Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni, Kepala Burung, Papua Coniacian - Maastrichtian (Late Cretaceous) Nanoplankton Biostratigraphic Zonation of the Bintuni Basin, Bird’s Head, Papua Panuju1, Mufdi F.2, Imam P.1, Ginanjar R.1, Iskandar F.1, dan Buskamal1 Exploration Division, PPPTMGB “LEMIGAS” Jakarta 2 Sekretariat Badan Litbang ESDM
1
SARI Cekungan Bintuni adalah cekungan foreland yang terletak di Kepala Burung Papua. Posisinya yang berada di sekitar tumbukan Lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik menyebabkan cekungan tersebut mengalami sejarah tektonika dan pengendapan yang kompleks. Pada dekade terakhir ini, sedimen Pratersier cekungan tersebut telah menjadi objek yang menarik untuk eksplorasi hidrokarbon, yaitu sejak ditemukannya beberapa lapangan gas raksasa di Kompleks Tangguh selama tahun 1990an. Karena hal tersebut, biostratigrafi Pratersier cekungan ini perlu dianalisis secara teliti untuk kemudian dibuat bagan zonasi yang lebih aplikatif dan akurat sehingga kegiatan eksplorasi pada play berumur Pratersier dapat dilakukan secara lebih baik. Merujuk skala waktu geologi, Kapur Akhir (99,6 - 65,5 jtl.) meliputi tahapan umur antara Cenomanian sampai Maastrichtian, sedangkan berdasarkan zonasi nanoplankton berkisar antara zona CC9 sampai CC26. Analisis biostratigrafi kuantitatif yang dilakukan terhadap penampang sedimen sumuran dan permukaan menunjukkan bahwa kemunculan nanoplankton yang relatif melimpah dan menerus hanya dijumpai pada sedimen Kelompok Kambelangan Atas yang berumur Turonian sampai Maastrichtian. Dengan alasan tersebut maka penyusunan zonasi khusus untuk Cekungan Bintuni kali ini dibatasi pada Zona antara CC12 sampai CC26. Selain enam belas bidang umur yang menjadi batas zona antara CC12 sampai CC26, beberapa spesies lain yang mempunyai datum kemunculan awal (FO) dan/atau kemunculan akhir (LO) dalam interval umur tersebut juga diketahui muncul relatif konsisten, sehingga dalam studi ini digunakan untuk memperhalus empat belas zona yang sudah dipublikasikan menjadi 24 subzona. Pembagian biostratigrafi dilakukan dengan menggunakan datum spesies yang meliputi E. eximius, L. maleformis, M. furcatus, U. staurophora, M. decussata, L. arcuatus, R. anthoporus, M. concava, L. cayeuxii, E. floralis, Q. gartneri, C. obscurus, B. parca, B. parca consctricta, C. verbeeki, B. hayi, P. cretacea, C. ovalis, C. aculeus, U. sissinghi, A. cymbiformis, C. arcuatus, U. trifidus, R. levis, A. scotus, T. pachelosus, C. kamptneri, M. praemurus, M. murus, C. daniae, W. barnesae, E. turrisefelii dan M. decoratus. Keywords: biostratigrafi, nanoplankton, Kapur Akhir, Coniacian, Maastrichtian ABSTRACT Bintuni Basin is a foreland basin located in the Bird’s Head of Papua. The position located around the collision among Australia, Eurasia and Pacific plates has led to the complex tectonic and sedimentation history of the basin. In the last decade, Pretertiary sediments of this basin have been the interest object for hydrocarbon exploration, especially since several giant gas fields were found in Tangguh Complex during the 1990s. In this regard, Pretertiary biostratigraphy of this basin needs to be analyzed carefully and then the applicable and accurate zonation can be constructed to support the better exploration activities in the Pretertiary play. Referring to the Naskah diterima: 03 Januari 2012, revisi terakhir: 05 Desember 2012, naskah disetujui: 10 Desember 2012
171
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
geological time scale, the Late Cretaceous (99.6 mya-65.5 mya) covers the stages of age between Cenomanian to Maastrichtian, while based on nannoplankton zonation it ranges from Zona CC9 to Zona CC26. Quantitative biostratigraphic analysis conducted on the well sections and outcrops indicates that the relatively abundant and continuous nannoplankton occurrences were only found in the Turonian to Maastrichtian sediments of the Upper Kambelengan Group. Therefore, the local zonation construction for Bintuni Basin in this paper is limited within interval between CC12 to CC26. In addition to the sixteen zonal boundaries for CC12 to CC26, several First Occurrences (FO) and Last Occurrences (LO) of other species within the analyzed interval are also known to appear relatively consistent. Thus they are used to refine the fourteen published zones into twenty four subzones in this study. Biostratigraphy subdivision is performed using the datum of species E. eximius, L. maleformis, M. furcatus, U. Staurophora, M. decussata, L. arcuatus, R. anthoporus, M. concava, L. cayeuxii, E. floralis, Q. gartneri, C. obscurus, B. parca, B. parca consctricta, C. verbeeki, B. hayi, P. cretacea, C. ovalis, C. aculeus, U. sissinghi, A. cymbiformis, C. arcuatus, U. trifidus, R. levis, A. scotus, T. pachelosus, C. kamptneri, M. praemurus, M. murus, C. daniae, W. barnesae, E. turrisefelii, and M. decoratus. Keywords: biostratigraphy, nannoplankton, Late Cretaceous, Coniacian, Maastrichtian
