-1-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Propinsi Maluku terkenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia. Berbagai wilayah di daerah tersebut merupakan wilayah yang potensial untuk berbagai usaha perikanan, salah satunya adalah Teluk Ambon. Teluk Ambon terletak pada busur Banda dengan koordinat geografis 128o4’15’’ BT – 128o14’25’’ BT dan 3o37’5’’ LS – 3o47’35’’ LS, terkenal sebagai area penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tuna (Thunus sp.) sebagai komoditas ekspor, serta merupakan lokasi budidaya Ikan Kerapu (Cromileptus, sp.) dan Ikan Baronang (Siganus limeatus) yang dibudidayakan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) (Miller, 1999; Natan, 2008; Nirahua, 2009; dan Natsir, 2010). Selain itu, Teluk Ambon juga merupakan tempat penangkapan ikan umpan seperti: ikan Teri (Stolephorus spp.), ikan Lemuru (Sardinella, spp.), ikan Ekor Kuning (Caesio spp.), ikan Lompa (Thrissina spp.), ikan Layang (Decopterus spp.) dan ikan Kembung atau Rastrelliger spp. (Sumadhiharga dan Yulianto, 1987; Wouthuyzen, 1984 dalam Mulyadi, 2011). Ikan-ikan umpan tersebut digunakan untuk keperluan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di laut Banda (Wouthuyzen dkk., 1996 dan Natan, 2008). Ditinjau dari morfologinya, Teluk Ambon terbagi menjadi dua wilayah teluk yang berbeda karakteristiknya, yakni: Teluk Ambon bagian luar (outer Ambon bay) dan Teluk Ambon bagian dalam (inner Ambon bay). Dua wilayah ini dipisahkan oleh
1
suatu ambang (sill) yang berbentuk leher botol/bottle neck dengan kedalaman 12,8 meter dan lebar 7,8 meter, sehingga membentuk karakteristik yang berbeda antara Teluk Ambon bagian luar dan dalam. Teluk Ambon bagian luar memiliki pola arus yang dipengaruhi oleh laut Banda sehingga arusnya lebih deras, sedangkan di teluk bagian dalam arusnya lebih tenang (Selanno dkk., 2009; Cappenberg, 2011; dan Mulyadi, 2011). Kondisi yang demikian menyebabkan wilayah Teluk Ambon bagian luar dikhususkan untuk perikanan ikan tangkap dan umpan, sedangkan teluk Ambon bagian dalam dikhususkan untuk perikanan ikan tangkap, ikan umpan serta ditambah dengan Keramba Jaring Apung (KJA). Berdasarkan fakta tersebut, maka masyarakat pesisir pulau Ambon banyak menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang ada di Teluk Ambon maupun pesisirnya. Teluk Ambon bagian dalam memiliki berbagai fungsi, selain sebagai daerah perikanan ikan tangkap, ikan umpan dan KJA, daerah ini juga berfungsi sebagai pelabuhan pangkalan TNI angkatan Laut dan POLAIRUD, pelabuhan kapal PT Pelni, kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, dermaga tempat perbaikan kapal, daerah konservasi hutan mangrove, tempat rekreasi dan olahraga, serta tempat pendidikan dan penelitian (Miller, 1999 dan Selanno dkk., 2009). Pada saat ini fungsi Teluk Ambon bagian dalam yang begitu kompleks, mengalami ancaman seiring dengan bertambahnya penduduk. Semakin banyaknya penduduk maka kebutuhan akan lokasi pemukiman pun meningkat. Kebutuhan lokasi pemukiman yang meningkat mendorong dilakukannya kegiatan pembukaan lahan atas (upland) (Gambar 1.1). Seiring berjalannya waktu, kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan menjadi tidak terkontrol bahkan berlebihan, yang menyebabkan
2
hilangnya sebagian besar vegetasi penyangga dalam daerah tangkapan hujan (catchment area). Akibatnya ketika terjadi hujan, banyak sedimen terbawa ke teluk dan menimbulkan kekeruhan di sepanjang perairan Teluk Ambon dalam (Miller, 1999; Salili, 2007 dalam Nirahua, 2009; dan Cappenberg, 2011).
