Pendahuluan Danau rawa pening merupakan danau yang terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Danau yang memiliki luas genangan sekitar 2.667 ha ini merupakan salah satu danau air tawar terbesar yang pernah ada di Indonesia (Sutarwi. 2008). Danau Rawa Pening memiliki 9 hulu sungai sebagai sub-sub DAS dan 1 sungai sebagai aliran keluarnya. Terdapat 15 desa yang masing-masingnya dialiri oleh 9 hulu sungai tersebut. Selain sebagai penyangga ekologis, hasil studi karakteristik danau Rawa Pening (Balitbang Jateng 2004: III/24) menyatakan adanya ketergantungan masyarakat sekitar terhadap keberadaan danau Rawa Pening. Ketergantungan tersebut antara lain adalah sektor pertanian yaitu melalui pemanfaatan lahan pasang surut. Sektor perikanan yang mana danau dimanfaatkan sebagai kawasan tambak baik ikan maupun udang. Pemanfaatan sebagai PLTA yang bersumber pada ketersediaan sumber air serta banyak pemanfaatan lainnya. Namun pelestarian serta upaya konservasi dari danau ini seakan tertutup oleh eksplorasi manfaat yang cukup tinggi oleh sebagian besar aktivitas manusia. Ketergantungan masyarakat pada danau rawa pening kemudian menyebabkan tekanan penduduk untuk terus memanfaatkan sumber daya yang ada. Akibatnya tekanan penduduk menyebabkan terjadinya perubahan fungsi lahan. Contoh tekanan penduduk terhadap sumber daya alam. antara lain, lahan yang sebenarnya sebagai lahan vegetasi yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air beralih fungsi menjadi lahan pertanian ataupun lahan pemukiman. Eksploitasi lahanpun dilakukan untuk pemenuhan kebutuhannya. Alih fungsi lahan yang menyebabkan terkikisnya jumlah vegetasi mengakibatkan degradasi daya dukung lahan. Belum lagi rendahnya tingkat pengetahuan penduduk mengenai pola penggarapan lahan serta kurangnya pemahaman terhadap dampak jangka panjang. Terjadinya longsor merupakan salah satu akibat dari alih fungsi lahan yang berlebihan. Menurut Sutarwi, 2008, tata guna lahan pada lahan sub DAS Rawa Pening sebagian besar dimanfaatkan untuk tegalan, sawah dan pemukinan. Ketidakimbangan penggunaan lahan inilah yang kemudian diasumsikan sebagai faktor mendasar terjadinya kerusakan lingkungan. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan disekitar danau Rawa Pening dapat terlihat dari besarnya angka sedimentasi yang tentu saja dapat menimbulkan dampak destruktif pada keberlangsungan ekosistem danau. Sumber Rencana Tata Ruang kawasan Rawa Pening tahun 2006 menyatakan bahwa, kontribusi sedimentasi terbesar pada danau Rawa Pening adalah adanya laju erosi 5
yang sangat tinggi. Terjadinya sedimentasi pada danau sangat dipengaruhi oleh adanya sub DAS dan daerah tangkapan air. Selain sedimen yang berasal dari erosi sekitar danau Rawa Pening, sedimen juga berasal dari hasil erosi yang dilalui oleh aliran sungai kemudian masuk ke badan air dan terbawa aliran 9 sub das yang bermuara dan akhirnya menumpuk di dasar danau rawa pening. Terjadinya erosi pada daerah sekitar sub das akan mempengaruhi kelulushidupan vegetasi yang mana sedimen yang terbawa arus akan menutupi akar vegetas yang dilaluinya disepanjang aliran sungai dan secara langsung maupun tidak langsung akan mematikan sejumlah organisme yang menghuni area DAS. (Basmi. 1999). Lahan vegetasi dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Lahan vegetasi dipandang sebagai pengatur aliran air (streamflow regulator), artinya bahwa lahan vegetasi dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. (Odum EP. 1993) Konsekuensi logis dari anggapan seperti itu adalah bahwa keberadaan lahan vegetasi dapat menghidupkan mata-mata air yang telah lama tidak mengalirkan air, keberadaan lahan vegetasi juga dapat mencegah terjadinya banjir dan kemudian menjadi kelihatan logis bahwa hilangnya areal lahan vegetasi akan mengakibatkan terjadinya kekeringan dan bahkan akan dapat mengubah daerah yang sebelumnya tampak hijau dan subur menjadi daerah seperti padang pasir (desertification). Adanya lahan vegetasi di daerah hulu yang merupakan daerah tangkapan air (catchmen area) merupakan bentuk pencegahan terhadap terjadinya erosi sehingga dapat menurunkan tingkat aliran sediment yang masuk ke dalam perairan (Intan. 2009.) Daerah yang memiliki vegetasi penutup yang kurang menyebabkan tingginya laju erosi. Adanya vegetasi memungkinkan daya cengkram terhadap lahan/tanah lebih kuat sehingga lahan/tanah tidak mudah longsor dan terikut oleh aliran air. Namun, aktivitas manusia seperti penggunaan lahan untuk pertanian maupun tidak adanya pengelolaan lahan vegetasi sebagai daerah tangkapan air (catchmen area) dapat menyebabkan adanya potensi erosi pada daerah sekitar lahan sub DAS. Salah satu desa yang merupakan daerah tangkapan air (catchmen area) yaitu Rowoboni, kecamatan banyubiru, kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan data RTR Kawasan Rawa Pening pada tahun 2006, laju erosi sungai Legi dan sungai Galeh yang mengaliri desa Rowoboni mencapai 405, 23 ton/ha/tahun yang masuk kedalam kelas IV kategori berat. Sehingga dapat diasumsikan bahwa kontribusi sediment yang berasal dari lahan desa Rowoboni pada danau Rawa Pening cukup tinggi. Belum lagi sediment yang mengendap pada sub-sub Das lain yang dialiri oleh kedua sungai tersebut. Untuk wilayah desa