PENDAHULUAN Indonesia pernah dikenal sebagai negara penghasil minyak bumi yang cukup produktif pada beberapa dekade yang lalu. Namun demikian, posisi Indonesia sekarang ini telah menjadi negara pengimpor (nett importer). Produksi minyak bumi yang jumlahnya saat ini di bawah 1 juta barrel per hari membuat Indonesia mengalami kesulitan ketika harga pasaran minyak dunia mengalami fluktuasi. Dengan didasari atas masalah tersebut, berbagai upaya dilakukan pemerintah, di antaranya dengan melakukan kegiatan eksplorasi di cekungan-cekungan frontier kawasan timur Indonesia dengan target endapan berumur Pratersier. Salah satu penemuan yang paling signifikan dalam dua dekade terakhir ini adalah lapang an gas Tangguh yang berada di Cekungan Bintuni. Usaha eksplorasi yang dilakukan dari tahun 1990 sampai 1998 menemukan cadangan hidrokarbon pada reservoar batupasir berumur Pratersier yang dikenal sebagai area Roabiba-Aalenian. Sejauh ini, sumber daya hidrokarbon yang sudah ditemukan mencapai 4 billion barrel oil equivalent (BBOE), sedangkan rasio sukses untuk men172
jumpai sistem play hidrokarbon di Bintuni adalah sekitar 56% (Ibrahim drr., 2006). Keberhasilan tersebut menimbulkan harap an baru bahwa akumulasi hidrokarbon dari play system berumur Pratersier di luar area Roabiba-Aalenian juga mungkin terjadi, sehingga studi petroleum system secara lebih ekstensif sangat diperlukan. Berkait an dengan masalah tersebut, biostratigrafi nanoplankton Pratersier sebagai salah satu alat penting dalam eksplorasi hidrokarbon pada play berumur tersebut perlu dibuat, sehingga dalam aplikasinya akan menjadi lebih akurat serta memiliki resolusi lebih baik dibandingkan dengan zonasi standar. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa komposisi dan kisaran stratigrafi berbagai spesies nanoplankton di Indonesia berbeda dengan yang ada dalam publikasi internasional, baik karena faktor paleolatitude, kondisi lingkungan lokal, maupun litologi. Selain itu, distribusi stratigrafi spesies pada umur tersebut masih sedikit diketahui. Pada tahap awal ini, studi dibatasi untuk Cekungan Bintuni (Gambar 1) dan hanya meliputi periode Kapur Akhir. Pada 1996, Panuju drr. pernah membahas biostratigrafi nanoplankton Maastrichtian sampai Paleo-
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni Kepala Burung, Papua (Panuju drr.)
1320E
1350E
Tangguh Gas Province
00S
MS S. Aihih
RBB-1
WD.4
30S
Cekungan Bintuni Bintuni Basin
250 km
Gambar 1. Lokasi penelitian.
gene kawasan Timur Indonesia, dan pada makalah ini hasil penelitian untuk umur Maastrichtian tersebut disempurnakan. GEOLOGI REGIONAL Sebagai cekungan yang berada di sekitar tumbukan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Hindia Australia, dan Lempeng Pasifik, Cekungan Bintuni memiliki sejarah tektonik yang sangat kompleks. Menurut Lemigas (2009), episode tektonik dan struktur geologi yang berkembang tidak dapat dipisahkan dari empat tektonik skala besar yang terjadi di kawasan Timur Indonesia dan Australia, yaitu: • Rifting pada Awal Jura di sepanjang batas utara Lempeng Australia (Pulau Papua New Guinea). • Rifting Awal Jura di sepanjang barat laut Paparan Autralia termasuk Palung Aru (NW shelf rift).
• Kolosi Neogen antara Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia, serta subduksi pada Palung New Guinea yang menghasilkan jalur perlipatan Papua dan Lengguru. • Kolosi Neogen antara Jalur Banda dengan Lempeng Australia yang membentuk Jalur Kepulauan Kumawa-Onin-Misool. Semua episode tektonik tersebut berimplikasi pada kompleksitas tataan struktur di Papua bagian barat terutama di daerah Lengguru dan Babo pada bagian Leher Kepala Burung. Menurut Lemigas (2005, dalam Lemigas, 2009), pola elemen-elemen struktur geologi di Cekungan Bintuni relatif sama dengan yang secara umum ada di daerah Kepala Burung (Gambar 2), yaitu: • Lineasi dengan arah timur-barat sampai barat laut-tenggara yang diwakili oleh sistem sesar naik Misool-Onin. • Lineasi berarah utara-selatan yang ber asosiasi dengan jalur perlipatan Lengguru. 173
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
132o
135o
Philippine Trench
Biak Trench
0
o
Sorong fault Zone Misool Teluk Berau 3o
Seram
Onin Kumawa 250 km
Gambar 2. Peta sketsa Elemen Tektonik Daerah Kepala Burung Papua Barat (Lemigas, 2005 dalam Lemigas, 2009).
• Lineasi dengan arah barat laut-tenggara. • Lineasi dengan arah timur-barat yang berasosiasi dengan Sesar Sorong. • Lineasi dengan arah utara timur lautselatan tenggara sampai utara-selatan yang berupa struktur terban Perem. STRATIGRAFI REGIONAL Stratigrafi Pratersier Cekungan Bintuni tidak terlepas dari stratigrafi daerah Kepala Burung secara umum. Menurut LEMIGAS (2009), batuan tertua yang diendapkan adalah Formasi Kemum berumur Silur sampai Devon yang seiring perjalanan waktu telah terdeformasi sangat kuat. Sedimen Kelompok Aifam kemudian menumpang di atasnya secara tidak selaras. Kelompok tersebut meliputi Formasi Aimau yang berumur Karbon, Formasi Aifat yang berumur 174
Karbon sampai Perem, dan Formasi Ainim yang berumur Perem Akhir sampai Trias Awal. Formasi Tipuma yang berumur Trias sampai Jura Awal menindih secara tidak selaras Formasi Ainim. Endapan Kelompok Kambelangan kemudian menindih diatas Formasi Tipuma secara selaras. Kelompok Kambelangan meliputi Formasi Kambelangan Bawah dan Formasi Jass. Dalam Kelompok ini, Formasi Kambelangan Bawah yang berumur Jura Tengah sampai Akhir ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Jass yang berumur Kapur Akhir. Di atas Formasi Jass adalah sedimen berumur Tersier (Gambar 3). Sedimen Pratersier yang mempunyai potensi menjadi elemen esensial sistem minyak, yaitu batupasir Formasi Tipuma dan Kambelangan Bawah sebagai reservoar, serta serpih Formasi Ainim, Tipuma, Kembelangan Bawah, dan Jass sebagai batuan sumber (Gambar 3).
