TINJAUAN PUSTAKA
Yunnie Trisnawati, Munar Lubis Divisi PGD/PICU Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RS H. Adam Malik Medan
Abstrak: Tekanan intrakranial (TIK) merupakan jumlah tekanan dari struktur - struktur di dalam rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan TIK, akan terjadi kompensasi berupa pengurangan volume otak. Peningkatan TIK pada anak penderita trauma kepala berat berhubungan dengan kesembuhannya, dimana dipengaruhi oleh nilai puncak TIK dan lama terjadinya peningkatan TIK. Metode hipotermia, sebagai salah satu tatalaksana lanjutan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif anak, memberikan efek neuroprotektif pada mekanisme dasar dari trauma kepala, seperti iskemia pasca trauma, eksitoksisitas, kaskade apoptosis dan edema serebral. Kata kunci: hipotermia, peningkatan tekanan intrakranial, trauma kepala berat Abstract: Intracranial pressure can be measured as a total amount of pressure of brain, blood and its vessels and also the cerebrospinal fluid intracranially. To maintain a normal constant pressure, due to the increase of intracranial pressure, a reduction of brain volume will happen. Increased of intracranial pressure in severe pediatric traumatic brain injury associated with recovery, influenced by the intracranial pressure’s value and duration of the increased of intracranial pressure. Hypothermia, as a second tier therapy of intracranial hypertension in Pediatric Intensive Care Unit, could give neuroprotective effect to the basic mechanisms of traumatic brain injury, such as posttraumatic ischemia, excitoxicity, apoptosis cascade and cerebral edema. Keywords: hypothermia, intracranial hypertension, severe traumatic brain injury
PENDAHULUAN Diagnosis dan tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) pada anak merupakan suatu hal yang sangat penting. Tekanan intrakranial merupakan jumlah tekanan dari struktur - struktur di dalam rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan tekanan CSS, seperti pada hidrosefalus, akan terjadi kompensasi dengan 1 terjadinya pengurangan volume otak. Sulit menentukan nilai normal TIK, tergantung pada usia, postur tubuh, dan keadaan klinis. Pada posisi horizontal, nilai
normal TIK orang dewasa berkisar 7-15 mmHg. Tekanan intrakranial mencapai nilai negatif pada posisi setengah duduk, yaitu berkisar -10 mmHg namun tidak melebihi -15 mmHg. Nilai normal TIK pada bayi dan anak, biasanya dinilai saat punksi lumbal tidak memberikan nilai diagnostik, lebih rendah dari nilai TIK pada orang dewasa yaitu berkisar 52 10 mmHg. Apapun jenis cedera otak, baik traumatik ataupun non traumatik, dapat menimbulkan edema otak, dan akhirnya meningkatkan TIK, yang jika tidak teratasi dapat menimbulkan cedera otak tambahan. Selama jalur cairan serebrospinal baik, awalnya edema otak biasanya menyebabkan pergeseran cairan
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008
248
Yunnie Trisnawati dkk.
Tatalaksana Peningkatan Tekanan...
