II.A. IDENTITAS DIRI II.A.1. Definisi Identitas Diri Erikson (1968) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang yang sama. Sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu tersebut dapat merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang lain mampu memastikan perasaan subjektif tersebut (Kroger, 1997). Menurut Waterman (1984), identitas berarti memiliki gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup (LeFrancois, 1993). Marcia (1993) mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri seseorang yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang.
II.A.2. Pembentukan Identitas Diri Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan: “ Identity formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification into a more or less coherent, unique whole that provides the young adult with both a sense of continuity with the past and a direction for the future” (Marcia, 1993:3)
Dari definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspekaspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu. Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis) dan komitmen. Eksplorasi yang juga dikenal dengan istilah krisis adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
periode dimana adanya keinginan untuk berusaha mencari tahu, menyelidiki berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya secara serius, untuk mencapai sebuah keputusan tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, nilai-nilai, dan keyakinankeyakinan. Dimensi eksplorasi (krisis) ialah (Marcia, 1993): a. Sudah melalui eksplorasi (past crisis) Seseorang dikatakan berada pada tahap eksplorasi di masa lalu (past crisis) ketika periode dimana pemikiran aktif terhadap sejumlah variasi dari aspek-aspek identitas yang potensial sudah berlalu sekarang. Individu mampu menyelesaikan krisis dan memiliki pandangan yang pasti tentang masa depan atau tugas tersebut ditunda tanpa mencapai adanya sebuah kesimpulan yang bermakna. b. Sedang dalam eksplorasi (in crisis) Seseorang dikatakan sedang berada pada tahap eksplorasi ketika seseorang sedang berusaha untuk mencari tahu dan menjajagi pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas dan sedang berjuang untuk membuat keputusan hidup yang penting. c. Tidak adanya eksplorasi (absence of crisis) Seseorang dikatakan tidak mengalami eksplorasi ketika seseorang tidak pernah merasa penting untuk melakukan eksplorasi pada berbagai alternatif identitas tentang tujuan yang ingin dicapai, nilai ataupun kepercayaan seseorang. Komitmen adalah suatu periode dimana adanya pembuatan pilihan yang relatif tetap mengenai aspek-aspek identitas seseorang dan terlibat dalam aktivitas
Universitas Sumatera Utara
yang secara signifikan mengarahkan kepada perwujudan pilihan yang sudah diambil. Dimensi komitmen ialah (Marcia, 1993): 1. Seseorang dikatakan memiliki komitmen ketika aspek identitas yang dimiliki individu berguna untuk mengarahkan perilaku di masa depan dan tidak adanya perubahan yang besar pada aspek tersebut. 2. Tidak adanya komitmen ditunjukkan dengan keragu-raguan yang dialami seseorang, tindakan yang terus berubah-ubah, tidak terarah, dan membentuk komitmen personal pada saat ini bukanlah suatu hal yang penting.
II.A.2.a. Status Identitas Marcia (1993) mengidentifikasi eksplorasi dan komitmen sebagai dua dimensi dasar untuk mendefinisikan status seseorang dalam mencapai sebuah identitas diri. Berdasarkan dua dimensi dasar ini, Marcia kemudian bisa mengklasifikasikan perkembangan pembentukan identitas diri seseorang kepada empat status, antara lain (Rice & Dolgin, 2008): a. Identity Diffused Seseorang yang berada dalam status identity diffused tidak mengalami sebuah periode eksplorasi (krisis), dan mereka juga tidak membuat komitmen pada aspek pekerjaan, agama, filosofi politik, peran gender, ataupun memiliki standar personal dalam berperilaku. Mereka tidak mengalami sebuah krisis identitas dalam salah satu atau semua aspek yang
Universitas Sumatera Utara
telah disebutkan diatas, dan mereka juga tidak melewati proses mengevaluasi, mencari, ataupun mempertimbangkan alternatif-alternatif. b. Identity Foreclosure Seseorang yang berada dalam status identity foreclosure tidak mengalami periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat sejumlah komitmen pada aspek-aspek identitas seperti pekerjaan dan ideologi yang bukan berasal dari pencarian mereka sendiri tapi sudah disiapkan oleh orang disekitar mereka, khususnya orang tua. Mereka menjadi seseorang yang diinginkan oleh orang lain, tanpa benar-benar memutuskan untuk diri mereka sendiri. c. Identity Moratorium Seseorang yang berada dalam status identity moratorium sudah ataupun sedang mengalami masa eksplorasi (krisis) terhadap alternatif-alternatif pilihan namun belum membuat komitmen pada aspek identitas. Beberapa orang yang berada dalam status moratorium mengalami krisis yang berkelanjutan, sehingga mereka mengalami kebingungan, tidak stabil, dan tidak puas. Individu dengan status moratorium juga menghindari berhadapan dengan masalah, dan mereka memiliki kecenderungan untuk menunda sampai situasi memaksa sebuah tindakan harus dilakukan.