6
Rowoboni sendiri belum diketahui seluruhnya struktur dan komposisi vegetasi serta pola vegetasi pada desa tersebut. Berbagai informasi mengenai tata guna lahan serta jenis struktur dan komposisi vegetasi pada desa Rowoboni dirasa penting mengingat desa ini merupakan salah satu daerah tangkapan air (catchmen area). Untuk memperoleh data dapat dilakukan melalui evaluasi tata guna lahan berdasarkan jenis penggunaan lahan yang didukung pula melalui analisis vegetasi yang bertujuan untuk mengetahui jenis vegetas dominan. Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi mengenai keberadaan vegetasi serta evaluasi tata guna lahan di desa Rowoboni yang dapat digunakan untuk pengelolaan dan penataan penggunaan lahan. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di desa Rowoboni kecamatan Banyubiru, kab. Semarang, Jawa Tengah. Penelitian dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer berdasarkan hasil observasi langsung pada desa Rowoboni antara lain jenis penggunaan lahan serta jenis vegetasi maupun dominansi vegetasi yang ada. Data sekunder didapatkan melalui kantor kepala desa Rowoboni yang meliputi profil desa, data penggunaan lahan, data demografi, peta Desa Rowoboni serta wawancara terhadap masyarakat sekitar. Penentuan Tipe Penggunaan Lahan Berdasarkan luas dan batas-batas wilayah desa Rowoboni, dilakukan pengamatan terhadap tipe penggunaan lahan pada tiap-tiap dusun pendukung yaitu dusun Muncul, dusun Rowoganjar, dusun Rowokasam, dusun Candisari, dusun Gondangsari dan dusun Sentul. Untuk dusun yang memiliki kemiringan tertentu dalam hal ini adalah dusun Sentul, digunakan garis transek untuk mengetahui tipe penggunaan lahan pada ketinggian terendah hingga ketinggian terendah. Inventaris Tumbuhan Berdasarkan luas dan batas-batas wilayah desa Rowoboni, dilakukan inventaris terhadap jenis vegetasi pada masing-masing tipe penggunaan lahan kecuali lahan hutan. Hal ini dilakukan karena rata-rata jenis vegetasi pada lahan selain hutan adalah homogen dan tidak seberagam lahan hutan. Metode inventaris dilakukan dengan mendata jenis tumbuhan yang terdapat pada setiap jenis lahan. Inventaris tumbuhan dilakukan pada tipe penggunaan lahan yang meliputi lahan pemukiman, lahan persawahan, lahan perkebunan, lahan industri dan lahan pemanfaatan untuk pariwisata. 7
Analisis Vegetasi Pada tipe penggunaan lahan hutan, dilakukan metode analisis vegetasi. Hal ini dilakukan mengingat tingkat diversitas pada hutan yang cukup bergam bila dibandingkan dengan lahan lainnya yang sebagian besar merupakan vegetasi homogen. Untuk tipe penggunaan lahan desa Rowoboni berupa hutan rakyat maka dibuat plot-plot. Plot yang dibuat didasarkan pada wilayah yang cukup representatif dari lahan hutan. Pada masing-masing lahan diukur dengan menggunakan metode petak kuadrat dengan distribusi plot random. Indikator sampling yang akan dianalisis antara lain memenuhi syarat seperti yang direkomendasikan Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), yaitu : harus cukup luas untuk memuat seluruh jenis yang dimiliki komunitas tumbuhan tersebut. habitatnya harus seragam dalam area plot sejauh dapat ditentukan oleh pandangan seseorang. tumbuhan penutup harus sedapat mungkin seragam. Sebagai contoh tidak menunjukan perbedaan yang besar atau tidak terdapat dominasi suatu jenis pada sebagian areal sampel dan dominasi jenis yang berbeda pada bagian yang lain. Dalam setiap petak ukur terdiri dari 4 plot yang masing-masing luasannya adalah 4 m2, 25 m2, 100 m2, 400 m2. Dilakukan pengamatan pada masing-masing plot berdasarkan tingkat pohon, tiang (pohon kecil), sapihan dan semai. Parameter yang diamati meliputi jenis, jumlah individu yang ada dan luas penutupan lahan oleh suatu tumbuhan. Selain itu juga dilakukan pendataan terhadap herba sebagai tumbuhan bawah. Untuk jenis jenis vegetasi yang belum dapat dikenali, bagian tumbuhan diambil untuk diidentifikasi lebih lanjut dengan menggunakan buku panduan Flora Of Java. Hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) yaitu sebagai berikut:
Masing-masing tipe penggunaan lahan, akan dihitung kerapatannya berdasarkan data jumlah individu per luas petak ukur.
tingkat
Kerapatan masing-masing individu yang berbeda pada tipe lahan akan di ketahui melalui kerapatan relatif tiap individu. 8
Tingkat dominansi vegetasi tiap tipe lahan dianalisis berdasarkan jumlah penutupan suatu jenis vegetas perluas petak.
Tingkat dominansi tiap jenis individu dianalisis berdasarkan jumlah dominansi relatif semua individu yang berada dalam petak.
Tingkat keberadaan suatu individu pada tipe lahan dianalisis berdasarkan jumlah individu tersebut pada tiap-tiap plot yang dibuat.
Tingkat keberadaan relatif suatu individu pada tipe lahan dianalisis berdasarkan perbandingan frekuensi keberadaan individu tersebut dengan keberadaan seluruh jenis individu.
Keanekaragaman jenis dan kemantapan komunitas setiap areal dapat digambarkan dengan mengetahui nilai indeks keanekaragaman jenis. ∑( )
Keterangan : H' = Indeks Keranekaragaman Jenis pi = ni/N ni = Nilai Penting Jenis ke.. N = Jumlah Nilai Penting Semua Jenis.
