apas teringat Balinawan. Suatu ketika kelak aku harus kembali ke sana. Namun adalah perhiasan yang kami angkut dalam banyak karung yang kurasa telah membuat pedati kami menjadi berat. Cincin emas, gelang tangan dan kaki, dan juga inmas, uang emas itu, tidak dapat kuduga berapa masa nilainya, kukira mencapai ribuan masa banyaknya. Sembari mendorong dan mengangkat pedati, aku terus berpikir, barang-barang yang diangkut ini semestinya dikawal oleh makuda atau pasukan berkuda, setidaknya lebih dari sekadar dua pengawal bersenjata sewaan seperti sekarang. Angkutan mereka terlalu berharga. Lagipula upacara peresmian sima merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan negara. Pengadaan dan pengangkutan bisa diserahkan kepada usaha jasa, tetapi muatan barang senilai yang diangkut pedati tersebut layak dijaga pasukan bersenjata kerajaan. Bagaimana jika rombongan ini dibegal kelompok bersenjata yang memusuhi Rakai Panunggalan? Kuperhatikan dua pengawal bersenjata pedang itu. Seberapa jauh mereka dapat diandalkan? Aku mempertimbangkan kemungkinan, bahwa kemampuan keduanya diandalkan sebagai pengganti satu pasukan bersenjata. Satu pasukan, bukan sekadar satu regu, mengingat yang kami bawa ini menurutku sungguh merupakan harta karun yang sesungguhnya. Sungguh terlalu banyak bagi peresmian sima biasa. Jalanan kini kembali rata. Di kiri dan kanan persawahan menguning. Namun hari telah mendekati ma lam. Tampaknya kepala rombongan yang telah menawarkan kepadaku
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pekerjaan ini ingin berma lam di desa tempat para pemilik sawah ini. "Kita akan bermalam di sana," katanya, "bocah, sampai di desa itu, kuanggap utangmu sudah lunas, dan dikau boleh pergi dengan pakaianmu itu." Aku mengangguk. "Aku juga akan bermalam dulu di sini, Bapak, terima kasih telah memberi aku busana kebesaran ini." Aku mengatakannya begitu, karena wdihan yang kukenakan tampaknya memang mahal, karena tidak ada busana untuk rakyat biasa dalam pengangkutan ini. TENTU ada suatu peristiwa besar. Kalau peresmian sima yang biasa, tidaklah perlu membagi hadiah sebanyak ini. Aku telah salah menduga, mengira para mabhasana ini akan menjual barang dagangan dari kota ke desa. Adapun yang terjadi, seluruh barang ini sudah dibeli negara, dan kini mereka harus membawanya ke Ratawun, tempat akan berlangsungnya peresmian sima. Betapapun, aku tetap merasa pengawalannya tidak sepadan, mengingat ribuan inmas, mata uang emas, yang juga diangkut mereka. Dalam upacara peresmian sima, mata uang emas adalah pengganti wdihan bagi pejabat, tetapi jika kulihat sendiri wdihan yang dibawa tak kurang banyaknya dalam keranjang-keranjang yang disebut kban, seperti memang akan diperdagangkan, untuk apa lagi uang emas itu? (Oo-dwkz-oO) KAMI semua tidur di balai desa yang luas dan berlantai kayu. Dengan segera kami semua tertidur karena perjalanan yang memang sangat melelahkan. Menjelang dini hari, aku merasakan lantai kayu bergoyang pelahan dan segera membuka mata. Sebuah sosok sedang mengendap-endap
melangkahi kami, menuju keluar, ke arah pedati-pedati berisi keranjang itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dalam kegelapan aku mengawasinya. Salah seorang pengawal itu mengambil sebuah keranjang dan berjingkatjingkat pergi. Aku beranjak dan berkelebat mengikutinya. Kulihat ia membawa keranjang itu ke sebuah pondok tempat seseorang telah menunggunya. Ternyata pengawal yang lain telah berada di sana dan segera menerima serta menyembunyikannya. Tentu ini sangat mudah. Pengawal mencuri barang-barang yang harus dikawalnya sendiri. Mereka terus mengambil barang-barang dari dalam pedati, keranjang demi keranjang, sampai pedati itu kosong sama sekali dan pondok itu kini penuh dengan harta karun. Aku terus mengawasinya sembari bertanya-tanya dalam hati. Apakah yang akan mereka lakukan selanjutnya? Aku ditelan kebimbangan antara memberi tahu pedagang yang telah memintaku ikut rombongan ini, ataukah mengikuti terus masalah ini untuk mengetahui bagaimana akan berakhir. Namun kusadari aku sendiri mempunyai banyak persoalan, sementara masalah ini pasti juga akan berkembang tanpa kuketahui bagaimana akan selesai. Jika melibatkan diri, tidakkah hidupku akan menjadi lebih rumit? Padahal aku taktahu menahu persoalan di balik barang-barang berharga ini. Dengan kesadaran atas segala kerumitan, masihkah aku harus bersikap mengikuti saja arus ke mana pun sungai kehidupan membawaku? Tidak bisakah kiranya aku bersikap untuk membiarkan mereka dengan segala urusannya? Mereka berdua tidak saling berkata-kata. Bahkan berbisik pun tidak sama sekali. Tentu saling pengertian antara mereka sudah sangat kuat, atau rencana mereka memang sudah
begitu matang. Aku tidak tahu seberapa jauh diriku harus terlibat, karena aku tidak apa yang sedang terjadi. Siapa yang kiranya boleh dianggap benar dan siapa kiranya boleh dianggap salah? Setidaknya aku harus mengenali persoalan dan tahu bagaimana menempatkan diriku di dalamnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Mereka kemudian mengendap-endap kembali ke balai desa. Apa yang akan mereka pikir jika melihatku tak ada? Aku segera berkelebat ke belakang balai desa itu tanpa mereka ketahui. Apabila besok terjadi kegemparan karena barang itu hilang, dan kedua pengawal itu tahu betapa aku berkemungkinan mengetahui kosongnya tikar mereka, nyawaku berada dalam bahaya. Meski memejamkan mata, aku tahu mereka mengawasi semua yang tidur satu persatu. Setelah mereka yakin tiada seorang pun yang mengetahui perbuatan mereka, maka mereka pun merebahkan diri pada tikar masing-masing. Sebentar kemudian mereka pun tidur mendengkur. Agaknya mereka belum tidur sama sekali dan sepanjang malam hanya pura-pura tidur agar dapat menjalankan rencananya. Mendadak aku mendapat gagasan. Maka aku pun bangkit dan keluar lagi tanpa seorang pun menyadarinya. T idak juga kedua pengawal yang telah mencuri itu. Di luar, kulihat pedati yang kosong. T idak bisa kubayangkan penderitaan yang akan dialam i para pedagang ini, jika mereka tiba di tempat upacara tanpa barang-barang ini. Aku merasa para mabhasana ini adalah orang-orang yang baik. Jika pedagang lain, melihatku berdiri di tengah jalan hanya untuk berutang pakaian, pastilah sudah menyuruh para pengawal itu mengusirku. Namun ia memberiku kesempatan untuk berbusana layak tanpa harus
berutang. Aku menghargainya meski mendorong pedati di jalan yang berlubang-lubang dan mendaki juga bukan pekerjaan ringan. Betapapun ia seorang pedagang. AKU melangkah cepat ke arah pondok tempat barangbarang mahal itu disembunyikan. Aku baru mengetahui belakangan bahwa terdapat juga gerabah, peralatan masak dan makan, seperti mangkuk dan bejana, yang dilapisi jerami supaya tidak pecah. Mangkuk-mangkuk porselin berwarna putih yang dihiasi gambar-gambar belum bisa dibuat di Yawabumi. Barang-barang ini datang dari negeri yang jauh,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ diangkut dengan kapal yang belum pernah kulihat. Kukira aku harus melihatnya suatu ketika, dan kenapa tidak menaiki kapal itu atau kapal yang mana pun menuju negeri-negeri yang jauh? Jika begitu jauhnya aku mengembara, sehingga bahkan tidak mungkin lagi untuk kembali, aku pun tidak keberatan pula. Bukankah hanya satu tujuan hidup yang telah kutetapkan dan itu hanyalah menjadi seorang pengembara? Kumasuki pondok, kudorong pintunya, tiada seorang pun menjaganya. Namun siapakah yang telah menyediakannya dengan begitu kebetulan di depan balai desa? Kulihat keranjang-keranjang bertumpuk sampai nyaris mengenai atap. Segera kuambil satu persatu dan dengan mengerahkan tenaga dalam sedikit saja kupindahkan semuanya kembali ke dalam pedati. Dengan tenaga dalam artinya segala beban dari barang-barang itu menjadi tiada artinya dan aku dapat memindahkannya dengan cepat tanpa suara. Bahkan jejak kakiku di tanah pun tiada karena aku telah menggunakan ilmu meringankan tubuh juga. Keranjang-keranjang berisi wdihan, inmas, dan gerabah langka dari negeri manca itu akhirnya kembali ke tempatnya semula, bagaikan tiada seorang pun
yang sempat memindahkannya. Hanya para kerbau menjadi saksi semua kejadian ini. Namun apalah yang bisa dikatakan para kerbau? Aku tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi. Langit mulai menyembunyikan rembulan. Di dalam balai desa mereka pasti masih tertidur, semuanya karena kelelahan, begitu juga kedua orang yang seharusnya mengawal tetapi mencuri itu, yang masih mendengkur karena baru saja tidur. Aku masuk dan mencoba tidur. Namun aku tidak bisa berhenti berpikir. Siapakah kiranya yang telah menyediakan pondok di depan balai desa itu? Kubayangkan terdapatnya suatu jaringan yang mampu menggerogoti perbendaharaan istana dengan perhitungan yang cermat. Aku terkejut sendiri ketika membayangkan kemungkinan, bahwa mungkin saja upacara penyerahan lahan menjadi sima itu ternyata sekadar cerita,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang memperdayakan Rakai Panunggalan di istana! Jika benar, tentu ini merupakan penipuan yang canggih! (Oo-dwkz-oO)
Episode 35: [Para Pencuri]