d. Identity Achievement
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang berada dalam status identity achievement telah mengalami sebuah moratorium psikologis, telah menyelesaikan krisis identitas mereka dengan secara berhati-hati mengevaluasi sejumlah alternatif dan pilihan, dan telah menyimpulkan dan memutuskan sendiri setiap pilihan yang akan dilakukan. Tabel 1. Status Identitas Marcia
Eksplorasi (krisis) Commitment
Achievement Moratorium Foreclosure Diffusion Ada Dalam Tidak ada Ada atau proses tidak ada Ada Ada tapi Ada Tidak tidak jelas ada
II.A.2.b. Domain Identitas Diri Marcia (1993) mengungkapkan bahwa ada 11 domain dalam identitas diri yang terbagi dua bagian yaitu domain utama (core domain) dan domain tambahan (supplemental domain). Domain utama terdiri dari domain pendidikan/karir, domain religius/agama, domain politik, domain sikap peran jenis kelamin, dan domain derajat ekpresi seksualitas. Domain tambahan terdiri dari domain hobi/minat, hubungan dengan teman, hubungan dengan kekasih, peran pasangan, peran orangtua, dan prioritas antara keluarga dan karir. Pencapaian
kesebelas
domain
ini
dapat
meliputi
semua
tugas
perkembangan pada masa remaja yang pada umumnya dibahas secara terpisahpisah. Memasuki masa dewasa, remaja mulai mencari pekerjaan, ketrampilan, dan profesi yang memberikan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri dan penghasilan untuk mandiri. Remaja juga mulai mengeksplorasi dan memahami tentang agama
Universitas Sumatera Utara
yang dianutnya, peran gender dan ideologi politik yang akan dianutnya. Selain itu, remaja juga akhirnya akan menemukan teman-teman tempat berbagi dan mengidentifikasi dirinya. Domain hubungan dengan teman (relationships with friends) dan domain hubungan dengan pacar/kekasih (relationships with dates) merupakan domain yang mencakup hubungan dengan orang lain sehingga isu identitas dan intimacy tumpang-tindih pada kedua domain ini. Marcia (1993) menyatakan bahwa intimacy adalah kualitas interaksi antar individu, mencakup keterbukaan, saling berbagi, saling percaya satu sama lain, sedangkan identitas dalam kedua domain ini mencakup bagaimana seseorang mampu mendefinisikan dirinya lewat hubungannya dengan orang lain, sehingga lewat hubungan tersebut kita mampu semakin memahami diri kita. Marcia (1993) menguraikan domain identitas diri tersebut, antara lain: a. Pilihan pendidikan/karir (vocational choice) Untuk remaja, hal-hal yang mencakup dalam pilihan pendidikan/karir adalah apakah akan mencari pekerjaan, menikah dan membentuk keluarga, atau adanya pendidikan lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi. Mengembangkan kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, hal yang disukai ataupun tidak disukai, akan membantu kemampuan remaja untuk membuat pilihan karir yang semakin spesifik.
b. Hubungan dengan teman (relationships with friends)
Universitas Sumatera Utara
Dalam sebuah hubungan pertemanan, seorang remaja mencoba untuk mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan temannya tersebut. Hubungan dengan teman sebaya juga mencakup hal-hal seperti dasar-dasar seseorang untuk memilih teman-temannya, apa yang bisa diberikan, dibagikan, atau diceritakan kepada teman-temannya, apa yang diharapkan remaja tersebut dari teman-temannya dan sebaliknya, seperti apa harapan yang bisa dituntut oleh temannya kepada remaja tersebut. c. Hubungan dengan pacar/kekasih (relationship with dates) Hubungan dengan pacar/kekasih memiliki fokus yang hampir sama dengan
hubungan
pertemanan,
dimana
remaja
mencoba
untuk
mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan kekasihnya. Namun dalam hubungan ini, terdapat komponen romantis, yang juga menceritakan bagaimana pandangan remaja tersebut dalam mengekspresikan seksualitas. Dalam sebuah hubungan romantis, hubungan dengan pacar mencakup halhal seperti apa yang bisa diberikan, dibagikan, atau diceritakan kepada pacar, apa yang diharapkan remaja tersebut dari orang yang menjadi kekasihnya dan sebaliknya, seperti apa harapan yang bisa dituntut oleh kekasihnya kepada remaja tersebut.