serebrospinal, yang dapat dilihat dari CT scan dan MRI kepala. Gejala awal peningkatan TIK dapat ditandai dengan adanya iritabilitas, perubahan perilaku atau sakit kepala yang dapat mendahului timbulnya penurunan 3 kesadaran. Peninggian TIK juga dapat terjadi pada trauma kepala berat. Trauma kepala berat bila dijumpai tingkat kesadaran yang dinilai 4,5 dengan skala koma Glasgow bernilai ≤8. Cedera kepala merupakan cedera yang utamanya disebabkan gangguan mekanik yang sifatnya langsung terhadap jaringan otak dan merupakan sekunder dari berbagai macam proses serebral dan sistemik yang terjadi di 4 masa pasca trauma. Di negara barat, kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak pada anak usia 5 dan 19 tahun. Di Amerika Serikat, cedera kepala dan cedera muka dijumpai 3,6% di IGD dan 3,3% diantaranya membutuhkan perawatan rawat inap di rumah sakit. Saat ini, cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak yaitu berkisar 7000 anak tiap 5 tahunnya. Tujuan utama dalam tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial adalah menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi jaringan dan mencegah kerusakan sekunder dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan 6 tekanan perfusi ke otak. Pengobatan dimulai bila tekanan intrakranial mencapai 20 – 25 7,8 diantaranya dengan melakukan mmHg, hipotermia. Hipotermia telah digunakan sebagai salah satu metoda proteksi otak pada beberapa keadaan klinis peningkatan tekanan intrakranial selama beberapa tahun ini. Hipotermia sedang (temperatur 32-34°C) pada hewan percobaan yang mengalami iskemik ataupun trauma kepala yang fokal maupun luas telah menunjukkan berkurangnya cedera otak dan memperbaiki 9 perilaku. PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL Peningkatan TIK dapat terjadi pada beberapa penyakit neurologik. Hal ini dapat terjadi secara akut dalam beberapa jam, atau secara subakut atau kronis selama beberapa hari atau berbulan-bulan. Manisfestasi klinisnya bervariasi tergantung usia anak,
249
penyakit yang mendasari, dan progresivitas 6 penyakitnya. 1
Patofisiologi Peningkatan TIK Keadaan patologi jaringan otak yang berhubungan dengan TIK adalah edema serebri dan proses ruang desak. Edema serebri adalah pengumpulan cairan di dalam jaringan otak, baik intraselular atau ekstraselular. Edema serebri dapat terjadi lokal atau umum. Edema serebri umum dapat menyebabkan peninggian tekanan intrakranial. Proses ruang desak disebabkan tumor, abses, hematoma dan malformasi arteriovena. Peningkatan TIK terjadi karena proses desak ruang: a. secara fisis menempati ruang intrakranial, b. menimbulkan edema serebri, c. membendung sirkulasi dan absorpsi CSS, d. meningkatkan aliran darah ke otak, dan e. menyumbat pembuluh darah balik vena. Untuk memahami tekanan intrakranial perlu pemahaman mengenai apa yang disebut tekanan intrakranial normal dan peningkatan tekanan intrakranial. 1. Tekanan intrakranial normal Tekanan intrakranial normal berkisar antara 0-10 mmHg atau 0-136 mmH2O pada orang dewasa. Tekanan intrakranial bayi adalah 40-100 mmH2O (3,0-7,5 mmHg). Pada keadaan normal TIK ratarata tidak boleh melebihi 10 mmHg. TIK yang melebihi 15 mmHg harus dicari penyebabnya dan perlu diawasi lebih lanjut. 2. Peningkatan TIK Tekanan intrakranial 20-40 mmHg dianggap sebagai TIK yang tinggi dan bila mencapai 40 mmHg atau lebih disebut sebagai hipertensi intrakranial yang berat. Para ahli menyetujui bahwa TIK melebihi 25 mmHg memerlukan tindakan segera untuk mengatasinya. Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat Trauma Kepala Berat Klasifikasi trauma kepala bervariasi berdasarkan etiologinya. Klasifikasi yang rasional untuk digunakan adalah berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG), dimana jika skor SKG 14-15 disebut trauma kepala ringan, skor SKG 9-13 disebut trauma kepala sedang dan 10 skor SKG 3-8 disebut trauma kepala berat.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008
Tinjauan Pustaka
Peningkatan TIK pada anak penderita trauma kepala berat berhubungan dengan kesembuhannya, dimana dipengaruhi oleh nilai puncak TIK dan lama terjadinya 10 peningkatan TIK. Studi yang dilakukan oleh Esparza (1985) mendapati bahwa peningkatan TIK yang berkepanjangan atau terlalu tingginya nilai TIK akan memberikan hasil akhir yang buruk, dimana pada studi ini didapati angka mortalitas mencapai 28% pada kelompok anak penderita trauma kepala berat dengan nilai TIK 20-40 mmHg, sedangkan pada kelompok dengan nilai TIK > 40 mmHg 11 mencapai 100%. Pemantauan TIK perlu dilakukan pada bayi dan anak yang menderita cedera kepala berat. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral, oksigenasi dan hantaran substrat metabolik dan mencegah terjadinya herniasi. Tekanan intrakranial dimonitor dan diterapi dengan pemasangan kateter serat optik ventrikel atau strain gauge transducer.10 Tujuan utama dalam tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial adalah menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi jaringan dan mencegah kerusakan sekunder dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan 6 tekanan perfusi ke otak. Bila didapati berulangnya peningkatan tekanan intrakranial setelah intervensi pertama, terapi yang lebih intensif harus dipertimbangkan. Prinsip yang digunakan adalah menurunkan metabolisme dan aktivitas dari otak (barbiturat dan hipotermi) serta membuka rongga intrakranial 6,10 untuk menurunkan tekanan (kraniotomi).