Teluk Ambon bagian dalam
Lokasi Pembukaan lahan atas
Gambar 1.1.
Kenampakan kondisi pembukaan lahan atas pada citra dari satelit (Sumber: google earth, tanggal download: 23 Mei 2012)
Proses deposisional berjalan dengan cepat. Hal ini dikarenakan pulau Ambon memiliki bentang lahan yang berbukit-bukit dan bergunung disertai lereng terjal (≥450) dan hanya sekitar 20% yang berupa dataran rendah (Wouthuyzen dkk., 1996; Miller, 1999). Deposisional yang terjadi menyebabkan pendangkalan dasar laut yang dekat dengan pantai dan banyak hutan bakau di pesisir menjadi rusak, bahkan dampak lain yang lebih kompleks adalah berkurangnya hasil produksi budidaya ikan di KJA. Kondisi ini berdampak langsung pada perekonomian masyarakat, khususnya kelompok masyarakat nelayan (Salili, 2007 dalam Nirahua, 2009; Mulyadi, 2011).
3
Penurunan hasil produksi ikan di KJA menunjukkan adanya penurunan daya dukung lingkungan (carrying capacity) (Rositasari dkk., 2010). Berdasarkan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009, daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Defenisi lain yang dikemukakan oleh Muta’ali (2012) adalah kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan makhluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang atau kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Jauh sebelumnya, Malthus (1798) mengemukakan gagasannya bahwa populasi manusia bertambah menurut deret ukur, sedangkan persediaan bahan makanan bertambah menurut deret hitung. Pada dasarnya terdapat tiga hal penting dalam gagasan yang dikemukakan Malthus (1798), yaitu: (1) makanan adalah hal terpenting yang sangat dibutuhkan manusia dan karena itulah, maka makanan dapat menjadi faktor pembatas bagi perkembangan populasi manusia; (2) pertambahan populasi manusia dapat digambarkan dalam kurva sebagai fungsi eksponensial, yaitu: 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, dst.; dan (3) pertambahan jumlah makanan dapat digambarkan dalam kurva sebagai fungsi linier, yaitu: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dst. Inti dari gagasan yang dikemukakannya adalah laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari persediaan bahan makanan, sehingga apabila pertumbuhan penduduk tidak dapat dikendalikan serta laju pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipacu, maka akan terjadi kekurangan persediaan pangan (Seidl et al., 1999; Mustopa, 2011; dan Muta’ali,
4
2012). Hal ini berarti manusia (populasi) tidak dapat berkembang tanpa adanya bahan makanan (daya dukung lingkungan), sehingga yang menjadi faktor pembatas keberlangsungan hidup manusia di dalam ekosistem adalah daya dukung lingkungannya. Pada ekosistem perairan juga memiliki daya dukung tersendiri, berupa daya dukung lingkungan perairan yang diindikasikan melalui kualitas parameterparameter perairan. Romimohtarto dan Juwana (2007) mengemukakan bahwa daya dukung lingkungan perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau parameter perairan berupa gerakan air, suhu, salinitas, dan cahaya. Keempat faktor ini dapat dijadikan patokan utama, sehingga jika ada polutan yang masuk ke badan air, maka yang akan terganggu adalah keempat faktor tersebut. Ditinjau dari segi budidaya perairan, daya dukung lingkungan perairan diartikan sebagai tingkat produksi maksimal yang dapat dihasilkan oleh suatu perairan tertentu secara berlanjut (Litbang, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa jika tingkat produksi menurun secara drastis atau berangsur-angsur turun, berarti daya dukung lingkungan perairannya juga menurun. Penurunannya dapat disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya pencemaran yang terjadi ke badan air dan eksploitasi berlebihan. Terkait dengan usaha KJA di Teluk Ambon dalam yang mengalami penurunan hasil produksi, maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan tersebut mengalami penurunan daya dukung lingkungan. Secara umum, usaha KJA memiliki syarat-syarat penting daya dukung lingkungan yang harus dipertahankan, yaitu: (1) lokasinya memiliki kemungkinan kecil untuk terkena pengaruh angin dan gelombang yang kuat; (2) kedalaman air dari dasar perairan pada surut terendah 6 – 9 meter; (3)
5
pergerakan air 20 – 40 cm/detik; (4) salinitas 27 – 33 ppm; (5) pengaruh suhu air berkisar antara 28oC – 30oC; (6) bebas polusi/pencemaran; dan (7) tidak menghambat jalur pelayaran di sekitar perairan (Direktorat Jenderal Perikanan dan Departemen Pertanian, 1994). Berdasarkan daya dukung lingkungan perairan dan syarat-syarat penting daya dukung lingkungan pada KJA, maka kondisi deposisional yang terjadi di Teluk Ambon bagian dalam tidak dapat terus dibiarkan. Deposisional yang berlebihan di badan air akan menyebabkan tingkat kekeruhan meningkat, sehingga penetrasi cahaya ke perairan berkurang. Hal tersebut mengindikasikan kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) pun berkurang (Romimohtarto dan Juwana, 2007; Shuhua et al., 2009). Kondisi demikian merupakan kondisi yang tidak layak bagi usaha KJA, sehingga perlu dilakukan kajian tentang pengaruh deposisional terhadap daya dukung lingkungan perairan Teluk Ambon bagian dalam untuk pengembangan KJA.