Goede, Martijn De; Ed Spruijt; Jurjen Iedema; dan Wim Meeus (1999) menyatakan bahwa transisi pada sebuah kehidupan pendidikan/karir dan memasuki sebuah hubungan akrab (intimate relationship) yang memuaskan adalah dua tugas perkembangan yang penting dalam hidup para remaja. Ketika
Universitas Sumatera Utara
para remaja mengalami masalah pada aspek pendidikan/karir dan hubungan mereka dengan orang lain, mereka mungkin akan merasa gagal juga dalam hal lain. Hal tersebut terlihat ketika saat ini banyaknya remaja yang pengangguran memberikan dampak yang besar dalam masyarakat, dan hal itu juga menjadi tekanan bagi remaja secara individu. Sebuah lingkungan pendidikan/pekerjaan yang baik akan memberikan kesempatan untuk belajar, berinisiatif, melakukan kontak sosial dan melatih ketahanan diri. Era modernisasi dan masyarakat yang individualis juga memberikan tekanan yang semakin besar bagi seseorang untuk bertanggungjawab dalam setiap keputusan yang diambil, khususnya ketika menjalin relasi dengan orang lain. Menurut Goede, et.al (1999), masalah yang dialami dalam aspek pendidikan/karir dan hubungan dengan orang lain akan memunculkan ketegangan psikologis yang akan memberikan dampak yang negatif pada kesehatan mental remaja.
II.A.3. Kriteria Eksplorasi (Krisis) dan Komitmen Seperti telah diuraikan di atas bahwa pembentukan identitas diri ditandai dengan adanya eksplorasi dan komitmen. Kriteria yang menunjukkan ada tidaknya eksplorasi ialah (Marcia, 1993): a. Pengetahuan (knowledgeability) Seseorang harus menunjukkan pemahaman terhadap isi dan dampak setiap alternatif yang akan dipilih. Hal itu membuktikan bahwa pengetahuan seseorang lebih dari sekedar pengetahuan biasa atau sesuatu yang sudah sering didengar, seperti yang mungkin didapatkan dari media massa.
Universitas Sumatera Utara
Informasi yang dimiliki haruslah akurat dan bukan merupakan pemahaman umum saja. Keinginan individu tersebut untuk membuat interpretasi sendiri menunjukkan bahwa individu tersebut memang benar-benar ingin memahami alternatif yang ada. b. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (activity directed toward the gathering of information) Ketika
seseorang
sedang
berada
dalam
krisis
identitas,
aktif
mengeksplorasi pertimbangan alternatif-alternatif agar mendapatkan informasi yang berguna untuk menyelesaikan krisis tersebut. Aktivitas diarahkan untuk belajar lebih lagi tentang alternatif-alternatif yang ada mencakup membaca, mengikuti kursus, dan melakukan diskusi dengan teman, orang tua, guru, atau sumber-sumber lain yang memiliki pemahaman tentang materi tersebut. c. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yg potensial (Evidence of considering alternative potential identity elements) Terdapat dua pola yang berbeda ketika mempertimbangkan alternatif identitas yang akan dicapai. Pola pertama adalah kehadiran secara simultan dua atau lebih alternatif yang berbeda dan menunjukkan bahwa individu tersebut sadar dengan setiap alternatif-alternatif yang ada sehingga mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian yang dimiliki setiap alternatif. Namun situasi tersebut menimbulkan beberapa konflik approach-avoidance sehingga individu akan menunda dan merasa tidak siap menentukan pilihan. Pola kedua mencakup adanya kemunculan
Universitas Sumatera Utara
perubahan dalam hal tujuan yang akan dicapai, nilai, ataupun kepercayaan sepanjang waktu. Individu dengan pola ini telah mengeksplorasi berbagai alternatif dan memiliki sejarah mengambil sejumlah komitmen pada sejumlah pilihan, juga telah menolak beberapa alternatif dengan alasan tertentu. d. Tingkatan emosi (Emotional tone) Terdapat berbagai perasaan yang muncul pada tahapan eksplorasi identitas seperti rasa senang dan tertarik, was-was, dan rasa ingin tahu. Perasaan ini muncul karena pada tahap eksplorasi, ada begitu banyak hal dalam dunia yang bisa dieksplorasi dan seseorang ingin memperluas cakrawala pemikiran mereka dengan merasakan pengalaman dan kesempatan baru. Intensitas emosi-emosi ini juga akan bervariasi antar individu yang juga akan merefleksikan temperamen mereka. e. Keinginan untuk membuat keputusan secara dini (A desire to make an early decision) Karena adanya ketidaknyamanan subjektif yang dikaitkan dengan proses krisis identitas, individu biasanya ingin untuk segera memutuskan sebuah pilihan dari setiap alternatif yang ada. Keinginan tersebut ditunjukkan dengan memutuskan sebuah alternatif dengan ragu-ragu dan tidak mempertimbangkan pilihan tersebut itu dengan serius.