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni Kepala Burung, Papua (Panuju drr.)
AGE (M YEARS)
Source
S
2 6
PLEISTOCENE
SELE
PLIOCENE
STEENKOOL
S
Seal
R
ENVIRONMENT
Reservoar
Conglomeratic sandstone and clay
REG
HYDROCARBON OCCURENCE
TECTONIC ACTIVITY
TRANS PROGRESSIVE FILLING OF THE BASIN PARALIC
U
MIOCENE
M L
OLIGOCENE EOCENE 65
GEOLOGICAL HISTORY
LITHOLOGY
FORMATION
U L
141 U
JURASSIC
G U I N E A
KAIS SAGO
L S T G R O U P
Fossiliferous chalky limestones rich in coral debris. Changing eastward to grey shales
M
PLATFORM
SIRGAH Light brown, often dolomotic, limestones and crystalline dolomite
FAUMAI
Sand and shale alterations overlain by evaporite facies changing laterally shally carbonates Claystones and silty shales
K E M B E L A N G A N
JASS
LOWER KEMBELANGAN
G R O U P
WIRIAGAN
DRIFTING EPISODE
OPEN MARINE
NON DEPOSITION/ EROSION
Shallow water sandstones interbedded with grey shales
L
195
MOGOI
CARBONATE
Light grey, hard and fossiliferous platrom carbonate
WARIPI
PALEOCENE
CRETACEOUS
KLASAFET
N E W
OBDUCTION EPISODE
Shale and sandstone alterations
RIFTING EPISODE ALUVIAL PLAIN
Red bed facies
TIPUMA
WIRIAGAN
NEAR SHORE
WIRIAGAN
TRIASSIC
230 U
PERMIAN
L
280 U CARBONIFEROUS
M
A I F A M G R O U P
DEVONIAN
395
PARALIC
MOGOI
Shales and marl with carbonate concretions
AIFAT
MARINE
Well cemented sandstones intercalated with fossiliferous shales
AIMAU
LITORAL
PRE-RIFTING EPISODE
EROSION
L
345
Black shale and sandstone alterations, coal seams
AINIM
KEMUN
Strongly folded and epimetamor phosed shales, graywackes and coarse clastics
SILURIAN
SILURO-DEVONIAN BASEMENT
435 ORVODICIAN
Gambar 3. Stratigrafi Daerah Kepala Burung Papua Barat (PPPG, 1990, dalam Lemigas, 2009).
GEOLOGI KAPUR AKHIR Menurut Walker dan Geissman (2009), Kapur Akhir merupakan kala terakhir dari umur Pratersier yang meliputi interval waktu anta-
ra 99,6 - 65,5 juta tahun yang lalu. Ini berarti kala ini berlangsung sekitar 34,1 juta tahun. Kala tersebut meliputi enam jenjang yang secara berurutan dari tua ke muda adalah: Cenomanian (99,6 - 93,5 jtl.), Turonian 175
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
Gambar 4. Skala Waktu Geologi (Walker dan Geisman, 2009).
(93.5 - 89.3 jtl.), Coniacian (89.3 - 85.8 jtl.), Santonian (85.8 - 83.5 jtl.), Campanian (83,5 - 70,6 jtl.) dan Maastrichtian (70.6 - 65.5 jtl.) (Gambar 4). Selama periode tersebut, iklim lebih hangat dari sekarang, meskipun secara umum menunjukkan kecenderungan pendinginan. Beberapa peristiwa geologi penting terjadi pada Kapur Akhir, yaitu meliputi: • Anoxic event yang terjadi pada batas Cenomanian/Turonian (Bonarelli event) yang berasosiasi dengan peristiwa ke punahan sejumlah spesies laut (Karakitsios drr., 2007 ). • Periode normal polarity yang panjang pada Coniacian (Cretaceous Magnetic Quiet Zona) (Ogg dan Bardot, 2001) • Anomali iridium yang meningkat drastis sampai 200 kali dari nilai normal pada puncak Maastrichtian atau batas Kapur/Tersier (K/T boundary) (Keller drr., 2004) 176
• Laramide Orogeny, yaitu peristiwa pengangkatan besar-besaran pada hampir seluruh bagian dunia yang antara lain membentuk rangkaian pegunungan Himalaya dan Rocky Mountain (DeCelles, 2004). • Meteor berukuran raksasa jatuh yang dibuktikan dengan adanya Chicxulub crater di Yukatan Meksiko dengan d iameter sekitar 280 km (Alvarez drr., 1980) dan Shiva crater di Laut Arab yang berdiameter sekitar 600 km (Nayak, 2002). • Supervolcano meletus di India (Deccan traps) (Nayak, 2002). • Kepunahan massal banyak Kelompok organisme, yang meliputi amonit, genuine, belemnit, rudistid, dan sebagian besar dari Kelompok diatom, dinoflagellata, brakhiopoda, molluska, echinoid, foraminifera, dan nanoplankton (Keller drr., 2004).
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni Kepala Burung, Papua (Panuju drr.)