1.2. Perumusan Masalah Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerja sama dengan Pemerintah Propinsi Maluku sedang berusaha untuk menjadikan kepulauan Maluku sebagai salah satu lumbung ikan nasional (Berita Daerah.com, 2010). Jika Maluku berada dalam posisi tersebut, maka adalah suatu hal yang tidak wajar, jika membiarkan salah satu daerah tangkapan ikan (Teluk Ambon) mengalami deposisional yang terus menerus terjadi bahkan mengarah ke pendangkalan teluk. Berdasarkan hal tersebut maka sangat penting untuk memperbaiki daya dukung lingkungan perairan Teluk Ambon bagian dalam.
6
Gambar 1.2.
Salah satu lokasi di Teluk Ambon bagian dalam yang mengalami deposisional (sumber: dokumentasi pribadi, tanggal: 9 Agustus 2012)
Perbaikan daya dukung lingkungan perairan Teluk Ambon bagian dalam lebih difokuskan kepada pengurangan deposisional yang masuk ke badan air. Hal ini dikarenakan, deposisional yang masuk ke perairan telah melebihi batas toleransi lingkungan, yang secara eksplisit dapat terlihat melalui rusaknya hutan mangrove di sepanjang pesisir. Sebagai contoh salah satu lokasi di Teluk Ambon bagian dalam yang mengalami deposisional dapat dilihat pada Gambar 1.2. Dampak penting lainnya adalah hasil produksi dari Keramba Jaring Apung (KJA) mengalami penurunan, sehingga dari segi ekonomi sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi ini tidak dapat terus dibiarkan, apalagi Maluku sebagai propinsi Kepulauan yang pengembangan wilayahnya berbasis kelautan. Selain itu, jika kondisi perairan Teluk Ambon dalam telah dipulihkan hingga mencapai daya
7
dukung lingkungan yang optimal, maka dengan sendirinya pun akan berdampak pada peningkatan hasil produksi dari KJA. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian berikut ini. (1)
Berapa besar deposisional yang terjadi di Teluk Ambon bagian dalam?
(2)
Bagaimanakah pengaruh deposisional terhadap daya dukung lingkungan perairan Teluk Ambon yang diindikasikan melalui kualitas perairan Teluk Ambon bagian dalam, dengan kaitannya untuk pengembangan keramba jaring apung?
(3)
Bagaimanakah strategi pengendalian deposisional di Teluk Ambon bagian dalam untuk mendukung pengembangan keramba jaring apung? Untuk mengungkap permasalahan seperti telah dirumuskan di atas, maka peneliti telah melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul: “Pengaruh Deposisional terhadap Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Ambon Bagian Dalam untuk Pengembangan Keramba Jaring Apung”.