melebihi 1°C per jam, dan harus dilakukan pemantauan tanda vital yang ketat serta atasi hipotensi yang dapat terjadi saat dilakukan 16 penghangatan kembali. Salah satu hal yang harus dicegah adalah menggigil karena dapat 6 menghambat proses pendinginan.
HIPOTERMIA Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh ≤ 35°C. Beberapa literatur mengklasifikasikan hipotermia menjadi 3, yaitu hipotermia ringan (suhu tubuh berkisar 12,13 32°C - 35°C), hipotermia sedang (suhu 14 tubuh berkisar 28°C - 32°C) dan hipotermia 15 berat (suhu tubuh berkisar 15°C - 22°C). Prosedur pelaksanaan hipotermia pada umumnya adalah dengan melakukan pendinginan dengan cara mengalirkan cairan NaCl 0,9% dingin ke dalam lambung atau dengan spon yang berisi air atau memakai 6 selimut pendingin. Lama proses ini bervariasi. Rewarming (penghangatan kembali) harus dilakukan secara hati-hati, kecepatannya tidak
Peranan Hipotermia pada Trauma Kepala Berat Pertimbangan dalam melakukan hipotermia di ruang perawatan intensif, ada satu hal yang harus dipikirkan adalah menentukan antara hipotermia yang tidak accidental) dan dikontrol (spontan, hipotermia yang terkontrol (ditimbulkan dengan melakukan pendinginan secara buatan) yang digunakan untuk mencegah atau mengurangi berbagai bentuk kerusakan 15 Menginduksi hipotermia dapat neuron. memberikan efek neuroprotektif pada pasien16 pasien dengan kerusakan neuron. Cedera otak akibat trauma kepala menimbulkan cedera primer dan cedera
15
Sejarah Hipotermia Metode hipotermia telah lama digunakan untuk keperluan pengobatan. Sebagai contoh, Hippokrates menggunakan membungkus luka pasien dengan menggunakan salju dan es untuk mengurangi perdarahan. Di awal abad ke-19, ahli bedah umum Napoleon, Baron Larrey mendapati bahwa prajurit terluka yang mengalami hipotermia dan diletakkan segera dekat perapian meninggal lebih cepat dibandingkan dengan prajurit yang tetap mengalami hipotermia. Laporan kasus pertama mengenai penggunaan hipotermia pada penderita trauma kepala berat dipublikasikan pada tahun 1945. Pada tahun 1950-an, Rosomoff mendapati bahwa hipotermia memberikan efek yang menguntungkan pada anjing yang menderita iskemia otak fokal dan trauma kepala eksperimental yang diterapi dengan hipotermia sedang. Beberapa uji klinis hipotermia pada sejumlah kecil sampel penderita dilakukan pertama kali di tahun 1960-an oleh Rosomof dan Safar, dimana hampir semua penelitian ini menggunakan hipotermia berat. Namun penelitian ini tidak diteruskan karena efek samping, keuntungannya meragukan dan penatalaksanaannya belum jelas.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008
250
Yunnie Trisnawati dkk.
