YANTRA DAN MANTRA WAYANG KULIT SUDDHAMALA DALAM UPACARA MAMUKUR Oleh : I Made Gde Chandra Narayama *) ABSTRACK
Shadow puppets is one of the art form that is still preserved and developed by his successors. Balinese shadow puppets in the played in any religion can not be separated from the influence of religious, that can be divided into three, namely: wali puppet, bebali puppets and balih-balihan puppet. Of the three types of puppets, shadow play is a kind of puppet of Suddhamala guardians who just performed at the ceremony Pitra Yadnya and Manusa Yadnya. Shadow puppets of Suddhamala are sacred puppets ceremony staged at Pitra Yadnya especially Mamukur ceremony. In the shadow puppet performances Suddhamala, yantra and mantra role is very important. Yantra and mantra Suddhamala shadow puppet is a means or media used by the puppeteers to visualization and transformation all forms of expression, messages, wishes, and so forth motion so that all the desired objectives can be realized. Yantra in Suddhamala shadow puppets can take the form of puppet and offerings presented at the time of staging. Mantra can be chanted Suddhamala shadow puppets by puppeteers while before staging, staging is complete, and when the request holy water (tirtha). Thus, yantra and mantra shadow puppets of Suddhamala in the Mamukur ceremony is an integral and complemented so that the purpose of the ceremony can be achieved. Key words: Yantra, Mantra, Suddhamala shadow puppets, Mamukur ceremony I. PENDAHULUAN Wayang kulit merupakan karya budaya genius bangsa Indonesia yang telah dikenal sejak abad X, dan kini masih mempunyai posisi dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Wayang pada awalnya merupakan budaya lisan yang bermutu seni sangat tinggi. Daya tahan dan perkembangan wayang telah teruji dalam menghadapi tantangan zaman, oleh karena wayang berakar dalam masyarakat. Wayang tidak hanya sekedar tontonan atau hiburan melainkan berisi nasehat (pitutur) yang penuh dengan keteladanan. Pementasan wayang menggambarkan wewayangane ngaurip, karena merupakan bayangan atau simbol kehidupan manusia dari lahir sampai mati. Wayang sebagai bayangan dalam kehidupan manusia karena wayang menggambarkan kehidupan manusia dengan
segala persoalan yang dihadapinya (Soetrisno, 2008: 3-4). Wayang kulit merupakan salah satu seni pertunjukan yang masih lestari dan terus dikembangkan seperti di Jawa dan Bali. Demikian pula kesenian didalamnya mengandung unsur-unsur seni, budaya, dan agama. Di samping itu, kesenian wayang adalah salah satu hasil kreatifitas budaya yang ditetapkan oleh UNESCO (United Nation Educational Scientific Cultural Organisation) sebagai warisan budaya dunia pada tanggal 7 November 2003. Penetapan itu tercantum pada piagam yang bernama “A Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” (Soetrisno, 2008:1) *) I Made Gde Chandra Narayama, S.Ag., M.Fil.H., Alumni Program Studi Brahma Widya, PPs. IHDN Denpasar, sebagai staf pengajar/Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Brahma Widya, IHDN Denpasar 1
Pertunjukan wayang di Bali telah dikenal masyarakat, yaitu pada pemerintahan raja Ugrasena. Hal ini dapat dilihat pada sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Ugrasena yang sekarang disimpan di Desa Bebetin Kabupaten Buleleng. Prasasti tersebut menyebutkan tentang adanya kelompok kesenian yaitu pemukul (penabuh gambelan), pegending (penyanyi), pebunjing, papadaha (pemukul kendang), pabangsi (pengesek rebab), partapuk (penari topeng) dan parbwayang (pertunjukan wayang). Pada saat itu pertunjukan wayang sangat digemari oleh masyarakat pada pemerintahan raja Ugrasena (Sukaderi, 2008: 2-3). Pertunjukan wayang dilihat dari fungsi dan peranannya dalam masyarakat mengalami perubahan jika dibandingkan pada zaman-zaman dahulu. Hal ini tergantung dari kebutuhan, tuntutan, pola pikir, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga pementasan wayang kulit dapat dilihat seperti sekarang ini. Tumbuh dan berkembangnya kesenian wayang di Bali seiring dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia (Wiadnyana, 2007: 3). Wayang didayagunakan sebagai alat atau sarana untuk menyampaikan pesan-pesan atau ajaran-ajaran yang termuat dalam kitab suci Veda khususnya dalam kitab Itihasa yaitu: Mahabharata dan Ramayana. Dalam pementasannya, wayang juga tidak terlepas dari kreasi sang dalang yakni melakukan inovasi atau perubahan-perubahan baik dari segi pementasannya maupun dari segi cerita dengan tidak mengurangi makna yang termuat dalam sumber aslinya (Veda). Kitab suci Veda merupakan sumber ajaran agama Hindu yang dalam ajarannya berlandaskan pada tiga kerangka dasar yaitu: Tattwa (filsafat), Susila (etika) dan Acara (ritual). Ketiga unsur tersebut dilaksanakan secara utuh untuk memperdalam rasa bhakti kepada Sang Hyang Widhi, juga menjaga rasa persatuan untuk meningkatkan keimanan lahir batin.
Dalam praktek dan realisasi ajaran agama hindu diterapkan sebuah konsep yang disebut dengan Panca Yajña. Panca Yajña merupakan lima jenis pengorbanan yang tulus ikhlas tanpa pamerih yang diwujudkan dalam bentuk upacara (aktifitas ritual) yang terdiri dari: Dewa Yajña yaitu korban suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi) dan beserta manifestasi-Nya. Pitra Yajña yaitu suatu upacara untuk pemujaan kepada roh leluhur yang telah disucikan melalui upacara Ngaben dan Mamukur dengan hati yang tulus. Manusa Yajña adalah korban suci tulus ikhlas yang ditujukan pada umat manusia dengan tujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama. Rsi Yajña.yaitu korban suci yang tulus ikhlas yang dipersembahkan kepada Rsi, Pandita, Pinandita dengan tujuan untuk kesejahteraan baik lahir maupun batin. Bhuta Yajña adalah korban suci kepada makhluk-makhluk bawahan baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan untuk memelihara kesejahteraan dan ketentraman alam semesta (Wiadnyana, 2007:4). Pada umumnya dalam pelaksanaan upacara yajña khususnya upacara Mamukur dipentaskan wayang kulit yang disebut dengan Wayang Lemah atau Wayang Kulit Suddhamala. Wayang kulit Bali dilihat dari fungsinya sebagai pendukung ritual keagamaan dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni: (1) pertunjukan babali, yakni pertunjukan wayang kulit untuk menyertai pelaksanaan upacara keagamaan seperti upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya. (2) pertunjukan balih-balihan, yaitu pertunjukan wayang untuk hiburan yang menekankan pada nilai-nilai artistik dan didaktis (Wicaksana, 2000: 133). Pada pementasan wayang tidak terlepas dari upacara keagamaan. Dari berbagai jenis wayang kulit, wayang Lemah/Gedog, wayang Sapuh Leger dan wayang Suddhamala merupakan wayang yang dipentaskan dalam upacara keagamaan sebagai pelengkap suatu upacara yang dikenal dengan wayang wali. 2
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat dan maju, maka diberbagai segi kehidupan mengalami imbasnya. Seperti halnya dalam seni pertunjukan wayang kulit sudah mengalami perubahan yang besar dan signifikan. Hal ini dapat diketahui dari semaraknya masyarakat (penonton) yang senang menikmati pertunjukan wayang kulit modern, sehingga peran dan fungsi wayang kulit yang bersifat wali dan tadisi sudah mulai tidak digemari lagi sebagai sebuah pementasan yang memiliki tujuan sebagai persembahan atau yajña serta sebagai pedoman hidup dalam menjalani kehidupan. Begitu juga halnya dengan pementasan Wayang Kulit Suddhamala yang mana wayang yang dikategorikan sebagai wayang wali ini sangat disakralkan oleh umat Hindu. Pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala biasanya dipentaskan ketika ada upacara agama seperti Manusa Yajña dan Pitra Yajña. Pertunjukan wayang kulit ini diyakini oleh umat Hindu dapat membersihkan serta menyucikan diri secara sekala-niskala bagi orang yang melaksanakan upacara tersebut. Menurut Hooykaas (dalam Yudabakti dan Watra, 2007 : 113-114) mengatakan bahwa ada beberapa orang yang patut diruwat dengan Wayang Suddhamala, serta berbagai mantra atau sakralisasi yang bertujuan agar orang yang meninggal tidak menderita di alam akhirat. Adapun orang-orang yang perlu diruwat dengan Wayang Suddhamala, yakni: orang mati atau ketika hidupnya mengalami sakit ila (sakit lepra, gila dan sebagainya), orang yang mati salah pati dan ulah pati, dan orang mati mengandung (ngadut manik). Di sisi lain, jika dicermati lebih mendalam, pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala sampai saat ini masih dipentaskan di beberarapa daerah di Bali seperti di Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar. Di sisi lain pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala sarat dengan makna dan fungsi yang cukup signifikan. Selain itu, banyak Dalang yang kurang memahami bagaimana wujud-wujud yantra dan mantra
dalam Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur sehingga dalam pementasannya hanya mengutamakan isi cerita atau lakon yang dibawakan serta berisi humor atau lelucon. II. PEMBAHASAN 2.1 Yantra dan Mantra Wayang Kulit Suddhamala Dalam Upacara Mamukur Dalam kamus Sanskerta, kata yantra memiliki arti mengikat, menyimpulkan, sebuah peralatan, instrumen, mesin, dan sebuah jimat (Surada, 2007:257). Yantra umumnya berarti alat untuk melaksanakan sesuatu guna mencapai tujuan. Di dalam pemujaan, yantra adalah sarana tempat memusatkan pikiran. Yantra merupakan aspek dalam dari bentuk penciptaan. Sifat dasar dari manusia dan binatang, seperti halnya para dewata yang diekspresikan melalui yantra. Yantra adalah garis-garis lurus, lengkung yang dipadukan yang merupakan basis dari energi alam semesta yang merupakan perwujudan dewata (Titib, 2003:469-470). Selain itu, yantra adalah suatu lukisan geometri dari tipe tertentu yang mempunyai makna serta mempunyai bentuk yang berbeda-beda sehingga pada masingmasing bentuk memiliki struktur dan komposisi dari suatu dewa tertentu (Tim Penyusun, 1987:6). Yantra merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang dalam hal melakukan pemujaan serta persembahan kehadapan Tuhan. Yantra dilihat dari struktur memiliki bentuk yang beragam serta disusun sesuai dengan si penggunanya. Hal senada dijelaskan pula dalam kamus Jawa Kuno oleh L. Mardiwarsito (dalam Wiana 2004:189), kata yantra dinyatakan berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya sarana untuk memuja Dewa, sedangkan dalam kamus SanskertaIndonesia, kata yantra diartikan harta kekayaan, bantuan, alat perlengkapan dan lain-lain. Yantra merupakan kebutuhan dasar untuk menggambarkan semua simbolsimbol, semua wujud suci, altar, pura dan mudra. Yantra dipergunakan dalam upacara 3
pemujaan, devata dihadirkan dengan menggambar melalui yantra dan memanggil nama yang gaib. Yantra dapat diekspresikan ke dalam aspek internal dari setiap bentuk ciptaan. Sifat alami manusia dan binatangbinatang, seperti halnya dewa-dewa dapat diekspresikan melalui yantra (Titib, 2003:469). Yantra dapat berbentuk diagram, dilukis atau dipahatkan di atas logam, kertas atau benda-benda lain dan disucikan seperti menyucikan pratima, kemudian dilakukan pemujaan melalui sarana yantra tersebut, seperti pemujaan melalui pratima, arca (patung), dan sebagainya. Mantra yang berbeda digunakan untuk melakukan pemujaan yang berbeda, demikian pula halnya dengan penggunaan yantra-yantra. Menurut Ensiklopedi Hindu, yantra merupakan simbol seperti banten atau alatalat upacara (Tim Penyusun, 2011:619). Yantra adalah segala bentuk dan wujud sarana, alat atau instrumen yang dipergunakan oleh seorang dalang dalam pementasan Wayang Kulit Suddhamala. Selain itu, yantra lebih banyak mengejawantah ke dalam berbagai lambanglambang atau simbol beserta peralatan, sarana dan prasarana ritual bersangkutan. Mantra berasal dari bahasa Sanskrta dari kata “Man” artinya pikiran dan “Tra” artinya menyeberangkan. Dengan demikian mantra adalah media untuk menyeberangkan pikiran dari yang tidak suci atau tidak benar menjadi semakin suci dan semakin benar (Wiana, 2004:184). Mantra memiliki tujuan untuk melindungi pikiran dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar dan suci. Menurut Danielou (dalam Titib 2003:437) bahasa yang benar yang merupakan ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut dengan mantra. Kata mantra berarti “bentuk pikiran”, sehingga seseorang yang mampu memahami makna yang terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang digambarkan di dalam mantra tersebut. Mantra adalah kumpulan dari pada kata-kata yang mempunyai arti mistik, serta umumnya berasal dari bahasa Sanskerta dan dinamai Bijaksara (Tim Penyusun, 1987:6).
Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri sehingga untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan “svara” atau ritme, dan warna atau bunyi. Apabila mantra tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya hanya sekedar kalimat (Avalon dalam Titib, 2003:439). Mantra merupakan sebuah pola gabungan kata-kata bahasa Veda yang diidentikkan dengan dewa atau dewi tertentu. Mantra digunakan dalam sadhana Tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau diulangulang dalam berbagai kombinasi dan konteks yang kemudian membuat pola vibrasi tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang adalah warisan dari para maharsi, orang suci, sadhu dan yogi yang telah mempraktekkan berbagai mantra selama ribuan tahun (Chawdhri, 2003:97). Dalam pengucapan mantra, ada ha-hal yang perlu dicermati seperti: susunan kata-kata, ritme/intonasi serta pengucapan yang tepat yang diikuti dengan suasana lingkungan yang baik sehingga akan menciptakan suatu kesucian. Jadi mantra adalah sebuah kata-kata atau kalimat suci yang bersumber dari kitab suci Veda khususnya dalam teks Dharma Pewayangan yang diucapkan oleh sang dalang pada saat pementasan Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur. Wayang Kulit Suddhamala terdiri atas dua kata yaitu wayang kulit dan Suddhamala. Kata wayang berarti “bayangan”. Berbicara bayangan mesti harus ada sumber cahaya. Sumber cahaya yang dimaksud adalah Tuhan. Wayang adalah menceritakan kembali alam semesta ini sebagai bayangan dari yang menciptakanNya, dengan berbagai interpretasi dan kemampuan intelek dari yang menceritakannya (Yudabakti dan Watra, 4
2007: 93-92). Menurut Watra (2006: 4) wayang adalah bayangan akibat dari adanya sinar antara gelap dan terang (rwa bhineda). Pengertian wayang selanjutnya dinyatakan sebagai orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk menerangkan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional yang dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Selain itu, sesuai dengan perjalanan waktu pengertian wayang menjadi berkembang bukan hanya berarti bayangan, tetapi juga dapat berarti pertunjukan panggung atau teater dan juga berarti pemain (Semadi, 2006:21). Menurut Sugriwa (1963 : 16) menjelaskan tentang wayang kulit adalah suatu pertunjukan wayang yang di buat dari kulit sapi yang dipahat serta merupakan bentuk khayalan dari dewa-dewa, raksasa, binatang, pohon-pohon dan lain-lain. Hal senada juga diungkap oleh Rudita (2011 : 22) wayang kulit adalah suatu aktifitas pertunjukan dramatik dengan memainkan wayang yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau sebagai media ungkap. Sedangkan kata Suddhamala terdiri dari kata sudha yang artinya bersih atau suci dan mala yang artinya kotor atau leteh. Dengan demikian Suddhamala berarti upacara pembersihan kekotoran secara niskala pada diri manusia atau atma orang yang sudah meninggal (Yudabakti dan Watra, 2007: 103). Dalam Kamus Jawa Kuna menjelaskan kata Śuddha berarti bersih, suci, murni, tak tercela, tak ternoda (Mardiwasito,1985: 569-570). Kata Sudha artinya suci (Punyatmadja,1993: 83). Demikian juga dalam Kamus Istilah Agama Hindu kata Suddha berarti bersih, murni, terang, cerah, putih (Tim Penyusun,2002: 110). Dalam Kamus Bahasa Bali di jelaskan bahwa kata Suddhamala berarti menjauhkan kekotoran atau menghilangkan kekotoran (Sutjaja,2003: 123 dan 230). Dalam Kamus Sanskerta Śuddha berarti bersih, suci cemerlang (Surada,2009: 287). Sedangkan kata mala artinya kotor, noda, cemar kejahatan, cacat (Mardiwasito,1985: 337). Kata Mala dalam Kamus Istilah Agama
Hindu berarti kotor, noda, cacat, dosa (Tim penyusun,2002: 60). Demikian juga kata Mala berarti kotoran, dosa (Surada,2009: 250). Wayang Kulit Suddhamala merupakan salah satu jenis seni pewayangan yang bersifat wali atau sakral ritual dan religius yang selalu dipentaskan serangkaian upacara Pitra Yajña khususnya dalam upacara Mamukur. Dari segi penggunaan sarana (aparatus), pertunjukan wayang kulit mempunyai dua bentuk, yaitu pertunjukan wayang yang menggunakan layar (kelir) yang dikenal dengan wayang peteng dan pertunjukan wayang yang tidak memakai layar (kelir) yang disebut dengan wayang lemah (Semadi, 2006:22). Pertunjukan dalam Wayang Kulit Suddhamala biasanya dipentaskan pada malam hari maupun pada siang hari disesuaikan dengan situasi dan kondisi upacara yang diselenggarakan. Sarana pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala ketika dipentaskan pada malam hari menggunakan kelir/kain putih seperti pagelaran wayang pada umumnya, sedangkan pada siang hari tidak menggunakan kelir tetapi diganti dengan benang tukelan (seutas benang putih tenunan Bali) yang direntangkan di antara dua cabang/batang dapdap (kayu yang khusus dipakai pada pertunjukan wayang lemah, yang diberi nama Kayu Sakti) yang dipancangkan di sisi kanan dan kiri dari sisi depan arena pementasan. Jadi pengertian Wayang Kulit Suddhamala adalah pementasan wayang Suddhamala yang berfungsi untuk membersihkan segala kekotoran secara niskala pada diri manusia baik dalam masa hidup maupun pada waktu meninggal dengan tujuan untuk menyucikan diri baik sekala maupun niskala. Upacara dalam agama Hindu memiliki ruang lingkup serta dimensi yang luas. Oleh karena itu upacara tidak hanya mengandung dimensi religius tetapi aspek sosial dan budaya turut mendukung serta mempengaruhinya. Kata upacara berasal dari kata Upa dan Cara. Upa berarti dekat atau mendekat dan “Cara” berasal dari urat kata 5
“Car” yang memiliki arti harmonis, seimbang, dan selaras. Jadi upacara memiliki arti serta makna keseimbangan, keharmonisan, dan keselarasan dalam diri kita (Wiadnyana, 2007:24). Upacara merupakan suatu usaha atau jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan beserta manifestasi-Nya sehingga keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan dapat tercapai. Hal ini juga diungkapkan oleh Wiana (2004:49) bahwa kata upacara berasal dari bahasa Sanskerta artinya mendekatkan. Dengan demikian mendekat dalam upacara agama Hindu didasarkan pada yajña yakni korban suci tulus ikhlas. Oleh karena itu upacara yajña merupakan usaha manusia dalam beryajña untuk mendekatkan diri pada alam lingkungan, sesama manusia, dan yang paling utama adalah mendekatkan diri pada Tuhan (Wiana, 2004: 49). Upacara Mamukur merupakan suatu istilah yang dipergunakan dalam kaitannya dengan Upacara Pitra Yajña, khususnya dalam proses penyucian roh tahap kedua setelah melaksanakan upacara Ngeben. Kata Mamukur berasal dari kata “bukur”. Kata “bukur” akronim dari kata “bu/bhu” artinya alam, dan kata “ur” berasal dari kata “urdhah” artinya atas. Kata “bukur” artinya alam atas. Kata Mamukur artinya menuju alam atas atau swah loka yang juga disebut Swarga. Upacara Mamukur adalah upacara Pitra Yajña yang dilakukan setelah upacara Ngaben untuk meningkatkan kesucian arwah menjadi dewa pitara sehingga dapat berada di alam dewa atau swah loka. Dewa pitara yang penuh kesucian memberikan bimbingan serta perlindungan kepada seluruh keturunannya, sehingga dewa pitara juga diberi sebutan bhatara kawitan yang dipuja pada palinggih Kamulan atau Kawitan (Purwita, 1992:4-5). Dalam Ensiklopedi Hindu upacara Mamukur bertujuan untuk menyucikan suksma sarira atau badan halus seseorang agar kembali ke unsur-unsur Panca Tan Matra, yakni unsur yang lebih halus dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta dan diharapkan Atma atau roh seseorang yang diupacarakan tidak terikat dengan unsur-unsur materi (Panca Maha Bhuta dan
Panca Tan Matra) serta dapat mencapai alam Svarga atau Svargaloka dan bahkan mencapai Moksa (Tim Penyusun, 2011:275). Di Bali ada beberapa istilah yang mempunyai pengertian yang hampir sama dengan Mamukur, yaitu: Nyekah, Ngeroras, dan Maligya. Namun istilah yang umum digunakan dalam proses penyucian pada tingkat Atma atau roh adalah Mamukur dan Maligya. istilah Mamukur dan Maligya sudah lazim dipergunakan untuk menyatakan suatu jenis upacara yang bertujuan untuk menyucikan Atma sehingga dapat mencapai moksa atau bersatu dengan Tuhan. 2.2 Bentuk Yantra Wayang Kulit Suddhamala Dalam Upacara Mamukur Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa bentuk adalah kata benda yang mengandung pengertian sebuah bangunan yang dapat memberikan gambaran wujud atau rupa dari sesuatu (Suharto, 2002 : 135). Ducasse dalam bukunya The Philosophy of Art (1929) membedakan karya seni dari segi bentuk dan isi. Menurutnya dari segi bentuk terdiri dari unsur-unsur abstrak dari suatu karya seni yaitu berbagai garis, warna, nada, hubungan-hubungannya menurut waktu, ruang atau sebab akibat, sedangkan dari segi isi terdiri dari unsurunsur dramatiknya dari suatu karya seni yakni penggambaran (pokok soal) berupa orang-orang atau kejadian-kejadian. Baik bentuk maupun isi memiliki ciri emosional yang jelas (Gie, 2004 : 33-32). Menurut Ahmad dalam bukunya Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2006 : 112) mengatakan bahwa bentuk mengandung pengertian : bangun, wujud dan rupa. Djelantik (dalam Rudita, 2011 : 72-73) menguraikan tentang struktur dalam karya seni atau kesenian adalah aspek yang menyangkut keseluruhan dari karya dan meliputi juga peranan dari masing-masing bagian dalam keseluruhan. Kata struktur mengandung pengertian suatu pengorganisasian, pengaturan, ada hubungan yang tertentu antara bagian-bagian dari keseluruhan itu. Dalam struktur karya seni 6