1.3. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi sekaligus sebagai perbandingan untuk menunjukkan keaslian penelitian ini adalah sebagai berikut: hasil penelitian yang dilakukan oleh Berhitu (2003) mengemukakan bahwa pemanfaatan daerah pantai di Teluk Ambon mengakibatkan perubahan garis pantai, sedimentasi dan erosi pantai. Kondisi kritis dimana garis pantai mengalami erosi
8
yang terbesar sebesar -0,30 meter/tahun dan sedimentasi sebesar 0,22 meter/tahun. Pada lokasi yang terdapat sungai, garis pantai akan mengalami akresi yang besar secara periodik apabila transport sedimen dari sungai terus bertambah terhadap waktu. Selanjutnya, Imansyah (2004) mengemukakan tentang analisis daya dukung lingkungan perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru di Sulawesi Selatan bagi pengembangan budidaya Bandeng dalam KJA. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: Teluk Awarange memiliki luas perairan yang layak untuk pengembangan kawasan budidaya ikan dalam KJA mencapai 28 ha atau 5% dari total luas teluk 564 ha. Daya dukung Teluk Awarange untuk menopang kehidupan dan pertumbuhan ikan secara layak sebesar 36 ton ikan, dan produksi maksimum tahunan mencapai 89,6 ton. Dispersi limbah organik padat yang berasal dari KJA dapat mencapai jarak 9-66 meter dengan sedimentasi terpusat pada radius 30 meter dari KJA. Luas wilayah dampak bentik antara 493-1097 meter dan intensitas deposisi beban C organik antara 0,01 - 0,20 kg/m2 selama periode pemeliharaan. Kapasitas asimilasi beban limbah budidaya pada ambang batas yang diperkenankan masing-masing mencapai 6,762 ton TN dan 3,077 ton TP per tahun dengan kedalaman kolom air di bawah keramba minimal 8 meter. Masih terkait dengan KJA, di tahun 2006 Krisanti dan Imran mengemukakan hasil penelitian tentang daya dukung lingkungan perairan Teluk Ekas untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan Kerapu dalam KJA. Hasil penelitiaannya mengemukakan bahwa selain terdapat KJA, terdapat juga budidaya rumput laut dan budidaya tiram mutiara di teluk Ekas. Terdapat 52 unit KJA dengan rata-rata kualitas air berupa salinitas sebesar 34-35 ppm, pH 8,0-8,5 dan DO 5,6-8,4 mg/l, sedangkan konsentrasi NH3 (ammonia), NO2 (nitrit) dan NO3 (nitrat) telah
9
melebihi ambang batas. Penelitian ini mengungkapkan bahwa kegiatan KJA menyumbangkan limbah yang cukup besar bagi perairan yang akhirnya membuat kondisi teluk Ekas menjadi tidak layak lagi bagi usaha KJA. Penelitian tentang dampak perubahan lahan atas terhadap ekosistem pesisir Teluk Ambon yang dilakukan oleh Pelasula (2008). Hasil penelitiaannya mengemukakan bahwa tingginya aktifitas pembukaan lahan atas dari tahun ke tahun mengakibatkan rata-rata penumpukan sedimen di Teluk Ambon bagian dalam mengalami kenaikan sebesar 2,4 cm/tahun serta terjadi penambahan luasan sedimentasi yang menyebar mulai dari area pesisir pantai ke arah kedalaman sebesar 65,57 ha atau dengan rata-rata per tahun 5,43 ha. Hal tersebut mengakibatkan degradasi terumbu karang, lamun dan mangrove. Selanjutnya, Nirahua (2009) mengemukakan tentang analisa pencemaran limbah organik terhadap penentuan tata ruang budidaya ikan KJA di perairan Teluk Ambon. Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa: perairan Teluk Ambon berada pada tingkat tercemar ringan, terutama oleh fosfat dimana nilai konsentrasi ini rata-rata 0,144 mg/l, konsentrasi ini melebihi yang dipersyaratkan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, sesuai KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 yaitu 0,015 mg/l. Sedangkan nilai Indeks Pencemaran (IP) perairan Teluk Ambon sebesar 4,07. Sedangkan nilai konstanta kapasitas asimilasi sebesar 3,89–17,39. Hal ini berarti perairan Teluk Ambon masih mempunyai kapasitas asimilasi yang besar untuk menurunkan lingkungannya sendiri dari beban limbah organik. Dari seluruh lokasi penelitian berpotensi dapat dikembangkan untuk budidaya perikanan dengan sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon seluas ± 1.130 ha. Pemetaan tata ruang budidaya dengan