Hasil dan Pembahasan Desa Rowoboni merupakan salah satu dari 10 Desa di wilayah kecamatan Banyubiru kabupaten Semarang. Wilayah Desa Rowoboni memiliki luas 522,80 Ha dengan iklim sedang dan terletak diketinggian 450 M dari permukaan air laut. Desa Rowoboni memiliki curah hujan rata – rata 2.000 s/d 3.000 mm tiap tahun. Secara administratif Desa Rowoboni terletak di Kecamatan Banyubiru dengan batas wilayah sebelah utara Rawa Pening, sebelah barat Desa Tegaron dan Desa 9
Kebondowo, sebelah selatan Desa Kebumen dan Desa Gedong serta, sebelah timur Desa Kalibeji Kecamatan Tuntang. Masing-masing desa yang membatasi desa Rowoboni merupakan desa yang memiliki kemiringan hampir 9-45%. Sebagian besar wilayah Rowoboni merupakan tanah persawahan, hal ini dilatarbelakangi areal desa yang dikelilingi oleh 4 sungai besar yang bermuara ke danau Rawa Pening. Desa Rowoboni memiliki sungai yang digunakan untuk sumber irigasi pada sawah yaitu sungai Legi,Parat, Muncul dan Gondang yangmana berdasarkan pustaka membawa aliran sedimentasi yang cukup tinggi tiap tahun.
Aspek Sosial a. Populasi Penduduk
jumlah penduduk
Jumlah populasi penduduk pada desa Rowoboni tercatat pada tahun 2011 adalah sebanyak 2268 jiwa. Pada tahun sebelumnya jumlah populasi hanya 2232 jiwa sehingga tercatat penambahan penduduk sebanyak 36 jiwa atau mengalami penambahan sebesar 1.6%.
2340 2320 2300 2280 2260 2240 2220 2200 2180
2317 2278
2278
2268 2232
2007
2008
2009
2010
2011
tahun
Sumber : BPS Kab. Semarang 2007-2011. Gambar 1. Populasi penduduk desa Rowoboni dari tahun ke tahun.
Berdasarkan grafik 1. menunjukkan adanya jumlah populasi yang fluktuatif selama kurun waktu 5 tahun pada penduduk desa Rowoboni. Adanya jumlah populasi yang stabil dari tahun 2007 hingga 2008 namun terjadi peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 39 jiwa. Penurunan populasi terjadi pada tahun 2010 menjadi 2232 yang semula berjumlah 2317 pada tahun 2009. Tahun 2011 berangsur meningkat menjadi 2268 jiwa. Pada analisis data sekunder, tidak ditemukan penurunan jumlah sex ratio perempuan sehingga menimbulkan terjadinya penurunan populasi pada tahun 2010. Diketahui bahwa rata-rata usia produktif perempuan adalah 15-49 tahun. Diasumsikan bahwa penurunan yang 10
terjadi pada tahun 2010 merupakan jumlah imigrasi akibat terjadinya interupsi air Danau Rawa Pening ke lahan pemukiman warga tepatnya dusun Rowoganjar sehingga beberapa kepala keluarga terpaksa pindah dan angka kematian yang terjadi disepanjang tahun 2010.
b. Tingkat Usia Berdasarkan hasil penelitian, diketahui jumlah yang telah memasuki usia kerja (16-60 tahun) adalah sebanyak 1314 orang. Jumlah yang lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah usia tidak bekerja (0-15 tahun) yaitu sebanyak 951 orang dan usia tidak produktif (60+ tahun) yaitu sebanyak 180 orang. Rasio beban tanggungan dari total jumlah populasi yaitu 2.445 orang oleh kepala keluarga yang berjumlah 664 KK diasumsikan berjumlah 3.7 (4 orang) yaitu suami, istri dan 2 orang anak. Jumlah pertumbuhan populasi yang terus bertumbuh memungkinkan beban tanggungan yang tinggi oleh kepala keluarga yang kemudian berbanding sama dengan jumlah orang yang membantu kegiatan ekonomi. Tabel 1. Komposisi Penduduk Desa Rowoboni Menurut Tingkat Usia . NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
UMUR (Th) 0–1 1–5 6 – 10 11 – 15 16 – 20 21 – 25 26 – 30 31 – 40 41 – 50 51 – 60 60 + Jumlah
LAKI-LAKI 71 98 199 119 87 171 101 107 102 107 112 1.274
PEREMPUAN 64 102 94 204 87 137 97 98 102 118 68 1.171
JUMLAH JIWA 134 200 293 323 174 308 198 205 204 225 180 2.445
Sumber : profil desa Rowoboni, 2011.
c. Mata Pencaharian Penduduk Berdasarkan tabel 1.1 diketahui jumlah penduduk yang memiliki mata pencaharian sebanyak 754 jiwa. Jenis mata pencaharian yang paling banyak adalah buruh tani yaitu sebanyak 221 orang, buruh industri, buruh bangunan, pedagang, pegawai negeri/TNI, pensiunan, dan lain-lain. Hal ini tentu sinkron dengan lahan sawah yang hampir menutupi seluruh areal desa Rowoboni. Berdasarkan data dilapangan, beberapa sawah yang terhampar pada desa Rowoboni bukan merupakan hak milik dari masyarakat Rowoboni sendiri, namun banyak penduduk setempat bekerja sebagai buruh tani menggarap sawah pada desa Rowoboni.
11
Jumlah Pekerja
250 200 150 100 50 0
221 182 121 45
63 26
39
57
Sumber : Profil Desa Rowoboni, 2011. Gambar 2. jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian.
b. Tingkat Pendidikan Penduduk Berdasarkan data hasil penelitian, hampir sebagian besar penduduk desa Rowoboni tamat sekolah dasar yaitu 574 orang, kemudian tamat SLTP 477 orang, tamat SLTA 422 orang, tidak sekolah 182 orang, tamat perguruan tinggi 82 orang dan belum tamat sekolah dasar sebanyak 52 orang. Pendidikan formal yang dicapai sebagai besar merupakan tamat sekolah dasar. Hal ini diasumsikan menimbulkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai dampak dari eksploitasi serta penggunaan bahan-bahan pupuk organik maupun non-organik berlebihan. Kurangnya pemahaman dan pegetahuan tentang pemanfaatan sumber daya alam menimbulkan masyarakat terus-menerus melakukan eksploitasi tanpa memikirkan untuk regenerasi sumber daya. Tabel 2. Komposisi Penduduk Desa Rowoboni Menurut Tingkat Pendidikan. No.