ada tiga unsur mendasar yang berperan yaitu: 1) Unity (keutuhan); mempunyai tiga segi yaitu keutuhan dalam keanekaragaman, keutuhan dalam tujuan atau maksud, dan keutuhan dalam perpaduan atau kontras, 2) Dominance (penonjolan) yaitu mengarahkan perhatian pada orang yang menikmati suatu karya seni ke suatu hal tertentu yang dipandang lebih penting dari pada hal-hal yang lain dalam karya seni itu, dan 3) Balance (keseimbangan); rasa keseimbangan dalam karya seni paling mudah tercapai dengan simetri. Dengan menggunakan teori Estetika dari Djelantik tentang unsur-unsur kesenian yang terdiri dari tiga aspek, yaitu: wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian, maka mengenai bentuk yantra dan mantra Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur dapat di lihat dari: 1) Pengertian dan jenis-jenis yantra, 2) Yantra dalam Wayang Kulit Suddhamala, 3) Yantra dalam bentuk upakara. 2.2.1 Jenis-Jenis Yantra Dalam Wayang Kulit Nyasa yang banyak dipergunakan dalam agama Hindu adalah simbol dengan garis-garis tertentu yang disebut dengan “yantra” atau “rekha”. Perpaduan warna dan kembang, gambar-gambar tertentu dan area yang wujud bentuknya kadang-kadang fantasi. Semuanya merupakan “sakala sarira” (badan kasar). Huruf adalah badan kasar yang dapat pula dipakai sebagai nyasa. Bentuk badan lainnya yang juga merupakan simbol adalah suara. Suara-suara ini dapat berbentuk mantra, stotra, lagu dan lain-lain (Puja, 2007 : 28). Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian (Tim Penyusun, 2009 : 17). Umat Hindu dalam mengekpresikan rasa bhaktinya pada Tuhan dapat dilihat dari penggunaan simbol-simbol keagamaan. Simbol-simbol tersebut merupakan alat atau instrumen yang diyakini memiliki kekuatan yang sangat efektif dalam menjalani
kehidupan untuk mencapai kesadaran Tuhan. Selain itu, jika yantra terdiri dari berbagai gambar dan tulisan, maka mantra dan tantra secara internal saling berhubungan karena keduanya diekspresikan dengan media yantra (Chawdhri, 2003 : 3). Secara umum yantra adalah sebuah gambar khusus yang digurat pada lempengan logam, baja, tembaga, perak atau emas dan kulit. Bahan yang digunakan biasanya adalah bahan yang bersifat tahan lama sehingga ketika dilakukan puja, yang menggunakan akan terlindungi dari berbagai kekuatan yang berlawanan dengannya. Dalam sastra disebutkan bahwa yantra adalah pengetahuan yang dapat digunakan dalam mengendalikan lima elemen alam serta dengan mengulang-ulang mantra. Lebih jauh, Chawdhri membedakan dalam pembagian serta jenis-jenis yantra disesuaikan dengan puja yantra menjadi lima jenis yaitu: 1) Bhu Pristha Yantra : yantra ini terbuat dari berbagai jenis bahan yang dapat dibedakan menjadi yantra yang dibuat timbul dengan diikuti oleh puja mantra, bija mantra dan yantra yang hanya ditulis saja. 2) Meru Pristha Yantra adalah yantra yang terbuat seperti pegunungan karena dasarnya yang besar, mengecil hingga ke puncak. 3) Patala Yantra adalah yantra-yantra yang berbentuk seperti gunung terbalik berlawanan dengan Meru Yantra dan yantra ini diukir. 4) Meru Parastar Yantra adalah yantra yang di potong. 5) Ruram Pristha Yantra adalah yantra yang berbentuk segi empat yang pada dasar dan puncaknya berbentuk kura-kura di puncaknya (2003 : 11-12). Yantra merupakan alat atau instrumen yang digunakan oleh seseorang ketika melakukan suatu pemujaan memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Hal ini dapat diketahui dari beberapa umat Hindu yang menggunakan yantra dalam melakukan pemujaan atau persembahyangan yaitu: menggunakan simbol-simbol atau sarana persembahyangan. Begitu juga halnya dalam pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala, dalang merupakan pelaku utama sekaligus 7
narator atau sutradara yang mengolah serta mengatur jalannya pertunjukan. Dalam pertunjukan wayang kulit, sang dalang tidak dapat lepas dari alat bantu untuk menyampaikan visi atau pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain (penonton). Alat bantu tersebut adalah wayang kulit, dimana wayang kulit dalam hal ini (konteksnya) merupakan yantra bagi sang dalang dalam melakukan pertunjukan. Bagi sang dalang, pertunjukan wayang kulit tidak hanya sebatas pertunjukan semata (hiburan), namun merupakan sebuah persembahan serta pemujaan kepada Beliau (Tuhan). Persembahan atau pemujaan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit bagi sang dalang merupakan tugas dan kewajiban (dharmaning sang dalang) dalam menyebarkan pesan-pesan yang termuat dalam kitab suci Veda yang di kemas dengan cerita-cerita yang dekat dengan kehidupan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, yantra dalam bentuk wayang kulit disesuaikan dengan jenis wayang. Jenis-jenis wayang kulit dapat dikategorikan seperti, Wayang Parwa,Wayang Ramayana, Wayang Tantri, Wayang Babad dan lain sebagainya. Oleh karena itu, jenis-jenis yantra dalam wayang kulit dapat berupa tokoh dewa/ bhatara, raksasa, manusia, binatang, tumbuhan dan sebagainya. 2.2.2 Yantra Wayang Kulit Suddhamala Pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala mempunyai makna yang sangat kompleks. Di samping itu, penggunaan yantra merupakan sarana yang utama juga di samping pertunjukan wayang kulit. Adapun yantra yang lazim di masyarakat Sukawati disimbolikkan dengan upacara-upakara yang merupakan sarana vital dalam media permohonan Tirtha Suddhamala dalam Upacara Mamukur khususnya di Kecamatan Sukawati. Makna yantra dalam pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala tidak hanya semata-mata disimbolkan dengan proses upacara-upakara yang lengkap dengan sangku, karowista, uang kepeng (jinah bolong) dan jumlah bunga lima sampai sebelas macam jenis bunga, melainkan
dalang dan wayang beserta perangkatnya adalah kesemuanya juga merupakan simbolsimbol yantra. Dengan demikian seni pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala tidak hanya semata-mata menggunakan upacara sebagai simbol yantra, kalau dikaji lebih dalam penuh dengan makna ketuhanan, simbol dunia, dan simbol isi alam semesta ini. Mengkhusus dalam pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala, dalang adalah simbol Tuhan, kelir sebagai simbol dunia, Pamurtian Ludra Murti dan Wisnu Murti yang ditancapkan pada awal pertunjukan, di kanan dan kiri dalang ditancapkan di atas batang pisang (gedebong) sebagai awal penciptaan alam semesta disimbolkan dengan wayang tersebut di atas, juga termasuk kategori yantra yaitu berupa simbol penciptaan alam semesta. Kemudian dilanjutkan dengan kayonan sebagai simbol macrocosmos wujud yantra tampak di atas kelir merupakan sebagai awal dan akhir daripada pertunjukan wayang kulit Suddhamala di Kecamatan Sukawati. Tokoh wayang yang muncul dalam cerita pertunjukan wayang kulit Suddhamala yang utama sebagai simbol yantra yang memiliki esensi yang utama adalah tokoh Acintya, Siwa dan Tualen sebagai wujud yantra dalam bentuk wayang sebagai simbol Sanghyang Tri Semaya yang juga disebut Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa (Wawancara dengan I Wayan Tunjung tanggal 30 Mei 2012). Lebih lanjut, penggunaan Acintya, Siwa dan Tualen dalam pertunjukan wayang kulit Suddhamala, khususnya dalam proses memohon tirtha Suddhamala terkait dengan fungsi ketiga tokoh tersebut dalam meruwat, membersihkan serta menyucikan diri baik secara lahir maupun secara rohani. Lebih jauh, dalam Dharma Pewayangan di jelaskan bahwa dalang adalah simbol bumi, simbol butha, simbol dewa yang bertugas menjalankan ajaran Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa dan Sang Hyang Acintya sebagai Sang Hyang Tunggal. Dengan demikian, peran dalang dan kewenangannya penting bagi kehidupan masyarakat, yaitu berhak menyebarkan cerita dan makna 8
aksara dan mengucapkan japa mantra, sesuai dengan teks berikut: “Sang Amengku Dalang mawak gumi, mawak bhuta, mawak dewa, dalang ngarania waneh, karana dadi Siwa, karana dadi Paramasiwa, karana dadi Sadasiwa, karana dadi Sang Hyang Acintya, mapan Sang Hyang Acintya panunggalaning bhuana kabeh, wenang umilihaken lungguhnia. Wenang sira uncarakena carita, wenang uncarakena kataning aksara, wenang uncarakena japa muang mantra. Samangkana ngaran dalang” (DP-1) Terjemahan: “Orang yang berprofesi sebagai dalang merupakan simbol bumi, simbol bhuta/makhluk halus, simbol dewa yang berhak menjalankantugastugas Hyang Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, sebagai Sang Hyang Acintya, karena Acintya simbol panunggalaning bumi semua, dapat menentukan kedudukannya, berhal menyebarluaskan cerita, berhak mengucapkan Veda atau mantra. Demikianlah seorang dalang” (Nardayana, 2009 : 43) Dalang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang sudah tertulis dalam Dharma Pewayangan , jika para dalang berperilaku menyimpang dari ajaran-ajaran atau kewajiban yang telah digariskan, maka mereka akan dikutuk oleh Sang Hyang Catur Loka Pala seperti yang termuat dalam teks Dharma Pewayangan (DP-2) berikut ini: “Iti aji dharma Pawayangan, nga wenang sumuliha ring ganal alit, mwah ring bhuana agung. Yan sira mahyun sudi ring putusaning ngawayang, palania tan langgana ri jengira Sanghyang Catur Lokapala. Apan sira umindahaken suci nirmala tatwa, weruh ri adoh aparek, ring satwa adnyana, terus malunga ring
tri bhuana sangkania ana sor luhur, madia utama, pati berate, sabda bayu, ideping ala. Wenang pwa sira Sanghyang Catur Lokapala, umideraken satsatnira Sanghyang Kawicarita, sira ta ngaran dadi dalang-dalang. Sangkanya ana dalang patpat: yuwaktinia, Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa yan ring bhuana agung, Iswara akasa, Mahadewa sitidrani, Sanghyang Wisnu rupaning bhuana, Brahma tejaning bhuana, sangkania dadi urip, dadi pati, dadi sabda, dadi bayu”. Terjemahan: Ini adalah ilmu tentang Dharma Pewayangan, yang wajib diterapkan dalam alam kecil dan alam besar. Bagi yang mau dan senang dengan keputusan melaksanakan tugas pewayangan, agar tidak dikutuk oleh Sanghyang Catur Lokapala, karena akan membicarakan kesucian tattwa, tahu dengan yang jauh dan yang dekat, tahu dengan bilangan yang ada dalam badan dan yang ada di tiga dunia, oleh karena itu ada bawah ada atas, menengah utama, taat dan patuh, suara tenaga, pikiran jelek, sehingga pantaslah Sanghyang Lokapala mengelilingi dan menempatkan Sangh Kawicarita, dialah namanya menjadi dalangdalang. Oleh karena itu, sebenarnya ada empat dalang yaitu: Brahma, Wisnu, Iswara dan Mahadewa. Kalau di dunia Iswara sama dengan angkasa, mahadewa sama dengan tanah, Sanghyang Wisnu merupakan wajah/warna dunia, sedangkan Brahma sinarnya dunia, makanya menjadi hidup, menjadi mati, menjadi suara dan jadi tenaga. Dengan mengetahui ketentuan, panduan dan aturan yang telah tersurat dalam Dharma Pewayangan seperti tersebut di atas, yang merupakan kewajiban yang harus di 9