Ada tidaknya komitmen ditunjukkan melalui kriteria seperti (Marcia, 1993):
Universitas Sumatera Utara
a. Pengetahuan (Knowledgeability) Seperti kriteria masa eksplorasi, jika seseorang memiliki komitmen yang sungguh-sungguh pada sebuah tujuan, nilai, ataupun kepercayaan, seharusnya ada bukti mengenai pemahaman yang detail, jelas dan akurat mengenai hal tersebut. b. Aktivitas untuk mengimplementasikan aspek identitas yang dipilih (Activity directed toward implementing the chosen identity element) Adanya komitmen pada aspek identitas akan mengarahkan pada ekspresi atau realisasi dari pilihan yang telah dibuat. Sejumlah aktivitas seperti persiapan untuk hidup masa depan yang konsisten dengan aspek identitas yang dimiliki oleh orang tersebut akan menunjukkan implementasi dari pilihan yang telah dibuat. c. Tingkatan emosi (Emotional tone) Adanya komitmen pada identitas biasanya akan diekspresikan dengan perasaan percaya diri, stabilitas, dan rasa optimisme terhadap masa depan. Walaupun seringkali kesadaran akan kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul ketika mengimplementasikan aspek identitas tersebut, namun hal tersebut tidak mengurangi keputusan untuk melakukan pilihan yang telah diambil.
d. Identifikasi dengan orang-orang penting (Identification with significant others)
Universitas Sumatera Utara
Sering kali komitmen pada identitas berawal dari identifikasi dengan orang tua, saudara yang lain, guru, atau orang-orang yang dipelajari dari sekolah ataupun media massa. e. Proyeksi terhadap masa depan (Projection of one’s personal future) Komitmen pada
identitas memberikan sebuah mekanisme untuk
mengintegrasikan masa lalu dengan masa kini dan antara masa kini dengan masa yang akan datang. Aspek identitas akan direfleksikan dalam kemampuan untuk memproyeksikan diri mereka kepada masa depan dan mendeskripsikan tipe-tipe aktivitas yang ingin mereka lakukan selama lima atau sepuluh tahun yang akan datang. f. Daya tahan terhadap godaan (Resistance to being swayed) Jika komitmen sudah terbentuk, seseorang akan konsisten dan bertahan ketika menghadapi godaan atau pengaruh untuk meninjau ulang komitmen yang telah dibuat bahkan menggantinya.
II. A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri Fuhrmann (1990), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri: a. Pola asuh Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas diri remaja b. Homogenitas lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure pada lingkungan yang homogen karena tidak mengalami krisis dan memperoleh komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada lingkungan yang heterogen, individu diharapkan pada banyak pilihan sehingga sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu pilihan tertentu. c. Model untuk identifikasi Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Remaja menjadikan idola dan model dalam hidupnya. Orang yang berperan dewasa sebagai model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri. d. Pengalaman masa kanak-kanak Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa kanakkanak akan menngalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis identitas pada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Santrock, 1998), identitas berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak. e. Perkembangan kognisi Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga dapat menyelesaikan krisis identitas dengan baik.