AKU masih tidur ketika seseorang menggoyang kakiku. "Bocah, jika dikau bermaksud memisahkan diri di sini, kami berangkat dahulu," katanya. Pemimpin rombongan itulah yang telah membangunkan aku. Dengan cepat kulirik apa yang terjadi di luar. Mereka semua sudah siap berangkat, seperti tidak terjadi sesuatu yang genting seperti semalam itu. Sembari beranjak, sebelum menjawab, aku berpikir. Aku telah menyelamatkan barangbarang berharga itu. Jika aku memisahkan diri, tidak ada
jaminan barang-barang berharga itu akan tetap selamat. Maka aku harus selalu berada bersama rombongan ini, jika memang berkepentingan untuk menjaganya. Namun jika aku meneruskan perjalanan bersama rombongan ini, aku merasa khawatir akan semakin terlibat dengan persoalan mereka, yang hanya secara kebetulan saja melibatkan diriku. Masalahnya, aku tidak merasa dapat berdiam diri jika terjadi sesuatu dengan mereka. Aku merasa, setidaknya untuk sementara, sebaiknya tetap menjaga mereka, bukan demi barang-barangnya, melainkan terutama demi keselamatan mereka. "Pergilah, Bapak, dewa-dewa akan menjaga keselamatanku," kataku, lantas berpura-pura tidur kembali. Meski memejamkan mata, kudengar desah nafas panjangnya, dan barangkali ia menggeleng-gelengkan kepala. Ia melangkah keluar. Kudengar derak roda-roda pedati yang makin lama semakin jauh. Aku memikirkan kedua pengawal
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang curang itu, dan seseorang yang telah menyediakan pondok di depan balai desa untuk menyembunyikan barang curian. Aku pun segera melesat untuk mengikuti rombongan itu tanpa mereka ketahui. KARENA jalan sudah rata, perjalanan bisa lebih cepat. Namun akan menjadi seberapa cepatkah perjalanan dengan pedati? Apabila mereka bergerak maju perlahan-lahan di
jalanan, aku bergerak tanpa suara di balik rimbunnya pepohonan di tepi jalan. Harus kuakui mengikuti rombongan dengan cara seperti itu sangat membosankan. Aku hampir saja meninggalkan mereka karena kebosanan yang teramat sangat karena dalam kelambanan itu tidak terjadi sesuatu pun jua. Namun aku juga merasa betapa aku harus selalu waspada. Aku yakin bahwa jaringan pencuri ini tidak hanya terdiri atas dua orang pengawal dan seorang penyedia pondok penyimpan barang. Bahkan mereka bertiga kemungkinan besar juga hanyalah orang-orang suruhan. Pikiranku terus bekerja, tetapi pengetahuanku sebagai remaja 15 tahun tentu saja sangat membatasi segala pertimbangan. Pertarungan kekuasaan di dalam istana misalnya, hanya bisa kuduga dengan perbendaharaan pengetahuan yang sangat terbatas. Aku hanya berpikir bahwa pencurian barang-barang demi kepentingan upacara seperti itu, bukanlah pemikiran seorang pencuri biasa yang ingin memiliki barang-barang tersebut. Barang-barang itu berusaha dicuri bukanlah untuk dimiliki, melainkan demi suatu kepentingan tertentu. Kepentingan apa? Dalam batas pemikiranku, setidaknya itu adalah gagalnya upacara peresmian sima. Kenapa upacara peresmian harus digagalkan? Sampai di sini kemiskinan pengetahuanku berbicara. Aku hanya tahu betapa untuk sementara aku harus terus mengikuti rombongan ini, karena para mabhasana ini hanyalah orang-orang yang akan dikorbankan. Dugaan mengenai adanya kejahatan semacam ini saja sudah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ membuatku geram, kelicikan semacam itu memang memualkan.
Ketika aku menyambar buah jambu air untuk menawarkan dahagaku, di bawahku berkelebatlah sesosok bayangan yang mengikuti rombongan itu. Aku terkesiap. Ternyata Kepala Desa dari desa tempat kami menginap semalam. Desa apakah namanya? Bahkan aku juga tidak mengetahuinya. Jika seorang kepala desa seperti itu terlibat dalam pencurian semalam, aku semakin yakin betapa ini bukan sekadar pencurian biasa. Ia menirukan suara burung, sebagai tanda bagi kedua pengawal yang menunggang kuda di depan dan bekakang rombongan. Kulihat kedua pengawal itu memegang gagang pedangnya masing-masing yang masih berada di dalam sarungnya. Kulihat juga Kepala Desa itu bahkan telah mencabut pedang. Mereka akan segera menggunakannya! Kutelan jambu airku dan melayang turun dan tentu saja tidak ada yang mengetahuinya. Jika hanya terdapat lima orang yang barang-barangnya dikawal, maka mudah saja membunuh mereka dengan kecepatan kilat, apalagi yang tidak pernah mereka duga akan dilakukan para pengawal mereka sendiri. Apa yang harus kulakukan? Pertama-tama aku melayang turun ke belakang kepala desa itu. Ia mengangkat pedangnya ke belakang, seperti s iap berlari menyerbu. Namun aku dengan kecepatan kilat mengambil pedang tersebut, dan tentu saja takbisa dibayangkan betapa bukan alang kepalang ia terkejutnya ketika membalikkan badan. "Haahhh?" Namun tidak kuberi kesempatan ia berteriak lebih keras lagi. Sekali sentuh ia sudah jatuh pingsan. Aku memang tidak ingin kedua pengawal itu mengetahui apa yang telah terjadi. Aku ingin menghukum mereka dengan caraku sendiri. Kedua pengawal itu menyerbu orang-orang yang seharusnya mereka jaga keselamatannya. Kelima orang yang lain terkejut. Namun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mereka dengan cepat mencabut pedangnya masing-masing pula, bahkan dengan kemarahan membara. Kuperhatikan dari balik semak-semak, pertarungan berlangsung seimbang. Dalam arti, satu pengawal melawan dua orang, dan satu pengawal lain melawan tiga orang. Pertarungan ini berlangsung diiringi maki-makian kasar yang tidak sepatutnya diungkap di sini. Cara bertarung mereka pun tidak beraturan. Karena meskipun kedua pengawal ini tampak mengerti ilmu silat, kelima orang yang melawan dengan membabi buta itu tidaklah mengerti ilmu silat sama sekali. Tidaklah lantas menjadi mudah bagi orang yang mengerti ilmu silat untuk menghadapi orang-orang awam yang bertarung tanpa aturan, karena ilmu silat digubah dalam kerangka ilmu silat juga, bukan gerak orang awam yang tanpa jurus, bahkan tanpa aturan. Dengan kata lain, ilmu s ilat tidak akan mengenal bahasa gerakan bukan silat. Jurus silat digubah untuk menghadapi jurus silat, bukan sembarang gerakan. Sehingga menyaksikan pertarungan semacam ini memberikan sejumlah gagasan untukku, bahwa jurus-jurus yang seperti bukan jurusjurus ilmu silat, akan sangat sulit dihadapi jurus-jurus ilmu silat itu sendiri. Saat itu aku tentu saja tidak pernah menduga, bahwa pemikiran semacam ini kelak akan membawaku kepada penemuan Jurus Tanpa Bentuk. MEREKA ternyata bahkan menemui kesulitan dengan bertempur di atas kuda seperti itu. Tentu ini juga disebabkan oleh ilmu silat mereka yang sama sekali tidak tinggi. Sembari bertempur mereka sebentar-sebentar melihat ke arahku, tentu mengharap bantuan kepala desa yang juga culas itu. Aku tertawa dalam hati melihat kebingungan mereka, tetapi tidak terbersit sedikit pun dalam pikiranku untuk mengampuni
orang-orang yang menyalahgunakan kepercayaan semacam ini. Kulihat kuda yang bernama Si Kemplang itu memang perkasa, bukan hanya ketegapan tubuhnya, tetapi juga karena tampak terlatih ikut menyerang lawan majikannya dalam pertempuran. Suatu hal yang hanya dikuasa i kuda dalam
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ makuda atau pasukan berkuda. Kedua orang ini pastilah setidaknya pernah menjadi anggota suatu pasukan berkuda. Artinya bukan orang yang mencuri karena kelaparan! Dengan sebutir kerikil kutotok jalan darah Si Kemplang, yang tidak membuat kuda hitam perkasa itu menjadi lemas tanpa daya, sebaliknya bahkan melonjak-lonjak sambil meringkik-ringkik tak terkendali. Kuda temannya pun kuperlakukan seperti itu, sehingga kini kedua pengawal tersebut lebih sibuk mengurusi kudanya daripada lawanlawannya. Pertarungan menjadi berat sebelah dan nasib kedua pengawal itu sudah ditentukan. Sedikit demi sedikit anggota badan mereka terbacok senjata tajam. Begitu rupa sehingga tak lama kemudian seluruh tubuh mereka telah menjadi merah oleh darah mereka sendiri, meskipun ternyata mereka tidak kunjung mati. Kemudian tiba saatnya mereka terjatuh ke tanah. Para pembuat pakaian yang telah gelap mata ini nyaris mencacahcacah tubuh keduanya jika kepala rombongan yang bijak itu tidak mencegahnya. "Jika mereka bisa terus hidup, mungkin mereka akan jadi orang baik," katanya. "Biarlah dia jadi orang baik waktu lahir kembali saja kelak, setelah sebelumnya menjadi monyet terjelek di dunia," kata salah satunya. "Biarlah dia jadi orang baik sekarang," ujar kepala
rombongan itu dengan tegas, "aku ingin tahu apakah dia juga pendapat yang sama atau tidak." Mereka mengerumuni kedua orang itu, sementara kepala desa yang kutepuk dan pingsan telah sadar kembali. Kuberdirikan kepalanya agar mampu melihat nasib kedua komplotannya. Ia menjadi sangat ketakutan. "Ampuni saya Tuan, saya mempunyai anak dan istri di rumah," katanya sembari menyembah-nyembah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dalam keadaan yang lain, mana mungkin ia memanggilku Tuan? "Kuserahkan kepada mereka kalau Bapak tidak berterus terang tentang segalanya." Ia menelan ludah dan merasa tak berdaya. Lantas begitu saja bercerita. Seseorang dari istana dengan gelar mangilala drawya haji atau pemungut pajak telah datang dan menyatakan bahwa sejumlah pejabat akan dikirim dari kotaraja. Adapun maksudnya adalah menyatakan desa mereka sebagai sima, dibebaskan dari pajak, karena jasa yang telah diberikan tanah tersebut kepada negara. "Kami semua tidak mengerti," katanya, "apakah yang disebut sebagai jasa tanah kami kepada negara." Di desa mereka tersebut, sawah justru memberi penghasilan besar kepada negara, dan penduduk masih menerima banyak keuntungan dari penjualan beras, meski setelah dipotong oleh pajak. Maka tentu saja pesan yang dibawa pejabat pajak itu ditolak. "DI desa kami, bahkan para rakai atau pamegat akan