taati dan dilaksanakan oleh seorang dalang, maka mereka yang disebut sebagai dalang sejatinya memangku tugas yang berat. Dikatakan memangku tugas yang cukup berat, karena dengan kondisi yang sekarang (globalisasi) sudah tentu tantangan dan hambatan sangat kompleks dan menuntut sebuah kesadaran untuk mampu memahami serta melaksanakan apa yang mesti dilakukan oleh seorang dalang. 2.2.3 Yantra Dalam Bentuk Upakara (Banten) Banten Artinya kurban, sesaji kepada Dewa, leluhur, roh (Kersten,1970:177). Banten sesungguhnya berasal dari kata “Bangten” dan terdiri dari dua suku kata yaitu “Bang” dan “enten” (bahasa Bali). Suku kata Bang diartikan sebagai Brahma dan kata Brahma berubah menjadi Brahman (Sang Hyang Widhi). Sedangkan “enten” bisa diartikan “ingat” atau dibuat sadar (cetana). Jadi Banten mengandung pengertian bahwa umat Hindu membuat Banten untuk mendidik dirinya supaya selalu ingat dengan keberadaan Sang Hyang Widhi karena beliau adalah pencipta segala dunia ini (Sudarsana, 2000:13). Dalam Lontar „Tegesing Sarwa Banten” dinyatakan : Banten mapiteges pakahyunan, nga ; pakahyunan sane jangkep galang. Terjemahan Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih (Arwati, 2005:8). Bila dicermati secara mendalam banten merupakan wujud dari pikiran yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Dalam mewujudkan simbol, pertama diawali dengan pemikiran yang bersih dan suci. Bentuk Banten mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam serta adanya unsur kebudayaan yaitu susunan dalam bentuk karya seni dan keindahan. Banten dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti, dan kasih kehadapan sang Pencipta. Menurut Surayin (2002 : 4-5) “Banten atau bebanten”
merupakan bentuk materi daripada upakara. Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan, pekerjaan, tangan. Menurut Wiana (2001 : 1) menyatakan bahwa banten dalam agama Hindu merupakan bahasa agama. Banten dalam lontar Yajna Prakerti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan : Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Battara, pinaka Anda Bhuvana. Banten sebagai Raganta Tuwi, artinya simbol dirimu atau simbol diri kita, Pinaka Warna Rupaning Ida Battara artinya simbol kemahakuasaan Tuhan dan Pinaka Anda Bhuvana, artinya simbol alam semesta (Bhuvana Agung). Banten juga diartikan sebagai wali. Kata wali berarti wakil. Banten merupakan suatu sarana yang dipakai sebagai wakil untuk berhubungan dengan yang dipuja atau yang dimuliakan. Selain itu pula kata wali berarti kembali. Dalam pengertian ini, banten dimaksudkan kembali dipersembahkan, yang pada mulanya semua sarana banten berasal atau bersumber dari ciptaan Sang Hyang Widhi. Sarana untuk upakara dipilih dan diatur oleh manusia, kemudian dipersembahkan kembali dalam suatu upakara yang berbentuk banten. Maksud dari persembahan ini adalah untuk mewujudkan keseimbangan antara sang Pencipta dengan ciptaannya karena Tuhan menciptakan alam semesta lengkap dengan isinya, dengan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling banyak menerima dan menikmati segala anugerah-Nya. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dengan sarana tertentu antara lain berupa: bunga, buah, daun tertentu seperti sirih dan makanan seperti nasi dengan lauk pauk, jajan dan sebagainya, di samping sarana yang sangat penting lainnya adalah air dan api (Titib, 2003 : 134). Banten adalah segala sesuatu yang berbentuk materi yang dirangkai sedemikian rupa yang mengandung nilai filosofis dan estetika yang tinggi untuk dipersembahkan dan dihaturkan kehadapan Sang Hyang Widhi. Upakara 10
(banten) pertunjukan Wayang Suddhamala disimbolkan dengan pejati gede (serba 4) yang merupakan implementasi dari empat penjuru dunia (Catur Dewata) yang di stanakan dalam pertunjukan sebagai Tuhan yang utama dalam prosesi panglukatan Suddhamala. Adapun banten atau upakara adalah sebagai berikut: peras, lis, penyeneng, daksina gede (serba 4) yang isinya beras 4 kg, kelapa 4 butir, telur itik 4 butir, ketipat kelanan (6 ketupat), uang kepeng cina 11, benang atukel dan segehan 3 tanding. Sarana dan prasarana yang mendukung upacara yaitu: sangku sebagai tempat tirtha Suddhamala, air sebagai sarana tirtha satu sangku, bunga lima sampai sebelas jenis, canang 3 tanding sebagai sarana mohon panugrahan pada Sanghyang Prajapati (Wawancara dengan Dalang I Wayang Lalar dari Tabanan tanggal 21 Juni 2012). 2.3. Jenis-Jenis Mantra Wayang Kulit Suddhamala Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yaitu man dan tra. Man yang mengandung pengertian manah (hati nurani) dan tra yaitu trayati yang berarti menyampaikan. Dengan demikian mantra adalah suara yang disampaikan dari hati nurani kehadapan Tuhan atau dewa-dewi, agar beliau tersentuh dan tertarik oleh suara hati nurani itu (Rudita, 2011 : 95). Menurut Wiana (2004 : 62) mantra berasal dari kata “man” artinya pikiran, dan “yantra” artinya alat. Jadi mantra adalah alat dari pikiran atau alat untuk melindungi pikiran. Dilihat dari sumbernya, mantra dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1) Weda Mantra adalah doa pujaan yang diambil dari kitab Sruti, 2) Tantrik Mantra adalah doa pujaan yang diambil dari kitab-kitab Tantrayana, dan 3) Puranik Mantra adalah doa pujaan yang diambil dari sumber Purana. Dipandang dari segi pengucapan, mantra dapat diklasifikasikan menjadi empat yakni : 1) Waikaram japa adalah melaksanakan japa dengan mengucapkan mantra japa berulang-ulang, teratur dan ucapan mantra tersebut terdengar oleh orang
lain, 2) Upamasu japa adalah melaksanakan japa dalam hati secara teratur, berulangulang, mulut bergerak namun tidak terdengar suara sama sekali, 3) Manasika japa adalah melaksanakan mantra dalam hati, mulut tertutup rapat, teratur, berulang-ulang, penuh konsentrasi, tidak mengeluarkan suara sama sekali, dan 4) Likhita japa adalah melaksanakan japa dengan menulis berulang-ulang mantra japa di aatas kertas atau kitab suci secara teratur, berulang-ulang dan khusuk. Mantra dilihat dari kualitas atau sifat dapat dbigai menjadi tiga yakni : sattwika mantra, rajasika mantra, dan tamasika mantra. Sattwika mantra adalah mantra yang diucapkan dengan tujuan pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang atau cinta kasih Tuhan tertinggi dan perwujudan Tuhan. Rajasika mantra adalah mantra yang diucapkan untuk kemakmuran duniawi serta kesejahteraan hidup, sedangkan tamasika mantra adalah mantra yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh jahat (menetralisir) dan untuk menyerang orang lain atau perbuatan kejam lainnya (Titib dalam Rudita, 2011 : 96-97). Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedang huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan svara atau ritme, dan warna atau bunyi. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri, karena itu apabila diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra tersebut tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya hanya sekedar kalimat (Titib, 2003 : 439). Dalam mantra terdapat dua istilah yang sering dipergunakan oleh umat Hindu yaitu: biji mantra dan bījāksara. Biji mantra merupakan mantra yang terdiri dari satu huruf suara atau dua huruf yaitu huruf mati dengan huruf hidup, atau lebih dari dua huruf tetapi terdiri dari satu suku kata dan kadangkadang terdiri dari dua atau tiga suku kata, sedangkan bījāksara adalah huruf-huruf asal
11
yang membentuk mantra yang mempunyai pengertian sendiri (Puja, 2007 : 39). Berkaitan dengan pendapat di atas, dalam pertunjukan wayang kulit Suddhamala peranan mantra sangat penting dan utama. Dengan mantra dalang dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja (dewaning ringgit). Selain itu, dalang mengucapkan mantra dengan tujuan dan harapan yang terbaik baik bagi yang diruwat maupun bagi seluruh lingkungan disekitarnya serta memperoleh anugerah dari Tuhan yakni kesucian diri. Dengan demikian, jenis-jenis mantra yang dipergunakan dalam memohon tirtha Suddhamala di Kecamatan Sukawati adalah disesuaikan dengan tujuan dan fungsinya. Menurut dalang I Made Sidja mantra-mantra dalam panglukatan/panyudamalan adalah sebagai berikut: 1). Untuk wong urip (orang hidup) “Ong ang mang mreta ya nama satma paratma nirwigna suddha ta saha suksma ya namah” 2). Untuk wong pejah mewatangan (orang yang meninggal ada jasadnya) “Ong ang ung mang siwa yogi prayojanam, ong ang ung mang sada Siwa yogi prayojanam sarwa papa klesa winasanam, ong ang ung mang prama siwa yogi prama saktiam sarwa dosa angoara winasanam sah siwa mahasaktiam, ah, ah, ah” 3). Untuk wong salah pati tan pawatang (untuk meninggal akibat kecelakaan tanpa diketahui jasadnya) “Ong ang ung ang ah, sang yogi pramasidyam sarwa papo krama suda ya namah. Ong ang ung mang tri dewata prama saktiam sudha mala pataka winanam, uang ang yang suratma mandiratma suksma sudha ya nama, ong yung yang windu sasaswatisrayu wamu namah, suksma suda ya namah swaha” 4). Untuk wong pejah anggawa manik (orang meninggal yang sedang mengandung)