10
sistem keramba jaring apung ditentukan berdasarkan pada kualitas air yang mencirikan daya dukung serta kegiatan pembangunan di daerah Teluk Ambon yang sudah ada sebelumnya. Hasil pemetaan tata ruang memperlihatkan bahwa pada beberapa daerah yang terdapat Depo Pertamina dan daerah yang dikhususkan untuk kawasan wisata tidak dapat digunakan sebagai kawasan budidaya. Dengan demikian daerah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya di perairan Teluk Ambon seluas ± 670 ha. Kemudian, Selanno (2009) mengemukakan tentang analisis hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi limbah sebagai dasar pengelolaan kualitas lingkungan perairan Teluk Ambon bagian dalam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: kontribusi beban pencemaran organik dari sungai terhadap konsentrasi limbah organik yang ada di laut adalah 60-80%. Konsentrasi NO3 dan PO4 lebih besar dari baku mutu, hal itu mengindikasikan bahwa masukan beban limbah organik dari sungai ke laut sudah melebihi kapasitas asimilasi. Selanjutnya dengan pendekatan nilai ekologis yaitu berdasarkan nilai indeks keragaman jenis fauna bentos diperoleh bahwa status kualitas air di perairan Teluk Ambon bagian dalam berkisar dari tercemar sangat ringan sampai tercemar ringan. Sedangkan dengan grafik analisis kapasitas asimilasi dengan pendekatan beban limbah BOD, COD dan TSS menggambarkan bahwa dengan garis prediksi baku mutu menunjukkan ketiga parameter ini kapasitas asimilasinya masih dibawah ambang batas. Hal tersebut menunjukkan proses fisik, kimia dan biologi juga turut mempengaruhi kondisi ini. Hasil analisis metode indeks Storet terhadap parameter air di perairan laut menunjukkan bahwa berdasarkan skor yang didapatkan jumlah skor nilai adalah
11
sebesar -106. Hal ini berarti kualitas air di perairan Teluk Ambon bagian dalam sudah termasuk kelas buruk atau telah tercemar berat, karena skornya telah >-31. Maka berdasarkan evaluasi nilai rata-rata keseluruhan parameter tersebut maka perairan Teluk Ambon bagian dalam dikondisikan telah tercemar sedang. Parameter yang sudah termasuk kategori cemar berat adalah NO3, minyak dan lemak, serta PAH karena nilai PI-nya sudah melampaui 10. Demikian juga dengan analisis hubungan beban pencemaran dengan konsentrasi limbah organik semua indikator menunjukkan hubungan yang signifikan dan status perairan Teluk Ambon bagian dalam yang tercemar. Perbandingan untuk menunjukkan keaslian penelitian ini disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Yang Telah Dilaksanakan No
Peneliti, Tahun, Judul
Tujuan Utama
Pieter TH Berhitu, 2003 Studi Proses Sedimentasi Pantai Teluk Ambon
Mengkaji sebabsebab terjadinya erosi dan sedimentasi pada daerah pesisir pantai dan upaya penanggulangannya
2.
Raci Imansyah, 2004 Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng Dalam Keramba Jaring Apung
Mendapatkan data dan informasi karakteristik biofisik dan daya dukung lingkungan Teluk Awarange, beban limbah budidaya dan dampaknya terhadap lingkungan serta kapasitas asimilasi beban limbah
3.
Majariana Krisanti dan Zulhamsyah Imran, 2006 Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Ekas Untuk Pengembangan Kegiatan Budidaya Ikan Kerapu Dalam Keramba Jaring Apung
4.
Daniel D. Pelasula, 2008 Dampak Perubahan Lahan Atas Terhadap Ekosistem Pesisir Teluk Ambon
1.
Metode
Mendapatkan informasi daya dukung perairan terhadap kegiatan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung Melihat dampak perubahan lahan atas terhadap ekosistem pesisir teluk Ambon dengan penekanan khusus pada ekosistem mangrove, lamun, karang.
