"Nggak mau ah.” Nirwana merengut jengkel. "Papa jahat" "Papa tidak bermaksud membuatmu kesal." "Ngapain sih Papa bawa-bawa perempuan itu lagi” 'Lho Tante Pia kan teman Papa" "Gara-gara dia Papa pergi!" "Papa pasti banyak urusan. Perempuan itu kan teman kerjanya." "Oom Jusuf juga teman kerja Papa. Tapi nggak pernah ngajak Papa jalan-jalan ke luar negeri. Papa bohongin Nana Katanya mau ngajak Nana sama Kak Aga ke Ancol. Papa jahat Tukang ngibul!" Adel memeluk anaknya dengan sedih. Dan tangis Nirwana pecah dalam pelukannya. Tangisan kejengkelan. Di pintu. Swarga termenung mengawasi ibu dan adiknya.
****
Minggu ini benar-benar sepi bagi Adel sekeluarga. Tidak ada telepon. Tidak ada yang datang. Tidak Hiskia. Tidak juga Hendarto. Adel jadi serbasalah. Dan menyesal telah memperlakukan bekas suaminya seburuk itu. Menyesal pula menolak bantuan Hendarto. Padahal dia benarbenar cuma ingin menolong. Tidak memaksa. 167 R)Dan ternyata yang menderita bukan hanya Adel. Anak-anaknya juga. Mereka seperti mengalami tekanan mental. Kesepian. Kehilangan. Kesal. Dan itu membuat Adel tambah menyesali diri. Kalau saja dia lebih bijaksana. paling tidak dia masih memiliki seorang di antara mereka. Dan anak-anaknya masih dapat terhibur! Tapi. adilkah memperlakukan mereka seperti itu? Bukankah sudah saatnya dia harus tegas memilih? Jangan membiarkan mereka terombangambing dalam kebimbangan? Apalagi menjadikan mereka semacam cadangan! Kalau Adel masih mencintai Hiskia dan menginginkan bekas suaminya kembali, dia harus menegaskannya pada Hendarto. Supaya dia jangan berharap lagi. Ah, kadang-kadang Adel merasa berdosa kepada laki-laki itu. Dia merasa telah memperalatnya untuk membangkitkan kecemburuan Hiskia. . "Jangan menyalahkan dirimu." hibur Hendarto sabar ketika untuk pertama kalinya Adel berani datang ke rumahnya. "Sepeninggal suamimu, jiwamu memang terguncang. Kamu mengalami kekosongan dan kesepian. Nah, saya datang pada saat tepat untuk mengisi kekosongan itu." "Dokter tidak merasa tersisih jika saya menolak lamaran Anda? Maafkan pertanyaan yang bodoh ini! Akhir-akhir ini saya memang tidak dapat berpikir normal.” "Tentu saja tidak!" Hendarto tertawa lunak. I68 R)"Saya tidak pernah kehilangan rasa percaya diri. Kalau kamu menolak saya, itu bukan karena bekas suamimu lebih superior daripada saya. Tapi karena masih ada cinta di antara kalian Mengapa saya harus merasa rendah diri?” "Maafkan saya, Dokter. Saya memang pandir dan selalu menyusahkan" "Tapi kamu telah menyadarkan saya, Adel. Pada sisa hari tua saya, saya masih membutuhkan keluarga Istri, dan anak-anak. Jika saya tidak dapat memperolehmu, saya harus mulai mencari penggantimu." Terima kasih atas pengertian Anda, Dokter. Jika saya masih boleh bekerja di sini, saya tetap menjadi pasien Anda" "Mengapa tidak? Semua orang punya problem. Semua orang butuh psikiater!" ”Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan tanpa dorongan moral Anda. Hiskia sudah jarang datang. Dan anak-anak tampaknya sangat kecewa." "Jika dia berani menyusulmu ke Bali, mengapa kamu tidak berani menyusul ke kantornya? Dia belum menikah lagi, kan' Percayalah, kamu punya kelebihan. Anakanakmu. Jangan terlambat. Supaya tidak menyesal nanti."