Tingkat pendidikan
Jumlah
Persen
1.
Tamat Perguruan Tinggi
82
4.6%
2.
Tamat SLTA
422
23.6%
3.
Tamat SLTP
477
26.7%
4.
Tamat SD
574
32.1%
5.
Belum Tamat SD
52
2.91%
6.
Tidak Sekolah
182
10.2%
Total
1789
100
Sumber : profil desa Rowoboni, 2011.
12
Aspek Lingkungan a. Jenis-jenis Lahan Jenis-jenis lahan pada desa Rowoboni meliputi hutan rakyat, sawah teririgasi, pemukiman, kolam air tawar. Hutan rakyat merupakan hutan yang diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sawah terbagi atas sawah irigasi dan sawah pasang surut, pemukiman terdiri dari rumah dan pekarangan. Tabel 3. Jenis-jenis Penggunaan Lahan pada Desa Rowoboni.
Jenis penggunaan lahan
Luas Lahan (ha)
Hutan rakyat* Sawah teririgasi Rawa-rawa Pemukiman Kolam air tawar Total
0 97 389.70 34.10 2 522.80 ha
(%) 0 18.6 74.5 6.5 0.4 100
*hutan produksi. Sumber : Profil Desa Rowoboni, 2011.
Berdasarkan profil desa Rowoboni, sebagian besar jenis penggunaan lahan merupakan rawa-rawa. Namun pada observasi langsung ke lapangan, ditemukan adanya beberapa hektar rawa yang telah terkonversi menjadi lahan pertanian/sawah atau disebut sebagai sawah pasang surut. Berdasarkan masyarakat dan profil data desa Rowoboni, lahan pasang surut mencapai 60-75 ha. Pada penelitian menunjukkan bahwa profil tipe penggunaan lahan desa Rowoboni menunjukkan tipe penggunaan lahan antara lain yaitu lahan hutan, lahan pemukiman, sawah pasang surut, sawah, rawa, kolam air tawar. Lahan hutan pada desa Rowoboni hanya dimiliki oleh dusun sentul yang merupakan salah satu dusun pendukung dari desa Rowoboni. Lahan hutan pada dusun Sentul sendiri memiliki kemiringan 9-25% yang mana menurut Utomo, 1989, masuk kedalam kelas kemiringan agak miring. Sebagian lahan hutan telah dikonversi ke lahan pemukiman yang menjadi dusun Sentul dan dimanfaatkan menjadi lahan pengerukan bahan galian C (urug).
13
Jenis tanaman yang umum dijumpai pada desa Rowoboni berdasarkan pola penggunaan lahannya antara lain : Tabel 4. Data Jenis Tanaman yang terdapat pada Penggunaan Lahan Desa Rowoboni. Jenis
Hutan
Sawah
Pemukiman
rawa
penggunaan
Kolam air
Sawah
tawar
pasang
lahan Luas
surut lahan
1.8 ha
97 ha
34.10 ha
329.70 ha
2 ha
60 ha
Jenis
Sengon
Padi,
Pohon kelapa,
Padi,
Pohon
Padi,
tanaman
laut,
pisang,
kelengkeng,
rumput,
beringin,
alang-
tumbuh
kelapa,sing
rambutan,
alang-
pohon
alang,
an
kong,
tanaman hias
alang.
bambu,
eceng
tingkat
kacang
alang-alang
gondok
semai
panjang,
(ha)
eceng gondok, cabe. Sumber : Data Primer. 2012.
b.1 Lahan Hutan Berdasarkan data sekunder dari BPS kabupaten Semarang, desa Rowoboni tidak memiliki lahan hutan. Namun pada observasi langsung ke lapangan, diketahui desa ini masih memiliki lahan hutan yang terdapat pada dusun Sentul. Masyarakat setempat memahami bahwa lahan semacam ini merupakan tegalan karena masyarakat kerap menjadikan lahan ini sebagai lahan untuk mencari kayu dan kemudian menebangnya untuk pemenuhan kebutuhan. Lahan hutan yang terdapat pada Desa Rowoboni dulunya merupakan hutan rakyat yang kemudian oleh karena peningkatan populasi penduduk mengkonversi lahan ini sebagai pemukiman. Memiliki luas sekitar 1,8 ha yang memiliki kemiringan mencapai 9-25% dan hanya terdapat pada dusun Sentul. Lahan hutan ini dimanfaatkan masyarakat untuk diambil kayunya. Hutan ini didominasi oleh alang-alang dan Sengon laut, beberapa kelompok bambu yang terletak di bagian paling atas hutan. Sebagian lahan hutan yang memiliki panjang lereng hampir 50 m dengan kemiringan 9-25%. Setengah persen dari luas dusun Sentul merupakan lahan galian golongan C dan berhadapan langsung dengan jalan raya, dusun Gondangsari dan kali (sungai) Gondang yang bermuara langsung pada Rawa Pening. Lahan galian yang sebelumnya merupakan hutan rakyat digundulkan atau dimanfaatkan sumber kayunya kemudian tanahnya dikeruk untuk ditambang. Menurut hakim dkk (1986) 14
suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh iklim, topografi dan sifat tanah terhadap erosi. Vegetasi mempunyai peran yang sangat penting pada suatu lahan untuk mencegah erosi. Menurut rahim (2000), adanya vegetasi mampu menahan terjadinya erosi karena adanya intersepsi hujan oleh tajuk, sehingga dapat menurunkan volume dan kecepatan limpasan permukaan, dapat merubah sifat tanah, dan dapat meningkatkan kecepatan transpirasi. Tanaman yang menutup permukaan tanah secara rapat tidak saja memperlambat limpasan, tetapi juga memperlambat pengangkutan partikel tanah. Perubahan tata guna lahan ini mengakibatkan kerusakan vegetasi. Kerusakan vegetasi, baik kerusakan semak belukar maupun kerusakan vegetasi penutup lainnya sehingga mengakibatkan terkikisnya lapisan atas tanah yang banyak mengandung unsur hara untuk kesuburan dan kestabilan tanah terhadap erosi dan kemampuan tanah untuk menahan air semakin menurun. Erosi yang disebabkan kerusakan vegetasi penutup menyebabkan bahaya terhadap longsoran tanah yang merupakan sumber endapan sedimen jika terbawa masuk kedalam aliran air. Pada saat terjadi musim hujan, oleh karena hilangnya faktor pencengkram tanah maka sedimen-sedimen tebing hasil pengerukkan terkikis dan terbawa bersama aliran air hujan. Sedimen hasil pengikisan masuk kedalam kali Gondang yang berhadapan dengan daerah galian kemudian terbawa aliran sungai hingga ke rawa pening. Sama halnya dengan konversi hutan Sentul menjadi lahan pemukiman, dengan kemiringan hampir mencapai 9-25% maka berdampak pada bahaya terjadinya erosi (Sarief, 1986).