f. Sifat individu
Universitas Sumatera Utara
Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu tercapainya identity achievement. g. Pengalaman kerja Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan menstimulasi identitas diri. h. Identitas etnik Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat individu tinggal akan mempengaruhi pencapaian identitas. II.B. MASA REMAJA Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004). Santrock (1998) menyatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Sedangkan WHO (dalam Sarwono, 2000) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga disebutkan bahwa remaja adalah suatu masa dimana: a. Individu berkembang dan saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat individu mencapai kematangan seksual
Universitas Sumatera Utara
b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri Piaget (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, berada dalam yang tingkatan yang sama dengan orang dewasa, sekurangkurangnya dalam masalah hak. Umumnya, masa remaja berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja itu sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungannya (Ali, 2004). Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1999). Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dimana remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Masa remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai dengan 18 tahun. Havighurst (dalam Dacey & Kenny, 1997) mengemukakan 9 (sembilan) tugas perkembangan pada tahapan remaja, yaitu: 1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 2. Mencapai peran sosial, pria, dan wanita
Universitas Sumatera Utara
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya 6. Mempersiapkan karier ekonomi 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi Pencapaian tugas perkembangan tidak terlepas juga dari pencapaian identitas diri secara psikososial . Menurut Erikson (dalam Dacey and Kenny, 1997) masa remaja merupakan masa kritis dalam pencapaian identitas diri. Bila seorang remaja mencapai identitas diri, seorang remaja akan memiliki gambarangambaran diri yang dapat dibandingkan dengan orang lain. Sedangkan remaja yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami yang disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (kebimbangan akan identitasnya). Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal: penarikan diri individu, mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 1998).
II.C. KEKERASAN FISIK
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan dan pengabaian pada anak bisa terjadi dalam banyak bentuk dan bervariasi. Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi pada anak ialah kekerasan fisik. The Office on Child Abuse and Neglect mendefinisikan kekerasan fisik (physical abuse) berupa tindakan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan secara fisik, termasuk kematian pada seorang anak. Kekerasan fisik mencakup luka pada tubuh lewat tonjokan, pukulan, tendangan, atau pembakaran (National Center on Child Abuse and Neglect, dalam Clark, Clark, & Adamec, 2007). Health Canada (dalam Knoke, 2008) mendefinisikan kekerasan fisik sebagai penggunaan kekerasan dengan sengaja pada bagian tubuh anak apapun, yang mengakibatkan luka yang tidak terjadi secara kebetulan (non-accidental). Hal tersebut bisa mencakup memukul anak dalam waktu tertentu atau juga sejumlah kejadian yang berpola. Kekerasan fisik mencakup perilaku-perilaku seperti mengguncang, mencekik, menggigit, menendang, membakar atau meracuni seorang anak, menenggelamkan anak, atau bentuk kekerasan lain yang berbahaya. Suyanto (2002) menambahkan, kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan yang paling mudah dikenali. Tindakan yang terkategorisasi kekerasan jenis ini adalah menampar, menendang, mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. Dong, Anda, et. al (2004) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kekerasan fisik adalah seseorang yang sering atau sangat sering didorong, ditarik, ditampar, dipukul, atau dilempar sesuatu oleh keluarga mereka
Universitas Sumatera Utara
dan kadang-kadang, sering, atau sangat sering dipukul atau dikenai sesuatu dengan kasar sehingga meninggalkan bekas atau luka pada tubuh mereka.
II.D. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004). Pembentukan
identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian
pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu (Marcia, 1993). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak memiliki peranan penting dalam proses pembentukan identitas diri seorang remaja. Pengalaman kekerasan fisik di masa kanak-kanak akan menimbulkan dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi
Universitas Sumatera Utara