****
Apa yang harus kulakukan? pikir Adel bingung. 169Menyusul Hiskia ke kantornya? Menemuinya di sana? Minta dia datang ke rumah.
tapi. untuk apa? Hari Minggu dia tidak muncul. Hari-hari berikutnya juga tidak. Anak-anak tidak mau disuruh menelepon ke kantor ayahnya. Tampaknya, mereka juga jengkel. Padahal Adel tahu, anak-anaknya sudah rindu pada Hiskia. Nirwana malah sudah dua hari ini tidak ada nafsu makan. Uring-uringan terus. Lesu. Memang agak pilek sedikit. Tetapi badannya tidak panas. Biasanya ayahnya sangat memanjakannya bila dia sakit. Kalau Hiskia datang. ah, Nana mungkin senang. Dan nafsu makannya kembali pulih. tidak ada obat untuk membunuh virus, bukan? Kata Dokter Hendarto, obatnya hanya daya tahan tubuh. Bagaimana Nana bisa kuat kalau tidak mau makan? Akhirnya Adel terpaksa menelepon ke kantor Tetapi Hiskia tidak ada di tempat. Sekretarisnya tidak tahu ke mana dia pergi. Kapan dia pulang. Apakah dia akan kembali ke kantor atau tidak. "Ibu Sopia Husein ada?" Entah mengapa Adel sampai menanyakannya. Apa hubungannya dengan Pia Cuma ingin tahu Hiskia pergi bersamanya atau tidak? "Ibu Sopia juga tidak ada di tempat, Bu.” Dengan Bapak? Untung Adel belum sampai menanyakannya Ah, dia benar-benar sudah gilal Apa haknya lagi menanyakannya? "Tolong sampaikan pada Bapak anaknya sakit," 170kata Adel agak kesal. Lalu tanpa sempat mengucapkan terima kasih lagi, dia menutup teleponnya. Enaknya jadi laki-laki, gerutunya dalam hati. Anak sakit dia enak-enakan pacaran. Tapi benarkah mereka pacaran? Bukan pergi untuk urusan bisnis? Lagi pula. bukankah Adel yang menghendaki anak-anak ikut ibunya? Kalau mereka sakit, itu tanggung jawabnya. Hiskia malah tidak tahu Nirwana sakit. Mengapa aku jadi begini? pikir Adel masygul. Sudah saatnyakah aku kembali lagi berobat pada Dokter Hendarto? Aku mulai uring-uringan lagi seperti dulu. Sulit tidur nyenyak. Dan sering pusing. Adel masih sering menjumpai Hendarto di tempat kerjanya. Hampir tiap hari. Dia masih tetap baik. Sabar. Mau mendengarkan keluhannya. Tetapi bagaimanapun, Adel merasa, laki-laki itu sudah mengambil jarak menjauh. Tidak seintin dulu lagi. Dia hanya menganggap Adel sebagai karyawatinya. Pasien. Paling-paling teman. Tidak lebih. Dan dia tidak mencoba lagi untuk mendekat. Tetapi. mengapa harus disesali? Bukankah lebih baik demikian? Supaya Adel tidak merasa bersalah karena merasa memperalatnya.