b.2 Lahan Sawah teririgasi Lahan sawah teririgasi pada desa Rowoboni merupakan pemanfaatan lahan yang paling tinggi mencapai 97 ha dari 522.80 ha luas desa yaitu sekitar 18.6%. Lahan sawah pada desa Rowoboni tidak memiliki kemiringan tertentu. Rata-rata petani memanfaatkan sawahnya tidak hanya menanam padi, namun menanam beberapa tanaman lain yang memiliki fungsi ekonomis dan ditanam di sekitar sawah. Tanaman yang ditanam pada sawah selain padi antara lain adalah kelapa, pisang, kunyit maupun singkong. Sistem pengairan pada sawah desa Rowoboni menggunakan sumber air dari beberapa sungai besar yaitu sungai parat, legi, muncul dan gondangsari. Lahan sawah dialiri oleh sungai besar yaitu sebelah timur oleh kali Legi dan sungai muncul yang mengairi sawah pada dusun Rowokasam dan dusun Rowoganjar. Sementara, sebelah selatan dialiri oleh kali Parat sebagai perbatasan dari desa Rowoboni dengan desa tuntang yang mengaliri sawah disepanjang dusun muncul serta sebelah barat terdapat kali Gondang yang mengaliri sawah pada dusun Gondangsari.
15
Tabel 5. Lahan Pertanian Yang Dialiri Oleh Sungai. No.
Lahan Pertanian
Sungai yang mengaliri
1.
Dusun Muncul
Kali Parat
2.
Dusun Rowoganjar
Kali Muncul
3.
Dusun Rowokasam
Kali Legi
4.
Dusun Candisari
Kali Gondang
5.
Dusun Gondangsari
Kali Gondang
Sumber : Data Primer. 2012.
Metode pembuatan sawahnya terdiri dari petak-petak yang bersinggungan langsung dengan aliran sungai sehingga air hasil pengairan dari sawah langsung terinjeksi masuk kedalam aliran sungai. Kesemua sungai yang ada di desa Rowoboni bermuara pada sungai Legi dan berujung pada danau Rawa Pening. Sebagian sawah masyarakat di desa Rowoboni disekat dengan beton semen agar tanah sawah tidak bersinggungan langsung dengan sungai dan kemudian terkikis oleh aliran air. Output irigasi kemudian dialirkan melalui pipa paralon yang terdapat pada beton semen. Penyekatan ini menyebabkan aliran air menuju kali tidak keruh. Namun penyekatan dengan menggunakan beton semen hanya terdapat pada beberapa sawah pada dusun Rowokasam. Pada dusun-dusun lain, tanah sawh bersinggungan langsung dengan aliran sungai. Output irigasi cenderung keruh/berwarna kuning disebabkan membawa partikel tanah (Effendi. 2003). Hal ini diasumsikan menjadi penyebab bommingnya eceng gondok dan terbawanya sediment-sediment oleh arus sungai pada rawa pening yangmana membawa materi-materi organik yang berasal dari sumber organik yang terbawa aliran air dari ke semua sungai yang mengairi sawah-sawah desa Rowoboni.
b.3 Lahan Rawa dan Sawah Pasang Surut Jenis lahan yang paling luas pada desa Rowoboni adalah rawa yaitu sekitar 329.7 ha yang merupakan luasan dari danau rawa pening itu sendiri. Masyarakat memanfaatkan 60-75 Ha lahan pasang surut dari danau rawa pening untuk dijadikan lahan sawah pasang surut. Menurut Sittadewi, 2008, lahan pasang surut merupakan lahan yang terbentuk akibat dari proses naik turunnya permukaan air rawa pening kemudian dimanfaatkan terlebih untuk persawahan. Rata-rata masyarakat melakukan penanaman pada saat bulan juli-Agustus, penanaman dilakukan sekali setahun karena fluktuasi debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Rata-rata pemilik tanah sawah pasang surut pada Rowoboni merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan pertanian di desa Rowoboni. Untuk pemenuhan kebutuhan, para buruh tani mengolah lahan pasang surut sebanyak 2 kali plus panen. Pada saat sawah pasang, para petani kemudian melakukan pemanenan eceng gondok yang terapung pada saat pasang. Sawah pasang surut 16
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi oleh karena tanah yang mngandung pupuk hijau yang berasal dari eceng gondok yang mati dan tenggelam kedasar danau. Ditambah lagi sisa hasil pemanenan eceng gondok yang langsung dibuang pada rawa. Rata-rata pada pengolahan sawah pasang surut tidak menggunakan pupuk anorganik (BLH. 2008) Namun menurut Sittadewi, 2008, terdapat beberapa indikasi yang disebabkan oleh adanya lahan pasang surut, antara lain yaitu : Wilayah rawa yang menyempit oleh karena perlusan wilayah pasang surut Kegiatan pemupukan yang menyebabkan eutrofikasi Pengingkatan kadar keasamaan lahan karena pelapukan bahan organik dan kelarutan zat tertentu. Pengolahan lahan yang menyebabkan terlepasnya partikel tanah sehingga menimbulkan erosi. Penggarapan lahan pasang surut menjadikan lahan subur bagi tanaman liar lainnya.