selalu kalah wibawanya dibandingkan para rama.3) Namun kali ini mereka tampaknya memaksakan kehendak dengan senjata." Ternyata bukan tanah desa mereka saja yang ingin dikuasa i oleh istana, tetapi juga tanah desa-desa lain, karena agaknya sedang berlangsung persaingan dalam kepemilikan tanah, agar di atas tanah itu bisa didirikan candi, baik dari kelompok Siwa maupun Mahayana. Penduduk desa tidak terpengaruh untuk memilih salah satu dari kedua agama besar yang menguasai istana, karena kepercayaan yang mereka warisi dari nenek moyang sudah memuaskan kebutuhan beragama mereka, yakni bahwa sesuatu yang luar biasa memang menguasai kehidupan mereka.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kami tidak peduli dengan persaingan diam-diam kedua agama ini," katanya, lagi, "tetapi kedua agama ini membutuhkan tanah-tanah kami untuk mendirikan candi." Aku teringat, tidak sembarang tanah kosong bisa menjadi lahan tempat didirikannya candi. Para sthapaka (arsitek pendeta) dan stahapati (arsitek perencana) dalam tindak bhumisamgraha (pemelihan tempat) dan bhupariksa (pengujian tanah pada calon lahan bangunan) telah mengacu kepada kitab-kitab dari Jambhudwipa perihal aturan pembuatan bangunan seperti Manasara-Silpasastra maupun Silpaprakasa. Menurut kitab-kitab ini, lahan tempat pendirian
bangunan kuil dinilai tinggi, bahkan lebih penting dari bangunan suci itu sendiri.4) Ini membuat lahan yang memenuhi syarat, di mana pun, diincar untuk diambil alih bagi pembangunan kuil-kuil pemujaan yang disebut candi itu. Ketika agama tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan, maka berperilakulah para pemimpin keagamaan bagaikan sekadar pemimpin di wilayah dunia fana, yang tampak dalam persaingan perebutan lahan bagi candi di Yawabumi. "Apa hubungannya semua itu dengan pencurian ini?" "Persaingan di antara para pejabat agama di istana telah membuat mereka saling berusaha menggagalkan upacara peresmian sima, dan kami sekarang ini membantu usaha penggagalan upacara di Ratawun, karena lahan yang akan dikuasai sangat besar sekali. Jika lahan tersebut diubah menjadi tempat pendirian candi, kami semua akan mati karena sekarang ini merupakan sumber penghasilan kami." "Kenapa harus tanah kalian dan bukan yang lain?" "Karena tanah kami adalah tanah Brahmana." Aku mengerti, tanah Brahmana merupakan tanah terbaik seperti yang dirumuskan Silpaprakasa. Tanah Brahmana mengandung lempung, kenampakannya bercahaya seperti debu mutiara dan harum baunya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ TANAH lain yang dianggap sama mutunya adalah tanah Ksatrya, yang berwarna kemerahan, bercahaya seperti darah segar, dan berbau keasaman. "Jika semua tanah Brahmana dan Ksatrya diambil demi kuil, apakah manusia hanya boleh menempati tanah Waisya dan Sudra?" Begitulah kepala desa itu mempertanyakan. Hmm. "Siapakah kedua prajurit itu?" T anyaku. "Oh, mereka adalah orang-orang yang berasal dari desa
kami, berhasil diterima ketika melamar jadi anggota pasukan berkuda, dan mereka merasa perlu menyelamatkan penduduk dari kemalangan jika segenap lahan diambil secara paksa." Kulihat di tengah jalan, kelima mabhasana seperti siap membacok kedua pengawal yang malang itu. Aku harus segera mencegahnya jika tidak ingin mereka mati, meskipun aku bingung juga jika harus bertemu muka lagi dengan rombongan ini. "Jangaaaaann!" Tangan mereka terhenti di udara. Jika tangan-tangan yang memegang golok itu turun, tamatlah riwayat kedua pengawal celaka. Aku bersyukur tidak mengambil keputusan untuk membunuh ketiga-tiganya secepat-cepatnya, seperti yang kupikirkan ketika untuk pertama kalinya membaca hubungan mereka sebagai komplotan. Kini, sebaliknya, aku merasa kasihan terhadap mereka yang tanahnya dirampas, meski untuk keperluan bangunan suci. Artinya, bagiku, bukan hanya persyaratan keadaan tanah yang diperlukan untuk membangun tempat ibadah, melainkan juga kerelaan dan kepasrahan sang pemilik tanah untuk menyerahkannya yang menjadi syarat mutlak. Jika tidak, tanah itu bermasalah, dan bagi pembangunan sebuah kuil, tidakkah itu menghalangi dan menghancurkan segenap tujuan pemujaan dalam upacara agama?
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Lagipula, siapa bilang segalanya
ini murni demi kepentingan agama? Penduduk Yawabumi setahuku tidak terlalu peduli dengan agama manapun yang mereka peluk, selama peraturan agama yang berlangsung tidak mengganggu kehidupan mereka. Bahkan bila perlu berbagai macam ketentuan dalam agama manapun justru disesuaikan dengan kepercayaan semula mereka, dan tidak seorang penyebar atau pemuka agama pun bisa memaksakan kehendaknya. Maka mereka tahu belaka jika agama disebut-sebut hanya sebagai alasan, ketika kepentingan kekuasaan berada di baliknya. Kedua orang itu tidak jadi mati. Namun tubuh mereka yang merah oleh darah memberikan pemandangan yang mengerikan. Para mabhasana terbelalak melihat aku datang bersama Kepala Desa. "Bapak, ceritakanlah semua," kataku. Kami berada di tengah jalan yang membelah hutan. Burung-burung berkicau dengan riuh, tetapi bagiku hal itu masih terlalu sepi dibandingkan ketegangan dalam permainan kekuasaan di istana, yang mengorbankan penduduk desa demi segala kepentingan mereka. Kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan desa, tetapi yang sedikit demi sedikit mulai merusaknya. "Jadi apakah yang sekarang harus kita lakukan, wahai bocah takbernama?" Aku senang mereka masih memanggilku bocah, meski memang tetap tanpa namaku. Hmm. Namaku adalah Tanpa Nama. Benarkah itu sebuah na-ma? Kita takbisa menghindar
untuk tetap bernama, sebagai pemberian makna siapapun kepada kita. (Oo-dwkz-oO)
Episode 36: [Pendekar Topeng Tertawa]
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
SESUAI kepala desa itu bercerita, aku baru sadar betapa memang tidak mungkin menghindari aliran sungai kehidupan yang membentuk riwayat hidupku. Ketika berusaha menghindari urusan rombongan tersebut dengan cara memisahkan diri, kupikir itulah cara terbaik untuk mengelak. Namun karena khawatir dengan keselamatan mereka, aku tetap mengikuti mereka tanpa mereka ketahui, tetapi yang ternyata membuat aku terlibat semakin dalam. Seusai kepala desa itu bercerita, pandangan mereka kepadaku kini berubah. Mereka tidak mungkin lagi menyebutku sebagai bocah dan kupikir masa kebocahanku memang telah berakhir, terutama setelah didewasakan oleh Harini dengan segala percobaan Kama Sutra yang dibacanya itu kepada diriku. "Pendekar inilah yang telah mengagalkan rencana kami, dengan mengembalikan lagi segala barang ke dalam pedati. Jika tidak, kami tentu tidak akan tahu lagi nasib kalian." Para mabhasana itu menoleh kepadaku, lantas bersujud sampai dahinya menyentuh tanah. "Tuan Pendekar! Maafkan kami!" Aku merasa sangat sungkan dan sangat malu. Aku tidak
ingin melibatkan diriku, tetapi mungkinkah kini aku melepaskan diri? "Bapak! Berdirilah!" "Maafkan kebodohan kami Tuan Pendekar! Kini kami tidak dapat membayangkan, ancaman apa lagi yang menanti di depan kami!" Mabhasana artinya penjual pakaian. Mereka bisa hanya menjual, dan tidak membuat sendiri baju-baju bersulam emas ini, tetapi bisa juga menjual dan membuatnya sendiri. Namun jika membuatnya, jelas ia memerlukan bantuan pewdihan (tukang jahit), menglakha (tukang celup kain warna merah),
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ manila (tukang celup kain warna biru), mawungkudu (tukang celup kain warna merah yang lain). Bahkan jaringan pengadaan sandang ini juga melibatkan para penjual kapas dan tukang tenun. Lebih jauh lagi, jika bagi para pejabat dibutuhkan wdihan dengan mutu yang istimewa, maka jaringan ini diperluas oleh keberadaan para pedagang yang datang dari seberang lautan. Artinya kegagalan memenuhi janji akan berarti petaka bagi mereka semua, karena barang dagangan sebanyak itu kemungkinan juga merupakan piutang. Melihat barang-barang yang kupindahkan kembali semalam, berarti mereka berutang juga kepada mandyun (pembuat benda-benda tanah liat), pandai mas (tukang emas), pandai wsi (tukang besi), manapus (pembuat benang), manubar (pembuat bahan cat warna merah), magawai payun
wlu (pembuat payung wlu), maupun mananyamanam (pembuat barang-barang anyaman). Jumlah dan tuntutan akan mutunya tidak membuat mereka mungkin untuk membayar lunas lebih dahulu, meski tentunya mereka tetap memberikan uang muka. Kesempatan seperti ini memang diberikan oleh negara, demi berputarnya roda perdagangan, seperti yang mereka rujuk dari Arthasastra.