12
Hasil
Analisis dan pengukuran sampel
Perubahan garis pantai sebesar 0,30 meter/tahun dan sedimentasi sebesar 0,22 meter/tahun
Deskriptif, survei, eksperimen dan riset lapangan
Teluk Awarange memiliki luas perairan yang layak untuk pengembangan keramba jaring apung, daya dukungnya untuk menopang kehidupan dan pertumbuhan ikan secara layak sebesar 36 ton ikan, dispersi limbah organik padat yang berasal dari KJA dapat mencapai jarak 9-66 meter, kapasitas asimilasi beban limbah budidaya pada ambang batas yang diperkenankan mencapai 3,077 – 6,762 ton/tahun
Pengukuran sampel, analisis, deskriptif
Beberapa parameter kualitas air yakni amonia dan nitrat tidak lagi mendukung untuk dikembangkannya budidaya ikan Kerapu dalam keramba jaring apung
Riset lapangan, pengukuran sampel, analisa dan deskkriptif
Terjadi peningkatan aktifitas pembukaan lahan atas dari tahun ke tahun yang mempengaruhi biota di pesisir
lanjutan tabel 1.1 Carolus Nirahua, 2009 Analisa Pencemaran Limbah Organik Terhadap 5. Penentuan Tata Ruang Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung Di Perairan Teluk Ambon
6.
7.
Mengetahui kapasitas asimilasi, mengidentifikasi tingkat pencemaran limbah organik di Teluk Ambon
Debby A.J Selanno, 2009 Analisis Hubungan Antara Beban Pencemaran Dan Konsentrasi Limbah Sebagai Dasar Pengelolaan Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Ambon Dalam
Menganalisis beban pencemaran, menentukan status pencemaran Teluk Ambon Dalam, menganalisis kapasitas asimilasi, menganalisis pola dan tingkat sedimentasi, membuat zonasi pemanfaatan Teluk Ambon Dalam serta menyusun strategi pengelolaan pencemaran Teluk Ambon Dalam
Halvina Grasela Saiya, 2014 Pengaruh Deposisional Terhadap Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Ambon Bagian Dalam Untuk Pengembangan Keramba Jaring Apung
Mengkaji laju deposisional di Teluk Ambon bagian dalam, mengkaji pengaruh deposisional terhadap daya dukung perairan di KJA serta merumuskan strategi pengendalian deposisional
Pengukuran sampel, analisis, deskriptif
Tingkat pencemaran limbah organik di Teluk Ambon berada pada kondisi tercemar ringan, serta dipetakan kawasan potensi budidaya ikan KJA di perairan Teluk Ambon seluas ±1,130 ha dan kawasan yang dapat dimanfaatkan adalah ±670 ha.
Pengukuran sampel, analisis dan deskriptif
Beban pencemaran dari sumber sungai, darat dan laut masingmasing memberikan kontribusi limbah dengan presentasi berbeda. Kapasitas asimilasi perairan lebih kecil dari beban pencemaran, pola dan tingkat sedimentasi sangat bervariasi. Serta Teluk Ambon Dalam diusulkan tetap memiliki kawasan konservasi dan rehabilitasi, strategi pengelolaan pencemaran yang diusulkan adalah reuse, recycle dan reduce.
Pengukuran sampel (Sampling), Survei dan analisis regresi linier berganda
Hasilnya menunjukkan besar laju deposisional yang cukup besar ke Teluk Ambon bagian dalam melalui sungai, potensi erosi hingga melalui analisis citra, pola arus dan batimetri. Kualitas perairan KJA di Teluk Ambon bagian dalam karena adanya pengaruh deposisional berada dalam kondisi daya dukung sedang, sehingga strategi pengelolaan lingkungan yang dihasilkan melalui analisis sebab akibat diprioritaskan kepada pengelolaan DAS (hulu, tengah, hilir), riparian sungai dan pesisir.