PERKEMBANGAN NANOPLANKTON KAPUR AKHIR Sedimen berumur Kapur Akhir umumnya kaya akan nanoplankton karena pada umur tersebut, nanoplankton mempunyai penyebaran geografi yang sangat luas dan sebagian besar terawetkan dalam sedimen. Kumpulan nanoplankton pada banyak penampang sedimen umumnya didominasi oleh Genera Watznaueria, Micula, Arkhangelskiella, Cribrosphaerella, Eiffellithus, Predicosphaera, dan Retecapsa. Tidak ada fluktuasi perkembangan yang menonjol selain kemunculan dan kepunah an beberapa spesies yang terjadi secara gradual pada interval umur Kapur Akhir. Perkembangan paling dramatis justru terjadi pada puncak Kapur Akhir (K/T boundry), ketika kumpulan nanoplankton yang sangat melimpah dan beragam berubah seketika pada saat memasuki umur Tersier menjadi sangat jarang dan tidak beragam karena sebagian besar mengalami kepunahan massal. Menurut Bown (1999), dua belas spesies dari sebelas genera berhasil melewati K/T boundry. Sementara itu, hasil penelitian Panuju (2009) salah satu penampang sumur di Santos Brazil mengungkapkan bahwa 94% spesies nanoplankton Kapur Akhir telah punah dan hanya menyisakan 6% survivor saat memasuki Tersier yang meliputi tujuh spesies dengan total kelimpahan hanya mencapai 21 spesimen, yaitu Braardosphaera bigelowii, Biscutum melaniae, Neocrepidolithus neocrassus, Placozygus sigmoides, Cyclagelosaphaera reinhardtii, Markalius inversus, dan Scapolithus fossilis. OBJEK STUDI DAN METODOLOGI Objek studi dalam penelitian ini adalah percontoh sedimen Formasi Jass (Kelompok Kambelangan Atas) yang diambil dari
penampang sumur WD-4 (53 percontoh) dan RBB-1 (32 percontoh), serta penampang terukur lintasan Sungai Ainin (27 percontoh). Percontoh yang terdiri atas serbuk bor (cutting) dan side wall core (SWC) dianalisis dengan interval yang ditentukan secara sistematis. Percontoh dipreparasi dengan metode Simple Smear Slide untuk percontoh permukaan dan core, Pippete Strew Slide untuk percontoh cutting (serbuk bor) dan Short Centrifuging untuk fotografi (Gambar 5). Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi pada perbesaran 1000x dengan teknik observasi meliputi: parallel nicol, crossed nicol, gipsum plate dalam crossed nicol, dan fase kontras. Analisis biostratigrafi dilakukan dengan metode kuantitatif dan pembagian umur Kapur Akhir ke dalam zona dilakukan dalam kerangka Zonasi Sissingh (1977). Pembagian biostratigrafi dilakukan dengan menggunakan indikator biostratigrafi (biomarker) yang berupa datum kemunculan akhir (Last Occurrence/LO) dan (First Occurrence/FO) spesies yang mudah diidentifikasi, serta mempunyai kemunculan relatif signifikan dan konsisten. Korelasi dengan umur relatif dan European stages mengikuti Perch-Nielsen (1985). Taksonomi mengikuti Sissingh (1977), Perch-Nielsen (1985) dan Bown (1999). Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. BIOSTRATIGRAFI NANOPLANKTON Secara biostratigrafi nanoplankton, Kapur Akhir meliputi interval bagian tengah Zona CC9 sampai CC26. Namun demikian, karena keterbatasan interval penampang sedimen yang dianalisis, studi ini hanya meliputi zona CC12 - CC26, sedangkan untuk zona CC9 - CC11 belum dapat dilakukan. Berdasarkan data kumpulan nanoplankton yang diperoleh dari Sumur RBB-1, WD-4 177
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
Perconto Batuan
Simple Smear Slide
Perconto dibersihkan dan dikupas permukaannya
Gores sejumlah kecil perconto diatas glass slide dengan jarum dan ratakan
Pipette Strew Slide
Short Centrifuging
Perconto dibersihkan dan dikupas permukaannya
Perconto dibersihkan dan dikupas permukaannya
Hancurkan perconto dalam kertas alumunium
Hancurkan perconto dalam kertas alumunium Letakkan serbuk sedimen kedalam gelas beker dan tambahkan air destilasi
Letakkan serbuk sedimen kedalam gelas beker dan tambahkan air destilasi
Aduk dan biarkan larut, kemudian lakukan ultrasonik untuk membantu pelepasan nanoplankton
Aduk dan biarkan larut, kemudian lakukan ultrasonik untuk membantu pelepasan nanoplankton Teteskan air destilasi secukupnya dan oleskan sedimen secara tipis. Fraksi kasar dibuang
Tuangkan kedalam tabung centrifuge dan masukan kedalam mesin centrifuge
Tuangkan sejumlah kecil suspensi kedalam botol kecil dan encerkan dengan air destilasi
Putar pada 350 r.p.m. selama 15 detik dan tuangkan supematant kedalam tabung centrifuge 2 dan buang endapan hasil putaran
Tetesken suspensi diatas glass slide dan ratakan
Putar pada 1000 r.p.m. selama 30 detik dan buang supematant Keringkan glass slide diatas pelat pemanas selama satu menit pada 50oC
Lakukan resuspensi endapan hasil putaran menggunakan air destilasi dan ulangi proses sampai supematant berwarna cerah
Lekatkan cover glass menggunakan media lem optik (entellan) dan beri label
Tuangkan suspensi yang sudah diencerkan diatas glass slide
Gambar 5. Diagram Alir Metode Preparasi.