b.4 Lahan Pemukiman Lahan pemukiman pada desa Rowoboni memiliki luas sekitar 34.10 ha dan tidak memiliki kemiringan tertentu. Satu-satunya lahan pemukiman yang memiliki kemiringan adalah dusun Sentul. Berdasarkan informasi warga dan kelurahan, dulu Sentul merupakan hutan rakyat yang didominasi oleh tanaman bambu, namun oleh karena tekanan populasi penduduk hutan ini kemudian dikonversi menjadi lahan pemukiman dan dilakukan penanaman tanaman Sengon karena lebih bernilai ekonomis. Pada dusun Sentul ini terdapat penambangan tanah/urug. Pada saat musim hujan berlangsung, seringkali material tanah terbawa aliran air hujan dan terinjeksi ke dalam badan air. Dalam hal ini adalah sungai Gondang yang berhadapan langsung dengan tempat penambangan. Hal ini menyebabkan meluapnya sungai Gondangyang berdektan dengan pemukiman warga yaitu dusun Gondasari. Hampir sebagian besar pemukiman yang berada pada desa Rowoboni berseberangan dengan lahan sawah dan sungai. Areal pemukiman yang terletak dekat dengan sungai mengakibatkan masyarakat ikut berdistribusi membuang sampah ke dalam sungai baik organik seperti sampah dapur maupun anorganik seperti plastik. 3 dusun dari 6 dusun pada desa Rowoboni memiliki pekarangan yang dilapis dengan semen yaitu dusun Rowokasam, Rowoganjar dan Candisari. Hal ini diasumsikan mengurangi penyerapan air hujan oleh tanah. Rata-rata vegetasi yang ditemukan pada lahan pemukiman desa Rowoboni antara lain adalah Pohon kelapa, kelengkeng, rambutan, tanaman hias. Hal ini memungkinkan tanah tidak cepat terkikis oleh aliran air. Namun beda halnya dengan dusun yang memiliki pekarangan yang dilapis semen menyebabkan tanaman kurang subur 17
oleh karena seresah yang setiap hari dibersihkan menyebabkan susahnya unsur hara terinjeksi oleh tidak adanya mikroba tanah yang berfungsi untuk mendegradasi seresah daun.
b.5 Lahan Kolam Air Tawar Desa Rowoboni memiliki banyak sumber air sehingga pemanfaatannya banyak digunakan untuk sektor rekreasi seperti kolam berenang dan pemancingan serta budidaya ikan air tawar. Terletak di areal yang tidak memiliki kemiringan tertentu membuat daerah ini menarik untuk dikunjungi. Namun oleh eksploitasi masyarakat, banyak sumber mata air dijadikan tempat untuk kegiatan rumah tangga seperti mencuci, ataupun mencuci motor.
b.6 Perubahan Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan data sekunder, terdapat beberapa perubahan yang cukup nyata pada penggunaan lahan di Desa Rowoboni. Perubahan luas penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel dibawah : Tabel 6. Data Perubahan Luas Penggunaan Lahan Desa Rowoboni.
Tahun t.sawah RawaPemukiman Htn * (ha) rawa (ha) (ha) negara (ha) 2007 97 389.66 26 0 2008 97 389.66 26 0 2009 97 389.70 34.10 0 2010 97 389.70 34.10 0 2011 97 389.70 34.10 0
Kolam air Lain2 (ha) tawar (ha) 2 2 2 2 2
8.14 8.14 0 0 0
*Danau Rawa Pening yang termasuk wilayah administratif Desa Rowoboni. Sumber : BPS Kab. Semarang.
Pada kurun waktu 5 tahun, terjadi perubahan luas penggunaan lahan yang terjadi pada desa Rowoboni. Perubahan terjadi pada jenis penggunaan lahan rawa dan luas pemukiman. Berdasarkan data hasil observasi, diketahui baha pada areal rawayang merupakan lahanyang paling besar pada desa Rowoboni dimanfaatkan sebagai lahan sawah pasang surut. Pada tahun 2011 terdapat sekitar 60 ha lahan rawa yang dimanfaatkan sebagai sawah pasang surut. Danau rawa pening mengalami penyusutan volume air dari tahun ke tahun sehingga hal ini memperluas lahan kosong yang kemudian oleh masyarakat dijadikan lahan pertanian. Hal ini memang mebawa dampak yang baik untuk perekonomian masyarakat setempat, namun diasumsikan menajdi potensi ancaman bagi keberlangsungan danau rawa pening itu sendiri. Berdasarkan analisis data peningkatan jumlah populasi masyarakatpada desa Rowoboni yaitu pada tahun 18
2009 turut ditandai dengan peningkatan jumlah bangunan/pemukiman yang didirikan oleh warga setempat. Dampak dari pembangunan ini yaitu berkurangnya hutan/tegalan yang dimanfaatkan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan. Selain itu dampak lainnya adalah berkurangnya komunitas vegetasi pelindung pada desa Rowoboni yangmana desa Rowoboni merupakan daerah tangkapan air yang dikelilingi oleh banyak DAS besar yang bermuara langsung pada danau rawa pening.