Sumber: Telaah Pustaka dan Perumusan, 2013
Berdasarkan telaah pustaka hasil-hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu, yang ditinjau dari lokasi, tujuan dan objek kajian. Pada penelitian tentang daya dukung lingkungan perairan terhadap usaha KJA dapat dilihat bahwa terdapat dua penelitian dengan lokasi yang berbeda serta tujuan dan kajian penelitian yang berbeda dari rencana penelitian ini. Namun, terdapat juga penelitian pada lokasi yang sama dan juga mengkaji tentang daya dukung lingkungan perairan terhadap usaha KJA, tetapi faktor pembeda dengan rencana penelitian ini terletak pada objek kajiannya yang mengarah pada limbah organik. Selanjutnya pada penelitian yang lain fokus kajiannya lebih mengarah pada proses dan penyebab sedimentasi di Teluk Ambon.
13
Selain itu terdapat penelitian lain yang dilakukan pada lokasi yang sama, namun kajiannya lebih terfokus pada analisis beban pencemaran dengan parameter yang lebih kompleks serta penelitian tersebut mengusulkan strategi pengelolaan lingkungan perairan Teluk Ambon bagian Dalam yang pastinya berbeda dengan strategi pengelolaan lingkungan dalam penelitian ini. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini lebih fokus pada hubungan antara deposisional di Teluk Ambon bagian dalam terhadap usaha KJA serta merumuskan strategi pengelolaan lingkungan yang sekiranya dapat meminimalisir dampak deposisional. Sejauh ini, kajian tentang hal tersebut lebih terfokus pada limbah organik yang mempengaruhi perairan sehingga akhirnya mempengaruhi usaha KJA, namun terhadap deposisional belum dilakukan. Selain itu, kajian sebelumnya terhadap keramba jaring apung di Teluk Ambon bagian dalam lebih terfokus pada tata ruang yang dapat dimanfaatkan, namun tidak ada solusi yang spesifik terhadap tata ruang tersebut jika proses deposisional terus berlanjut.
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah serta kajian latar belakang maka tujuan penelitian ini adalah: (1)
mengkaji laju deposisional di Teluk Ambon bagian dalam;
(2)
mengkaji pengaruh deposisional terhadap daya dukung lingkungan perairan Teluk Ambon bagian dalam yang diindikasikan oleh kualitas perairannya untuk pengembangan keramba jaring apung; dan
14
(3)
merumuskan strategi pengendalian deposisional di Teluk Ambon bagian dalam agar dapat menstabilkan kondisi kualitas perairannya sehingga dapat mendukung pengembangan keramba jaring apung.
1.5. Manfaat Penelitian Kajian utama penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh deposisional di Teluk Ambon bagian dalam terhadap usaha keramba jaring apung, yang akan terlihat pada parameter-parameter daya dukung lingkungan perairan yang berubah. Sementara itu, akhir penelitian ini yakni merumuskan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang dapat meminimalisir dampak deposisional bagi Teluk Ambon bagian dalam. Untuk itu, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat: (1)
Bagi ilmu pengetahuan: Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat digunakan oleh peneliti-peneliti selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan deposisional di perairan dan daya dukung lingkungan perairan untuk usaha KJA.
(2)
Bagi masyarakat: Sebagai pengetahuan praktis bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir yang mata pencahariannya terkait dengan usaha-usaha budidaya di perairan.
(3)
Bagi pemerintah: Sebagai bahan masukan terhadap kerangka pikir pemerintah daerah maupun provinsi, terkhususnya dalam pengambilan kebijakan terkait pengembangan wilayah pesisir dan pengembangan usaha budidaya di perairan.
15
1.6. Batasan Penelitian Adapun penelitian tentang ‘Pengaruh Deposisional Terhadap Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Ambon Bagian Dalam Untuk Pengembangan Keramba Jaring Apung’ dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut: (1)
Erosi dari lahan atas (upland) Erosi dari lahan atas yang diakibatkan oleh pembukaan lahan yang tidak terkendali sehingga mengakibatkan hilangnya sebagian besar vegetasi. Vegetasi yang hilang menyebabkan hilangnya penyangga untuk tangkapan hujan, dan ketika terjadinya hujan maka banyak sedimen yang terbawa ke teluk dan menimbulkan kekeruhan.