****
ADEL sedang menyuapi Nirwana ketika bel pintu berdering. "Nah, itu pasti Papa datang!” cetusnya gembira. "Ayo, Nana. Makan yang pintar, ya. Biar Papa senang!" "Ah, Papa nggak mau datang!" rajuk Nirwana kesal. "Pasti Papal Tadi Mama sudah telepon ke kantor. Aga, tolong bukakan pintu" Swarga tidak menyahut. Dia hanya melangkah malas-malasan ke pintu depan. Sialan si Romah! Pergi belanja saja lama sekali. Pasti ketemu pacarnya di jalan. Awas dia, gerutu Swarga dalam hati. Kulaporkan nanti pada Mama! Dengan separo disentakkan, dia membuka pintu. Dan tertegun di sana. Perempuan itu tegak di hadapannya. Bajunya sangat bagus. Warnanya kuning manyala. Papakah yang membelikannya? "Halo, Swarga!" sapa perempuan itu ramah. "Mama ada?” 172 R)Gelang di tangannya gemerlapan menantang. Papakah yang memberikannya? "Swarga” tegur Pia sekali lagi. Ganjil melihat cara anak itu menatapnya. Tante boleh masuk” Swarga tidak menjawab. Dia hanya menepi sedikit. Mengapa perempuan ini yang datang, bukan Papa? Diakah yang melarang Papa datang ke sini? Apa haknya melarang Papa? Memisahkan kami? Tanpa menegur lagi, sambil mengangkat bahu Pia melewati Swarga. Melangkah masuk ke dalam rumah. Dasar anak sinting, katanya dalam hati. Masih kecil saja sudah seperti orang gila. Di tengahtengah ruang tamu. Pia berpapasan dengan Nirwana yang berlarilari kecil ingin menyongsong ayahnya. Di belakangnya, ibunya mengikuti. Masih membawa piring. Dan mereka sama-sama tertegun. "Selamat sore, Mbak, sapa Pia ramah.
"Sore.” sahut Adel kaku. Darahnya yang mengalir deras tiba-tiba menyurut kembali. Kedua tungkainya terasa lemas. Tetapi seperti biasa, dia masih bisa menguasai diri. Nanalah yang tidak bisa. Dia sudah langsung meledak. "Mana Papa?!” sergahnya kasar. Separo menangis. "Papa belum pulang, Nana.” Pia mencoba mengucapkannya dengan selembut mungkin. Padahal dalam hati dia sudah memaki. Lalu dia menoleh kepada Adel. ”Saya terima pesan Mbak di kantor.”Siapa yang berpesan padamu? gerutu Adel mengkal. Tentu saja dalam hati. Tahukah kamu. "Nana sakit apa, Mbak?” Jadi dia datang untuk mengecek kebenaran pesan itu? Supaya Hiskia tidak usah datang kalau Nirwana tidak benar-benar sakit?! Adel belum sempat menjawab. Dia bahkan belum sempat membenahi perasaannya sendiri. Sekejap dia melihat Swarga melangkah masuk dengan gontai. Muncul di belakang Pia. Mendekat. Dan melewatinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia bahkan seperti tidak melihat ada orang di sana. Pasti dia juga kecewa. Sedih. Dia mendengar dari ibunya Papa pasti datang. Sekarang, yang datang malah perempuan ini. Tetapi Swarga seperti tidak mau memperlihatkan perasaannya. Dia langsung masuk ke dalam. Tidak seorang pun tahu ke mana dia. Tidak ada yang memperhatikannya lagi. "Pilek sedikit, sahut Adel sambil meletakkan piringnya di meja. Dan menuntun Nirwana. "Ooo, cuma pilek!" "Tapi tidak mau makan sama sekali. Barangkali kangen sama ayahnya." "Ya, memang sudah agak lama kami tidak kemari ya, Mbak.” Siapa yang mengharapkan kedatanganmu? "Sibuk sih. Kalau jadi, minggu depan kami menikah.” Adel merasa bayang-bayang belati yang sejak 174 R)tadi berkilat-kilat di depan matanya kini benarbenar menikam jantungnya. Tetapi pekikan Pia dan darah yang membasahi bajunya yang berwarna kuning itu tiba-tiba menyadarkannya. Pisau itu benar-benar menghunjan ke perut Pia. Bukan bayang-bayang lagi! Swarga tegak di depannya. Tidak ada yang tahu kapan dia kembali. Tetapi bukan itu yang menyentakkan Adel. Di tangan Swarga terhunus pisau. pisau dapur pemberiannya. hadiah ulang tahun. Ya, Tuhan. Ini benar-benar bukan mimpi lagi! Ini bencana yang paling mengerikan. Pia memekik panik. Menghambur ke luar. Menjerit-jerit minta pertolongan. Secepat kilat Adel merampas pisau dari tangan putranya. sek ”Anak itu gila!” geram Pia ketika Hiskia datang menjenguknya. Lukanya tidak begitu parah. Tikaman pisau Swarga tidak masuk terlalu dalam. Tetapi darah yang keluar cukup banyak. Kulit perutnya harus dijahit. Dan Pia masih harus menunggu beberapa saat di rumah sakit sebelum diizinkan pulang. "Mesti diobservasi dulu,” kata dokter yang merawatnya. ”Darah yang tidak keluar bisa berkumpul di rongga perut. Dapat menimbulkan kegawatan perut yang berbahaya." 