“Ong ang ung mang ong sarwa reka mur prama saktiam, nirmala suddha ya nama, ong ang ung yang siwa lingga pramasidiam sarwa klesa winasanam sarwa wigraha winasanam, ong ang ah ya ong Siwa guru maha sidiam, pramanam, sarwa ala maka geseng, suddha mala nirwighna, ya namah, ong sri sri sri, jagat padumeng bioh, namah, ong yang mretestra, suddha ya namah, siti ya ang” (dalam Nardayana, 2009 : 179-180). Menurut Hooykaas dalam bukunya Kama and Kala Materials for the study of Shadow theatre in Bali menjelaskan tentang mantra panyudamalan. Adapun mantramantra tersebut adalah sebagai berikut: 1). Untuk wong urip (orang hidup) “Om am um mam satma paratma nirwighna suddha tasta suksma ya namah. Pukulun Sang Hyang Tirtha Kamandalau manik, sirati pinakaurip ring Perthivi Apah Teja Bayu Akasa. Pinakeng hulun anglukat janma-manusa, angilangaken dasamala, tri-mala, papa-klesa, sakveh ing ala-denda upata, kalukatan avakipun, om am um mam, ksama ning vighna suddha, tad astu suksmaya namah. Om Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya 2). Untuk wong pejah mawatang (orang meninggal ada jasadnya) “Om am um mam Siva yogi prayojanam, sarwa lara winasanam, Om yam um mam, Sada-Siva yogiprayojanam sarwa papa klesa winasanam, Om am um mam, Parama Siwa yogi parama saktyam, sarwa dosa harohara-winasanam, sah Siva maha saktyam, Am Ah 3x Selanjutnya diikuti dengan mantra: “Om Sang Hyang Taya ngadeg pinggir ing kawah, kawah dadi kadaton, kadaton dadi svarga, Om 12
paripurna awak atmane sang linukatan, apan awak atmane sang linukatan kakakeb dening Ibu Prthiwi, lunga sira maring Prthiwi, Bhatara Brahma anglukat, Bhatara Wisnu anglukat, Bhatara Maheswara anglukat, Bhatara Mahadewa anglukat, Bhatara Sambhu anglukat, Bhatara Maheswara anglukat, Bhatara Ludra anglukat, Bhatara Sangkara anglukat, Om Om ya namah swaha 3) Untuk wong salah pati tanpa watang (orang meninggal akibat kecelakaan tanpa jasad). “Om am um mam am ah, sah yogi parama siddhyam, sarwa ila papa krama suddha ya namah, om am um mam, Tri Dewata parama saktyam, suddha mala pataka winasanam, om mam yam, suratma mandiratma, suksma suddhaya namah, om yam, sindhu saraswati, sarayu, yamuna namah, nirmalaya namah, suksma suddhaya namah” 4) Untuk wong pejah anggawa manik (orang meninggal yang sedang mengandung) “Om am mam um om, Siwa Rekha parama saktyam nirmala suddhaya namah, Om am um yam, Siva lingga parama siddhyam sarwa papa klesa winasanam, sarwa wigraha winasanam, Om am ah, ya om, Siwa Guru maha siddhyam sarwa dosa papa klesaya namah, Om yam,Wisnu sphatika maha siddhyam, pramanam sarwa ila maha bharam, suddha lara nirwighnaya namah, um um um, sri sri sri, jagat padukebhyo namah, um yam phat, astra suddhaya namah Sivaya Om” (1973 : 46-50) Dari dua pemaparan di atas berkaitan dengan mantra yang dipergunakan oleh masing-masing dalang dalam memohon air suci (tirtha) Suddhamala, tidak jauh berbeda di masing-masing tempat, namun alangkah
baiknya sang dalang dalam mengucapkan mantra sesuai dengan teks (lontar) yakni lontar Dharma Pewayangan. 2.3.1 Mantra Wayang Kulit Suddhamala Mantra menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dinayatakan sebagai suatu kalimat atau perkataan yang mendatangkan daya atau kekuatan gaib (Poerwadarminta, 1976 : 450). Setiap upacara, mantra selalu hadir serta sebagai pengiring dan pengantar persembahan (upakara/banten) yang diucapkan oleh pinandita maupun pandita. Menurut masyarakat, mantra yang diiringi dengan bunyi-bunyian atau musik mampu membersihkan dosa seseorang yang akhirnya kembali menjadi suci seperti manusia lainnya, itulah sebabnya setiap upacara ruwatan pengucapan mantra merupakan peristiwa yang pokok dan sakral (Soetarno dalam Wicaksana, 2007 : 87). Pembagian mantra menurut lontar Dharma Pewayangan dibagi menjadi tiga bagian yakni: 1) mantra sebelum melakukan pertunjukan, 2) saat melakukan pertunjukan, dan 3) setelah selesai pertunjukan dilakukan permohonan air suci (tirtha panglukatan). Penggunaaan mantra dalam wayang kulit Suddhamala merupakan esensi yang paling utama dalam media permohonan air suci Suddhamala dalam rangkaian upacara Mamukur. Mantra dalam pertunjukan wayang kulit Suddhamala sangat disakralkan baik oleh dalang maupun masyarakat. Mantra yang merupakan kata-kata yang mengandung Veda yang diucapkan oleh dalang di dalam Upacara Mamukur mempunyai akses yang sangat utama di dalam upacara Mamukur. Cerita yang ditampilkan biasanya mengandung berbagai unsur Dewa Tattwa, Kala Tattwa dan Atma Tattwa yang penuh dengan tuntunan dan tontonanyang di dalamnya mengandung unsur-unsur proses Pitra Yadnya yang lazimnya disebut Aji Panglepasan. Adapun mantra-mantra yang dipergunakan oleh dalang di dalam pertunjukan wayang kulit Suddhamala dapat di bagi menjadi tiga bagian, yaitu : Aji Kembang, Agni
13
Anglayang, dan Asta Pungku. Mantramantra tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mantra Aji Kembang untuk panglukatan. “… Sang atapa sakti bhakti, asthiti purwa samskara, yan mati yan murip manih, wisesa sireng bhuwana. Putih timur abang wetan, rahina tatas apadang, titis ning jaya kamantyan, mapageh ta samadhinira Terjemahan : …Penebusan memberikan kekuatan, ketaatan, hadaplah ke timur, lakukan ritual, ketika mati dan juga ketika lahir kembali, dia akan kuat di dunia, putih timur, diufuk timur matahari merah, hari dimulai dengan segala kecerahan, kelahiran kembali dari kemenangan mutlak, konsentrasi merupakan keuletan.
engkau tiba di rumah, selesaikanlah konsentrasimu di sana, seluruh ruwat bagidirimu, tuangkanlah isinya ke anglo, dan masukan bahan bakar dalam tungku. “…Wewangenandari tembaga, rurube kang dadi emas, arenge kang dadi wesi, awune kang dadi slaka, kukuse kang dadi megha, yeh iku mandadi ujan, tumiba ring mrtyapada, yen iku dadi amrta” Terjemahan : …Aroma dan bau berubah menjadi tembaga, kain pengikat berubah menjadi emas, arang kemudian menjadi besi, abu berubah menjadi perak, uap berubah menjadi awan, air menjadi hujan, air jatuh di dunia manusia, bagian dari air kehidupan
“…Nghulun angadeg ring natar, kama-jaya cinittanya, sang atunggu paraweyan, mawungu pakarabkarab, ilangan ing dasa mala, ametang gangga asuci, panunggel rwan ning wandhira, pinaka len prenahira”.
“…Kukuse Sang Hyang Iswara, lalatu: Sang Hyang Maheswara, wawangen: Bhatara Brahma, makaligi: Bhatara Rudra, rurube: Hyang Mahadewa, awune: Sang Hyang Iswara, Arenge: Bhatara Wisnu, Awune: Bhatara Sambhu”
Terjemahan : …Aku berdiri di pelataran, dia berpikir tentang Kamajaya, dia yang menanti….,bangkit…., kehilangan sepuluh nodanya, dengan bergerak ke sungai Gangga yang murni,… meninggalkan waringin, memasuki tempat lain.
Terjemahan: …Uap adalah Hyang Iswara, nyalanyaHyang Mahesvara, baunya Bhatara Brahma, kamaliginya Hyang Rudra, kain pengikatnya Mahadewa, abunya Sang Hyang Iswara, arangnya Bhatara Wisnu, abunya Bhatara Sambhu.
“…Yan sampun sira arahup, isi nikang kundi manik, anut marga kita mulih, yang sira teka ning umah, tutugaken samadhinta, sapangruwat sariranta, iseni kang pangasepan, kunda kumutug samiddhanya”.
“…Ring kunda: Bhatara Siwa, sarining kukus: Hyang Guru, pangleburan dasa-mala, lara roga winasa ya, purna jati sunirmala, luput maring papa nraka, sandhya manggih swarga luwih, satya brata mangarcana”
Terjemahan : …Ketika orang membasuh wajahnya, dari pundi berhias permata, ikutilah jalan itu dan pulanglah, ketika
Terjemahan: …Dalam nyala api ada Sang Hyang Siwa, inti asapnya Sang hyang Guru, 14
menghanguskan semua dosa, mengakhiri penyakit dan wabah, sehingga orang terbebas dari noda, lolos dari kejahatan dan neraka, bermaksud mendapatkan surga tertingi, dengan memuja pada ketaatan iman. “…Yan umanis marep angetan, astuti Bhatara Iswara, yan pahing marep angidul, astuti Bhatara Brahma, yan pon marep ing angulon, astuti Hyang Mahadewa, yan wage marep angalor, astuti Bhatara Wisnu, Kaliwon marep ing tengah, astuti Bhatara Siwa, wus puput tang pancawara” Terjemahan: …Kalau umanis menghadap timur, langsung memuji Iswara, Pahing menghadap selatan, langsung memuji Hyang Brahma, Pon menghadap barat, langsung memuji Mahadewa, Wage menghadap utara, mengarahkan diri untuk memuji Hyang Wisnu, Kliwon-tengah, menghadapkan diri langsung untuk memuji Hyang Siwa, Mingu lima hari kini lengkap, tinggal di tubuh manusia. “…Angadeg angeka-pada, regep ikang pancendrya, sila tatakep ing kembang, salwir ing kembang kangin, sinrang sakeng awak ing wwang, mrebak arum gandhanira, Bhatara Siwa puja, teleng ing Gangga nirmala, anuta watek dewata, kang pinuja ring manusa, mareng sira prenahira, pinuja rahina wengi, awuran tang kadewatan, pangucapku sakti bhakti” Terjemahan: …Dia berdiri dengan satu kaki, sambil menguasai lima indera, karang tertutup kini terbuka, semua bentuk bunga menghadap timur, ditantang oleh orang lain, baunya menyebar,
mengharumkan ciuman, Bhatara Siwa dipuja, di dasar sungai Gangga yang murni, orang hendaknya mengikuti semua perintah dewa, yang dipuja oleh semua umat, tempat tinggalnya…,mereka dipuja siang dan malam,…tempat tinggal dewa, kekuatan, ketaatan adalah katakataku. “…Ri purwa tunjunge putih, Hyang Iswara dewatanya, ring pupusuh prenahira, alinggih sira kalihan, pantes ta kembange petak, ri tembe lamun dumadi, suka sugih tur rahayu, dana punya sthiti bhakti” Terjemahan: …Di timur, teratai berwarna putih, dewa tertinggi di sini adalah Iswara, tempat tinggalnya berada di hati, di sana dia tinggal, suami dan pasangannya, bunganya berwarna putih, di masa mendatang ketika orang dilahirkan kembali, orang akan tampan, gembira dan kaya, suka memberi, berjasa bahkan taat. 2) Mantra Agni Aglayang “…Om Agni Anglayang murub sakeng wetan, sakalangan urubira, mijil denira Bhatara Iswara, anglukata ujar kadukaduhung, kapalisah. Angadaken tan anna, anglinyok sasamanya tumuwuh, Agni Anglayang nggon ingulun, asalah mala, papa, pataka ning jadma manusa kabeh, wastu siddhi puja ning ulun, Om Sri ya wai namo namah swaha” Terjemahan: …Api yang menyala berkobar dalam lingkaran cahaya dari timur yang memancarkan Bhatara Iswara. Semoga dia memusnahkan kata-kata yang buruk, agak dan sangat disesalkan, kebohongan dan melukai makhluk sesamanya. Apai yang 15
menyala adalah tempatku, menghapuskan semua noda dan pelanggaran semua umat manusia. Semoga pemujaan saya mengarah pada pemenuhan harapan. Ya Tuhan penghormatan dan pujian kepada Sri.
dengan guru/ayahnya, saudaranya, kakak atau adiknya, orang tuanya, cucunya, anaknya, dengan pendeta. Dibebaskan oleh Siwa muncul dalam cacat dan kelemahan fisik, “cacat” tubuh manusia.