dan penampang sedimen Sungai Ainim, maka pembagian biostratigrafi pada sedimen berumur Kapur Akhir Cekungan Bintuni dapat dilakukan sebagai berikut (Gambar 7): Zona CC12 Definisi : Interval antara FO Eiffellithus eximius atau Lucianorhabdus maleformis di bagian dasar sampai FO Marthasterites furcatus di bagian puncak. Subzona : Umur : Turonian akhir sampai Coniacian Awal. Keterangan : Zona ini menggunakan biomarker yang relatif sama dengan Sissingh (1977), kecuali FO Eiffellithus eximius. Selain mudah untuk diidentifikasi, spesies 178
tersebut jauh lebih mudah dijumpai di daerah penelitian dibandingkan Lucianorhabdus maleformis. Dalam Perch-Nielsen (1985), spesies ini mempunyai FO pada batas Zona CC11/CC12. Zona CC13 Definisi : Interval antara FO Marthasterites furcatus di bagian dasar sampai FO Uniplanarius staurophora dan/atau Micula decussata dan/atau Lucianorhabdus arcuatus dan/ atau Calculites obscurus di bagian puncak. Subzona : Umur : Coniacian Tengah. Keterangan : Biomarker Sissingh (1977) untuk Zona ini dapat diterapkan di daerah studi. Untuk mendukung penentuan puncak
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni Kepala Burung, Papua (Panuju drr.)
Sumur RBB-1 Sumur WD-4 MS S. Ainin
Cutting, Core Perconto permukaan
Simple Smear Slide Pipette Strew Slide
Identifikasi
Kisaran Stratigrafi Spesies yang Konsisten
Preparatsi Perconto
Short Centrifuging
Pengamatan Mikroskopis
Fotografi
Tabel Distribusi Nannoplankton kuantitatif
Zonasi Standar Martini (1971)
Zonasin Nannoplankton Cekungan Bintuni
Gambar 6. Diagram Alir Metode Penelitian.
zona CC13, dalam studi ini juga dipakai Micula decussata, Lucianorhabdus arcuatus dan Calculites obscurus. Ketiga spesies tersebut sangat mudah diidentifikasi dan memiliki stratigrafi yang relatif konsisten. Kisaran stratigrafi yang sama telah dikemukakan oleh Perch-Nielsen (1985) dan Bown (1999). Zona CC14 Definisi : Interval antara FO dari Uniplanarius staurophora dan/atau Micula decussata dan/atau Lucianorhabdus arcuatus dan/atau Calculites obscurus di bagian dasar sampai FO dari Reinhardtites anthoporus dan/atau Micula concava di bagian puncak. Subzona : Umur : Coniacian Akhir - Santonian Awal Keterangan : Biomarker untuk puncak zona
ini sama dengan yang dikemukakan Sissingh (1977). Micula concava digunakan jika Reinhardtites anthoporus tidak muncul, atau sebagai data pendukung untuk penentuan puncak Zona CC14. Perch-Nielsen (1985) juga menggunakan datum FO Micula concava untuk penentuan dasar zona CC14. Sementara Bown (1999) menggunakan FO Lithastrinus grillii, spesies yang tidak dijumpai di daerah penelitian. Zona CC15 Definisi : Interval antara FO Reinhardtites anthoporus atau Micula concava di bagian dasar sampai FO Lucianorhabdus cayeuxii di bagian puncak. Subzona : Umur : Santonian Tengah Keterangan : Puncak zona ini menggunakan 179
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
TIME SCALE
NANNOPL. ZONATION
Zonal Markers Subzonal Markers
Gambar 7. Zonasi biostratigrafi nanoplankton dan kisaran stratigrafi dari spesies indeksnya.
biomarker yang sama persis dengan yang dikemukakan Sissingh (1977). Tidak ada datum spesies lain yang dapat digunakan sebagai alternatif. Zona CC16 Definisi : Interval antara FO Lucianorhabdus cayeuxii di bagian dasar sampai FO Calculites obscurus dan/atau LO Eprolithus floralis dan/atau Quadrum gartneri di bagian puncak. Subzona : Umur : Santonian Akhir Keterangan : Puncak zona ini menggunakan biomarker sama dengan yang dikemukakan 180
Sissingh (1977), yaitu FO Calculites obscurus. Namun demikian, biomarker yang berupa LO Eprolithus floralis dan/atau Quadrum gartneri juga menjadi alternatif penting saat Calculites obscurus tidak dijumpai, juga saat kita bekerja dengan percontoh serbuk bor (cutting). Menurut Perch-Nielsen (1985), LO Eprolithus floralis terletak pada puncak zona CC16. Zona CC17 Definisi : Interval antara FO Calculites obscurus dan/atau LO Eprolithus floralis dan/ atau Quadrum gartneri di bagian dasar sampai FO Broinsonia parca di bagian puncak.
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni Kepala Burung, Papua (Panuju drr.)