175Hiskia yang sesampainya di kantor menerima berita mengejutkan itu langsung ke rumah sakit. Pia sudah selesai dijahit. Dia sedang menunggu diizinkan pulang. Sebentar-sebentar perawat datang memeriksanya. Mengukur tekanan darahnya. Nadi. Temperatur. Seorang laboran juga datang mengambil darahnya. Begitu melihat Hiskia, kemarahan Pia langsung meledak. Anak itu gila" teriaknya setengah histeris. "Sabarlah. Pia." "Dokter sudah membuat visum. Polisi sudah datang Aku akan menuntut anakmu!' "Berpikirlah dengan kepala dingin, Pia, pinta Hiskia bingung. "Swarga anakku." "Dia hampir membunuhku!" "Dia hanya marah karena kamu merebut ayahnya." Tapi itu bukan kemarahan anak yang normal. Anakmu sakit. Tidak waras." "Aku sudah bicara dengan dokter yang merawatmu. Lukamu tidak berbahaya. Sebentar lagi kamu boleh pulang.” "Tapi yang luka perutku Bukan tangan! Aku ditusuk Bukan dicubit!" "Oke, aku mengerti perasaanmu. Tapi cobalah mengerti juga perasaanku. Swarga anakku. Masa kubiarkan kamu menggugat anakku sendiri” "Tapi dia harus dihukum!" "Biarkan aku yang menghukumnya!"
176 R')"Bagaimana? Memukul pantatnya? Mengurungnya lima menit di kamar mandi?!" "Aku tidak ingin ada keributan, Pia,” kata Hiskia tegas. "Kalau kamu masih menginginkan kelanjutan hubungan kita, aku tidak mau ada tuntutan. Di mana harus kutaruh mukaku kalau peristiwa ini sampai masuk koran?! Mau kamu hancurkan reputasiku?”
*****
"Biar aku yang minta maaf pada Pia, pinta Adel ketika Hiskia datang menemuinya "Kalau dia masih penasaran, suruh dia menuntutku Jangan Swarga. Dia masih terlalu kecil." "Di mana Aga" "Dokter Hendarto sedang mengajaknya berkonsultasi.” "Dokter itu lagi!" ”Dia seorang psikiater Ke mana lagi aku harus membawanya” "Semuanya gara-gara dia geran Hiskia berang. "Gara-gara kamu ingin menikah dengan dia!" "Tapi Swarga tidak menikam Dokter Hendarto! Dia menusuk pacarmu!' "Mengapa tiba-tiba Aga menusuk Pia" "Dia bilang kalian akan segera menikah Swarga langsung kehilangan kontrol!” "Dari dulu juga dia tahu aku akan mengawini Pial Kalau tidak, buat apa kita bercerai" 177"Dokter Hendarto bilang, Swarga berbeda dengan Nirwana.” "Aku juga tahu mereka berbeda! Tidak perlu seorang dokter yang mengatakannya!" "Swarga selalu memendam perasaannya. Tidak mencetuskannya seperti Nana. Suatu hari, karena sebuah letikan kecil, tumpukan kemarahannya meledak. Seperti lelatu api yang membakar tumpukan jerami" "Ah, teori melulu! Pintar saja mencari kesalahan orang! Dia hanya ingin mengambil hatimu. Merampasmu untuk dimilikinya sendiri!" "Dia tidak merampas. Dia cuma memungut sampah yang sudah kamu buang!” "Nah, kenapa tidak menikah saja dengan dia?” "Perlukah memberitahukanmu lagi?” "Tentu. Dia akan menjadi ayah tiri anak-anakku." "Tidak perlu mengurus anak-anak kita lagi! Kawin saja dengan perempuan itu!" "Kalau begitu, mengapa masih meneleponku?” "Nana sakit. Dia merindukan ayahnya!" "Aku ingin kembali menjadi ayahnya. Tapi kamu memilih ayah lain untuknya!" "Sampai kapan pun kamu tetap ayahnya! Tidak ada mantan ayah! Kamu boleh menikahi seratus perempuan. Tapi Nana tetap anakmu!" Hiskia sudah membuka mulutnya untuk menjawab. Tetapi pintu keburu terbuka. Dan Hendarto muncul di ambang pintu. 178”Adel,” katanya serius. ”Boleh bicara sebentar denganmu?"