pertanian, peternakan, perdagangan membentuk varta (ekonomi) yang bermanfaat karena menghasilkan padi-padian, ternak, hasil hutan dan lapangan pekerjaan raja dapat mengendalikan pihaknya sendiri maupun pihak lawan dengan menggunakan keuangan dan tentara
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ADAPUN tentang utang piutang, Arthasastra mengatakan:
Satu seperempat pana adalah sukubunga sebulan menurut hukum bagi seratus pana lima pana bagi perdagangan sepuluh pana bagi yang melewati hutan duapuluh pana untuk melewati lautan bagi yang meminta atau menetapkan sukubunga di atas itu hukumannya adalah denda terendah untuk kekerasan bagi para saksi, masing-masing separuh denda tetapi jika raja tidak menjamin perlindungan
hakim harus mempertimbangkan pekerjaan umum bagi para pemberi pinjaman dan para peminjam bunga untuk gandum sampai separuh waktu panen setelah itu bisa bertambah karena berubah menjadi modal bunga modal akan berjumlah separuh keuntungan dibayar dalam setahun dipisahkan dalam toko orang yang pergi jauh atau bandel membayar
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ akan membayar dua kali modal bagi orang yang menarik bunga tanpa menentukannya atau menaikkan sukubunga atau menuntut melalui saksi modal dengan tambahan bunga dendanya empat kali 1/5 atau 1/10 bagian jika menuntut melalui saksi jumlah kecil (yang tidak pernah dipinjamkan) denda akan empat (jumlah) yang tidak ada untuk itu penerima akan membayar sepertiga sisanya bagi orang yang telah membantunya
Masih banyak perkara utang piutang yang telah diatur secara hukum. Masalahnya, seberapa jauh hakim dalam peradilan dapat diandalkan? Memang benar hakim yang bijak dan berani karena benar selalu ada, tetapi sebagian besar lebih suka mempermainkan hukum demi kepentingan para
penguasa, dan tentu saja demi keselamatannya sendiri. "Bapak! Aku mohon! Berdirilah!" Mereka semua berdiri dengan pandangan menyerahkan segala persoalan kepadaku. Adapun aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak mempunyai cukup pengalaman dan pengetahuan mengenai permainan kekuasaan untuk dapat mengambil keputusan dengan penuh keyakinan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Ketahuilah Bapak! Aku akan selalu membantu Bapak! Namun dalam hubungannya dengan seluk-beluk permainan kekuasaan di istana, akulah orang yang membutuhkan pertolongan!" Lantas aku membungkuk dalam-dalam. "Tolonglah saya, Bapak!" IA terdiam. Aku juga terdiam. Kedua pengawal yang mandi darah itu memandang kami, masih dengan wajah yang ketakutan. Kepala desa itu diam seribu bahasa. Namun jiwa ketiganya jelas telah lolos dari lubang jarum, mengingat betapa niat mereka semula sebenarnyalah untuk membunuh kami. Betapapun sekarang aku tidak merasa ketiganya terlalu jahat, karena dapat kubayangkan terdapatnya suatu ancaman, suatu tekanan yang membuat mereka justru akan lebih ce laka jika tidak melakukannya. Peristiwa ini bagaikan buah simalakama bagi sesama pelengkap penderita. Jika barang-barang dalam pedati itu hilang, para mabhasana bukan sekadar terjerat utang, tetapi
juga bisa mendapat hukuman yang tidak perlu. Sebaliknya jika barang-barang itu tidak berhasil dicuri, kepala desa dan dua pengawal itu kiranya akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi. Pantaslah mereka berjuang begitu rupa sampai berusaha mengorbankan nyawa. Kini jelas nyawa mereka terancam, dan hanya kepada kami mereka bisa berlindung. Namun bagaimana kami, aku dan para mabhasana ini bisa melindungi mereka? Dalam kegalauan seperti inilah kemudian terdengar sebuah tawa lirih. Aku terkesiap, karena tawa ini bukanlah sembarang tawa. Inilah suara tawa yang akan membunuh. Tawa ini sangat getir, tidak menimbulkan perasaan gembira, sebaliknya kesedihan yang terasa pedih dan menyayat-nyayat. Namun karena ini bukanlah tawa sembarang tawa, melainkan suara tawa sebagai ilmu kesaktian dalam dunia persilatan yang tujuannya membunuh, setidaknya melumpuhkan, tetapi lebih
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sering menyiksa, apa yang semula berarti kepedihan batin, kini menjadi kepedihan tubuh yang menyimpan perasaan pedih tersebut. Maka seketika tampak menggeleparlah kedua pengawal yang sebelum itu juga sudah bermandi darah. Mereka menggelepar, karena perasaan getir yang mendera hati dan perasaan mereka itu seolah berubah menjadi benda keras serta tajam, yang tentu saja tidak kelihatan. Keras dan tajam artinya berkemampuan merobek tubuh dari dalam, karena yang disebut perasaan telah berubah menjadi senjata tajam takkasat mata! Itu berarti setelah menggelepar mereka pun tewas. Kepala desa pun terjatuh bersama kelima mabhasana dan segera menggelepar pula. "Tutup telinga kalian! T utup telinga kalian!"
Aku pernah mendengar dari pasangan pendekar yang mengasuhku perihal ilmu-ilmu suara dalam dunia persilatan. Artinya bagaimana suara dan bunyi apapun dimanfaatkan sebagai penggoyah sukma, sehingga cabang ilmu suara disebut juga Ilmu-Ilmu Penggoyah Sukma. Pada umumnya penguasaan ilmu ini dianggap sudah sempurna, jika sudah mampu memeras perasaan, dan karena itu menjadi pengalih perhatian terbaik dalam pertarungan. Siapapun yang menjadi sedih dan menangis karena mendengar lagu sedih itu, akan terobek tubuhnya pada tempat perasaannya bergetar. Betulbetul terobek dan mengeluarkan darah, dan karena sayatannya dari dalam maka darahnya menjadi berbuncahbuncah. Mengerikan. Tawa ini juga mengerikan. Lirih tetapi bergema, bagaikan terdengar dari dalam sebuah gua. Aku mengerahkan tenaga dalam untuk mematikan perasaanku. Lantas melihat ke sekeliling. Lantas dengan segera aku menyambar dua pedang dan melesat. Pasangan pendekar itu pernah bercerita kepadaku tentang seorang pendekar, yang semula berasal dari golongan merdeka, tetapi kini menjadi orang bayaran, apalagi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ jika bukan bayaran untuk me lakukan pembunuhan. Pendekar itu mengandalkan ilmu silatnya kepada Ilmu-Ilmu Penggoyah Sukma, dan yang paling dikenal adalah tawa lirihnya yang getir serta mematikan. Sedangkan gelarnya adalah Pendekar Topeng Tertawa. Ia memang selalu mengenakan topeng orang tertawa yang bukan main menggelikan bagi yang melihatnya. Suatu topeng jenaka yang sungguh menggugah rasa gembira. Maka lawanlawannya sering sulit bersikap menghadapinya. Di satu pihak topeng lucunya membuat orang tersenyum geli, tetapi pada
saat tersenyum dan merasa geli berada dalam ancaman bahaya, karena pedang panjang Pendekar Topeng Tertawa akan menyambar-nyambar seperti angin menyapu padang rumput. Bukankah sulit diterima jika kita terbunuh sembari terbelalak memandang topeng tertawa? KUJUMPAI ia berjuntai di atas pohon dan segera kuserang. Seperti cerita kedua orang tuaku, ia mengenakan busana longgar yang menutup seluruh tubuhnya dari pergelangan tangan sampai mata kaki. Busananya itu berwarna putih bersih, nyaris menyilaukan dalam terpaan cahaya matahari, dan jika ia bergerak cepat akan berkibar-kibar karena sangat longgar. Suara kibaran kain juga menjadi bagian dari pengalihan perhatian di samping suara tawa yang lirih dan getir. Belum ada seorangpun yang mengalahkannya, tetapi kini jika aku tidak ingin mati dalam umur 15 tahun, aku harus membunuhnya! Dalam sekejap mata kulihat topeng tertawanya, sangat lucu, tetapi sudah kumatikan seluruh perasaanku. Aku menyerang dan menggempurnya dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Naga Kembar yang paling mematikan. Ia tampak sangat terkejut dan berkelebat menghindar. "Jika dikau suatu ketika berhadapan dengan Pendekar Topeng Tertawa, wahai anakku, seranglah terus tanpa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ memberinya waktu bernapas. Hanya dengan cara itu dikau akan mampu melumpuhkannya," kata ibuku. Kukepung Pendekar Topeng Tertawa itu dengan dua pedang yang telah berubah menjadi empat puluh empat cahaya pedang menyambar-nyambar.