Subzona : Umur : Campanian awal Keterangan : Puncak zona ini menggunakan biomarker sama dengan yang dikemukakan Sissingh (1977), hanya saja tata nama yang digunakan untuk Broinsonia parca (Bukry, 1969) yaitu Aspidolithus parcus (Stradner, 1963) yang merupakan sinonim. Zona CC18 Definisi : Interval antara FO Broinsonia parca di bagian dasar sampai FO Prediscosphaera cretacea di bagian puncak. Subzona : Zona ini dibagi menjadi subzona CC18a (bawah) dan CC18b (atas) berdasarkan FO Ceratolithoides verbeeki dan/atau Bukryater Hayi dan/atau Broinsonia parca consctricta. Umur : Campanian Awal Keterangan : Puncak zona ini menggunakan biomarker berbeda dengan yang dikemukakan Sissingh (1977), yaitu LO Marthasterites furcatus. Meskipun FO spesies tersebut relatif jelas, LO spesies ini susah ditentukan sehingga FO Prediscosphaera cretacea digunakan sebagai pengganti. Selain ke munculan yang signifikan dan konsisten, penggunaan FO Prediscosphaera cretacea merujuk pada Perch-Nielsen (1985) yang menempatkan bioevent tersebut pada dasar zona CC19 atau puncak CC18. Zona CC19 Definisi : Interval antara FO Prediscosphaera cretacea di bagian dasar sampai FO Ceratolithoides aculeus di bagian puncak. Subzona : Zona ini dibagi menjadi subzona CC19a (bawah) dan CC19b (atas) berdasarkan LO Calculites ovalis dan/atau Bukryater Hayi. Umur : Campanian Tengah Keterangan : Puncak zona dapat diidentifikasi dengan baik dengan biomarker zonasi Sissingh (1977), yaitu FO Ceratolithoides aculeus. Bown (1999) juga menggunakan biomarker yang sama untuk indikator pun-
cak subzona UC15a yang korelatif dengan pucak zona CC19. Zona CC20 Definisi : Interval antara FO Ceratolithoides aculeus di bagian dasar sampai FO Uniplanarius sissinghi dan/atau Arkhangelskiella cymbiformis di bagian puncak. Subzona : Umur : Campanian Tengah Keterangan : Tetralithus nitidus yang ke munculan awalnya digunakan sebagai petunjuk puncak zona CC20 dalam zonasi Sissingh (1977) tidak dijumpai dalam studi ini. Sebagai pengganti digunakan FO Uniplanarius sissinghi dan/atau Arkhangelskiella cymbiformis yang menurut Perch-Nielsen (1985) terletak korelatif dengan puncak zona CC20. Bown (1999) juga menggunakan FO Uniplanarius sissinghi untuk puncak subzona UC15b yang korelatif dengan puncak zona CC21. Sebagai biomarker penunjang adalah FO Ceratolithoides verbeeki, spesies yang meskipun jarang tetapi relatif konsisten. Zona CC21 Definisi : Interval antara FO Uniplanarius sissinghi dan/atau Arkhangelskiella cymbiformis di bagian dasar sampai FO Uniplanarius trifidus dan/atau LO Ceratolithoides verbeeki di bagian puncak. Subzona : Zona ini dibagi menjadi subzona CC21a (bawah) dan CC21b (atas) berdasarkan LO Ceratolithoides arcuatus. Umur : Campanian Tengah Keterangan : Biomarker dalam zonasi Sissingh (1977), yaitu Uniplanarius trifidus (tatanama lama: Tetralithus trifidus Stradner, 1961 atau Uniplanarius trifidus Prins & Manivits, 1977) dapat diterapkan dengan baik untuk menentukan puncak Zona CC21. Sebagai alternatif digunakan LO Ceratolithoides verbeeki. Zona CC22 Definisi : Interval antara FO Uniplanarius trifidus dan/atau LO Ceratolithoides ver181
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
beeki di bagian dasar sampai LO Reinhardtites anthoporus dan/atau Eiffellithus eximius dan/atau FO Acuturris scotus di bagian puncak. Subzona : Zona ini dibagi menjadi subzona CC22a (bawah) dan CC22b (atas) berdasarkan FO dari Reinhardtites levis. Umur : Campanian Akhir Keterangan : LO Reinhardtites anthoporus dalam zonasi Sissingh (1977) dapat di aplikasikan dengan baik untuk menentukan puncak zona CC22 di daerah studi. Se bagai data pendukung untuk memperoleh keakuratan digunakan datum tambahan yang berupa LO Eiffellithus eximius dan/ atau FO Acuturris scotus yang menurut Perch-Nielsen (1985) dianggap mempunyai posisi stratigrafi sama. Bown (1999) juga menggunakan LO Eiffellithus eximius untuk menentukan puncak Zona UC15 yang korelatif dengan puncak Zona CC22. Zona CC23 Definisi : Interval antara LO Reinhardtites anthoporus dan/atau Eiffellithus eximius dan/atau FO Acuturris scotus di bagian dasar sampai LO Tranolithus pachelosus dan/atau Uniplanarius sissinghi dan/atau Uniplanarius trifidus di bagian puncak. Subzona : Zona ini dibagi menjadi subzona CC23a (bawah) dan CC23b (atas) berdasarkan LO Broinsonia parca constricta. Umur : Campanian Akhir sampai Maastrichtian Awal. Keterangan : Biomarker dalam zonasi Sissingh (1977) dapat diaplikasikan dengan baik untuk penentuan puncak Zona CC23 di daerah studi. Namun demikian, dua biomarker alternatif juga cukup baik digunakan seandainya Tranolithus pachelosus tidak muncul secara signifikan, yaitu LO Uniplanarius sissinghi dan/atau Uniplanarius trifidus. Kedua spesies tersebut sangat mudah diidentifikasi. Bown (1999) juga menggunakan LO Uniplanarius trifidus untuk menentukan puncak Zona UC17 yang 182
korelatif dengan puncak Zona CC23. Bown (1999) menggunakan tata nama Tranolithus orionatus (Reinhadt, 1966b) sebagai sino nim dari (Tranolithus pachelosus (Reinhadt, 1966a). Zona CC24 Definisi : Interval antara LO Tranolithus pachelosus dan/atau Uniplanarius sissinghi dan/atau Uniplanarius trifidus di bagian dasar sampai LO Reinhardtites levis di bagian puncak. Subzona : Umur : Maastrichtian Awal. Keterangan : LO Reinhardtites levis dalam zonasi Sissingh (1977) dapat diterapkan dengan baik untuk penentuan puncak Zona CC24 di daerah studi meskipun kemunculannya relatif jarang. Pengamatan mikroskopis yang teliti sangat diperlukan untuk dapat menentukan datum spesies tersebut secara tepat. Zona CC25 Definisi : Interval antara LO Reinhardtites levis di bagian dasar sampai LO Calculites obscurus dan/atau FO Cribrosphaerella daniae di bagian puncak. Subzona : Zona ini dibagi menjadi subzona CC25a (bawah), CC25b, CC25c dan CC23d (atas). Batas antara subzona CC25a/CC25b didasarkan pada FO Micula praemurus, batas antara subzona CC25b/CC25c didasarkan pada FO Micula murus, dan batas antara subzona CC25c/CC25d didasarkan pada LO Micula praemurus dan/atau FO Ceratolithoides kamptneri. Umur : Maastrichtian Tengah. Keterangan : Merujuk pada Perch-Nielsen (1985) yang menempatkan LO Calculites obscurus dan FO Cribrosphaerella daniae korelatif dengan puncak Zona CC25, kedua datum dari spesies tersebut kemudian digunakan dalam studi ini sebagai biomarker untuk puncak Zona CC25. Kedua datum tersebut merupakan pengganti FO Nephrolithus frequens (Sissingh, 1977) yang tidak teridentifikasi di daerah penelitian.