“Brahma anglukata wong angental, andura-dura sadhu, wong tanpa dosa, anendawong tanpa dosa, mateni wong tanpa dosa, anuduk, anumbak, anulup, amaling, ambahak, anjabung, wong amati-mati sama tumuwuh, anglukata wong angrusuh. Kalukat denira Bhatara Siwa, wastu punah ilang lara roga, mwang pataka ning jadma manusa kabeh, wastu siddhi ya namah swaha”. Terjemahan:
“Wisnu anglukata wong aneluh anaranjana angleyak, amokpok andesti, angupas, angracun, anyetik. Kalukat denira Bhatara Siwa, wastu punah ilang lara roga, mwang pataka ning jadma manusa kabeh, wastu sidhi ya namah swaha”.
…Semoga Brahma membasmi orang yang bersalah karena merampok di jalan, menyerang pendeta, menghukum orang tak bersalah, membunuh orang tak berdosa, melemparkan tombak, pedang dan panah; semoga dia membasmi, pencuri, penipu, bandit, penyamun, pembunuh. Semoga dia membasmi para pembuat dosa. Dibebaskan oleh Siwa muncul dalam cacat dan kelemahan fisik, “cacat” tubuh manusia. “…Mahadewa anglukata wong angreh rabi ning arabi, anambah marga larangan, anglayani gurune, anglayani kadang wargane, angkayani wong atuhne, anglayani anak-putune, anglayani wong awiku. Kalukat denira Bhatara Siwa, wastu punah ilang lara roga, mwang pataka ning jadma manusa kabeh, wastu siddhi ya namah swaha”. Terjemahan: …Semoga Mahadewa menghukum mereka yang menyerang istri orang lain, yang menempuh jalan terlarang, yang melakukan hubungan sex
Terjemahan: …Semoga Wisnu menghukum semua orang yang melakukan bentuk penyihiran dan menggunakan racun. Kejahatan yang bisa dibebaskan oleh Siwa muncul dalam cacat dan kelemahan fisik, “cacat” tubuh manusia. 3) Mantra Asta Pungku Menguraikan tentang tata cara atau proses dalam memohon air suci (tirtha) panglukatan/panyudamalan. Adapun urutannya adalah sebagai berikut: Di awali dengan mengambil pasepan/dupa dengan mantra: “Ong Ang Astra-Kalagni-Rudra ya namah”. Selanjutnya coblong/sangku berisi toya anyar (air bersih) di berikan mantra: “Ong Ganggamrta ya namah swaha”, kemudian dipercikan kepada semua wayang dan sesajennya sebanyak tiga kali. Beras kuning pada air samsam dan daun temen, letakkan di atas dupa/pasepan dengan mengucapkan mantra: “Ong Wija warna ya namah swaha”. Selanjutnya tuangkan ke tempat coblong/sangku. Mengambil sekar (bunga) 11 macam jenis bunga yakni: tunjung, jepun, cempaka, kenyiri, sandat, remawa, menuh, soka, kemoning, dan kamrakan/campuran dengan mantra: “Ong puspa gandha ya namah swaha, letakan di dulang (tempayan) dekat sangku. Berturutturut ambil bunga satu-persatu (sampai 10
16
macam warna) lalu jatuhjan ke tempat sangku dengan mengucapkan mantra: “…Ong atma paratma nirwighna suddha tastta suksma ya namah swaha”. Pukulun Sanghyang Tri-Wisesa, manusa aneda anglukata, eka-mala, dwi-mala, tri-mala, catur-mala, panca-mala, sad-mala, saptamala, asta-mala, nawa-mala, dasa-mala, kabeh sama kalukat denira Sanghyang TriPurusa, Ong Ang Ung Mang”. Terjemahan: Ya Tuhan, jiwa yang kotor telah dibersihkan dan disempurnakan. Hamba mohon kehadapan Sang Hyang Tri Wisesa, hamba akan membersihkan, satu sampai sepuluh kecemaran, semuanya dibersihkan oleh Sanghyang Tri Purusa, Om Brahma Wisnu Siwa. “…Pukulun Sang Hyang Tri-Wisesa, manusa anglukata pomahan ssalah-pita, mwah papa kajantaka, udug, edan, buyar, sangar, timpang, tinjik, bongol, bengil, manju, kuming, bega, bisu, kolok, mwah sakweh ning dasa-mala, ika pada kalukat denira Sanghyang Tri-Purusa, Ong Sri ya namah swaha” Terjemahan: …Hamba mohon kehadapan Sang Hyang Tri Wisesa, hamba membersihkan tempat penyakit bawaan dan terkutuk dan kematian, perut membesr, gila, sakitingatan, penakut, kegagalan, pincang, dungu, tuli, dekil, egois, kurang darah, bisu, kolok, dan semua kekotoran, semua itu dibersihkan oleh Sang Hyang Tri-Purusa, Ya Tuhan, penghormatan dan pujian kepada Dewi Sri. “…Ong Witara Sang Hyang Tunggal, arupa Taya Wisesa, ingaranan Sang Hyang MertiTirtha-Kamandalu, winadahan kundi manik, padyuakena dasa-mala, mari mala, marupa jati, waluya jati wisesa, Ong lukat, lukat, lukat” Terjemahan: …Ya Tuhan sebagai Sang Hyang Tunggal, berupa Taya-Wisesa, disebut sebagai air kehidupan, ditempatkan dalam sangku, untuk
memandikan orang yang tercemar 10 jenis kekotoran, supaya berhenti, bersih kembali, seperti sedia kala, Om, bersih, bersih, bersih. “…Ong gunung mas apucak manik, akerikil nawa ratna, inapungan ing naga-patra, ingaranan Sang Hyang Merti-Tirtha Kamandalu, maka urip ing watek nawasanga, maka patirthan ira sang PandhitaRatu, anglukata anglebura sakweh ing larawigna, jadma-manusa ring madhya-pada, wenang anglebur gering kabeh, lupa, lelep, arip, purna sewu satus ing papa-klesa, lararoga, lara-wigna, kalukatakena upata ning bapa-ibu, kaki-nini, buyut, Ong lukat, lukat, lukat, Ong Awighnamastu swaha”. Terjemahan: …Ya Tuhan, bagaikan gunung emas dengan puncak permata, berbatu sembilanbunga, dililit oleh ukiran naga, disebut air kehidupan, sebagai kehidupan sembilan dewata, untuk pembersihan raja yang bijaksana, dibersihkan segala penyakit yang terkutuk, manusia yang ada di dunia, wajib dibersihkan dari segala penyakit, lupa, ngantuk, tertidur, 110 kali kekotoran dan penyakit, dibersihkan atas perjanjian ayahibu, kakek-nenek, buyut, Om bersih, bersih, bersih, semoga tidak ada halangan. “Ong Awighnam Astu ya namah swaha. Ong Ayu-wrddhi yaso-wrddhir, wrddhir prajnyasukha-sriyam, dharma santana-wrddhih syat, santu te sapta-wrddhayah”. Terjemahan: …Ya Tuhan, semoga tidak ada halangan, kebaikan selalu tumbuh, perbuatan yang baik tumbuh semuanya, seisi alam, kebaikan keluarga, semoga tumbuh, tujuh sumber kehidupan. Selanjutnya dalang mengambil wayang seperti: Kayonan, Acintya, Siwa, dan Tualen lalu dimasukan ke damar (lampu belencong) dengan menulis (menyurat) aksara Ang, Ung, Mang. Kemudian barulah seluruh tangkai (katik) wayang tersebut satu persatu dimasukkan (celebang) ke dalam
17
tirtha panglukatan pada sangku (Wicaksana, 2007: 249-257) 2.3.2 Iringan (Instrumen) Secara umum setiap kegiatan yang melibatkan seni dan kesenian, peranan musik sangat penting dan menduduki posisi yang sentral. Begitu juga halnya dalam pertunjukan wayang kulit, musik selalu hadir dan mengiringi pertunjukan tersebut. Musik yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit disebut Gender Wayang (Wicaksana, 2007 : 95). Menurut Nardayana (2009 : 101) ada tiga jenis musik (gamelan) yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit tradisi, yaitu: gambelan gender, gambelan batel dan gambelan gambuh. Pada pertunjukan Wayang Kulit Parwa umumnya menggunakan empat tungguh gender yang masing-masing instrumen berlaras slendro dengan bilah sepuluh buah. Urutan nada gender wayang terdiri dari lima nada yaitu: dong, deng, dung, dang, ding. Gender wayang selain dipakai untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit tradisi (Parwa), juga sering digunakan untuk mengiringi berbagai upacara keagamaan seperti: Manusa Yadnya, Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya. Selain itu, gender wayang juga digunakan unttuk tabuh iringan dalam pesantian seperti: kekawin, kidung, geguritan dan sebagainya. Gambelan Batel biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Wayang Kulit Ramayana, Calonarang, dan Wayang Kulit Cupak. Gambelan batel ini terdiri dari: gender berbilah sepuluh lembar (empat buah), kempul (satu buah), kemong (satu buah), kajar (satu buah), tawa-tawa (satu buah), klenang (satu buah), kecek (satu buah), kendang (dua buah), dan suling (dua buah atau lebih). Wayang Kulit Ramayana juga disebut dengan Wayang Batel, karena diiringi dengan gambelan batel. Gambelan Gambuh biasanya dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan Wayang Kulit Gambuh. Gambelan ini terdiri dari: suling besar bernada pelog (empat buah), suling
kecil bernada pelog (empat buah), kempul (satu bauh), kajar (satu buah), tawa-tawa (satu buah), klenang (satu buah), kecek (satu buah), dan kendang (dua buah). Selain tiga jenis gambelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit, belakangan ini muncul instrumen yang tidak lazim digunakan untuk pertunjukan wayang kulit, seperti: Angklung Kebyar, Gong Kebyar, Semar Pagulingan, Gambelan Palegongan, dan alat musik lainnya (Nardayana, 2009 : 101-103). Menurut Marajaya (2002 : 151) penggunaan berbagai jenis iringan selain gender, justru dapat menambah suasana pertunjukan menjadi lebih meriah, estetis, dan ramai sebagai konsep berkesenian orang Bali. Dari sekian jenis gambelan sebagai instrumen pengiring pertunjukan wayang kulit dewasa ini, maka pengiring yantra dalam hal ini wayang kulit disesuaikan dengan tokoh-tokoh serta karakter dari masing-masing wayang. Hal ini dapat dilihat, ketika di awal pertunjukan wayang kayonan biasanya diiringi dengan gending segara mancuh. Apabila suasana adegan sedang sidang (peparuman) tokoh wayang yang keluar adalah wayang yang berkarakter ksatrya maka iringan gendingnya adalah gending alas harum, gending rundah untuk karakter keras (dedeling) dan gending candi rebah untuk karakter raksasa. Menurut Wicaksana (2007 : 196) kegunaan gending-gending gender dalam pertunjukan wayang kulit secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: 1) gending-gending pategak adalah suatu permainan beberapa jenis komposisi lagu, baik klasik maupun modern sebelum pembabakan cerita dimulai. Adapun gending-gending yang dipakai seperti: sekar ginotan, sekar sungsang dan sebagainya, 2) gending-gending yang mengiringi tetikesan (teknik menarikan wayang) terdiri dari: pamungkah (pembukaan), petangkilan (persidangan), penyahcah/pemahbah (introduksi), angkat-angkatan (keberangkatan tokoh wayang), rebong (ekpresi romantis), tangis (suasana sedih), tunjang (karakter keras/raksasa), batel 18