****
"Ada apa?" Hiskia langsung memburu dengan pertanyaan begitu Adel keluar dari kamar Swarga. "Aku harus tahu apa yang menimpa anakku! Aku masih tetap ayahnya, kan?” "Dokter Hendarto menemukan kelainan jiwa yang cukup serius, sahut Adel bingung. "Dia ingin merawat Aga.” "Persetan! Dia hanya ingin dekat denganmu" "Apa bedanya? Kami memang akan segera menikah!” "Pada saat anakmu dalam keadaan seperti ini. kamu masih memikirkan pernikahan?" "Tentu saja tidak sekarang. Dokter Hendarto ingin membawa Swarga ke kliniknya. Dia ingin menyembuhkan Aga sebelum terlambat." "Tidak! Anakku tidak gila!" ”Dia punya kelainan.” "Dia hanya tertekan karena perceraian orangtuanya! Kalau kita rujuk kembali, aku yakin aku mampu menyembuhkannya!" ”Maksud mu, semalam kamu di rumah kami,
semalam di rumah perempuan itu" sindir Adel pedas. ”Aku akan bicara dengan Pia.” "Untuk memutuskan hubungan kalian?" 179”Deni anak-anak.” "Dia pasti menuntut Swarga kalau kamu tinggalkan.” "Dia tidak dapat menuntut seseorang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya,” potong Hendarto yang baru saja keluar dari kamar Swarga. ”Izinkanlah saya bicara dengan Ibu Sopia." "Terima kasih,” sahut Hiskia kesal. "Saya tidak perlu pertolongan siapa pun untuk membereskan persoalan saya dengan Pia.” "Kalau begitu, tunggu apa lagi” Hendarto tersenyum santai. "Anakmu sudah berada di tepi jurang kehancuran mental. Tidak perlu pertolongan siapa pun untuk menyelamatkan anakmu, kan?” ****
"Haruskah dia dirawat, Dok” tanya Adel sedih. "Tidak bisa tinggal di rumah saja dengan saya? Saya akan membawanya ke klinik tiap hari.” "Kelainan jiwanya cukup serius. Jika tidak cepat diterapi, saya khawatir sudah terlambat menyembuhkannya." "Dia hanya sedih karena orangtuanya berpisah, Dok. Dan dia marah kepada perempuan yang merampas ayahnya! Apakah tindakannya menikam perempuan itu tidak dapat dikategorikan dalam kemakalan remaja?” "Tentu saja bisa kalau dia ingat apa yang telah dilakukannya.” 180”Maksud Dokter.” "Swarga lupa sama sekali dia telah menusuk orang." "Mungkin dia sengaja berdusta.” "Itu yang harus saya selidiki.” ”Dengan merawatnya?" "Kalau dia benar-benar lupa, keadaannya benarbenar serius.” "Dia tidak gila kan, Dok” sergah Adel cemas. Terlalu kasar menyebutnya demikian. Tapi kalau benar dugaan saya, dia mengalami splitting of personality." ”Apa artinya, Dok” "Kepribadian yang terpecah. Suatu saat dia menjadi Swarga yang kamu kenal. Anakmu yang nakal. senang menggoda adiknya, suka membantah. Tapi di saat lain, dia menjadi orang lain. Pribadi yang berbeda. Anak yang pendian. Murung Cenderung mengurung diri. Anak inilah yang kehilangan kontrol diri dan menyerang Pia. Karena itulah Swarga yang asli tidak merasa melakukan sesuatu yang dilakukan oleh Swarga yang lain." "Saya tidak mengerti, Dok." "Swarga