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni Kepala Burung, Papua (Panuju drr.)
Zona CC26 Definisi : Interval antara LO Calculites Obscurus dan/atau FO Cribrosphaerella Daniae di bagian dasar sampai LO Watznaueria barnesae dan/atau Micula decussata dan/atau Prediscosphaera cretacea dan/ atau Eiffelithus turrisefelii di bagian puncak. Subzona : Zona ini dibagi menjadi subzona CC26a (bawah) dan CC26b (atas) berdasarkan LO Lucianorhabdus arcuatus. Umur : Maastrichtian Akhir. Keterangan : Sissingh (1977) menggunakan kisaran stratigrafi atau FO dan LO Nephrolithus frequens sebagai petunjuk dasar dan puncak Zona CC12. Namun demikian, spesies tersebut tidak dijumpai di daerah studi, sehingga aplikasinya untuk
penentuan Zona CC26 di daerah studi tidak berhasil. Pada dasarnya, penentuan puncak Zona CC26 sangat mudah dilakukan karena sebagian besar kumpulan nanoplankton punah pada posisi stratigrafi tersebut. Selain LO Watznaueria barnesae, Micula decussata, Prediscosphaera cretacea dan Eiffelithus turriseifelii, masih banyak datum LO kelompok spesies lain yang secara signifikan terletak di puncak Zona CC26, yaitu Ceratolithoides, Cribrosphaerella, Microrhabdulus, Arkhangelskiella, retecapsa, Zeugrhabdotus¸rhagodiscus, dan lain-lain. Bagan zonasi Kapur Akhir Cekungan Bintuni beserta kisaran stratigrafi spesies indeksnya dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar spesies indeks ditampilkan dalam Pelat 1-2. PELAT 11 PELAT
Broinsonia parca
Arkhangelskella cymbiformis Acuturris scotus
Bukryaster hayii
Calculithes ovalis Broinsonia parca constricta
Ceratolithoides acuatus Calculithes obscurus
Ceratolithoides aculeus Ceratolithoides kamptneri
Ceratolithoides verbeeki
Cribrosphaerella daniae
Eprolithusfloralis floralis Eprolithus Lucanorhabdus maleformis
Lucanorhabdus cayeuxii
Eiffelithus turrisefelii
Lucanorhabdus arcuatus
Eifelithus eximus
183
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186
PELAT PELAT2 2
Marthasterites furcatus
Microrhabdulus decoratus
Uniplanarius staurophora
KESIMPULAN • Sedimen Kelompok Kambelangan Atas Cekungan Bintuni memiliki kandungan nanoplankton yang memenuhi syarat untuk pembuatan bagan zonasi nanoplankton regional secara baik. • Dengan beberapa perubahan, Zonasi nanoplankton Kapur (Sissingh, 1977) dapat diterapkan dengan relatif baik pada sedimen yang berumur Kapur Akhir di Cekungan Bintuni. Bahkan, potensi untuk meningkatkan resolusi zonasi tersebut masih sangat mungkin dilakukan. • Kapur Akhir adalah puncak keragaman dan kelimpahan nanoplankton. Masih banyak event biostratigrafi yang terlihat memiliki posisi stratigrafi sama, tetapi jika diteliti lebih lanjut dengan interval pengambilan percontoh yang sistematis 184
Micula praemurus
Uniplanarius sissinghi Reinhardtites levis
Reinhardtites anthoporus
Quadrum gartnerii
Micula murus
Tranolithus pachelosus
Uniplanarius trifidus
Micula decussata
Prediscospharea cretacae
Micula concava
Watznauria barnesae
dan lebih rapat ternyata berbeda sehingga dapat digunakan untuk memperhalus resolusi zonasi yang sudah ada. • Tujuh dari empatbelas Zona berumur Kapur Akhir dari zonasi Sissingh (1977) dapat dibagi menjadi enam belas subzona, sedangkan tujuh zona lainnya tetap sebagai unit biostratigrafi tunggal. Zona CC18, CC19, CC21, CC22, CC23 dan CC26 dapat dibagi menjadi 2 subzona, sedangkan Zona CC25 dapat dibagi hingga mencapai empat subzona. • Pembagian biostratigrafi dilakukan de ngan menggunakan datum dari spesies yang meliputi E. eximius, L. maleformis, M. furcatus, U. staurophora, M. decussata, L. arcuatus, R. anthoporus, M. concava, L. cayeuxii, E. floralis, Q. gartneri, C. obscurus, B. parca, B. parca consctricta, C. verbeeki, B. hayi, P. cretacea, C. ovalis, C. aculeus, U.