Tatalaksana Peningkatan Tekanan...
sekunder. Cedera primer berupa kerusakan langsung di parenkim otak, sedangkan cedera sekunder meliputi perubahan endogen di otak dan efek sekunder kejadian di luar otak (misal: hipotensi, hipoksemia). Berikut ini mekanisme kerja hipotermia yang memberikan efek neuroprotektif pada mekanisme dasar dari 15,17 trauma kepala, yaitu: 1. Iskemia pasca trauma Beberapa studi pada orang dewasa mendapati adanya penurunan aliran darah ke otak segera setelah terjadi cedera yang menimbulkan terjadinya iskemia pasca 18,19 Hipoperfusi dini pasca trauma trauma. adalah hal yang lazim dijumpai, dan aliran darah ke otak kurang dari 20 mL/100 g/menit berhubungan dengan buruknya prognosis. Setelah 24 jam, aliran darah ini 17 seringkali kembali normal. Pada keadaan normotermia, infark biasanya terjadi dalam 24 jam. Namun, efek hipotermia dari beberapa studi pada hewan-hewan percobaan menunjukkan cedera otak berupa infark yang luas maupun lokal tidak dijumpai jika terapi 18 hipotermia segera dilakukan. 2. Eksitoksisitas Eksitotoksisitas merupakan proses dimana glutamate dan excitatory amino acid lainnya menimbulkan kerusakan neuron. Glutamat adalah neurotransmitter yang sangat banyak dijumpai di otak, namun jika mencapai kadar toksik akan 17 menimbulkan kematian neuron. Pada keadaan normal, produksi glutamate yang berlebihan ini akan segera diabsorbsi oleh terminal presinaps dan sel glial. Namun, proses re-uptake ini terganggu saat iskemia, sehingga terjadi peningkatan 15 glutamate ekstraselular yang berlebihan. Hipotermia terbukti memperbaiki homeostasis ion dan menghambat proses eksitoksisitas yang terjadi saat iskemia dan 19 reperfusi. Kaskade ini diawali dengan + gangguan homeostasis Ca yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari setelah iskemia. Hal ini menunjukkan adanya batas waktu (48-72 jam terjadinya iskemia) untuk dilakukan 15 intervensi seperti hipotermia. 3. Kaskade apoptosis Sel yang mengalami iskemia dapat menjadi nekrosis, sembuh (total atau 251
4.
parsial), atau memasuki jalur “kematian 20 sel” yang dikenal dengan apoptosis. Apoptosis didefinisikan sebagai bentuk sel yang sudah mati, ditandai dengan sel yang mengkerut dan kondensasi inti, fragmentasi DNA internukleosomal, dan 17 formasi badan apoptosis. Hipotermia dapat mencegah kerusakan sel yang berakhir pada apoptosis sel dan 21 mencegah disfungsi mitokondria. Proses ini terjadi dalam waktu 48 jam pertama, sehingga hipotermia dapat berfungsi sebagai neuroprotektif bila dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi trauma 15 kepala. Edema serebral Iskemia menginduksi gangguan di sawar darah otak (blood brain barrier), yang 15 menyebabkan terjadinya edema. Gangguan ini membutuhkan intervensi 22 terapeutik seperti pemberian mannitol. Selama di ruang perawatan intensif anak (PICU), pembengkakan serebral terjadi dan mencapai puncak dalam waktu 24 sampai 72 jam setelah terjadi trauma, namun peningkatan TIK tetap dipantau 17 selama 1 minggu atau lebih. Hipotermia mengurangi terjadinya gangguan pada sawar darah otak, memperbaiki permeabilitas vaskular sehingga 23 mengurangi edema.