punya kepribadian yang labil. Trauma psikis hebat memukul jiwanya karena kehilangan ayahnya. Dia marah. Sedih. Tapi dia sudah terlatih sejak kecil untuk menyimpan kesedihannya." "Ya, Hiskia memang selalu melarangnya memangis. Katanya, anak laki-laki tidak boleh cengeng" "Padahal Swarga merasa sangat kehilangan ayahnya. Sangat tertekan. Sangat sedih. Karena itu dia 181ingin lepas dari keadaan yang menekannya itu. Dia ingin menjadi orang lain. Tapi suatu saat, kemarahan yang dipendamnya itu meledak." "Bagaimana menyembuhkannya, Dok” "Kita harus berusaha melenyapkan kepribadiannya yang kedua itu. Dan kita tidak boleh terlambat. Karena itu saya minta agar Swarga dirawat. Barangkali hanya beberapa hari saja. Supaya saya dapat mengawasi dan menelitinya lebih cermat." "Saya ingin mencium tangan Anda, mengucapkan terima kasih, Dokter. Jika tidak ada Anda, entah apa yang terjadi pada kami." "Lebih baik jangan. Hendarto tersenyum tipis. "Bekas suamimu masih besar rasa cemburunya. Saya tidak ingin mendapat seorang pasien lagi.”19 ****
"MAAFKAN Papa, Aga," pinta Hiskia di depan anak sulungnya. Mereka sedang duduk berdua di atas pembaringan di kamar Swarga. Tidak ada orang lain di sana. Hiskia minta agar dia ditinggalkan berdua saja dengan putranya. Dia ingin bicara dari hati ke hati. Tetapi tanggapan Swarga di luar dugaan Hiskia. Dia tidak menyahut. Menoleh pun tidak. Matanya menatap lurus ke lantai. Padahal tidak ada apa-apa di sana. "Semua salah Papa.” Hiskia menghela napas berat. Dadanya sesak diimpit perasaan bersalah. "Jangan menyalahkan siapa pun. Mama tidak salah. Tante Pia juga tidak." Tidak ada reaksi Swarga tetap membisu. "Papa yang ingin pergi dengan Tante Pia. Karena itu Papa-Mama bercerai." Swarga tidak menyahut. Tidak menoleh. Tidak bergerak. "Papa tidak menyangka, perceraian itu justru p 183membuat kalian sangat menderita.” Hiskia memegang tangan anaknya. Dan menggenggamnya erat-erat "Papa menyesal, Aga. Maafkan Papa, ya” Tetapi Swarga seperti tidak mendengar apa-apa. Tidak merasakan apa-apa. Hiskia menjadi amat cemas melihatnya. "Anakmu sudah berada di tepi jurang kehancuran mental." terngiang kembali di telinganya katakata Dokter Hendarto Santoso. *****
"Tidak perlu pertolongan siapa pun untuk menyelamatkan anakmu, kan" e. Hendarto tidak heran ketika melihat Hiskia muncul di ruang prakteknya. Seorang diri. "Mengapa tidak bersama Swarga?” tanya Hendarto mantap. Seolah-olah dia sudah tahu maksud kedatangan Hiska. "Bekas istri saya sering memuji Anda, Dokter,” kata Hiskia terus terang. Dulu, saya cemburu. Sekarang, saya mulai percaya. Anda memang pria yang layak dikagumi." "Hentikan basa-basi itu." potong Hendarto jemu. "Di mana Swarga" "Benarkah dia harus dirawat" "Sebelum dia melakukan sesuatu yang lebih tidak terduga lagi.” 184 R)