperbaiki distribasi; (e) menyingkirkan pengtiisapandari linrah darar: (f) memperkuat pemaduari modal; dan (g) menieliliara lumbung simpanan padi atau tnendorong supaya tiap-tiap desa metighidupkan kembali lumbung desa Bagi koperasi juga tidak tertutup kemungkinan untuk membentuk asosiasi atau organisasi lain untuk bernegosiasi dalam menentukan aturan perdagangan yang terl~aik, termasuk penentuan harga
Oleh karena itu, apabila koperasi dapat
berfungsi sebagaimana mestinya dalam kegiatan ekonomi (bisnis), maka secara bertahap peranan koperasi tersebut
diharapkan
dapat memperkuat
perekonomian masyarakat perdesaan khususnya dari kalangan bawah.
sisteni