(2)
Laju Deposisional Laju deposisional adalah jumlah sedimen yang terdeposisi ke perairan dalam satuan waktu tertentu. Dengan mengetahui laju deposisional maka dapat dianalisis berapa besar rata-rata sedimen yang masuk ke teluk, sehingga dapat dijadikan data untuk penentuan strategi pengelolaan lingkungannya. Sumber data berupa data primer yang diperoleh dengan sampling di lapangan serta data sekunder yang diperoleh dari citra satelit dan dinas-dinas terkait selanjutnya diolah dan dianalisis untuk mendapatkan besar laju deposisional.
(3)
Kualitas air di KJA Kualitas air adalah berbagai parameter fisik, kimia dan biologis perairan yang dapat mendukung kelangsungan hidup organisme di dalamnya, hal ini merupakan kontrol alami terhadap adanya perubahan fungsi dan kualitas lahan di sekitarnya. Beberapa parameter-parameter fisik, kimia dan biologis yang
16
terkait dengan erosi dan deposisional adalah: kekeruhan, kecerahan, TSS (Total Suspended Solid), TDS (Total Dissolved Solid), DO (Dissolved Oxygen), produktivitas primer, pH dan suhu. Hasil pengukuran terhadap parameterparameter tersebut dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 serta dengan beberapa penelitian-penelitian terdahulu, kemudiann penentuan daya dukung perairannya dengan metode pembobotan, skoring serta subjective matching. (4)
Daya dukung Daya
dukung
adalah
ukuran
populasi
maksimum
yang
dapat
mempertahankan suatu organisme tanpa batas di daerah tertentu, dengan tanpa mengurangi kapasitas daerah untuk mempertahankan ukuran populasi yang sama di masa depan (Ranganathan dan Daily dalam Muta’ali, 2012). Berdasarkan pengertian ini maka organisme yang dimaksud adalah komoditas ikan budidaya yang dipelihara di KJA pada perairan Teluk Ambon bagian dalam. (5)
Daya dukung Lingkungan Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antar keduanya (Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 Tahun 2009). Kemampuan lingkungan hidup yang dikaji pada penelitian ini adalah kemampuan perairan teluk Ambon bagian dalam yang
17
dilihat melalui kualitas perairannya (parameter-parameter fisik, kimia dan biologi) untuk pengembangan keramba jaring apung. (6)
Daya Dukung Lingkungan Perairan Sesuai dengan pengertian daya dukung lingkungan pada UUPPLH Nomor 32 tahun 2009 maka daya dukung lingkungan perairan adalah kemampuan lingkungan perairan untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antara keduanya. Berdasarkan empat faktor utama lingkungan perairan yang dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan daya dukung lingkungan perairan yaitu gerakan air, suhu, salinitas dan cahaya maka dalam penelitian ini parameter perairan yang diukur langsung dan terkait dengan keempat faktor tersebut adalah: suhu, salinitas, cahaya (dilihat melalui parameter kecerahan dan kekeruhan), sedangkan gerakan air yakni arus laut yang dikaji melalui data sekunder pola arus Teluk Ambon bagian dalam.
(7)
Indeks Storet Menurut Soemarwoto (2003), indeks Storet merupakan salah satu indeks yang mengindikasikan status mutu air. Lebih lanjut Soemarwoto (2003) menjelaskan bahwa dengan metode indeks storet dapat diketahui parameter apa yang memenuhi atau melampaui baku mutu air, dan pada prinsipnya metode ini membandingkan antara data kualitas air
dengan baku mutu air yang
disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status air. Pada penelitian ini data kualitas air dibandingan dengan beberapa sumber yaitu: Kepmen LH Nomor 51 tahun 2004, Modifikasi Swingle dalam Kangkan tahun 2006, Kordi
18
K. dan Tancung tahun 2010, Tucker dan Hargreaves dalam Jumadi tahun 2011, Affan tahun 2012, PP Nomor 82 tahun 2001 dan KLH tahun 2004 dalam hartami tahun 2008. Penentuan nilai kisaran kelas tidak menggunakan nilainilai seperti dalam indeks storet, namun dibuat berdasarkan nilai paling tinggi dan nilai paling rendah dari hasil skoring. (8)
Kapasitas Asimilasi Kapasitas asimilasi adalah kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya (Walukow, dkk., 2008). Dalam penelitian ini, dengan estimasi tidak langsung, maka kapasitas asimilasi dapat dilihat melalui produktivitas primernya.
19