c. Analisis Vegetasi Pengambilan data untuk analisis vegetasi dilakukan dengan 2 kali ulangan pada masing-masing petak. Kenampakan hutan pada bukit sentul yaitu landai dan dibatasi oleh sungai-sungai kecil dan cenderung homogen. Berdasarkan proses pengambilan data dengan menggunakan metode kuadrat plot minimum, rata-rata jenis tumbuhan yang terdata adalah tumbuhan tingkat semak dan beberapa jenis pohon. Pada 1 petak terdiri dari 4 plot yang luasannya adalah 2x2, 5x5, 10x10, 20x20. Namun pada pengumpulan data, pada luasan 5x5 hingga 10x10 didapatkan tumbuhan jenis semak, sementara berdasarkan pustaka luasan 5x5 adalah plot tingkat pancang dan luasan 10x10 adalah plot untuk tumbuhan tingkat tiang. Berdasarkan observasi terdapat 16 spesies tumbuhan yang didominasi oleh jenis tumbuhan semak. Ke-16 spesies antara lain adalah Rumput grinting (Cynodon dactylon) Putri malu (Mimosa pudica) Rumput Teki ( Cyperus rotundus ) Patikan Kebo ( Euphorbia hirta ) Tapak liman (Elephantopus scaber) bandotan (Ageratum conyzoides), kremi (Portulaca quadrifida L.), tapak dara (Ludwigia adscendens (L.) ), Tengah Krambilan (Biophytum sensitivum), Pisang, Sengon, Kelapa, Kopi, Mahoni, Aren , sirsat. Berdasarkan data observasi untuk analisis vegetasi, pada keseluruhan plot tumbuhan Euphorbia hirta dan pohon Sengon memiliki nilai frekuensi relatif masing-masing adalah 18-22% dan 5-9% hal ini menunjukkan bahwa E. hirta memiliki kehadiran yang cukup tinggi pada masing-masing plot dibanding dengan jenis tumbuhan lain sedangkan sengon memiliki frekuensi sedang. Nilai kerapatan yang paling tinggi ditunjukkan oleh E. hirta dan Sengon masing-masing adalah 2531% dan 62-69% sehingga diasumsikan 2 jenis tumbuhan inilah yang memiliki penyebaran vegetasi yang cukup luas. Nilai dominansi terbesar oleh E. hirta dan Sengon yang masin-masing memiliki nilai dominansi 46-50% dan 46-80% yang menunjukkan luas penutupan tajuk yang cukup tinggi oleh spesies ini. Untuk plot 2x2m, indeks keanekaragaman adalah 1.55-1.62 yangmana berdasarkan Michell, 1995, bila nilai indeks keanekaragaman jenis ≤ 1.5 < H’ ≤ 3.5 maka tingkat keanekaragaman tergolong sedang mendekati rendah. Pada plot dengan luasan 20x20m, nilai indeks keragamannya adalah 1.23 1.38 dan dikategorikan dengan tingkat tingkat keragaman yang rendah. Hal ini diasumsikan karena adanya 19
konversi lahan hutan menjadi pemukiman oleh masyarakat yang terjadi pada sekitar tahun 2009. Timbulnya tekanan penduduk mengakibatkan semakin berkurangnya lahan hutan akibat dikonversi menjadi lahan pemukiman bahkan pemanfaatan sumber alam yaitu kayu yang tidak di regenarasikan. Berdasarkan kebijakan pemerintah, bahwa usia pohon terutama jenis sengon adalah minimal 10 tahun. Namun pada praktiknya masyarakat menebang pohon rata-rata pada usia 5-6 tahun tanpa regenerasi sama sekali.
d. Evaluasi Berdasarkan Data Desa Rowoboni merupakan desa yang tidak memiliki kemiringan tertentu seperti desa-desa pendukung pada kecamatan Banyubiru yang lain. Sebagai daerah tangkapan air, Rowoboni memiliki permukaan lahan yang flat dengan ketinggian 450 m dari permukaan laut. Sehingga dapat diasumsikan bahwa sebelum masuk ke danau Rawa Pening, desa Rowoboni merupakan tampungan berbagai macam sediment-sediment yang berasal dari daerah tangkapan air yang letaknya lebih tinggi seperti desa Tegaron dan desa Kebumen yang masing-masing terletak disebelah barat dan timur desa. Oleh karena letaknya yang rendah perlu adanya konservasi pada desa Rowoboni, melihat ketidakmerataan penggunaan lahan. Konservasi dalam hal ini adalah dengan mengurangi perambahan sumber daya alam yang berasal dari hutan rakyat sehingga mampu mempertahankan vegetasi.
20
Gambar 3. Peta daerah potensial sedimentasi.
Berdasarkan peta daerah potensial diatas, kawasan daerah Rowoboni merupakan daerah rentan terhadap terjadinya endapan sedimentasi (panah warna hijau). Hal ini diasumsikan terjadi karena Sungai Legi yang membelah desa Rowoboni sebagai alur pembawa sedimentasi dari partikel-partikel tanah sawah yang terbawa aliran air akibat pengelolaan tanah pada lahan pertanian. Hal ini ditambah oleh sungai legi dan beberapa sungai lainnyaseperti sungai Parat, sungai Muncul, sungai Gondang yang juga merupakan aliran sungai yang melewati daerah tangkapan air 21
yang lebih tinggi yakni Kebumen dan desa Tegaron, yangmana desa tersebut merupakan desa yang memiliki tingkat kemiringan dan rata-rata terdapat pemukiman, perkebunan dan sawah pertanian pada kemiringan tersebut.
Gambar : Das Legi yang mengaliri desa Rowoboni Gambar 4. Alur DAS pada daerah catchment area.