(perang) dan tabuh gari (selesai pertunjukan dan penyudamalan). Setiap akhir pertunjukan wayang kulit, biasanya dilakukan prosesi memohon air suci (tirtha) Suddhamala dengan sarana wayang kulit (yantra) adalah Acintya, Siwa, dan Tualen. Dalam prosesi ini instrumen atau gambelan gender juga turut mengiringi dengan gending bugari. 2.4 Fungsi Yantra Wayang Kulit Suddhamala Dalam Upacara Mamukur 2.4.1 Fungsi Panglukatan Pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur bagi masyarakat yang masih memiliki tradisi yang kuat dalam berkesenian di Kecamatan Sukawati masih dianggap mempunyai arti, fungsi dan makna yang sangat penting dalam kehidupannya, karena kesenian dan agama tidak dapat dipisahkan bagaikan dua sisi mata uang di mana keduanya saling terkait dan menyatu. Kesenian wayang kulit sebagai alat komunikasi untuk memperkuat keyakinan, nilai-nilai, norma-norma dalam kehidupan serta secara universal dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis (religi), karena dalam religi tertanam berbagai nilai yang membawa masyarakat ke suatu kemungkinan untuk berkomunikasi dengan hakikat yang tertinggi (Wiadnyana, 2007 :53). Pementasan Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur sangat erat kaitannya dengan prosesi panglukatan (pembersihan dan penyucian). Secara umum masyarakat menganggap prosesi pementasan Wayang Suddhamala hanya bertujuan untuk nunas tirtha saja, sehingga pementasan wayang kulit menjadi sepi penonton. Oleh karena itu, pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala bagi masyarakat dianggap hanya untuk kepentingan nunas tirtha panglukatan dalam konteks ini adalah untuk membersihkan dan menyucikan roh leluhur dari segala kekotoran (mala) sehingga dapat pergi ke alam Siva. Dalam pementasan sang dalang harus mengikuti aturan-aturan yang telah tercantum dalam
Dharma Pewayangan, sebab Dharma Pewayangan merupakan suatu aturan tertulis atau kewajiban yang secara bertahap harus dilaksanakan oleh sang dalang, baik sebelum dan sesudah melakukan tugasnya ngewayang (Sugriwa, 1995 : 37). Hal ini ditegaskan oleh I Gusti Ketut Kaler (dalam Wiadnyana, 2007 : 54-55) yang mengatakan bahwa : …”wayang, yadiastu pawakan walulang inikir, janten ring pangamiitannyane sampun maplaspas, katiwakin widi wedana penyangaskara, sapunika taler piranti dulurannya sami (damar, kelir, keropak, lan sapanunggilannya). Widi-wedana taler kawentenang nangken rahina Saniscara Kliwon, Wuku Wayang, miwah nangken pangringgitan panyanggaskarane kadulurin antuk tata prawerti panyanggra, malarapan kayun drda bhakti, dumugi inucap Sanghyang Ringgit, kahyangin antuk ida Sanghyang sane Maraga Niskala. Jantos sandang tunasin tirtha wasuh pada (Suddhamal). Punapi malih Sang Amangku Dalang, janten sampun sinangaskara mawinten, saha tan maren tepet ring sasaning dalang, astiti ring Sanghyang Iswara, tegep ring brata, tan wenang mumpang laku. Wenten taler mawidi-wedana masakapan ring wayang saha pirantinnya. Mawastu sida matunggalan dalang ring wayange, kadi Ardanareswari…” Terjemahannya: … wayang walaupun dibuat dari kulit binatang yang diukir, sebelum dipergunakan dalam pementasansudah tentu di-pelaspas (disucikan) terlebih dahulu. Demikian juga dengan halnya alatalat perlengkapan yang lain seperti blencong, layar, kotak dan lain-lain. Upacara juga dilaksanakan setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Wayang. Semua disertai dengan tata aturan yang telah ditentukan, serta keikhlasan dan 19
sujud bhakti yang tulus. Itulah makanya dikatakan (wayang) itu sebagai Sanghyang Ringgit karena telah mendapat anugrah atau kekuatan Tuhan. Dan karena itu pula, dalang beserta wayangnya dapat diminta air suci (panglukatan). Demikian juga dengan halnya sang Amangku Dalang, sebenarnya tentu sudah melakukan upacara penyucian diri, juga harus mengikuti petunjukpetunjuk yang sudah ditentukan, selalu sujud bhakti kepada Tuhan, patuh melaksanakan pantanganpantangan tertentu, menghindari berbuat/melakukan pekerjaan yang tidak terpuji. Dan ada pula dalang yang melakukan upacara perkawinan dengan wayang dan semua perlengkapannya, dengan maksud supaya dapat menumbuhkan perasaan menyatu antara dalang dengan wayangnya… Menurut Wicaksana (2007 : 96-97) Dharma Pewayangan merupakan pustaka khusus yang isinya memuat petunjuk yang membimbing para dalang dalam melaksanakan dharma atau kewajibannya sebagai dalang. Dengan demikian, secara tidak langsung merupakan aturan yang mengikat dalang untuk tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam ajaran agama dan moralitas. Dalam pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala yang berkaitan dengan fungsi panglukatan dapat dilihat dari cerita atau lakon yang dibawakan oleh sang dalang. Lakon atau cerita merupakan seni drama atau lelampahan yang dapat dihayati arti dan makna yang mendalam dari setiap cerita wayang yang bersifat klasik atau tradisi. Dalam lakon yang dipentaskan pada upacara Mamukur biasanya cerita tentang Bima Swarga. Cerita ini merupakan mitos yakni cerita yang dipercayai dapat memberikan pedoman dan aturan-aturan tertentu untuk menjalani kehidupan yang baik. Cerita atau mitos ini pada hakikatnya adalah cerita yang mengandung berbagai simbol yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat magis. Dari
lakon yang dibawakan oleh sang dalang seperti Bima Swarga dapat dipetik pesan atau makna bahwa segala bentuk perbuatan, aktifitas, kerja, laksana atau perilaku (karma) baik perbuatan baik (subhakarma) maupun perbuatan yang buruk (asubhakarma) akan mendapatkan hasil dari perbuatan atau karmaphala. Untuk melebur serta menyucikan segala bentuk kekotoran (mala), dosa (kesalahan) maka dipergunakan sebuah media atau sarana yang dikenal dengan tirtha amerta atau air suci. Air suci atau tirtha inilah yang dipercaya dan diyakini dapat melukat atau menyucikan segala kekotoran (leteh) pada diri seseorang baik dalam masa hidupnya maupun sudah meninggal. 2.4.2 Fungsi Estetis Dalam konsep estetika Hindu yang diutamakan adalah sebuah keseimbangan dan keharmonisan yang menempatkan kebenaran itu suci dan indah, kesucian itu harus benar dan indah, dan keindahan itu suci dan mengandung kebenaran. Dengan demikian, ketiga hal tersebut saling mendukung serta mempengaruhi dalam melihat atau memandang sebuah konsep estetik. Menurut Bandem (dalam Wiadnyana, 2007 : 142) mengungkapkan bahwa ketiga konsep tersebut (satyam, sivam, dan sundaram) merupakan totalitas setetik yang tidak dapat menyentuh aspek ragawi (fisik) namun juga estetik metafisik. Dengan demikian seni pada kondisi tersebut sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan dalam wujud keindahan yang abadi untuk mencapai hubungan yang seimbang secara kosmologis. Seorang dalang sebelum melaksanakan pertunjukan melakukan kontemplasi estetik untuk dapat memohon kekuatan atas peran yang dimainkan, sehingga karakter tokoh yang dimainkan menjadi adung, lengut, pangus serta metaksu. Sehubungan dengan yantra Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur, fungsi estetis dapat dilihat dari penggunaan yantra dalam wujud tokoh-tokoh pewayangan serta upakara (banten) yang 20
dipersembahkan pada dewanya wayang. Di samping itu, fungsi estetis tidak hanya menyangkut bidang keindahan yang bersifat fisik (wayang, tata panggung, teks lakon, gambelan, banten, dan unsur penyangga pertunjukan), namun juga menyangkut bidang non fisik seperti: hal-hal yang berkaitan dengan seni yang tidak dapat dipegang dan dipandang, tetapi hanya dapat dirasakan dengan perasaan, contohnya suara tembang dan gending baik dari dalang maupun dari nada-nada suara dari gambelan. Menurut dalang I Gede Suartana, menjelaskan tokoh-tokoh pewayangan yang dipergunakan dalam pembuatan atau memohon air suci (tirtha) Suddhamala secara umum menggunakan Acintya, Siwa, dan Tualen (wawancara tanggal 2 Juni 2012). Dari ketiga jenis yantra atau tokoh wayang yang dipergunakan untuk membuat tirtha Suddhamala dapat dilihat unsur-unsur estetisnya yaitu: unsur pewarnaan, dari unsur wujud atau bentuk, karakter dan sebagainya.
dipergunakan sebagai pengiring pertunjukan wayang. Seni tari berupa gerakan-gerakan wayang yang disebut dengan tetikesan (Wiadnyana, 2007 : 143).