Zonasi Biostratigrafi Nanoplankton Berumur Coniacian - Maastrichtian (Kapur Akhir) Cekungan Bintuni Kepala Burung, Papua (Panuju drr.)
•
•
•
•
•
sissinghi, A. cymbiformis, C. arcuatus, U. trifidus, R. levis, A. scotus, T. pachelosus, C. kamptneri, M. praemurus, M. murus, C. daniae, W. barnesae, E. turrisefelii, dan M. decoratus. Tidak semua spesies indeks muncul secara melimpah, beberapa di antaranya merupakan minoritas dalam kumpulan. Namun demikian, semua biomarker adalah spesies yang mudah diidentifikasi dan dapat ditemukan secara konsisten jika observasi dilakukan secara cermat. Dalam studi ini, beberapa bidang umur (datum plane) dibuat memiliki lebih dari satu biomarker, sehingga penentuan bidang umur tersebut lebih tegas dan mempunyai alternatif ketika spesies indeks utama tidak ditemukan atau kemunculannya terlihat meragukan. Korelasi dengan umur absolut (radiometric dating atau carbon dating) diperlukan pada studi mendatang untuk dapat menempatkan setiap biomarker atau batas Zona ke posisi stratigrafi yang tepat. Anomali dalam aplikasi zonasi hasil penelitian ini dapat terjadi pada kasus perubahan fasies secara lateral, apalagi dalam studi ini, suatu zona atau subzona tunggal belum dianalisis pada semua jenis litologi yang ada di Cekungan Bintuni. Untuk memperoleh bagan zonasi biostratigrafi yang lebih aplikatif, akurat, dan teliti untuk sedimen di kawasan timur Indonesia, studi biostratigrafi yang intensif untuk umur Kapur, Jura, dan Trias Akhir perlu dilakukan. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan eksplorasi pada play berumur Pratersier.
UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada penanggung jawab studi “Paleogeografi dan Potensi HC Cekungan Pratersier Daerah Kepala Burung” LEMIGAS
yang telah memberikan izin sebagian datanya digunakan untuk pembuatan makalah ini. Makalah ini didedikasikan untuk para peneliti yang telah menjaga kehormatan LEMIGAS sebagai institusi penelitian dan pengembangan serta pelayanan di bidang teknologi migas.
ACUAN Alvarez, L.W., Alvarez, W., Asaro, F., dan Michel, H.V. 1980. Extraterestrial cause for the Cretaceous - Tertiary Extinction. Science, 208. Bown, P.R., 1999. Calcareous Nanoplankton Biostratigraphy. Kluwer Academic Publishers. De Celles, P.G., 2004. Late Jurassic to Eocene Evolution of the Cordilleran Thrust Belt And Foreland Basin System, Western U.S.A. American Journal of Science, 304. Ibrahim, Anditya, Satyana, A.H., Pudyo, N., dan Sunjana, E.S. 2006 Hydrocarbon Discovery in the Frontier Area at Eastern Indonesia: Lessons for Future Discoveries BPMIGAS, Jakarta, Indonesia. AAPG International Conference and Exhibition, Perth, West Australia. Karakitsios, V., Tsikos, H., van Breugel, Y., Koletti, L., Damste, J.S., dan Jenkyns, H.C., 2007. First Evidence for the Cenomanian-Turonian Oceanic Anoxic Event (OAE2, ‘Bonarelli’ Event) from the Ionian Zona, Western Continental Greece. International Journal Earth Science, 96. Keller, G., Adatte, T., Stinnesbeck, W., Stuben, D., Berner, Z., Kramar, U., dan Harting, G., 2004. More Evidence that the Chicxulub Impact Predates the K/T Mass Extinction. Meteoritic dan Planetary Science, 39. Lemigas, 2009. Paleogeografi dan Potensi HC Cekungan Pratersier Daerah Kepala Burung. Program Penelitian dan Pengembangan Teknologi Eksplorasi Migas. Lemigas Jakarta. Nayak, V.K., 2002. A Meteorite Impact Crater and Astroblemes in India. Lunar and Planetary Science, 33. Ogg, J.G., dan Bardot, L., 2001. Aptian through Eocene Magnetostratigraphic Correlation of the Blake Nose Transect (Leg 171B), Florida Continental Margin. Dalam: Kroon, D., Norris, R.D., and Klaus, A. (Eds.), Proceedings of ODP, Science Results, 171B, p. 1-58 185
Majalah Geologi Indonesia, Vol. 27 No. 3 Desember 2012: 171-186 Panuju, Hasjim, N., Raharjo, W., dan Kapid, R. 1996. Biostratigrafi Kapur Akhir (Maastrichtian) dan Paleogen Berdasarkan Nannoplangton di Indonesia Timur. Kumpulan Makalah HUT Pendidikan Tinggi Teknik ke-50, Peran Sumber Daya Geologi dalam Pembangunan Jangka Panjang II. Nafiri, Yogyakarta. Panuju, 2009. Representation of Nannoplankton Assemblage Succession throughout Cretaceous/Tertiary (K/T) boundary in the “P” Well Section, Santos Basin, Brazil. Proceedings 38th IAGI Convention and Exhibition.
186
Perch-Neilsen, K., 1985. Cenozoic Calcareous Nannofossils. Dalam: Bolli, H.M., Saunders, J. B. & Perch-Neilsen, K. (Eds,), Plankton Stratigraphy. Cambridge University Press. Cambridge. Sissingh, W., 1977. Biostratigraphy of Cretaceous Calcareous Nannoplankton. Geologie en Mijnbouw, 56(1), h.37-65. Walker, J.D. dan Geissman, J.W., 2009. Geologic Time Scale. Geological Society of America.