Sebagai lahan yang lebih rendah dibanding dengan daerah tangkapan air lainnya, desa Rowoboni dapat diasumsikan sebagai alur terakhir aliran sungai Legi sebelum memasuki danau rawa pening. Namun adanya konversi hutan menjadi pemukiman, dan lahan pertanian yang mendominasi penggunaan lahan mengakibatkan berkurangnya lahan vegetasi sebagai penambat aliran air. Menurut hakim dkk (1986) suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh iklim, topografi dan sifat tanah terhadap erosi. Vegetasi mempunyai peran yang sangat penting pada suatu lahan untuk mencegah erosi. Menurut Rahim (2000), vegetasi mampu menahan terjadinya erosi karena adanya intersepsi hujan oleh tajuk, dapat menurunkan volume dan kecepatan limpasan permukaan, dapat merubah sifat tanah, dan dapat meningkatkan kecepatan transpirasi. Tanaman yang menutup permukaan tanah secara rapat tidak saja memperlambat limpasan, tetapi juga memperlambat pengangkutan partikel tanah. Untuk pencegahan erosi paling sedikit 70% tanah harus tertutupi vegetasi (hardjowigeno,1989). Kemungkinan sedimentasi ditambah oleh areal hutan rakyat yang dulunya merupakan hutan bambu diubah menjadi lahan hutan produksi Sengon. Belum lagi hutan produksi ini terus ditekan dengan pembangunan lahan pemukiman. Padahal hutan bambu memiliki peran penting di dalam ekosistem hutan dengan karakteristik sistem perakaran akar serabut dan perakaran rimpang yang sangat kuat, bambu memilliki 22
peran sebagai tumbuhan konservasi yaitu menjaga sistem hidrologis dalam hal mengikat air dan tanah (Hartanto. 2011). Lahan sawah pasang surut kemudian menambah faktor terjadinya sedimentasi, yangmana akibat pengelolaan tanah untuk lahan pertanian, partikel-partikel tanah terlepas dan rentan terseret aliran air. Desa Rowoboni patut dijadikan sebagai lahan konservasi dengan pengurangan tingkat pemanfaatan lahan sawah pasang surut, serta penanaman kembali lahan gundu akibat pengerukkan bahan galian C bahkan menghentikan aktivitas penambangan. Tidak imbangnya penggunaan lahan dapat mengakibatkan akan semakin menyusutnya luasan danau rawa pening dari tahun ke tahun akibat sumbangan sedimentasi dari daerah tangkapan air.
Kesimpulan 1. Tipe penggunaan lahan yang paling banyak pada Desa Rowoboni berdasarkan hasil observasi adalah rawa-rawa, lahan sawah, dan lahan Pemukiman. 2. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, struktur vegetasi pada hutan desa Rowoboni terdiri dari tumbuhan semak dan Sengon dimana indeks keragaman adalah rendah. 3. Faktor yang rentan menyebabkan terjadinya sedimentasi berasal dari lerenglereng daerah tangkapan air yang lebih tinggi oleh karena pola pemanfaatan yang tidak sesuai, lahan pengerukkan, eksploitasi sumberdaya kayu dari hutan. 4. Salah satu permasalahan mendasar terjadinya eksploitasi sumber daya alam adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai dampak dari ekksploitasi itu sendiri. 6. Konversi lahan hutan menjadi lahan pemukiman menyebabkan terjadinya tingkat diversitas yang rendah pada lahan hutan sebagai penyokong cadangan air dan pencegah erosi pada lahan yang miring. 7. Pemanfaatan rawa sebagai lahan sawah pasang surut menyebabkan semakin menyempitnya luasan rawa pening.
23
Ucapan Terimakasih Penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Sucahyo. M.Sc yang telah membantu dari sisi ilmiah selaku pembimbing skripsi. Terimakasih pula penulis sampaikan untuk kelurahan desa Rowoboni dan kantor BPS kabupaten Semarang serta masyarakat yang berpartisipasi memberikan sumbangan data. Tak lupa untuk Ayah, Drs. Fauluaro Waruwu dan Ibu, Roslina Telaumbanua serta keluarga yang memberikan sumbangan moriil dan materil.
24
Daftar Pustaka Anonim1. 2004. Penelitian Karakteristik Danau Rawa Pening. Balitbang Provinsi Jateng. 2 Anonim . 2007. Kecamatan Banyubiru Dalam Angka. Badan Pusat Statisik Kabupaten Semarang. Anonim3. 2008. Kecamatan Banyubiru Dalam Angka. Badan Pusat Statisik Kabupaten Semarang. 4 Anonim . 2009. Kecamatan Banyubiru Dalam Angka. Badan Pusat Statisik Kabupaten Semarang. Anonim5. 2010. Kecamatan Banyubiru Dalam Angka. Badan Pusat Statisik Kabupaten Semarang. 6 Anonim .2011. Kecamatan Banyubiru Dalam Angka. Badan Pusat Statisik Kabupaten Semarang. Anonim7. 2011. Profil Desa Rowoboni. Kelurahan Desa Rowoboni Kabupaten Semarang Kecamatan Banyubiru. 8 Anonim . 2008. Laporan Status Lingkungan Hidup Kabupaten Semarang. Pemerintah Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah. Ungaran. Hlm 11. [BLH] Badan Lingkungan Hidup. 9 Anonim . 2008. Laporan Pengelolaan Rawa Pening. [PSDA-DPU] Pengelolaan Sumber Daya Air, Dinas Pengairan Umum Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Semarang. Hlm 2-6. Basmi J. 1999. Ekosistem Perairan : Habitat dan Biota. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hlm 49. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 57-156. Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Universitas Lampung. Lampung. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Perkasa. Jakarta. Hartanto, L. 2011. Seri Buku Dan Informasi Potensi Pengelolaan Bambu Taman Nasional Alas Purwo. Banyuwangi. Intan Kusuma J. 2009. Kajian Sumberdaya Danau Rawa Pening Untuk Pengembangan Wisata Bukit Cinta, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. IPB ; Bogor. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisis Ketiga. [Terjemahan dari Fundamental of Ecology, 3 rd edition]. Samingan T (Penerjemah). Gadjahmada University Press. Yogyakarta. Hlm 57. Rahim, S.E. 2000. Pengendalian erosi tanah. Bumi aksara. Jakarta. 25
Sittadewi H. Euthalia. 2008. Kondisi Lahan Pasang Surut Kawasan Rawa Pening Dan Pemanfaatannya. Sutarwi. 2008. Proses Kebijakan Konservasi Sumber Daya Air Danau Danau Rawa Pening d ijawa Tengah.
26