Di samping itu, secara keseluruhan yantra Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur dipandang dari fungsi estetis merupakan satu kesatuan yang seimbang dan harmoni dari tujuh unsur yang terkandung dalam keindahan yaitu: seni lukis, seni kria, seni drama, seni sastra, seni karawitan, seni suara, dan seni tari. Penggolongan seni lukis dan kria dapat disatukan menjadi seni rupa, karena merupakan unsur yang sama. Seni drama yaitu teknik atau cara dalang dalam menyajikan cerita atau lakon. Seni rupa meliputi pahatan dan perwajahan tokohtokoh wayang sekaligus dengan pewarnaan dihubungkan dengan karakter masingmasing tokoh. Seni sastra dapat dilihat dari sumber cerita yang dibawakan oleh dalang yakni: Mahabharata, Ramayana, Tantri, Babad, Arjuna Wiwaha, Gatotkaca Sraya, Kunti Sraya dan sebagainya. Seni suara berupa tembang-tembang atau gending yang dilantunkan oleh dalang maupun sinde (gerong) yang biasanya diambil dari karya sastra Jawa Kuna. Seni karawitan berupa perangkat gambelan (barungan) yang
Begitu juga halnya dalam pertunjukan wayang kulit mengalami dampaknya ketika perubahan zaman yang ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi dan informasi. Dampak tersebut dapat disaksikan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit yang saat ini terus mengalami perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam pertunjukan wayang kulit dibedakan menjadi dua, yaitu: wayang kulit tradisi dan wayang kulit modern (kontemporer). Wayang kulit tradisi masih tetap mempertahankan pakem atau aturanaturan dalam pertunjukan selain itu dalam penggunaan teknoligi masih sederhana, sedangkan wayang kulit kontemporer penggunaan teknologi sudah modern dan sedikit masih menggunakan pakem lama. Sehubungan dengan hal tersebut, yantra Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur merupakan bentuk kesenian tradisi yang berfungsi sebagai kesenian wali yang dipentaskan dalam upacara keagamaan. Yantra-yantra dalam pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala merupakan hasil karya manusia yang adi luhung serta memiliki nilai seni yang tinggi, sehingga dari hasil karya
Di samping itu, dalam estetika juga terdapat seni yang menjadi unsur pembentuk dalam konsep keindahan, sedangkan seni merupakan salah satu unsur pembentuk dari budaya, sebaliknya budaya merupakan hasil produk dari manusia. Oleh karena itu seni dan budaya merupakan hasil ciptaan manusia yang terus berkembang dan dikembangkan sesuai dengan kondisi zamannya. Seni dan budaya selalu mengalami perubahanperubahan dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang tinggi (kompleks). Perubahan tersebut dapat diketahui dari hasil-hasil karya manusia yaitu berupa teknologi. Hasil-hasil teknologi manusia dari yang paling sederhana sampai yang super canggih (modern) turut mempengaruhi seni dan budaya manusia secara umum.
21
manusia tersebut akan memunculkan kebudayaan dalam berkesenian. 2.5 Fungsi Mantra Wayang Kulit Suddhamala Dalam Upacara Mamukur 2.5.1 Fungsi Penyucian Pertunjukan wayang kulit secara umum memiliki fungsi dan tujuan untuk meruwat. Begitu juga dengan wayang kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur bertujuan untuk meruwat serta menyucikan seseorang baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Menurut dalang I Made Juanda dari Desa Sukawati menjelaskan tentang fungsi wayang Suddhamala dalam suatu upacara keagamaan yakni untuk menyucikan diri secara sekala dan niskala melalui nunas tirtha Suddhamala (Wawancara tanggal 10 Juni 2012). Dalam fungsinya sebagai penyucian, pertunjukan wayang kulit Suddhamala memiliki kedudukan yang penting dalam upacara keagamaan khususnya dalam upacara Mamukur. Sebab, dari segi nama Suddhamala saja sudah menyiratkan arti tentang penyucian (bersih dari segala kekotoran) sehingga masyarakat memiliki keyakinan dan percaya bahwa dengan nunas tirtha Suddhamala dalam upacara Mamukur dapat menyucikan atma/roh leluhurnya dari kesalahan atau dosa yang telah diperbuat dalam masa hidupnya. Di samping itu, pertunjukan wayang kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur, secara umum diyakini oleh masyarakat dapat melebur segala mala atau kekotoran baik yang bersifat fisik (sekala), maupun rohani (niskala). Hal ini sesuai dengan mantra yang digunakan oleh dalang ketika melakukan ruwatan baik pada orang yang masih hidup maupun bagi orang yang sudah meninggal (Ngaben atau Mamukur). Adapun mantramantra yang diucapkan oleh dalang adalah sebagai berikut: “…Ong atma paratma nirwighna suddha tastta suksma ya namah swaha”. Pukulun Sanghyang Tri-Wisesa, manusa aneda anglukata, eka-mala, dwi-mala, tri-mala, catur-mala, panca-mala, sad-mala, sapta-
mala, asta-mala, nawa-mala, dasa-mala, kabeh sama kalukat denira Sanghyang TriPurusa, Ong Ang Ung Mang”. Terjemahan: Ya tuhan, jiwa yang kotor telah dibersihkan dan disempurnakan. Hamba mohon kehadapan Sang Hyang Tri Wisesa, hamba akan membersihkan, satu sampai sepuluh kecemaran, semuanya dibersihkan oleh Sanghyang Tri Purusa, Om Brahma Wisnu Siwa (Wawancara dengan Dalang I Made Sidja tanggal 10 Juni 2012) Dari uraian di atas berkaitan dengan mantra yang diucapkan oleh dalang ketika memohon air suci dengan harapan agar air yang diberi puja mantra nantinya dapat melebur segala mala/kekotoran dalam diri seseorang dari eka mala sampai dasa mala sehingga orang yang dilukat menjadi manusia yang memiliki karakter dewata (daiwi sampad) 2.5.2 Fungsi Permohonan Dalam lontar Dharma Pewayangan diuraikan tentang segala hal berkaitan dengan tugas dan kewajiban sang dalang dalam melakukan pertunjukan wayang kulit. Sang dalang sebelum berangkat ke tempat ngwayang (orang yang menanggap) di awali dengan melakukan permohonan kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya dengan mengucapkan doa dalam Bahasa Bali yaitu: “Ratu Sanghyang Widhi Wasa miwah Bhatara kawitan, Ratu Bhatara Manik Dalang, titian nunas restu dumadak utsahan titiange ngwayang mangguhang kasampurnan” (Ya Tuhan Yang Maha Esa, Bhatara Kawitan dan Ratu Bhatara Manik Dalang, hamba mohon restu semoga, usaha hamba melaksanakan pewayangan menemui kesempurnaan). Dengan melakukan permohonan seperti itu, sang dalang secara bathin (rohani) mendapatkan spirit dari Tuhan sehingga harapan dalam pertunjukannya menjadi lancer dan tidak ada halangan. Demikian juga dengan pertunjukan wayang kulit Suddhamala dalam Upacara 22
Mamukur memiliki fungsi permohonan. Hal ini terkait dengan fungsi mantra wayang kulit Suddhamala yaitu memohon kepada Tuhan melalui perantara sang dalang untuk membuat tirtha (air suci) yang nantinya dipakai untuk meruwat/melukat segala kekotoran yang disebabkan oleh tri kaya (wak, kaya, dan manah) dalam diri seseorang. Mantra-mantra yang diucapkan oleh dalang ketika memohon tirtha Suddhamala pada hakikatnya adalah memohon kehadapan Tuhan untuk berkenan memberikan anugerah berupa kekuatan pada air yang diberikan mantra sehingga tirtha tersebut memiliki khasiat yang bagus untuk menyucikan diri (pikiran, perkataan, dan perbuatan). III. SIMPULAN Kesenian wayang kulit merupakan warisan kebudayaan yang sangat adiluhung yang diwariskan oleh nenk moyang dari generasi ke genarasi. Dalam realisasinya, pementasan wayang kulit mengalami perubahan yang signifikan baik dari segi pementasannya maupun dari segi isi atau cerita yang dibawakan oleh sang dalang. Pementasan wayang kulit Suddhamala merupakan kesenian yang masuk dalam kategori kesenian wali yang hanya dipentaskan dalam upacara Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya. Dalam pementasan wayang kulit Suddhamala tidak lepas dari penggunaan alat atau sarana yang mendukung dalam pementasan tersebut. Peranan yantra dan mantra dalam pementasan wayang kulit Suddhamala sangat penting dan utama, karena dengan yantra dan mantra yang dipergunakan oleh sang dalang sebagai media visualisasi yang berwujud abstrak (transendent) menuju yang nyata (imanent). Hal ini dapat diketahui dari penggunaan yantra dalam wujud wayang kulit serta banten yang dipergunakan pada saat pementasan berlangsung. Wujud yantra dalam bentuk wayang kulit seperti: wayang pemurtian, Acintya, Panca Pandawa, Tualen, Merdah dan sebagainya. Begitu juga halnya
dengan mantra yang diucapkan oleh sang dalang ketika akan memulai pementasan, selesai pementasan, dan pada saat memohon air suci (tirtha) Suddhamala. Dengan sarana/media yantra dan mantra dalam pertunjukan wayang kulit dapat mentranformasikan segala pesan serta permohonan yang disampaikan oleh sang dalang kehadapan sang Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) maupun kepada yang melaksanakan upacara tersebut. DAFTAR PUSTAKA Arwati, Ni Made Sri. 2005. Bentuk, Fungsi, Makna Upakara Piodalan. Denpasar : Upada sastra. Chawdhri, L.R. 2003. Rahasia Yantra, Mantra dan Tantra. Surabaya : Paramita. Gie, The Liang. 2004. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna. Hooykaas. 1973. Kama and Kala: Materials for the Study of Shadow Theatre in Bali. Amsterdam: North Holland Publishing Company. Kersten, P.J. 1970. Tata Bahasa Bali. Ende Flores Nusa Indah. Nardayana, I Wayan. 2009. Kosmologi Hindu Dalam Kayonan Pada Pertunjukan Wayang Kulit Bali. Denpasar: PPs IHDN Denpasar. Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Punyatmadja, Ida Bagus Oka. 1992. Panca Cradha. Jakarta : Yayasan Dharma Sarathi. Purwita, Ida Bagus Putu. 1992. Upacara Mamukur. Denpasar : Upada Sastra Rudita, I Made. 2011. “Wayang Pemurtian dalam Pertunjukan Wayang Kulit Bali : Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. (Tesis). Program Pascasarjana IHDN Semadi, I Gusti Ngurah Serama. 2006. “Wayang Lemah Dalam Upacara Manusa Yadnya Mabayuh Oton”.
23
(Tesis). Denpasar: PPs Universitas Udayana Soetrisno, R. 2008. “Wayang Sebagai Warisan Dunia”. MS. Abbas (Editor). Surabaya: SIC Sugriwa, I Gusti Bagus. 1995. Dalang dan Wayang. Denpasar : Bidang Kesenian Depdikbud Propinsi Bali Suharto dan Tasa Iryato. 2002. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya : Indah Sukaderi, Ni Made. 2008. “Pementasan Wayng Kulit Sebagai Sebuah Ruwatan (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)”. (Skripsi). Denpasar: IHDN Surada, I Made. 2007. Kamus SanskertaIndonesia. Surabaya : Paramita. Surayin, Ida Ayu Putu. 2002. Melangkah Kearah Persiapan Upakara-upacara Yajna. Surabaya: Paramita. Sutjaja, I Gusti Made. 2004. Kamus Sinonim Bahasa Bali. Denpasar : Unud Tim Penyusun. 1987. Pratima dan Pralingga Koleksi Museum Bali (Laporan Penelitian. Denpasar : Direktorat Jenderal Kebudayan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tim Penyusun. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar : Pemerintah Provinsi Bali Tim Penyusun. 2009. Data Sekaa/Sanggar/Organisasi Kesenian Tersebar di 7 Kecamatan Kabupaten Gianyar. Dinas Kebudayaan Tim Penyusun. 2011. Ensiklopedi Hindu. Surabaya : Paramita Titib, I Made. 2003. Teologi dan SimbolSimbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita. Wiadnyana, I Ketut Bendesa. 2007. “Fungsi dan Makna Wayang Sudamala dalam Upacara Memukur di Desa Rendang Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem Perspektif Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu”.(Skripsi). Denpasar: IHDN Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita.
Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali Disebut Bali. Surabaya : Paramita. Wicaksana, I Dewa Ketut. 2000. Jurnal Seni Budaya Mudra. STSI Denpasar: Denpasar Wicaksana, I Dewa Ketut. 2007. Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya Dalam Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post. Yudabakti, I Made, Watra, I Wayan. 2007. Filsafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali. Surabaya: Paramita.
24