Aku harus membunuhnya dengan secepat-cepatnya, karena Ilmu-Ilmu Penggoyah Sukma yang dimilikinya terlalu berbahaya. Bukankah sangat mengerikan ketika kita ikut tertawa misalnya, lantas dada kita tersobek oleh sayatan pedang yang tidak kelihatan wujudnya, dari dalam tubuh kita sendiri? Seperti sihir, tetapi bukan sihir, hanya ilmu pengalih zat yang sempurna. Ia tentu tidak diam saja. Busana putihnya yang amat bersih dan amat longgar berkibar-kibar dalam kelebatnya yang luar biasa cepat dan tidak dapat diikuti oleh mata. Ia masih tertawa, tetapi bagiku sudah tiada artinya, meski topeng tertawanya kusadari memang bisa membingungkan. Lucu, tetapi yang memakainya sangat mengancam nyawa. Pedangnya yang panjang tak jarang nyaris membelah tubuhku menjadi dua, jika aku tidak segera melompat berputar tujuh kali ke udara. Maka aku terus menyerangnya sembari mengitarinya dengan Jurus Naga Berlari di Atas Langit. Pedang yang beradu mengeluarkan suara berdentang-dentang diiringi lelatu api. Sudah barang tentu gerakan kami tak terlihat lagi oleh para mabhasana yang syukurlah sudah terselamatkan. Namun kepala desa itu dadanya sudah tersayat dari dalam sehingga mengalirkan darah segar. Pendekar Topeng Tertawa tak bisa tertawa lagi karena sepasang pedang yang kumainkan bagaikan menyerangnya dari segala arah. Ia pun mengggerakkan pedang panjangnya dengan Jurus Pedang Panjang Menyapu Rumput, suatu jurus yang selalu berhasil memenggal kepala lawan dari batang lehernya, karena senjata apapun yang menangkisnya hanya akan terpotong seperti rumput berhadapan dengan sabit.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Maka aku pun tidak menangkisnya, dan memainkan Jurus Penjerat Naga, yang akan membuat setiap serangan hebat menjadi kelengahan terbuka. Aku tidak menunda sampai rangkaian Jurus Penjerat Naga itu habis ketika pertahanannya sudah terbuka. Bukankah Pendekar Satu Jurus bahkan selalu menggebrak pada kelengahan pertama? Tanpa ampun kubabat kedua lengannya sampai putus. Sebelah lengannya yang masih memegang pedang panjang terpental ke udara. Ia meraung di balik topeng tertawanya. Ini sangat berbahaya! Maka kedua pedangku bergerak menggunting. Kepala bertopeng itu pun menyusul ke dua lengannya. Waktu aku mendarat kembali ke tanah, rerumputan sudah licin karena darah. Bajuku lengket karena semburan darah Pendekar Topeng Tertawa. Kulihat topeng itu masih terpasang di kepalanya. Jika raungan tadi kubiarkan menyentuh perasaan, jantung dan paru-paruku bisa keluar menyeruak dari balik dadaku. Topengnya memang lucu, tetapi ilmunya terlalu kejam untuk dibiarkan hidup. Itulah pilihan seorang pendekar. Aku baru menyadarinya kemudian, bahwa seorang pendekar harus menjadi hakim bagi nasib musuh yang bisa diatas inya, apakah akan dibunuhnya, atau dibiarkan hidup. Tidak akan ada kesempatan untuk menyerahkannya kepada hakim yang sebenarnya. Bagaimana mungkin jika pertarungannya saja tidak bisa diikuti mata? Seperti pertarunganku dengan Pendekar Topeng Tertawa. Menuliskannya jauh lebih lama dari kejadian sesungguhnya,
karena berlangsung lebih cepat dari pikiran. Dalam kecepatan seperti itu pun seorang pendekar harus penuh pertimbangan sebelum melakukan penghakiman, apakah membuat musuhnya tewas atau membiarkannya tetap hidup. Memang benar dalam dunia persilatan dikenal suatu nilai betapa kematian dalam pertarungan adalah kehormatan. Namun sungguh mati, tidak semua orang yang bertarung dalam dunia persilatan adalah pendekar, dan karena itu tidak juga layak mendapat kehormatan seperti itu. Akan halnya Pendekar
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Topeng Tertawa, keputusan membunuhnya dengan seketika kuambil di tengah pertarungan, karena kesan yang kudapat dari perkenalanku dengan ilmu silatnya sangat mengerikan. Aku tidak ingin membiarkannya menyiksa orang-orang takberdaya dengan Ilmu-Ilmu Penggoyah Sukma yang kejam dan sukar dilawan siapapun juga. TOPENG itu masih melekat di sana. Seorang mabhasana melangkah, seperti akan membukanya. "Biarkan," kataku, "biarkan saja begitu." Bahkan ketika segala mayat kami bakar, topeng itu pun ikut dibakar dengan tetap menempel pada wajahya. Seperti keinginan pemilik topeng itu, untuk dikenal sebagai pribadi dengan topeng seperti itu pada wajahnya, yakni topeng tertawa. Hanya itulah sisa rasa hormatku kepadanya. Tamat sudah riwayat Pendekar Topeng Tertawa. Memang tak bisa lain. Hanya kuperhatikan rambutnya yang putih dan
panjang. Tentunya ia sudah berumur. Apalagi jika pasangan pendekar yang mengasuhku itu pun mengenal namanya, sehingga bisa membedah Ilmu Penggoyah Sukma itu dengan segala cirinya. Sayang bahwa pendekar tak terkalahkan itu telah menjadi orang bayaran, tidak lagi membela mereka yang lemah dan tertindas, sehingga sebetulnya tak layak disebut pendekar lagi. Dalam usia yang sudah berumur, apakah lagi yang masih bisa menggodanya? Jika pun bukan bayaran penyebabnya, apakah sesuatu yang lebih penting baginya sehingga sudi terlibat urusan duniawi ini, tetapi telah menjebaknya ke dalam Jurus Penjerat Naga? Aku sendiri heran dengan pertarunganku ini. Rasanya ilmuku naik beberapa puluh tingkat. Semula aku hanya nekat karena tidak tahan melihat penderitaan para korban, tetapi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ aku ternyata dapat mengimbangi, dan kemudian mengatasi Pendekar Topeng Tertawa itu. Padahal tidak ada jalan pintas dalam ilmu silat, karena segalanya harus dipelajari dan dilatih dengan ketat. Apakah yang telah terjadi? Asap dari pancaka telah membubung ke udara. Matahari menjelang terbenam. Suara-suara serangga kembali menguasai hutan. Kulihat para mabhasana itu. Jalan hidupku saat ini sedang berjalin dengan jalan hidup mereka. Aku terlibat justru pada saat menghindarinya. Apa boleh buat? Meski malam kemudian turun, kami tetap meneruskan perjalanan, karena benda-benda upacara dalam pedati ini
sudah ditunggu. (Oo-dwkz-oO)
Episode 37: [Serigala Putih dan Naga Dadu]
KETIKA umurku memasuki empat tahun, yakni tahun 775, seorang pendekar mendatangi pondok kami di Celah K ledung. Tidak jelas bagiku saat itu siapa dia dan apakah kiranya yang dibicarakan dengan kedua orangtuaku, tetapi sekarang aku mulai meraba betapa kedatangannya tentu berhubungan dengan pembebasan tanah. Tahun itu memang saat pembangunan Kamulan Bhumisambhara tahap pertama, tentu di atas tanah yang dalam prasasti telah menjadi s ima. Namun dalam kenyataan, ceritanya berbeda. Pendekar itu telah datang dengan cerita seperti berikut, seperti yang kemudian diceritakan pasangan pendekar itu kepadaku. "Mereka mendatangkan orang-orang golongan hitam untuk mengusir penduduk yang bertahan di atas tanahnya untuk pergi, yang jika tidak dituruti tentu berakhir dengan kematian, atau petaka mengerikan yang lebih menakutkan daripada kematian. Penduduk semula melawan, tetapi apa yang dapat dilakukan orang awam terhadap golongan hitam? Tentara
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Rakai Panamkaran yang seharusnya membela mereka bagaikan lenyap ditelan bumi ketika dibutuhkan. 'Apakah para pendekar akan tetap berdiam terhadap nasib sesama dalam penderitaan?', demikianlah pendekar itu membawa kabar tentang kemalangan dan ketidakadilan yang berlangsung. "'Sepasang Naga dari Celah Kledung telah lama dikenal bersikap tanpa ampun kepada golongan hitam. Mengapakah kini keduanya berdiam diri dan berpangku tangan terhadap
ketidak adilan di sekitarnya?' Begitulah pendekar itu terus menggugah rasa keadilan kami, dan tentu saja kami menjadi geram, terutama setelah pendekar itu menceritakan, bahwa dalam suatu bentrokan, apa yang semula dikiranya sebagai golongan hitam ternyata adalah tentara Rakai Panamkaran itu sendiri! Begitulah ia menyampaikan persoalan ini kepada kami, karena jumlah tentara itu terlalu banyak untuk dihadapinya sendirian; pun ia mempunyai gagasan bahwa ibarat ular mengapa bukan kepalanya saja yang dipukul untuk menyelesaikan persoalan. "MASALAHNYA ini bukanlah sekadar perkara terdapatnya seekor ular, tetapi ular dengan banyak kepala yang tidak kita ketahui keberadaannya, karena berada di balik topeng kehidupan sehari-hari. Jadi, hanya para perusuh yang mengusir penduduk itu sajalah, yang mengaku sebagai golongan hitam padahal tentara, yang untuk sementara jelas keberadaannya." Sambil berjalan aku teringat lanjutan kisah itu. Bahwa pasangan pendekar itu berangkat menuju tempat yang kemudian disebut Kamulan Bhumisambhara, dan membantai para golongan hitam gadungan yang bercokol di sana. Tidak usah diceritakan lagi betapa ganasnya Sepasang Naga dari Celah Kledung itu menghapus segenap pasukan yang menyaru tersebut dari muka bumi, menyisakan genangan darah yang bau amisnya belum akan hilang setelah berhari-hari. Cerita yang lebih seru adalah betapa ketika pasangan pendekar itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kembali ke Celah Kledung, pendekar yang telah mereka minta menjagaku selama mereka pergi, ternyata telah raib bersama diriku! "Sulit kami ceritakan kembali perasaan yang kami alam i