masalah dan emosi (Wahab, 2011). Efek yang timbul akibat perilaku orang tua yang secara fisik menyiksa dan melukai anak mereka akan menghasilkan kerusakan secara emosional ataupun fisik. Anak yang mengalami penyiksaan, secara fisik akan mengalami retak tulang, luka bakar, pendarahan, dan kerusakan pada otak ataupun organ-organ internal. Penganiayaan pada anak (child abuse) juga menimbulkan dampak yang negatif pada hubungan emosi dan sosial pada anak-anak tersebut. Anak-anak yang dianiaya (abused children) lebih sering menunjukkan perilaku negatif, mudah tersinggung, memiliki kompetensi sosial yang rendah, lebih agresif, kurang kooperatif, dan mereka pada umumnya kurang disukai oleh teman sebaya mereka. Dalam lingkungan sekolah, para guru melihat anak-anak ini sebagai anak yang bermasalah karena penyendiri, bermasalah dalam hal disiplin, dan memiliki performansi yang rendah secara akademis (DeGenova, 2008). Penelitian Rummell and Hunsen (1993) menyatakan kekerasan fisik akan memberikan dampak jangka panjang bagi anak dalam hal hubungan interpersonal dan kesulitan dalam aspek akademis dan pekerjaan. Anak yang mengalami kekerasan fisik akan memiliki perasaan negatif pada interaksi interpersonal seperti merasa malu, sadar diri (self-conscious) dan merasa tidak dimengerti atau tidak disukai oleh orang lain. Dalam aspek akademis dan pekerjaan, anak yang mengalami kekerasan fisik memiliki tingkat intelektualitas yang lebih rendah. Hal tersebut dilihat dari tes performansi yang dilakukan pada anak yang mengalami kekerasan fisik dan yang tidak. Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik juga
Universitas Sumatera Utara
memiliki orientasi yang rendah untuk membuat tujuan-tujuan dalam aspek pekerjaan dan pendidikan. Penelitian Meyerson, Long, Miranda, dan Marx (2002) tentang pengaruh abuse pada masa kanak-kanak terhadap penyesuaian psikologis remaja juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami kesulitan penyesuaian diri yang lebih besar, memiliki kompetensi sosial yang lebih buruk, rendahnya kemampuan bahasa, dan performansi di sekolah yang lebih buruk, jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga seringkali menunjukkan kondisi-kondisi psikiatris seperti depresi, conduct disorder, dan simptom-simptom kecemasan. Masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan pengalaman abuse di dalam keluarga tersebut akan membuat remaja mengalami kesulitan mengeksplorasi berbagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses pembentukan identitas diri. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan rendahnya kompetensi sosial juga akan membuat remaja sulit membentuk relasi atau hubungan dengan teman sebaya ataupun pasangan, sehingga eksplorasi dan komitmen terhadap aspek identitas pada remaja tersebut dalam sebuah hubungan sosial akan mengalami hambatan. Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kanak-kanak memiliki batasan persepsi (perceptual boundaries) yang lebih luas dalam mempersepsikan ekspresi marah seseorang, menggunakan lebih banyak sumber daya atensi (attentional resources) untuk memproses ekspresi marah, dan
Universitas Sumatera Utara
memiliki kesulitan yang besar untuk melepaskan perhatian dari ekspresi marah seseorang. Pengalaman emosional dari kekerasan yang dialami saat kanak-kanak membuat mereka secara tidak sengaja memberikan perhatian yang lebih besar terhadap ekspresi marah dan sangat beresiko munculnya simptom-simptom kecemasan (Shackman, Shackman & Pollack, 2007). Briere dan Elliot (dalam Kendall-Tackett, 2002) juga menyatakan bahwa anak-anak yang pernah mengalami kekerasan akan mengembangkan sebuah pola pemikiran (internal working model) dimana mereka melihat dunia ini sebagai sebuah tempat yang berbahaya. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan yang mereka alami di masa lalu, sehingga mereka melebih-lebihkan bahaya dan kesulitan yang ada di lingkungan mereka saat ini. Sehingga di masa dewasa, mereka akan mengalami kepercayaan diri dan harga diri yang rendah ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Distorsi-distorsi pemikiran ini akan berkontribusi pada stress yang dialami dan meningkatkan resiko terjadinya depresi. Sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, remaja akan membentuk identitas diri yang merupakan perasaan tentang siapa dirinya berdasarkan siapa dia sebelumnya dan akan menjadi orang seperti apa di masa yang akan datang. Proses pembentukan identitas ini dibentuk dari proses pembuatan keputusan dan komitmen, dimana proses ini didahului oleh proses mengeksplorasi banyak alternatif dalam berbagai aspek hidup (Marcia, 2002). Namun, remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, yang juga mengalami berbagai masalah baik secara fisik dan psikologis sebagai dampak dari
Universitas Sumatera Utara
kekerasan tersebut, akan menunjukkan berbagai hambatan dalam proses pembentukan identitas dirinya.
KERANGKA BERPIKIR
Remaja
Physical Abuse dalam Keluarga Masa Anak-anak Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pola Asuh Homogenitas Lingkungan Model untuk identifikasi Pengalaman masa kanakkanak Perkembangan kognisi Sifat individu Pengalaman kerja Etnis identitas
Domain Vocational
Dampak Fisik dan Psikologis
Pembentukan Identitas Diri Masa Remaja
Teori Status Identitas Marcia: - Eksplorasi - Komitmen
Domain Relationship w/ Friends
Bagaimana gambaran proses pencapaian status identitas diri?
Domain Relationship w/ Dates
Universitas Sumatera Utara