Efek Terapeutik Hipotermia Hipotermia ringan (suhu tubuh 33°C) yang dilakukan selama 8 jam pada orang dewasa penderita trauma kepala akut, tidak menunjukkan perbaikan Skala Koma Glasgow 24 (SKG). Studi yang membandingkan anak penderita trauma kepala berat yang mendapatkan hipotermia sedang dengan kelompok yang mendapatkan normotermia, menunjukkan hasil tidak ada perbedaan dalam hal perbaikan fungsi neurologik dan dapat 25 Hasil meningkatkan angka kematian. sebaliknya pada studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) didapati adanya perbaikan SKG pada pasien trauma kepala berat setelah dilakukan hipotermia (suhu tubuh 32°C 26 33°C) selama 24 jam. Namun pada suatu studi systematic review didapati hipotermia sedang memberikan efek yang menguntungkan jika diberikan lebih dari 48 27 jam dibandingkan 24 jam.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008
Tinjauan Pustaka
Studi yang memasukkan peningkatan TIK (TIK > 20 mmHg atau > 25 mmHg; nilai normal < 15 mmGg) ke dalam kriteria inklusi, dan penurunan TIK sebagai salah satu penilaian keefektifannya, studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) dan Jiang JY, dkk (2000) menunjukkan hipotermia dapat menurunkan 26,28 TIK. Lama pemberian hipotermia dan kecepatan ideal penghangatan kembali masih kontroversial. Namun pada studi yang melakukan hipotermia sedang dan penghangatan kembali dalam 24 jam setelah penghentian hipotermia berhubungan dengan penurunan risiko yang buruk terhadap fungsi 27 neurologik. Metode hipotermia ini dapat menimbulkan efek samping. Efek samping yang dapat timbul berupa hipovolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, aritmia dan hipotensi. Clifton, dkk (2001) mendapati hipotensi sering terjadi pada kelompok yang mendapat hipotermia dibandingkan kelompok 24 kontrol. Hipomagnesemia dapat terjadi pada 29 keadaan hipotermia. RINGKASAN Peningkatan TIK sering didapati trauma kepala berat. Peningkatan TIK > 20 mmHg telah mengindikasikan dibutuhkannya penanganan segera untuk menurunkan TIK tersebut. Salah satunya adalah dengan melakukan metode hipotermia. Beberapa studi menunjukkan bahwa metode hipotermia dapat menurunkan TIK, namun suhu, lama pemberian dan kecepatan dilakukannya penghangatan kembali yang ideal masih kontroversial.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ismael S. Peninggian tekanan intrakranial. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: BP IDAI; 2000. h. 60-77. 2. Tasker RC, Czosnyka M. Intracranial hypertension and brain monitoring. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h. 828-45.
3. Cohen BH, Andrefsky JC. Altered states of consciousness. Dalam: Maria BL, penyunting. Current management child neurology. Edisi ke-3. London:BC Decker Inc; 2005. h. 551-61. 4. Dicarlo JV, Frankel LR. Neurologic stabilization. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke17. Philadelphia: WB Saunders Company; 2004. h. 308-9. 5. Menkes JH, Ellenbogen RG. Postnatal trauma and injuries by physical agent. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 659-702. 6. Kotagal S, Giza CC. Increased intracranial pressure dan traumatic brain injury in children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, penyunting. Pediatric neurology principles & practice. Edisi ke-3. Volume ke-2. St. Louis: Mosby; 1999. h. 945-52. 7. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;73(suppl 1):i23-7. 8. Guha A. Management of traumatic brain injury: some current evidence and applications. Postgrad Med J 2004; 80:650-3. 9. Mimisawa H, Smith ML, Siesjo BJ. The effect of mild hyperthermia and hypothermia on brain damage. NEJM 1999; 32:234-9. 10. Adelson PD, Bratton LS, Carney NA, dkk. Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children and adolescents. Pediatr Crit Care Med 2003; 4:1-76 11. Esparza J, Portillo JM, Sarabia M. Outcome in children with severe head injuries. Childs Nerv Syst 1985; 1:109114. 12. Bell TE, Kongable GL, Steinberg GK. Mild hypothermia: an alternative to deep hypothermia for achieving neuroprotection. J Cardiovasc Nurs 1998; 13(1):34-44.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008
252
Yunnie Trisnawati dkk.