anakku, kami telah empat tahun merawatmu dan kini lenyap bersama pendekar yang kami kenal sebagai Pendekar Serigala Putih itu. Dalam empat tahun itu, tidak pernah secara bersama-sama kami meninggalkanmu. Kini sekali dititipkan, terjadi peristiwa seperti ini. Namun kami tidak saling mengeluarkan sesal berkepanjangan. Tak sampai sehari kami pergi dan bertarung, karena mengerahkan kecepatan Jurus Naga Berlari di Atas Langit, tetapi tentu lebih dari cukup baginya untuk segera melarikan kamu! Masih ingatkah dikau akan peristiwa itu anakku?" Dalam kacamata seorang anak berusia empat tahun yang periang, aku hanya teringat betapa senangnya berada di atas bahunya, sementara Serigala Putih itu berkelebat dari pohon ke pohon. Aku merasa bagaikan terbang, seperti jika aku berada di bahu ayah atau ibuku. Aku tertawa-tawa riang gembira, tiada sadar sedang berada dalam penculikan. Aku hanya teringat bahwa di sebuah kedai, aku boleh memilih makanan apa saja yang tersedia di meja. Lantas setelah itu pada sebuah kota kami terbang dari atap ke atap, sebelum akhirnya melesat masuk ke sebuah tandu yang berada di atas seekor gajah. Kalau tidak salah Serigala Putih membunuh seseorang yang berada di dalam tandu itu, meski aku tidak menyadarinya, sehingga ketika aku tertidur karena punggung gajah yang berayun-ayun itu, sebetulnya di sebelahku tergolek manusia dengan leher yang patah. Ketika aku terbangun, aku hanya tahu sudah berada dalam gendongan ibuku dan tandu itu sudah hancur. Kami berada di atas punggung gajah dan di kejauhan kulihat ayahku sedang mendesak Serigala Putih ke tepi sebuah jurang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Serigala busuk! Alangkah beraninya dikau menipu dan
menculik anak Sepasang Naga. Dikau tentu mengerti apa yang selayaknya dikau lakukan sekarang, mati karena pedangku atau kau bunuh dirimu dengan senjatamu sendiri!" "Salah alamat membunuhku, wahai Naga, lagipula anak ini bukan di sana tempatnya!" Saat itu toya Serigala Putih sudah terpental, dan aku hanya teringat pedang ayahku meluncur ke lehernya. Ibuku membalikkan tubuh supaya aku tidak me lihatnya. Tak ada yang kuingat lagi sebagai anak berumur empat tahun setelah itu. Hanya ibuku yang mempersoalkannya kemudian setelah aku lebih dewasa. "Kami tidak pernah tahu apa hubungan antara pembebasan tanah yang tiada semena-mena itu dengan penculikanmu oleh Serigala Putih. Apakah itu sekadar cara mengalihkan karena berencana menculikmu, ataukah memang berkepentingan dengan kedua-duanya. Kami hanya tahu bahwa suatu garis lurus memanjang yang menyeberangi dua sungai dan satu bukit sedang dibebaskan tanahnya, demi pembangunan tiga kuil Mahayana dalam satu garis lurus agar memungkinkan perziarahan dalam upacara Waisak. Memang banyak tanah kosong, tetapi tanah yang memenuhi syarat ManasaraSilpasastra dan Silpaprakasa kebetulan selalu menjadi tempat pemukiman. Tidak semua desa yang dilewati garis ini penduduknya memeluk Siwa atau Mahayana, sehingga kepentingan agama negara itu tidak selalu mereka rasakan wajib untuk dimaklumi. Tidak kusangka Serigala Putih itu, yang sebetulnya sudah kita kenal lama sekali. Aku berprasangka baik bahwa ada suatu kekuasaan yang menekannya, tetapi tentu ia sudah tahu kemungkinannya. Menculik anak Sepasang Naga dari Celah Kledung sama dengan mencari kematian." Waktu itu ibuku belum mengungkap riwayatku yang
sebenarnya, sehingga sampai sekarang aku tidak mempunyai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ nama. Namun kalimat Serigala Putih, "Anak ini bukan di sana tempatnya," sempat kudengar meski tiada pernah kutanyakan pula. KINI ketika, aku menulis catatan ini dalam umur 100 tahun, aku tahu betapa tidak semua pertanyaan akan mendapatkan jawab. Kita hanya bisa menjalani kehidupan kita, suka maupun tidak suka, tanpa kepastian mendapat jawaban paling benar atas pertanyaan-pertanyaan kecil maupun besar. Pertanyaan kecil, misalnya anak siapakah aku sebenarnya; pertanyaan besar, misalnya kenapa pula dunia dan kita semua harus ada. Kita memang dapat menggali dan memperbincangkan jawaban-jawaban mana yang paling dapat diterima dan siapa tahu benar. Namun agaknya kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa dipertanyakan, dengan jawaban yang menjamin kepastian. Kudorong terus pedatiku dalam gelombang jalanan melewati malam. Kuseret hatiku yang letih dengan begitu banyak pertanyaan. (Oo-dwkz-oO) PARA pendekar seperti Serigala Putih itu bisa bertukar peran menjadi seorang petualang. Mereka menjual gagasan kepada penguasa dan melaksanakannya. Atau mereka bergabung dengan pasukan kerajaan, atau menjadi pengawal
istana, yang rahasia maupun terbuka, sehingga dengan ilmu silat di atas rata-rata mereka mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Mereka yang tidak memiliki jaringan di sekitar istana kemungkinan besar bergabung dengan kelompok perlawanan, dan juga mereguk keuntungan. Kedudukan tinggi, gemerincing inmas, dan daya pikat asmara mewarnai permainan kekuasaan, tempat siapa pun, termasuk para pendekar, berminat memainkan peran di dalamnya. Namun para pendekar yang tergiur kemapanan duniawi seperti ini, lebih banyak perannya dipermainkan daripada memainkan peran. Ilmu silat mereka yang tinggi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kurang berguna dalam permainan licin di sekitar kekuasaan, bahkan ilmu silat itu kemudian hanya menjadi semacam alat bagi tukang pukul dan tidak lagi memberi sumbangan dalam perburuan kesempurnaan. Pendekar Serigala Putih tidak berasal dari Yawabumi, ia datang dari negeri tempat banyak serigala menguasai hutan, gunung, dan padang rumputnya. Ia disebut Serigala Putih karena selalu mengenakan rompi kulit serigala berwarna putih yang kebal senjata tajam. Ia datang bersama rombongan kapal dagang yang berlabuh di pantai utara. Mula-mula sebagai pengawal, tetapi kemudian memisahkan diri. Wajahnya tampan, selalu tersenyum, dan penguasaan bahasanya pun cepat sekali. Rambutnya yang hitam berkilat dan panjang sampai menutupi punggung sering mengundang kekaguman perempuan. Setidaknya itulah cerita ibuku. "Siapa yang tidak akan percaya kepada Serigala Putih itu," katanya, "perbincangannya selalu menarik dan kepribadiannya sangat mandiri. Pasti terdapat pengaruh yang luar biasa kepadanya, sampai tega menjadi seorang penculik anak."
Seorang pendekar yang memisahkan diri biasanya mempunyai tujuan untuk belajar ilmu s ilat dari para mahaguru terkemuka. Seperti Naga Emas yang datang bersama I-t'sing, tingkat ilmu silat Serigala Putih tentu juga sudah tinggi sekali. Namun bagi seorang pendekar yang melalui ilmu silat berusaha menggapai kesempurnaan hidup, tiada ilmu silat yang terlalu rendah untuk dipelajari. Apalagi ilmu silat dari Yawabumi. Adapun para pendeta dari negerinya yang besar, yang dikenal sebagai Negeri Atap Langit saja datang belajar ilmu-ilmu persiapan ke Sriwijaya sebelum berangkat ke Nalanda; mengapa pula para pendekarnya tidak harus belajar ilmu-ilmu silat dari para mahaguru silat ternama di Y awabumi? DALAM perbincangan di sebuah kedai jauh di kemudian, cerita tentang Serigala Putih mencuri anak kecil dan mati terbunuh oleh ayah dari anak kecil itu, salah seorang dari
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sepasang Naga dari Celah Kledung, rupanya telah menjadi dongeng. Alkisah, dalam perburuannya mencari ilmu dari guru ke guru, sampailah Serigala Putih ke hadapan Naga Dadu, penguasa dunia persilatan Kubu Tenggara, seorang lelaki pendekar yang sangat termasyhur kecantikannya dan seolaholah tidak pernah bertambah tua. Apakah kecantikan Naga Dadu adalah kecantikan seorang perempuan? Sama sekali tidak. Kecantikannya adalah kecantikan seorang lelaki, tetapi yang sungguh-sungguh cantik jelita tiada tara. Sebaliknya, memang naga yang hebat ini seorang pendekar silat sakti mandraguna, tetapi segala jurus silat untuk senjata Kipas Kencana yang dimilikinya ternyata lemah gemulai seperti tarian halus wanita. Serigala Putih segera menempur Naga Dadu, karena untuk
menyerahkan diri sebagai murid, biasanya ia menempur pendekar terkenal yang telah ia dengar kedahsyatannya. Dari pertarungan itulah akan dinilainya apakah ia perlu belajar ilmu silat atau tidak kepada lawannya tersebut. Jika keputusannya tidak, tentu karena ia sudah mampu membunuhnya. Jika ia merasa perlu belajar karena lawan tak bisa dikalahkannya, maka ia akan membungkuk dalam-dalam, kalau perlu bersujud dengan dahi menyentuh tanah, untuk segera menjura dan memohon kepada lawannya agar sudi menerima dirinya sebagai murid. Biasanya pula lawannya tersebut akan sangat tersanjung dan tidak ragu-ragu menurunkan rahasia ilmunya kepada murid baru yang tangguh tersebut. Namun desasdesus mengatakan bahwa kemudian Serigala Putih akan membunuh gurunya tersebut jika rahasia ilmu silatnya sudah dia kuasa i. Maka, nama Serigala Putih memang berembus di sungai telaga dunia persilatan Yawabumi, tetapi dengan tidak terlalu harum. Senjata toya putih milik Serigala Putih terbuat dari campuran logam yang dilebur jadi satu dan tidak terpatahkan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Kerasnya luar biasa, batu pun remuk meski hanya terserempet, di samping tenaga dalamnya yang memang sangat tinggi. Barangsiapa lengah dan tergebuk oleh toya itu niscaya remuk redam tulang-tulangnya dan tewas dengan kesakitan luar biasa. Gaya bertempur Serigala Putih pun mencengangkan. Toya putihnya bagaikan baling-baling tempat ia beterbangan kian kemari. Maka apabila toyanya itu sudah berputar, tiada seorang lawan pun dengan senjata apa pun dapat menembus dan menyentuhnya. Namun jika ia pun ta kmampu menyentuh apalagi me lumpuhkan lawan, saat itulah ia akan merendahkan diri begitu rupa agar diterima menjadi
muridnya. Naga Dadu, naga dunia persilatan Kubu Tenggara yang ditantang bertarung di hadapan murid-muridnya ketika sedang bercengkerama sembari menikmati petikan kecapi tampak sangat terganggu, meski keanggunannya membuat ia berusaha keras tidak memperlihatkan itu. Naga Dadu terkenal karena dandanan busananya yang luar biasa. Meski ia seorang lelaki, ia mengenakan ken berbunga-bunga untuk perempuan yang menutupi seluruh tubuhnya. Lengan baju sutranya sangatlah lebar, bersambung tanpa potongan yang jatuhnya terhampar lebar dan longgar sampai mata kaki. Kakinya beralas sandal yang menutupi seluruh jari kakinya, sedikit kulitnya yang terlihat tampak putih dan halus seperti kaki perempuan. Wajah cantik jelitanya yang terkenal, bahkan melebihi kecantikan seorang perempuan, nyaris seperti bidadari meski jelas seorang lelaki. Rias wajahnya begitu halus, tetapi tegas dan meyakinkan dengan lengkungan alis, celak mata, dan pemerah pipi yang membuatnya bagaikan sebuah topeng, tetapi topeng yang jelita dan penuh pesona. Seperti juga Serigala Putih, rambut Naga Dadu sangat hitam dan panjang, tetapi jauh lebih terawat dan berkilat. Terpotong rapi ujungujungnya, melingkar rata di sekitar bahunya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dengan senjata Kipas Kencana berwarna emas, Naga Dadu bertarung seperti penari yang gerakannya pelan sekali. Tentu saja itulah Jurus Kipas Maut yang tak terkalahkan itu, bahwa kelambanannya lebih cepat dari yang tercepat. Maka mesti gerakannya seperti terlalu
lamban, sangatlah bisa mengimbangi, bahkan kemudian mendesak toya Serigala Putih. Sangatlah aneh pemandangan itu, bahwa meski Naga Dadu menari dengan sangat lamban, toya putih yang berputar seperti baling-baling itu tidak pernah mengenainya. Kemudian terdengar tampelan mendadak kipas itu pada toya putih yang mengepung seperti baling-baling dan mendadak saja Serigala Putih sudah jatuh terkapar dengan kaki bersendal Naga Dadu yang telah menginjak dada. Toya putihnya yang terpental menancap pada sebuah pohon besar. NAGA Dadu menggunakan Kipas Kencana berwarna emas itu untuk mengipasi dirinya. "Serigala Putih namamu, dan tantanganmu sangat mengganggu. Sudah selayaknyalah membunuhmu." "Aku menantangmu untuk jadi muridmu. Terimalah aku." "Serigala Putih, jangan kau sangka aku tidak pernah mendengar kabar tentang seorang pendekar bangsa Tartar yang selalu membunuh gurunya setelah mewarisi rahasia ilmunya." Serigala Putih mencoba bangun, tetapi kaki Naga Dadu terus menekannya. "Guru! Itu hanyalah bualan kosong para pemimpi! Percayalah kata-kataku!" Naga Dadu membentak, tetapi dengan nada yang sangat tertata, sesuai dengan rias wajahnya sebagai topeng yang sempurna. "Guru! Guru! Jangan panggil aku guru sebelum dikau penuhi syaratku!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Naga Dadu mengangkat kakinya dari dada Serigala Putih, lantas berbalik memunggungi Serigala Putih yang segera bangkit. "Apakah syarat itu Guru!" Naga Dadu mengerutkan dahi. "Dikau masih memanggilku Guru?" "Maafkan diriku Yang Mulia Naga Dadu, mohon katakanlah persyaratanmu, aku pasti akan memenuhinya!" Naga Dadu tersenyum tanpa diketahui Serigala Putih. "Menculik anak Sepasang Naga dari Celah Kledung." Serigala Putih tersentak. "Ah! Mereka adalah sahabatku!" Naga Dadu melenggang pergi sembari mengipas-ipas. "Itu bukan urusanku. Tapi itulah persyaratanku." (Oo-dwkz-oO)
Episode 38: [Benarkah Serigala Putih Mengalah Kepada Naga Dadu?]
Menjadi pertanyaan besar bagi dunia persilatan, mengapa Serigala Putih bersedia menuruti kehendak Naga Dadu untuk menculikku, anak Sepasang Naga dari Celah Kledung. Memang benar seorang pendekar akan mengorbankan segalanya untuk mendapatkan ilmu, tetapi seorang pendekar juga tidak akan melanggar keutamaan apapun yang menjadi kehormatan seorang pendekar. Sejauh dikenal dunia persilatan Serigala Putih bukanlah jenis pendekar yang akan menjual jiwanya kepada iblis meski ilmu silatnya akan bertambah ratusan tingkat. Maka, meskipun Jurus Kipas Maut yang dikuasai Naga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dadu memang akan sangat memikat bagi pendekar manapun
untuk mempelajarinya, mereka tidak percaya Serigala Putih memenuhi persyaratan Naga Dadu, hanya untuk kehilangan nyawa, benar-benar karena ingin menguasai Jurus Kipas Maut. Aku mendengar semua ini dalam suatu perbincangan di kedai. Bukan hanya satu kedai, melainkan dari kedai ke kedai dengan pembicara yang tidak pernah sama. Dunia persilatan memang dipenuhi banyak pendekar yang terkenal sebagai pendiam. Di antara para pendekar yang pendiam itu bahkan beberapa di antaranya bagaikan tidak pernah berbicara sama sekali. Namun kepandaian berbicara dan bercerita pada dasarnya bukanlah tabu di dunia persilatan. Mereka yang suka bercerita akan memesan arak dan dikerumuni para pendengarnya. Para pendengar itu bisa dari kalangan sungai telaga dunia persilatan, tetapi bisa juga orang-orang awam yang sangat menikmati cerita dan di antara cara memaknai kenikmatan itu adalah menceritakannya kembali, juga dari kedai ke kedai, dengan segenap penafsiran mereka tentunya, sehingga tentulah sudah tidak terlacak lagi bagaimanakah peristiwa yang sebenarnya sungguh-sungguh telah terjadi. NAMUN tentu saja aku merasa berkepentingan mendengarnya, ketika suatu saat mendengarnya, kelak setelah aku benar-benar menjadi seorang pengembara, karena bukankah secara tidak langsung itu juga menyangkut diriku? Demikianlah disebutkan betapa Serigala Putih itu sebenarnya telah jatuh cinta kepada Naga Dadu, berkat pesona kecantikan wajah dengan segala riasannya yang bagaikan mengungguli kecantikan seorang wanita. Memang
kecantikan Naga Dadu adalah kecantikan riasan, karena meskipun tanpa riasan wajahnya tetap halus dan tampan, bukankah betapapun ia berkelam in pria? Dengan gerak ilmu silatnya yang lemah gemulai, kecantikan Naga Dadu makin nyata dan memesona, seolah-olah ilmu silatnya adalah suatu gerak tari yang ditujukan untuk memperlihatkan pesona
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ keindahannya. Karena memang bukan hanya wajah, melainkan segenap kediriannya adalah pesona belaka. Pernah kudengar kata pepatah, kecantikan seorang perempuan adalah sumber kemalangannya. Meski aku tidak percaya dengan kepastian kalimat itu, aku mendengar bahwa memang kecantikan Naga Dadu, meski ia bukan seorang perempuan, juga menjadi sumber perkara, terutama bagi lawan-lawannya. Dalam hal Serigala Putih misalnya, berkembang cerita bahwa ia sengaja mengalah bukan sekadar untuk mempelajari Jurus Kipas Maut, tetapi juga agar dapat selalu berada di dekat Sang Naga Dadu, penguasa dunia persilatan Kubu Tenggara yang untuk mencapai kedudukannya telah menumpahkan darah yang tak terhitung jumlahnya. Seorang pendekar yang datang dari seberang lautan seperti Serigala Putih, niscaya tidak akan terlalu dangkal ilmunya. Berangkat sebagai seorang pendekar, tentu saja Serigala Putih akan mempersiapkan segalanya untuk menghadapi para pendekar di setiap tempat yang disinggahinya. Bahkan mereka yang pernah menyaksikan
pertarungan Serigala Putih sebelum berhadapan dengan Naga Dadu pernah bercerita seperti berikut. Seorang pendekar yang hanya bisa bersilat dalam keadaan mabuk, sehingga kalau bersilat harus sambil meminum arak dari dalam kendi, dan karena itu digelari Sang Peminum, pernah mati kutu berhadapan dengan Serigala Putih. "Bagaimana dia tak akan mati kutu," ujar sang pencerita, juga sambil menenggak arak, "jika ketika mulutnya sudah terbuka dan arak dari dalam kendi mengucur keluar, maka Serigala Putih menggerakkan tangannya ke depan, dan mendadak cairan arak itu menjadi beku dan dingin sekali. Baik yang sudah keluar kendi maupun yang masih berada di dalam kendi." Mengubah udara menjadi sangat dingin sehingga membuat arak membeku tentu membutuhkan tenaga dalam yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sangat tinggi. Tidak ada alasan kenapa Serigala Putih tidak dapat membekukan aliran darah dengan kemampuan seperti itu. Namun dalam kenyataannya ia terkalahkan oleh gerak lamban Naga Dadu dan akhirnya bahkan terbunuh di ujung pedang ayahku. Tak urung cerita itu sampai ke telinga Naga Dadu, dan siapakah yang begitu suka mendengar cerita tentang kemenangan karena lawan yang mengalah seperti itu? "Jadi bagaimana lagi aku harus membuktikan keunggulanku atas Serigala Putih itu? Sayang sekali ia tak kubunuh saja waktu itu. Atau apakah aku harus menantang Sepasang Naga dari Celah Kledung yang telah membunuhnya?" Saat aku mendengar cerita itu, aku teringat bahwa Serigala Putih menyatakan betapa tempatku bukanlah bersama orangtuaku. Apakah ia mendengarnya dari Naga Dadu?