Tatalaksana Peningkatan Tekanan...
13. Harris OA, Colford JM, Good MC, Matz PG. The role of hypothermia in the management of severe brain injury, a meta-analysis. Arch Neurol 2002; 59:1077-83
21. Ning XH, Chen SH, Xu CS, Li L, Yao LY, Qian K, et al. Hypothermic protection of ischemic heart via alterations in apoptotic pathways as assessed by gene array analysis. J Appl Physiol 2002; 92:2200-7.
14. Gupta AK, Al-Rawi PG, Hutchinson PJ, Kirkpatrick PJ. Effect of hypothermia on brain tissue oxygenation with severe head injury. Br J Anaesth 2002; 88:188-92.
22. Chi OZ, Liu X, Weiss HR. Effects of mild hypothermia on blood brain barrier disruption during isoflurane or pentobarbital anesthesia. Anesthesiology 2001; 95:933-8.
15. Polderman KH. Application of therapeutic hypothermia in the ICU: oppurtunities and pitfall of a promising treatment modality, part 1: indications and evidence. Intensive Care Med 2004; 30:556-75. 16. Kochanek MP, Forbes ML, Ruppel R, Bayir H, Adelson PD, Clark RSB. Severe traumatic brain injury in infants and children. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h. 1595-1617. 17. Marion DW, Darby J, Yonas H. Acute regional cerebral blood flow changes caused by severe head injuries. J Neurosurg 1991; 74:407-14. 18. Auer RN. Non-pharmacologic (physiologic) neuroprotection in the treatment of brain ischemia. Ann NY Acad Sci 2001; 939:271-82. 19. Globus MY, Alonso O, Dietrich WD, Busto R, Ginsberg MD. Glutamate release and free radical production following brain injury: effects of post-traumatic hypothermia. J Neurochem 1995; 65:1704-11. 20. Bouma GJ, Muizelaar JP, Stringer WA. Ultra-early evaluation of regional cerebral blood flow in severely head-injured patients using xenon-enhanced computerized tomography. J Neurosurg 1992; 77:360-8.
253
23. Lavinio A, Timofeev L, Nortje J, Outtrim J, Smielewski P, Gupta A, et al. Cerebrovascular reactivity during hypothermia and rewarming. Br J Anesth 2007; 99:237-44. 24. Clifton GL, Miller AR, Choi SC, Levin HS, McCauley S, Smith KR, et al. Lack of effect of induction of hypothermia after acute brain injury. NEJM 2001; 334(8):556-62. 25. Hutchinson JS, Ward RE, Lacroix J, Hebert CP, Barnes MA, Bohn DJ, et al. Hypothermia therapy after traumatic brain injury in children. NEJM 2008; 358:2447-56. 26. Marion DW, Penrod LE, Kelsey SF, Obrist WD, Kochanek PM, Palmer AM, et al. Treatment of traumatic brain injury with moderate hypothermia. NEJM 1997; 336(8):540-6. 27. McIntyre LA, Fergusson DA, Hebert PC. Prolonged therapeutic hypothermia after traumatic brain injury in adults: a systematic review. JAMA 2003; 289:2992-99. 28. Jiang JY, Yu MK, Zhu C. Effect of longterm mild hypothermia therapy in patients with severe traumatic brain injury: 1- year follow up review of 87 cases. J Neurosurg 2000; 93:546-9. 29. Polderman KH, Peerdeman SM, Girbes ARJ. Hypophosphatemia and hypomagnesemia induced by cooling in patients with severe head injury. J Neurosurg 2001; 94:697-705.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008