Kemudian, apakah kiranya yang membuat persyaratan Naga Dadu agar Serigala Putih dapat diterima sebagai murid adalah menculik anak Sepasang Naga dari Celah Kledung, yang adalah diriku? KAMI semua masih mendorong pedati berisi peralatan upacara sima itu. Berbagai peristiwa yang dialam i rombongan ini, telah membuat perjalanan terhambat, dan karena itu harus ditukar dengan meneruskan perjalanan tanpa istirahat. Sebuah upacara yang dianggap suci memperhitungkan waktu dan tidak ingin menjadi bagian yang mengacaukannya. Pada malam hari kami tetap melangkah di bawah cahaya rembulan, kusaksikan tanduk kerbau penghela pedati-pedati ini bercahaya keperak-perakan bagaikan suatu hiasan. Kulihat jalan lurus ke depan yang tampak terang meskipun malam dengan sawah di kiri-kanan yang juga keperak-perakan. Sunyi sekali rasanya malam. Dalam keheningan ditingkah derakderik roda pedati di jalan tanah, aku teringat segala ajaran dari kitab Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya:
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Bhatara Hyang Buddha dari masa lalu, yang telah mencapai Kebuddhaan dengan sempurna pada masa dahulu seperti Bhatara Vipasyi, Visvabhu, Krakucchanda, Kanakamuni, Kasyapa, mereka itu adalah para Buddha dari masa lalu. Bhatara Buddha yang akan datang, akan dimulai dengan Buddha Maitreya, diakhiri dengan Bhatara Samantabhadra. Mereka para Buddha dari masa yang akan datang Akan mencapai tingkat Kebuddhaan di masa mendatang.
Buddha masa sekarang adalah Sri Bhatara Sakyamuni, Buddha yang harus kamu anggap Sebagai yang Tertinggi (Hyang), yang ajarannya harus kamu ikuti dengan sepenuh hati Mereka adalah Tiga Hyang Buddha dari masa lalu, sekarang, dan mendatang.
Dalam usia 15 tahun, aku bukan orang yang boleh dianggap paham ilmu-ilmu agama, tetapi sejak kecil aku sering mendengar perbincangan ayah dan ibuku, yang meski bagiku tidak pernah jelas memeluk Mahayana atau Siwa, atau aliran kepercayaan apapun yang telah menjadi tertekan,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sering mengundang pendeta maupun pedanda ke pondok kami. Mereka diundang tidak untuk mengajari, melainkan untuk berbincang kian kemari, sementara aku terkantukkantuk di pangkuan mereka, tetapi yang dalam kenyataannya sering teringat kembali kalimat-kalimat mereka.
Tidak ada jalan (marga) lain yang dapat menuntun ke arah pencapaian Kebuddhaan. Jalan yang paling baik yaitu Mahayana jika di kuti dapat menjadi jalan untuk dapat tiba di Nirvana. ang Hyang Mahayana ini, sebagai jalan yang paling baik, akan saya ajarkan kepada Anda.
Sebaiknya dengarkanlah baik-baik, karena inilah cara yang benar untuk mencapai sorga, juga yang dapat memberikan kebahagiaan yang agung (kamahodayan). Mahodaya berarti kebahagiaan lahir dan batin (wahyadhyatmikasuka). Kebahagiaan lahir ialah kesucian, kekayaan, keperwiraan,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kehormatan, keningratan. Kebahagiaan batin ialah Kebahagiaan di dunia tanpa penderitaan, terbebas dari kesakitan, ketuaan, kematian, kebahagiaan atas kesempurnaan pengetahuan yang tertinggi (anuttara wara samyaksambo-dhisuka), dan atas tercapainya kelepasan (moksa).
Demikianlah inti kebahagiaan lahir dan batin jika mengikuti dan melaksanakan
ajaran yang agung Mahayana. Karena Ananda sedang berusaha untuk memantapkan pengertian terhadap Kamahayanan, bulatkanlah tekad Ananda dalam mencapai Kebuddhaan.
Para rohaniwan yang diundang datang ke pondok kami di Celah Kledung itu barangkali mengira betapa orangtuaku itu ingin belajar agama dan barangkali memang itu ada benarnya; yang tidak akan pernah mereka duga adalah betapa kedua
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ orangtuaku itu berusaha menggali sesuatu dari ilmu-ilmu agama demi kesempurnaan ilmu silat. Dalam usia 15 tahun, aku belum terlalu menyadarinya. Namun dalam usia 100 tahun, merenungkan kembali semua itu, ternyata kecenderunganku untuk memanfaatkan ilmu-ilmu agama demi ilmu s ilat telah kukenal dari orangtuaku. Pengertian seperti lahir dan batin, yang dalam kenyataannya tidak terpisahkan sebagai Mahodaya, telah
dimanfaatkan pasangan pendekar itu untuk mengembangkan Ilmu Pedang Naga Kembar yang tiada duanya. Apa yang lahir menyembunyikan yang batin, tetapi menebak suatu kepastian batin dari yang tampak adalah kesia-siaan. Dengan caranya sendiri pasangan pendekar itu telah menafsirkan kerangka berpikir keagamaan ke dalam pencapaian ilmu persilatan. Jurus-jurus Ilmu Pedang Naga Kembar yang penuh dengan jebakan dikembangkan berdasarkan kerangka gagasan lahirbatin golongan Mahayana; ibarat berhadapan dengan Naga Kembar, lawan tak akan pernah mampu memastikan, manakah naga yang sedang mengancam dan manakah naga yang hanya bayangan. Namun kedua orangtuaku mampu menjadikan pula naga kembar itu kedua-duanya sebagai bayangan maupun kenyataan yang mengancam. Dengan demikian gerakan mereka selalu luput dari penafsiran, sehingga sebagai pasangan pendekar mereka tak terkalahkan. MENJELANG fajar merekah, kami berhenti di tepi sebuah sungai untuk beristirahat sebentar. Di samping kami memang harus menunggu tukang perahu yang akan menyeberangkan pedati-pedati ini ke seberang. Pagi masih dingin. Para mabhasana melepaskan kerbaukerbau agar mereka dapat berkubang dan mandi di tepi sungai yang besar itu. Ke tepi sungai itu banyak orang menantikan tukang perahu untuk membawa barang-barang maupun diri mereka sendiri untuk menyeberang, sehingga tempat penyeberangan itu menjadi tempat yang ramai.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Dengan kata ramai, artinya terdapat sebuah kedai, penginapan, dan sebuah pasar kecil. Terdapat juga gardu tempat perahu yang lalu lalang ataupun bersandar harus membayar pajak kepada hulu wuattan atau pengawas
jembatan dan jalan. Meski sungai ini karena luasnya tak berjembatan, peranan tukang perahu sebagai pengganti jembatan dan penghubung jalan yang mendapat upah tak luput dari sasaran petugas pajak kerajaan. Berikut ini adalah sebagian peraturan menyangkut tugas Pengawas Perkapalan seperti tertulis dalam Arthasastra sejauh yang bisa kuingat: Pengawas Perkapalan harus memperhatikan kegiatan mengenai perjalanan laut dan penyeberangan pada mulut sungai, maupun penyeberangan pada danau alam, danau buatan dan sungai, dalam sthaniya dan kota-kota lain Desa di tepi dan sisi harus membayar pajak yang ditentukan Nelayan harus membayar seperenam tangkapan mereka sebagai sewa kapal Pedagang harus membayar sebagian barang sebagai pajak menurut apa yang berlaku di pelabuhan, mereka yang naik kapal raja harus membayar sewa untuk perjalanan itu Mereka yang memancing kulit keong besar dan mutiara harus membayar sewa untuk kapal,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ atau berlayar dengan kapalnya sendiri dan tugas pengawas ini sudah dijelaskan pada tugas Pengatur Tambang
Seperti telah kuceritakan, aku pernah mempelajari Arthasastra dari seorang guru, sebagai salah satu pelajaran
yang kudapatkan dalam pengembaraanku mempelajari segala macam ilmu dari guru ke guru. Namun sebenarnya orangtuaku memiliki juga Arthasastra, bertumpuk dengan kitab-kitab lain dalam peti kayu. Semenjak belajar membaca aku sering diamdiam mengejanya, karena gambaran dunia yang diberikan Arthasastra itu bagiku yang masih kecil menarik sekali. Meskipun isinya peraturan-peraturan wajib dalam tata negara, tetapi setiap kata yang tertulis bagiku menjadi sumber pengetahuan tentang dunia. Peraturan tentang Pengawas Perkapalan itu misalnya, menuntut aku untuk mengenal segala kata di sana dengan cara mengetahui maksudnya. Maka, meskipun belum pernah menyaksikannya sendiri, sete lah bertanya dan mendapat jawaban atas arti setiap kata, terbayangkanlah sebuah dunia tempat kapal berlalu lalang, tempat jual beli berlangsung, dan kehidupan menjelma. Sebuah kitab tentang peraturan sama menariknya bagiku dengan berbagai kitab lain yang bercerita tentang kepahlawanan dan cinta seperti yang dibacakan ibuku. Hari masih pagi, suasana masih sepi, tetapi kedai di tepi sungai ini tidak pernah tutup, karena tempat penyeberangan ini agaknya merupakan jalur lalu lintas yang ramai. Aku yang selama ini hanya hidup di sekitar Celah Kledung, dan jika diajak dalam perjalanan hampir selalu menghindari kota, untuk kali pertama melihat sebuah tempat seperti ini. DARI dalam kedai terdengar suara riuh